PPTX - BAB 1
Seorang pria tampan nan gagah terlihat sedang mematut diri di depan cermin. Sesekali tersungging senyum tipis di bibirnya yang seksi, senyum tak lepas dari bibirnya. Jas hitam berpadu dengan kemeja putih sangat pas di tubuhnya yang tinggi menambah ketampanan pria itu berkali-kali lipat. Laki-laki yang bernama Xavier Romanov, hari ini akan melangsungkan pernikahan. Pernikahan impiannya bersama sang kekasih hati. Sudah lama sekali ia merencanakan semua, tapi baru kali ini terlaksana. "Aku benar-benar tidak sabar," Xavier tersenyum dan mencoba untuk membuang nafasnya secara perlahan untuk menghilangkan rasa gugup yang menyerang dirinya. Pernikahan impian yang akan terjadi, meski harus melangkahi sang kakak. Pria itu tidak ingin lagi menunda, dia ingin menjadikan sang kekasih hati sebagai RATU di dalam hidupnya. Sambil menunggu yang lain siap, dia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, mencoba untuk menghubungi sang calon istri. Tapi, sayang panggilan itu tidak terhubung malah nomor ponsel sang kekasih pun sekarang tidak aktif. "Sepertinya kamu sengaja tidak mengaktifkan ponselmu. Dasar gadis nakal," gumam pria itu di iringi tawa kecil. Rombongan pengantin pun bersiap berangkat menuju rumah mempelai. Beberapa iringan mobil mewah terlihat berjejer di jalanan. Dengan Xavier duduk bersama sang kakak. Arshaka tersenyum menatap sang adik. Dia rela dan ikhlas jika harus di langkahi dulu olehnya. Karena bagi pria tampan itu, menikah bukanlah sebuah kompetisi. Bukan sebuah perlombaan, Arshaka menepuk bahu sang adik. Kini mereka sudah berjejer duduk di kursi yang sudah di sediakan oleh Rini. Xavier sendiri sudah duduk di depan Penghulu. Pria itu sudah tidak sabar untuk melihat sang kekasih. "Bagaimana sudah siap?" tanya Penghulu. "Ya saya sudah siap," jawab Xavier tegas. "Baiklah sebelum mengucap ijab kabul, boleh pengantin wanita di bawa kemari," ucap Penghulu. Rini pun mengangguk dan beranjak menuju kamar sang putri lalu mengetuk pintu bercat biru itu. Lama wanita paruh baya itu menunggu tapi sayang pintu tak kunjung terbuka, perempuan itu membuka pintu yang kebetulan tidak terkunci. Alangkah terkejutnya dia ketika melihat jika kamar itu kosong. "Kemana kamu Meylan! Jangan-jangan kamu malah kabur di hari pernikahanmu!" ucap Rini panik dan juga ketakutan sebab bila memang itu terjadi, hancur sudah hidupnya. "Bagaimana, sudah siap?" tanya Penghulu untuk yang kedua kalinya. Xavier terdiam, tangan pria itu mengepal, rahangnya mengeras. Dia menatap sekeliling, tidak mungkin jika kekasih hatinya kabur. Jika iya apa yang membuatnya pergi. Laki-laki itu pun beranjak, menyusul calon mertuanya. Setelah sebelumnya dia meminta penghulu untuk menunggu sebentar. Sesampainya di kamar, alangkah kagetnya dia ketika mendapati kamar yang di tempati oleh kekasihnya itu kosong. "Kemana dia!" tanya Xavier dingin. Wanita paruh baya itu terhenyak kaget ketika mendapati pria yang menjadi calon suami putrinya, sudah berada di kamar. Wajah wanita itu pucat seketika, kala melihat raut muka Xavier yang sangat menakutkan. Dia hanya diam tidak bisa menjawab apapun. "Maaf, Nak! Sepertinya Meylan, dia," ucap wanita itu terpotong. "Dia tidak ada di kamarnya!" lanjut wanita itu. "Cepat cari dia, saya tidak ingin tahu! Pernikahan ini harus tetap berlanjut!" geram Xavier. Wanita itu terdiam, tak lama ia pun keluar dari kamar itu. Sementara itu, Xavier lebih memilih menunggu di kamar itu tak lupa dia menghubungi anak buahnya. Dia memerintahkan mereka untuk mencari keberadaan perempuan itu. Xavier tidak menyangka, jika kekasihnya akan berkhianat seperti ini. Dia terdiam memikirkan kesalahan apa yang sudah di perbuatnya. Tapi sayang, tidak ada cela ataupun kesalahan fatal yang di lakukannya hingga membuat perempuan itu pergi. * * "Nandini," gumam wanita itu ketika melihat putri bungsunya sedang membantu orang-orang di dapur. Lantas dia langsung menghampiri gadis kecil itu. Lalu menarik kasar tangan mungilnya, wanita itu menyeret tubuh kecil Nandini menuju sebuah kamar yang letaknya dekat dengan dapur. Dia mencengkram kuat lengan gadis itu, hingga tampak memerah, wanita itu juga menatap tajam gadis itu, hingga dia lebih memilih menundukkan kepalanya. "Hari ini, kau akan menggantikan kakakmu, menikah dengan Tuan Xavier!" ucap wanita itu tegas. "Mengapa harus aku yang menikah dengan kekasih kakak, Bu? Lantas kemana kakak?" tanya Nandini pelan. Wanita yang bergelar ibu itu mendelik kala mendengar ucapan Nandini. Dia tidak suka jika gadis itu memanggilnya ibu. Bagi dirinya, gadis ini hanyalah pembawa sial. Hari ini, wanita itu akan memaksanya menggantikan sang putri yang kabur entah kemana. Yang penting saat sekarang, pernikahan ini tidak batal. Jalan satu-satunya adalah menjadikan Nandini sebagai pengantin pengganti. "Dengar ini! Kau tidak usah banyak bertanya, dan kau harus mau menggantikan posisi kakakmu! Jika kau tidak mau, maka kau sendiri akan tahu akibatnya!" ancam wanita paruh baya itu. Nandini meringis kala merasakan cengkraman sang ibu semakin kencang. Ibunya begitu kuat kala memegang lengannya. Melihat kemarahan di mata sang ibu membuat Nandini takut. "Tapi, Bu!" ucapan Nandini terpotong karena wanita itu sudah kembali menyeretnya. Membawa gadis itu pada orang yang akan meriasnya. Sementara Xavier dia masih menunggu. Hingga beberapa menit kemudian, wanita itu kembali ke kamar putrinya dengan membawa seorang wanita yang sudah memakai baju pengantin. Wanita itu juga menjelaskan jika adik dari kekasihnya yang akan menggantikan posisi mempelai wanita. Nandini menunduk, tidak berani menatap wajah kekasih dari kakaknya. Di mata Nandini, pria itu sangat dingin,jika pun mereka kebetulan bertemu, Nandini lebih memilih menghindar. Tapi hari ini, semesta seolah mempermainkannya. Xavier menatap datar ke arah wanita cantik dan muda itu, raut muka pria itu masih menggambarkan sebuah amarah yang tertahan. "Bawa dia!" ucap Xavier dingin. Kini, Nandini sedang terduduk di samping Xavier. Dan pria itu pun mulai mengucapkan ijab kabul dengan nama yang berbeda. Terdengar kasak kusuk dari mulut para undangan yang datang tapi Xavier tidak menggubrisnya. Jantung Nandini—istri Xavier—berdebar dengan sangat cepat. Berulangkali dia berusaha mengatur napas, hingga suara seseorang menyadarkannya dan meminta untuk dia segera mengecup tangan sang suami. Perlahan Nandini mengangkat kepala, memberanikan diri menatap wajah tampan itu. Keduanya saling beradu pandang. Entah mengapa Xavier seolah terhipnotis oleh mata hazel Nandini. "Maaf ...!" Nandini mengucapkan kata itu lirih dalam hatinya. "Kenapa kamu tega melakukan ini Meylan!" Xavier pun bergumam dalam hatinya, tangannya kembali terkepal. Sepersekian detik kemudian Nandini berusaha meraih tangan Xavier. Pria itu tampak terpaksa mengulurkan tangannya. Nandini mengecupnya perlahan, bersamaan dengan itu cairan bening menetes. Xavier merasakan hangatnya air mata itu. Dia pun repleks langsung menarik diri, kemudian bangkit hendak pergi. Namun, terhenti oleh suara perempuan yang bertugas sebagai MC acara. "Mempelai pria sepertinya tidak sabar untuk menuju pelaminan. Tunggu sebentar, kita lakukan dulu sesi foto untuk kenang-kenangan, ya." ujar pria kemayu itu. Fotografer mulai memberikan instruksi, mengarahkan sepasang suami-istri tersebut dengan berbagai pose. Xavier meminta untuk tidak terlalu banyak mengambil gambar tapi, ia malah diminta untuk mencium kening istrinya untuk foto terakhir setelah akad. Dengan wajah menahan amarah Xavier terpaksa melakukan apa yang di arahkan orang-orang yang menurutnya sangat memaksa. "Dan sekarang pasangan pengantin baru kita silahkan menuju ke pelaminan, dan untuk yang mau memberikan selamat boleh ya bersiap-siap," ujar sang Mc. Masih terdengar bisik-bisik orang-orang yang datang. Mereka tidak menyangka jika pengantin wanitanya di ganti oleh sang adik. "Kasihan juga ya si Nandini, sudah sering di siksa oleh Ibu-Nya, sekarang di paksa untuk menggantikan kakaknya!" ucap salah satu tetangganya. Rini mendelik mendengar bisik-bisik itu, jangan sampai apa yang mereka obrolkan sampai ke telinga menantunya. Tapi sayang sekali karena Xavier sudah mendengarnya. Iba tentu saja tidak justru dia akan menambah lagi penderitaan istri kecilnya. Satu persatu para tamu undangan pun naik ke atas panggung. Kini tiba teman-temannya dan juga sang abang memberi selamat. "Selamat Bro, gue nggak nyangka ternyata jodoh Lo anak kecil!" kekeh salah satu temannya. Xavier mengepalkan tangannya hingga buku-buku di tangannya memutih. Wajahnya memerah menahan amarah. Mereka pun pergi begitu saja setelah puas mengejek sang teman. Tak lama Arshaka Dewangga Romanov pria yang berusia 29 tahun, pria yang mempunyai wajah tegas namun lembut yang merupakan kakak dari sang pengantin pria. "Selamat, semoga kamu bahagia. Meskipun ini bukanlah pernikahan yang kamu harapkan. Tapi Abang harap, kamu bisa menerima dia seutuhnya. Karena bagaimana pun, sekarang dia adalah istrimu," ucap Arshaka sembari menepuk punggung sang adik, lalu beralih menatap seorang gadis cantik yang memakai baju pengantin yang sangat pas dan cocok di tubuhnya. Gadis yang mungkin lebih pantas menjadi adik mereka. "Selamat Dek, semoga bahagia," ucap Arshaka tulus. Nandini hanya diam tanpa menjawab apapun. Acara demi acara akhirnya selesai sudah. Kini pasangan baru itu sedang berada di dalam kamar mungil Nandini. Gadis itu menunduk memilin-milin gaunnya kebisaannya ketika gugup. Xavier memandangi wajah yang tertunduk itu, dan menyeringai. "SELAMAT DATANG BUDAKKU!! "Pengantin Kecil Tuan Xavier [ BAB 2 ] "SELAMAT DATANG BUDAKKU!" batin pria itu berbicara, tampak seringaian misterius terbit di bibir sexynya. Xavier masih menatap gadis kecil yang sudah berstatus menjadi istrinya menggantikan kekasih yang kabur entah kemana. Tapi, dia tidak perlu khawatir karena pria itu sudah menyebar anak buah untuk mencari perempuan yang tidak tahu diri itu. Dia harus membayar semua perlakuannya yang telah membuat dia malu, dan untuk sementara adiknya lah yang akan menggantikan peran melaksanakan hukuman. "Sampai kapan kau akan berdiri di sana?'' tanya Xavier datar dan dingin. Nandini perlahan mengangkat kepalanya, menatap laki-laki yang kini sedang duduk di pinggiran ranjang kecilnya. Ya Nandini di beri kamar yang mempunyai ukuran sangat kecil, berbeda dengan kedua kakaknya yang mempunyai kamar yang sangat luas. Tapi, bagi Nandini itu lebih baik daripada dia harus tinggal dan tidur di gudang yang kotor juga penga
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 3 "Tuan Awas!" teriak Nandini dari belakang tubuh kekar Xavier kala dia melihat seorang pria membawa pisau dan akan menusuk pria itu. Nandini pun berlari dan mendorong tubuh Xavier dengan sekuat tenaga. Xavier terjatuh, terhuyung dan Nandini menahan pisau dari pria itu. Hingga darahnya menetes mengenai wajah Xavier. Bodyguard Xavier langsung bergerak meringkus pria itu, mereka kecolongan. Karena yang akan menusuk Xavier adalah anak buahnya sendiri. Tangan Nandini terluka, dan sepertinya luka di tangan mungil itu cukup dalam. Xavier beranjak, dia mengusap wajahnya yang terkena tetesan darah Nandini. "Apa yang kau lakukan!" suara pri itu terdengar menggelegar ketika membentak Nandini. Gadis yang di bentaknya itu langsung menundukkan kepala. Tubuh itu bergetar mendengar bentakan yang keluar dari mulut Xavier. Orang-orang yang mendengar keributan di depan pun langsung berlari menghampiri mereka. Merek
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 4 Byurrr Seember air meluncur bebas membasahi tubuh ringkih itu. Gadis yang masih terlelap menyelami mimpinya di tarik paksa menuju kenyataan. Dia mengerjapkan mata yang terasa perih dan juga hidung yang terasa sakit akibat kemasukan air. Uhuk uhuk uhuk Dia terbatuk, merasakan perih dan sesak di dada. Sambil berusaha menetralkan penglihatan, dia terus memukul-mukul dadanya yang terasa sakit. "Bangun!" suara bariton nan dingin menyapa indera pendengaran Nandini. Gadis itu berusaha memfokuskan pandangannya. Bola mata berwarna hazel itu seketika melotot tatkala melihat siluet seorang pria yang berdiri di sebelahnya. "Ah, m--maaf s--saya t--terlambat b--bangun," ucap Nandini terbata dan ketakutan ketika melihat mata tajam itu menatap bak seekor elang yang hendak menangkap mangsanya. Xavier menatap dingin gadis kecil di hadapannya. Lalu dia pun melirik Kepala Pelayan. Pria paruh baya i
Pengantin Kecil Tuan Xavier-BAB 5 "Aww," jerit Nandini. "Aampun, lepaskan, sakit," rintih Nandini. Xavier menatap nyalang wajah yang sedang ketakutan itu. Dia dengan kuat menjambak rambut Nandini. Hingga gadis itu merasakan sakit di kepalanya, dia merasa rambutnya akan rontok. "DENGAR INI, SAYA PALING TIDAK SUKA DI BANTAH APALAGI OLEH BUDAK SEPERTIMU! STATUSMU DI SINI ADALAH BUDAKKU,BUKAN ISTRIKU! KAU DENGAR ITU! JADI JANGAN BERHARAP KAU AKAN MENDAPATKAN PERLAKUAN SPESIAL DARIKU! INGAT KAU HANYA SEORANG BUDAK, DAN BUDAK TIDAK DI PERKENANKAN UNTUK MEMBANTAH UCAPAN MAJIKANNYA, INGAT ITU. CAMKAN DI OTAKMU YANG KECIL ITU!" sarkas Xavier. Nandini meringis, merasakan ngilu sekaligus pusing di kepalanya. Sedangkan pria paruh baya yang bertugas menjadi kepala pelayan hanya bisa menatap prihatin pada gadis yang sedang di perlakukan kasar oleh sang majikan. "Sungguh malang sekali nasibmu, Nak," batin pria itu.
Pengantin Kecil Tuan Xavier BAB 6 Suara seorang pria menggelegar di dalam sebuah rumah memanggil gadis yang baru saja di akunya sebagai budaknya. Budak untuk membayar kesalahan keluarganya. Kejam ya memang Xavier seperti itu. Dia tidak akan pernah perduli jika apa yang di lakukannya itu membuat orang lain susah bahkan terluka. Berbeda dengan sang kakak. Yang baik juga ramah. Sikap mereka sangat berbanding jauh. Sifat Xavier turunan sang ayah. Yang dingin, arogan dan kejam. Sedang sikap sang kakak menurun dari sang ibu. Seorang gadis berlari tergopoh-gopoh kala namanya. "Maaf, tadi aku masih membersihkan gudang. Yang kata anda akan menjadi tempat tinggalku!" ucap Nandini pelan. Xavier menatap tajam gadis di depannya itu. Nandini menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah pria itu. Wajahnya sangat menakutkan bagi Nandini. "Sudah aku bilang, jika waktunya aku pulang kau harus berada di depan pintu utama," ucap Xavier dingin. "Ma
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 7 "Bodoh!" ucap Xavier pedas dan kejam."Kamu tahu, tadi kakakmu menanyakanmu! Dan sudah aku tegaskan jika dia tidak perlu lagi mengurusi hidupmu! Karena nasibmu berada dalam genggaman tanganku!" Desis Xavier sambil mencengkram kuat kedua pipi Nandini. Nandini meringis merasakan sakit di kedua pipinya. Di tambah dengan air dingin yang mengguyur tubuh mungilnya. Seketika membuat tubuh kecil itu menggigil, tapi sayang Xavier tidak memperdulikan Nandini. Air itu terus mengguyur tubuh mungilnya. Sungguh kasihan Nandini, sudah di paksa menjadi pengganti. Kini ia di siksa tanpa ampun oleh pria yang berstatus suaminya. "A--apa s--salahku? M-mengapa n--nasibku s--seperti ini! M-mengapa a--anda melimpahkan kemarahan anda padaku? Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa! Bukankah seharusnya anda berterima kasih. Karena saya sudah menyelamatkan anda dari rasa malu!" Jawab Nandini dengan terbata. Bibir gadis itu bergetar, menahan r
Pengantin Kecil Tuan Xavier - Bab 8 Xavier menggila, ia membantingkan barang-barang yang ada di kamarnya. Kamar yang tadinya rapi dan bersih kini berantakan. Pecahan kaca berhamburan di mana-mana, bahkan ranjang pun tak luput dari kemarahannya. Xavier menggeram. Sungguh ia marah, bukan karena Jordhan membawa Nandini. Tapi, ia marah pada diri sendiri apalagi perkataan Nandini terngiang di telinganya. Para maid yang ada di Mansion mewah itu tidak berani menghentikan kegilaan majikannya. "Sial! Mengapa perkataan gadis itu selalu terngiang di kepalaku! Enyah kau dari kepalaku sialan!" Maki Xavier dan melemparkan sebuah vas bunga yang ada di dekat sofa meja ke arah kaca meja rias yang ada di kamarnya. Prangg Hancur sudah, semuanya tak luput dari kemarahan seorang Xavier. Sementara itu, Jordhan kini sudah berada di pelataran rumah sakit. Pria paruh baya itu langsung pergi menuju ruang gawat darurat. Ia bahkan berteriak pada perawat yang berada di sa
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 9 Jordhan masih dengan setia menunggu Nandini di periksa. Ia berjalan mondar mandir di depan pintu ruang UGD. Khawatir yang ia rasakan saat ini, sama dengan ketika ia harus kehilangan sang putri. Tentu dirinya tidak mau jika sampai itu kembali terjadi untuk yang kedua kalinya. Kematian sang putri bagaikan cambuk di dalam hidupnya. Membuat hidup pria itu menjadi sebatang kara, tapi semua itu terasa berbeda semenjak kedatangan Nandini. "Tolong bertahanlah, Nak! Pria tua ini memintamu untuk berjuang, Nak!" Lirihnya. Laki-laki itu berdoa, memohon keselamatan pada yang Maha Kuasa. Semoga ia berkenan untuk memberikan kehidupan untuk Nandini. Lama ia menunggu, hingga akhirnya dokter pun keluar. "Bagaimana dok, keadaan putri saya!" Tanyanya khawatir. Sang dokter tersenyum lembut, "Alhamdulillah keadaannya tidak semengkhawatirkan seperti tadi. Keadaan putri bapak sudah membaik, dia hanya kelelahan dan juga perutnya kos
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia