Xavier masih menangis. Sembari memeluk sebuah alat test kehamilan yang ada di tangannya. Sebuah penyesalan masuk ke dalam relung jiwanya. Xavier mengingat perkataannya waktu itu. Ketika ia meminta Nandini untuk meminum obat pencegah kehamilan. Supaya gadis itu tidak mengandung. "Maafkan aku, maafkan aku," ratau Xavier. Jordhan berada di tepi pintu. Menatap sang tuan yang masih dengan setia meneteskan air mata. Pria paruh baya itu juga sudah menelepon Arshaka. "Dimana dia?" tanya Arshaka begitu ia sampai di depan kamar Xavier. "Tuan di dalam, dia.. Dia sedang menangis," ucap Jordhan. Arshaka menengok ke dalam. Ia melihat penampilan adiknya yang kacau. Arshaka malah terkekeh bahkan tertawa kecil. Ia menggeleng, tidak menyangka jika Nandini gadis yang baru saja di nikahi adiknya selama beberapa bulan, mampu membuat seorang Xavier menangis. Baru kali ini pria itu menangis, bahkan ketika ayah dan ibunya meninggal saja dia tidak menangis. A
Xavier mengurung diri di dalam kamar. Sama sekali tidak beranjak dari dalam sana. Menatap poto pernikahan mereka. Sesal menelusup di dalam dada. Sesak dan rasanya sakit sekali. Andai waktu bisa di putar, Xavier akan menebus semua kesalahannya yang telah ia lakukan pada istri kecilnya itu. "Maafkan aku, tolong kembalilah!" pinta Xavier. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia melihat nama Bara menghubunginya. Tanpa pikir panjang Xavier segera mengangkat telepon itu. "Bagaimana? Apa kalian sudah mendapatkan kabar kemana istriku pergi!" todong Xavier begitu mengangkat sambungan telepon itu. Terdengar helaan nafas di seberang sana. "Maaf tuan, kami belum bisa menemukan jejak nona. Kami sudah mengelilingi tempat yang berada di kota ini, bahkan kami pun memeriksa tempat yang berada di pinggiran kota ini. Tapi maaf sekali lagi, pencarian kami belum menemukan hasil tuan!" Xavier terdiam. Ia mencengkram kuat ponselnya. Bagaimana mungkin, anak buahnya tidak bisa di
Pikiran pria itu melanglang buana. Kala ia menyiksa Nandini, menyiramnya dengan air shower di kamar mandi. Hingga membuat gadis itu masuk ke rumah sakit. Menyuruhnya untuk membersihkan kolam renang. Membuatnya tenggelam dan kembali berakhir di rumah sakit. Setelah itu, siksaan demi siksaan masih Xavier berikan untuk istri kecilnya. "Apakah kamu sudah lelah sayang. Lelah terhadap sikapku yang jahat dan sama sekali tidak pernah menghargaimu? Apakah kau memang benar-benar sudah ingin menyerah?" lirih Xavier seraya mengelus lembut poto pernikahannya. Bukannya membantu mencari keberadaan sang istri, pria itu malah sibuk meratapi kepergiannya. Sibuk menangis dan juga sibuk bolak balik ke dalam kamar mandi. Penampilannya saat ini sangat kacau. "Bayiku, apakah kamu sehat Nak. Daddy bersyukur karena bukan mommymu yang mengalami mual muntah, tetapi aku. Semoga kau sehat selalu di perut mommy. Maafkan daddy," gumam Xavier. Hingga perlahan, mata tajam nan di
Ueekk ueekk uekkk Suara muntahan itu terdengar menggema di dalam kamar mandi yang luas nan mewah itu. Seorang pria berjongkok di depan wastapel yang kebetulan berada di dalam kamar mandinya. Ia mengusap peluh yang bercucuran di keningnya. Seulas senyum nampak terbit dari bibir sexynya. Meskipun ia harus muntah-muntah setiap pagi. Dan juga harus mengalami lemas dan pusing, tetapi ia merasakan senang sebab dengan seperti itu Nandini istrinya tidak akan mengalami mual dan muntah. "Kamu apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja, begitu juga anakku," lirih Xavier setelah ia kembali ke atas tempat tidurnya. Pria itu teringat jika gudang yang dahulu sempat di tinggalin Nandini belum ia lihat kembali. Karena setelah beberapa hari kepergian Nandini, Xavier hanya mengurung di dalam kamarnya. Bahkan perusahaan pun dengan terpaksa Arshaka yang mengurusnya. "Tuan, sarapan dulu," ucap Jordhan begitu Xavier keluar dari dalam kamarnya. "Antarkan saja ke gudang
Xavier terbangun dari tidurnya. Mimpi yang sama kembali datang ke dalam tidurnya. Seulas senyum terbit di bibir pria itu. "Terima kasih, engkau sudah hadir di mimpi daddy, jaga selalu mommymu nak," lirih Xavier. Xavier beranjak duduk. Ia melirik sarapan yang mungkin sudah mulai dingin. Tetapi ia pun meraih piring tersebut Memaksakan sesuap nasi masuk ke dalam perutnya. Meski itu sangat sulit sekali rasanya. Tetapi perkataan sang putri di dalam mimpinya selalu terngiang. "Daddy akan sehat nak, demi kamu dan mommy," gumam Xavier. * * Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam bahkan hari demi hari dan bulan demi bulan telah Xavier lalui. Ia melalui hari-harinya dalam kesepian. Hanya sebuah poto kecil Nandini yang menemaninya melalui hari-harinya. "Hei, apa kabar sayang?" gumam Xavier kala menatap poto sang istri kecil yang terpajang di meja kantornya. Senyum terbit di bibirnya yang sexy. Hubungannya dengan Abrian perlahan memba
Abrian kaget. Ia langsung membawa tubuh tinggi besar Xavier menuju rumah sakit. Dengan di bantu oleh Bara yang kebetulan berada di sana. Abrian antara kaget dan juga ingin tertawa. Sebab baru kali ini Xavier sampai pingsan seperti itu. Begitu juga Bara, bosnya yang arogan dan dingin ternyata bisa pingsan juga. "Aku kira sekelas bos kita tidak pernah pingsan," kekeh Bara. Abrian pun ikut tertawa. Beruntung orang yang mereka tertawakan tengah pingsan. Jika tidak, habislah nyawa mereka semenjak kepergian Nandini terkadang Xavier suka bertindak di luar nalar. "Ya, beruntung dia tengah tidak sadarkan diri. Jika tidak krek," ucap Abrian seraya mempraktekkan menggorok lehernya sendiri. Bara tertawa,"Ya kau benar, jika ia terbangun sudah seperti singa yang akan memakan mangsanya," timpal Bara. Kedua anak buat laknat itu tengah asyik menggibah bos mereka. Sang supir hanya tersenyum saja. Jika sang bos tahu, sudah bisa di pastikan hukuman menunggu mereka.
Bara segera berlalu dari ruangan rawat Xavier. Kini hanya ada Abrian dan juga Xavier yang berada di ruangan tersebut. Keduanya tampak terdiam, saling menatap tajam. "Mengapa kau tega Vier!" tegas Abrian. Xavier menatap Abrian. Di matanya, Abrian bukan hanya seorang assisten tetapi juga sudah seperti saudara. Sama seperti dia dan Arshaka. Bagaimana dirinya akan menjelaskan. Sedangkan Abrian tahu sendiri bagaimana kejadian tersebut terjadi. Ia pun terpaksa harus menodai Nandini. "Aku terpaksa, kau tahu sendiri jika saat itu aku tengah terpengaruh obat perangsang yang di berikan oleh adikmu itu. Aku pulang untuk meredamkan hasratku, tetapi sepertinya dosis yang di berikan adikmu sangat banyak, sehingga meskipun aku sudah merendam diriku sendiri di dalam air dingin. Tetapi tidak menghilangkan efek dari obat sialan itu!" Abrian diam. Lagi dan lagi Meylan lah pelakunya. Tak cukupkah ia menyakiti Nandini, Abrian menghela nafas lelah. "Sekarang d
Wajah ceria Xavier membuat para maid yang berada di rumahnya menatap heran pada sang majikan. Baru kali ini mereka melihat sang tuan bisa tersenyum seperti itu. Xavier mengedarkan pandangannya mencari sang kepala pelayan. Lantas ia menanyakan keberadaan Jordhan. Dan salah satu maid mengatakan jika Jordhan berada di dekat taman belakang. Xavier pun berlalu menghampiri pria paruh baya itu, namun sepertinya pria itu tengah menelepon seseorang. Xavier tak menginterupsi percakapan Jordhan, tetapi entah kenapa percakapan pria itu menarik perhatian Xavier. "Siapa yang kau telepon paman!" Suara tegas Xavier menyapa Jordhan. Membuat pria itu seketika membeku. Ia takut jika tuannya itu mendengar percakapannya. Beruntung Jordhan tidak mengucapkan nama nona-nya , jadi ia tidak terlalu khawatir. "Tu-an maaf saya tidak tahu jika anda sudah pulang," ucap Jordhan gugup. Xavier menautkan alisnya, merasa heran karena baru kali ini Jordhan berbicara gugup seperti itu pad