Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 9 Jordhan masih dengan setia menunggu Nandini di periksa. Ia berjalan mondar mandir di depan pintu ruang UGD. Khawatir yang ia rasakan saat ini, sama dengan ketika ia harus kehilangan sang putri. Tentu dirinya tidak mau jika sampai itu kembali terjadi untuk yang kedua kalinya. Kematian sang putri bagaikan cambuk di dalam hidupnya. Membuat hidup pria itu menjadi sebatang kara, tapi semua itu terasa berbeda semenjak kedatangan Nandini. "Tolong bertahanlah, Nak! Pria tua ini memintamu untuk berjuang, Nak!" Lirihnya. Laki-laki itu berdoa, memohon keselamatan pada yang Maha Kuasa. Semoga ia berkenan untuk memberikan kehidupan untuk Nandini. Lama ia menunggu, hingga akhirnya dokter pun keluar. "Bagaimana dok, keadaan putri saya!" Tanyanya khawatir. Sang dokter tersenyum lembut, "Alhamdulillah keadaannya tidak semengkhawatirkan seperti tadi. Keadaan putri bapak sudah membaik, dia hanya kelelahan dan juga perutnya kos
Pengantin Kecil Tuan Xavier -Bab 10 "Ahhhh, terus lebih dalam lagi!" Suara desahan dan erangan seorang perempuan menggema di sebuah kamar temaram. Seorang pria memacu tubuhnya, di atas tubuh perempuan itu. Peluh mereka sudah bercampur, nafas mereka pun memburu. Saling mengejar kepuasan nafsu semata. "Ahh yess, seperti itu! Lebih kencang dan lebih dalam sayang," racau wanita itu. Sungguh tidak tahu malu. Mereka berdua sudah jauh dari norma yang ada. Bagi mereka berdua, sex bebas adalah hal biasa. Itu sudah lumrah terjadi. Sang pria terus memompa jagoan kecilnya di lembah sang wanita. Kepuasan terlihat dari raut muka mereka berdua. Tak seberapa lama, keduanya mengerang panjang. "Arghh!" Erang si pria. "Nikmat dan puas!" Ucapnya kemudian. Si wanita pun tersenyum dan mengangguk. Hal seperti ini lah yang ia inginkan. Tapi sayang, sang kekasih enggan memberikannya kepuasan. Hanya sebatas ciuman mana puas. Pikir wanita itu. "Ya sayang, aku pun sangat puas! Sesuatu yang tidak p
"Brengsek!" Arshaka begitu geram kala mendengar penjelasan dari salah satu bodyguard Xavier. Ia tidak menyangka jika adiknya akan berlaku seperti itu, pada perempuan yang sudah dengan rela menolongnya menggantikan posisi Meylan. Lalu Arshaka pun melangkah lebar, menghampiri Xavier yang sedang meracau. Kini pria tampan itu berdiri di hadapan adiknya. Xavier tersenyum, ia mengira jika yang berdiri di hadapannya itu adalah Nandini. "Nandini, it's that you?" Tanya Xavier sambil berdiri sempoyongan. Arshaka menahan lengan adiknya itu. Tinggi mereka hampir sama, hanya saja tubuh Xavier sedikit lebih berisi di banding Arshaka. Xavier tersenyum dan hendak mencium kakaknya sendiri. Arshaka merasa geli. Ia pun mendorong kepala Xavier dengan salah satu tangannya yang bebas. Sedang tangan sebelahnya ia gunakan untuk menahan tubuh sang adik agar tidak terjatuh. "Sialan! Ini gue Vier! Sadar woyy!" Teriak Arshaka di depan wajah Xavier. "Kenapa kamu
Seorang gadis yang terbaring di ranjang pasien baru saja siuman. Pria paruh baya yang menunggunya sejak tadi, begitu senang kala gadis cantik nan ayu itu sudah tersadar. Gadis itu tersenyum pada pria paruh baya tersebut. "Apa yang kamu rasakan, Nak? Aku akan memanggilkan dokter untuk memeriksamu!" Ujar Jordhan lalu memencet tombol yang ada di dekat brankar yang di tempati oleh Nandini. Nandini tersenyum. Ia bersyukur karena di tempatnya yang baru, masih ada orang yang baik kepadanya. Dia merasa mempunyai seorang ayah ketika Jordhan memperhatikannya. Jordhan pun merasa bersyukur dengan kedatangan Nandini di rumah majikannya. Setidaknya rasa rindu terhadap putrinya bisa sedikit terobati. Hanya saja, nasib Nandini tidak beruntung karena mendapatkan suami yang seperti Xavier. "Aku tidak apa-apa paman, jangan terlalu khawatir!" Ucap Nandini tersenyum, tak lama ia melanjutkan ucapannya. "Bagaimana aku bisa berada di sini paman? Siapa yang membawaku kemari?"
Xavier beranjak dari duduknya, berjalan dengan sedikit sempoyongan akibat minuman yang ie tenggak. Perkataan kakaknya terus terngiang di dalam otak Xavier. Ada rasa yang menelusup dalam dada ketika Arshaka berbicara seperti itu. Rasa tidak rela membiarkan Nandini bersama pria lain, meskipun pria itu adalah kakaknya sendiri. Namun, Xavier tidak bisa menjabarkan perasaannya saat ini. Dia merasa tenang kala melihat mata hazel itu menatapnya. Tapi ada rasa marah juga kala teringat dia adik dari Meylan. Perempuan yang sudah menorehkan luka yang begitu dalam di hatinya. Pria itu melangkah tegap menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu taman. Para bodyguard mengangguk kala bos mereka menghampiri. "Siapa yang sudah memberitahukan keberadaanku di sini!" Ucap Xavier dingin. Para bodyguard itu hanya terdiam dan menunduk. Mereka tidak berani walau hanya sekedar menatap bos mereka. Xavier menjelma bak seekor singa ketika ia sedang marah. Sama seperti saat ini, ia se
Pintu di buka dengan sangat kasar dan keras. Membuat orang yang di dalam ruangan berjingkat kaget. Seorang pria yang berwajah dingin tampak memasuki ruangan tempat Nandini di rawat. Jordhan langsung berdiri dari duduknya. Xavier menatap tajam pada Jordhan. Ya pria yang memasuki ruangan Nandini itu adalah Xavier. Ia mendapatkan kabar jika istrinya di rawat di rumah sakit x dan berada di ruangan VVIP. Tentu bukan hal sulit bagi seorang Xavier masuk ke dalam rumah sakit itu meski waktu besuk sudah habis. "Beraninya kau paman! Membawa gadis sialan itu ke mari!" Desis Xavier. Lalu pria itu melangkah mendekati brangkar yang di mana Nandini sedang tertidur tenang. Xavier memindai wajah itu dan berusaha menyimpannya di dalam memori otaknya. Nandini yang masih tertidur akibat pengaruh obat tidur pun tidak terganggu kala pintu di dorong dengan keras oleh Xavier. Pria itu dengan tidak berperasaan mencabut jarum yang menancap di tangan Nandini. "Tuan!" Teriak Jordhan. Ia
Tak berselang lama, Jordhan pun sampai di rumah mewah majikannya. Ia langsung berlari masuk tanpa memperdulikan para bodyguard sang Tuan. Lalu ia langsung menuju ke gudang, yang menjadi tempat tinggal Nandini. Padahal ini malam pertamanya tinggal di rumah suaminya. Tapi, ia sudah mendapatkan berbagai siksaan. Baik fisik maupun psikisnya. Jordhan khawatir, jika keadaan Nandini semakin parah. Sesampainya di sana, tampak pintu gudang itu tertutup. Tok tok tok "Nak, kamu di sana? Nak jawab paman!" Ucap Jordhan khawatir. Pria itu terus menggedor pintu gudang itu. Tidak terbuka karena memang Xavier menguncinya dari luar. Jordhan terus memanggilnya, tak ada suara. Hanya ada isak tangis yang begitu memilukan. "Nak, kamu baik-baik sajakan? Tuan muda tidak melakukan apapun padamu! Paman mohon, jawab paman, Nak!" Ucap Jordhan lemah. "A-aku b-baik-baik s-saja p-paman! J-jangan k-khawatirkan a-aku," jawab Nandini terbata dengan isak tangis yang masih terdengar. Jordhan terlihat meng
Hari ini tepat dia hari pernikahan antara Xavier dan juga Nandini. Tepat pukul 07 pagi, Xavier membukakan pintu gudang yang di tempati oleh Nandini. Ia melihat gadis itu masih tertidur dan matanya melotot karena gadis itu tidur beralaskan sebuah kasur kecil. "Siapa yang sudah berani memberikan perempuan itu sebuah kasur!" Geram Xavier. Ketika Xavier akan menarik tubuh kecil Nandini. Sebuah tangan menahannya. Lalu Xavier menatap tajam pria yang sudah dengan lancang menyentuhnya. "Apa yang kau lakukan paman!" Desis Xavier. Jordhan menatap iba pada Nandini, dia yakin jika keadaan gadis itu masih belum lebih baik. Apalagi dia sama sekali belum makan sejak kemarin. "Tuan, tolong jangan keterlaluan! Nona belum makan sedari kemarin. Dan yang memberikan kasur itu adalah saya, jika anda hendak marah dan menghukum. Hukum saja saya tuan. Tapi tolong jangan gadis malang itu tuan. Dia tidak bersalah sama sekali," ucap Jordhan memelas meminta sedikit empati
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia