Suara isak tangis seorang gadis terdengar pilu di telinga. Membuat seorang pria yang tengah tertidur pun membuka matanya. Ia membuka matanya perlahan, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam mata tajamnya. Tangis itu masih terdengar. Sehingga membuatnya beranjak mendudukkan tubuh kekarnya. Mata tajamnya ia gunakan untuk melihat sekeliling, dan alangkah kagetnya ketika ia melihat seorang wanita sedang menangis memeluk lututnya sendiri. "Nandini," gumam pria itu. Xavier langsung menyambar celana tidurnya. Dan memakainya ia pun berniat menghampiri Nandini. Tapi, ujung matanya menangkap warna merah pekat yang tampaknya sudah mengering di atas sprei berwarna putih itu. "Ya Tuhan, gara-gara obat sialan itu, aku sampai menodainya. Meskipun status dia adalah istriku, tapi rasanya aku sudah berdosa karena memaksanya," ucap Xavier pelan. Lantas kaki panjangnya melangkah menuju gadis itu. Mendekatinya secara perlahan. Dan kini pria itu sudah berjongkok
Setelah berbicara dengan Nandini, Xavier pun pergi. Ia akan menemui Meylan, yang saat ini sudah dalam tawanannya. Mobil mewah berwarna hitam itu melaju membelah jalanan. Tak berselang lama, Xavier pun sampai. Bara menyambutnya. Sedangkan Abrian ia masuk lagi ke dalam, dan kini sedang berbicara dengan adiknya. "Kakak, apa kakak sudah tidak sayang lagi padaku hmm? Mengapa kakak malah memarahiku, bukannya mendukung apa yang aku lakukan seperti saat dulu, dan kenapa kakak tidak membantuku keluar dari sini." Abrian hanya menatap datar. Tanpa berbicara apapun. Sebenarnya ia ingin sekali menyelamatkan Meylan, tapi ia tahu bagaimana Xavier jika sudah marah dan saat ini kemarahan pria itu sudah berada di puncak. "Dulu tidak sekarang. Apa kau sadar jika apa yang kita lakukan pada Nandini itu salah, dan ibu sudah berhasil mencuci otak kita. Kini aku sadar, bagaimana baiknya adikku itu, dia dengan rela menggantikan posisimu, meski dia enggan. Walau dia bisa menolak,
Nandini mematung menatap obat yang ada di tangannya. Ia tidak percaya jika pria itu dengan tega akan berbicara seperti itu. Dirinya dengan tegas memintanya untuk meminum obat itu supaya dirinya tidak mengandung. "APAKAH AKU TIDAK PANTAS UNTUK MENGANDUNG ANAKMU?" batin Nandini menjerit sakit. Sedang Xavier berlalu dan ia kembali keluar dari kamarnya. Nandini tersenyum kecut. Ia sudah menduganya jika sikap baik pria itu hanyalah sebentar saja. Nandini mengalihkan pandangannya. Ia menatap hamparan bunga yang ia tanam. Nandini sudah bertekad dalam hatinya jika ia tidak akan pernah meminum obat tersebut. "Ayah. Lihatlah aku di sini, tidak kasihankah ayah sama aku. Semenjak kepergian ayah, hidupku hancur ibu dan kak Meylan mereka senang sekali menyiksaku," lirih Nandini. Isak tangis lirih dan juga pilu terdengar. Andai jika iman Nandini tipis. Ia sudah akan mengakhiri hidupnya, dari pada dirinya harus hidup seperti ini. * * Xavier kin
Pagi menjelang. Kicau burung menyambut datangnya pagi. Udara sejuk turut menghiasi. Sejak subuh tadi, Nandini sudah terbangun. Dan kini ia berada di dalam kamar mandi sejak setengah jam yang lalu. Tangannya bergetar, dadanya terasa bertalu begitu kencangnya. "Bismillah. Semoga apa yang aku takutkan tidak terjadi. Tapi bila pun terjadi, aku harus ikhlas," gumam Nandini. Lantas ia mulai memasukkan alat tes kehamilannya pada air seni yang sudah ia tampung sebelumya. Nandini sudah bergetar takut. Satu detik, dua detik hingga lima menit kemudian, tanda merah yang ada di alat itu berubah menjadi dua garis meski salah satunya masih terlihat samar. Deg! Air mata sontak turun dari mata indahnya. Mau menolak pun tak bisa. Ini semua sudah takdir, jalan hidupnya. Mengapa takdir begitu kejam padanya. Ia hanya gadis kecil. Hidup susah sedari kecil, siksaan, hinaan dan cacian sudah menjadi makanan sehari-hari. Dan sekarang, ia hamil! Hamil dari hasil peme
Semenjak tiba di perusahaannya, Xavier lebih banyak diam. Ia lebih banyak melamun, Abrian pun sampai heran di buatnya. Tidak seperti biasanya, sang sahabat sekaligus bosnya itu bersikap seperti saat ini. "Ada apa?" Tanya Abrian kala ia memasuki ruangan kerja Xavier. Sesaat Xavier melirik pada Abrian. Kini Abrian duduk di depan Xavier. Dan pria itu masih sama seperti tadi. Muka Xavier pucat. Ia masih muntah. Tubuhnya begitu lemas. "Ada apa?" Lagi pertanyaan yang sama keluar dari bibir Abrian. Xavier terdengar menghela nafasnya kasar. Dia bingung haruskah bercerita pada Abrian perihal kejadian yang menimpa Nandini. Dirinya telah memperkosa istri sendiri. "Maafkan aku! Bri kamu mengingat kejadian sekitar kurang lebih satu bulan yang lalu?" Tanya Xavier sambil menatap pada Abrian. Lantas Abrian mengangguk. Xavier kembali menatap pria yang saat ini di hadapannya. Dirinya hanya bisa berharap jika apa yang ia takutkan sama sekali tidak terj
Siang ini, Jordhan dan Nandini bersiap untuk keluar. Mereka rencananya akan membeli beberapa persediaan untuk di Mansion. Berhubung persediaan sudah sedikit menipis. Jordhan sudah mempersiapkan segalanya dengan matang. Dan juga ia memberi bekal uang dan kemeja yang di pinta oleh nona-nya. Yang ada dalam pikiran Jordhan saat ini, adalah membantu sang nona keluar dari Mansion tuannya, soal kemarahan Xavier ia akan menerimanya dengan senang hati. "Sudah siap non?" tanya Jordhan pelan. Nandini yang sedang memakai jaket rajutnya pun mengangguk. Kini keduanya melangkah keluar menuju mobil yang sudah Jordhan siapkan juga. Dia berani mengambil resiko ini, hanya agar nona-nya hidup lebih baik lagi. "Kita akan kemana dulu paman?" tanya Nandini pelan. Jordhan yang sedang fokus menyetir pun melirik sekilas nona-nya. "Kita akan ke pasar dulu non, untuk mengelabui orang suruhan tuan muda! Dari sana, saya akan mengantar nona memakai kendaraan umum, biar mobil kita simpan
Nandini sedang dalam perjalanan menuju kota M. Sedang Jordhan saat ini menuju ke kediaman sang tuan. Sementara Xavier di tengah rasa pusing dan mual yang melanda, membuatnya tertidur di sofa ruang kerjanya. Salah satu bodyguardnya hendak mengabarkan jika sang nona menghilang. Tapi, sejak tadi ia menghubungi ponsel sang tuan, sama sekali tidak di angkat. Membuat pria plontos itu memilih untuk menghubungi Abrian. "Ya ada apa!" suara tegas nan datar Abrian menyambut di telinga sang penelepon. "Tuan! Maaf saya mau mengabarkan sesuatu," katanya panik. "Apa?" tanya Abrian penasaran sebab ia dapat mendengar kepanikan di seberang sana. "Nona muda.. Dia.. Dia.." ucapnya terbata. "Ada apa dengan adikku!" teriak Abrian. "Nona muda menghilang!" Jedar Bak di sambar petir di siang bolong. Abrian tidak percaya jika sang adik menghilang. Bagaimana dan kemana ia pergi! "Bagaimana bisa!" "Maafkan kami tuan, tadi kami masih melihat nona bers
Xavier masih menangis. Sembari memeluk sebuah alat test kehamilan yang ada di tangannya. Sebuah penyesalan masuk ke dalam relung jiwanya. Xavier mengingat perkataannya waktu itu. Ketika ia meminta Nandini untuk meminum obat pencegah kehamilan. Supaya gadis itu tidak mengandung. "Maafkan aku, maafkan aku," ratau Xavier. Jordhan berada di tepi pintu. Menatap sang tuan yang masih dengan setia meneteskan air mata. Pria paruh baya itu juga sudah menelepon Arshaka. "Dimana dia?" tanya Arshaka begitu ia sampai di depan kamar Xavier. "Tuan di dalam, dia.. Dia sedang menangis," ucap Jordhan. Arshaka menengok ke dalam. Ia melihat penampilan adiknya yang kacau. Arshaka malah terkekeh bahkan tertawa kecil. Ia menggeleng, tidak menyangka jika Nandini gadis yang baru saja di nikahi adiknya selama beberapa bulan, mampu membuat seorang Xavier menangis. Baru kali ini pria itu menangis, bahkan ketika ayah dan ibunya meninggal saja dia tidak menangis. A
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia