Pikiran pria itu melanglang buana. Kala ia menyiksa Nandini, menyiramnya dengan air shower di kamar mandi. Hingga membuat gadis itu masuk ke rumah sakit. Menyuruhnya untuk membersihkan kolam renang. Membuatnya tenggelam dan kembali berakhir di rumah sakit. Setelah itu, siksaan demi siksaan masih Xavier berikan untuk istri kecilnya. "Apakah kamu sudah lelah sayang. Lelah terhadap sikapku yang jahat dan sama sekali tidak pernah menghargaimu? Apakah kau memang benar-benar sudah ingin menyerah?" lirih Xavier seraya mengelus lembut poto pernikahannya. Bukannya membantu mencari keberadaan sang istri, pria itu malah sibuk meratapi kepergiannya. Sibuk menangis dan juga sibuk bolak balik ke dalam kamar mandi. Penampilannya saat ini sangat kacau. "Bayiku, apakah kamu sehat Nak. Daddy bersyukur karena bukan mommymu yang mengalami mual muntah, tetapi aku. Semoga kau sehat selalu di perut mommy. Maafkan daddy," gumam Xavier. Hingga perlahan, mata tajam nan di
Ueekk ueekk uekkk Suara muntahan itu terdengar menggema di dalam kamar mandi yang luas nan mewah itu. Seorang pria berjongkok di depan wastapel yang kebetulan berada di dalam kamar mandinya. Ia mengusap peluh yang bercucuran di keningnya. Seulas senyum nampak terbit dari bibir sexynya. Meskipun ia harus muntah-muntah setiap pagi. Dan juga harus mengalami lemas dan pusing, tetapi ia merasakan senang sebab dengan seperti itu Nandini istrinya tidak akan mengalami mual dan muntah. "Kamu apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja, begitu juga anakku," lirih Xavier setelah ia kembali ke atas tempat tidurnya. Pria itu teringat jika gudang yang dahulu sempat di tinggalin Nandini belum ia lihat kembali. Karena setelah beberapa hari kepergian Nandini, Xavier hanya mengurung di dalam kamarnya. Bahkan perusahaan pun dengan terpaksa Arshaka yang mengurusnya. "Tuan, sarapan dulu," ucap Jordhan begitu Xavier keluar dari dalam kamarnya. "Antarkan saja ke gudang
Xavier terbangun dari tidurnya. Mimpi yang sama kembali datang ke dalam tidurnya. Seulas senyum terbit di bibir pria itu. "Terima kasih, engkau sudah hadir di mimpi daddy, jaga selalu mommymu nak," lirih Xavier. Xavier beranjak duduk. Ia melirik sarapan yang mungkin sudah mulai dingin. Tetapi ia pun meraih piring tersebut Memaksakan sesuap nasi masuk ke dalam perutnya. Meski itu sangat sulit sekali rasanya. Tetapi perkataan sang putri di dalam mimpinya selalu terngiang. "Daddy akan sehat nak, demi kamu dan mommy," gumam Xavier. * * Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam bahkan hari demi hari dan bulan demi bulan telah Xavier lalui. Ia melalui hari-harinya dalam kesepian. Hanya sebuah poto kecil Nandini yang menemaninya melalui hari-harinya. "Hei, apa kabar sayang?" gumam Xavier kala menatap poto sang istri kecil yang terpajang di meja kantornya. Senyum terbit di bibirnya yang sexy. Hubungannya dengan Abrian perlahan memba
Abrian kaget. Ia langsung membawa tubuh tinggi besar Xavier menuju rumah sakit. Dengan di bantu oleh Bara yang kebetulan berada di sana. Abrian antara kaget dan juga ingin tertawa. Sebab baru kali ini Xavier sampai pingsan seperti itu. Begitu juga Bara, bosnya yang arogan dan dingin ternyata bisa pingsan juga. "Aku kira sekelas bos kita tidak pernah pingsan," kekeh Bara. Abrian pun ikut tertawa. Beruntung orang yang mereka tertawakan tengah pingsan. Jika tidak, habislah nyawa mereka semenjak kepergian Nandini terkadang Xavier suka bertindak di luar nalar. "Ya, beruntung dia tengah tidak sadarkan diri. Jika tidak krek," ucap Abrian seraya mempraktekkan menggorok lehernya sendiri. Bara tertawa,"Ya kau benar, jika ia terbangun sudah seperti singa yang akan memakan mangsanya," timpal Bara. Kedua anak buat laknat itu tengah asyik menggibah bos mereka. Sang supir hanya tersenyum saja. Jika sang bos tahu, sudah bisa di pastikan hukuman menunggu mereka.
Bara segera berlalu dari ruangan rawat Xavier. Kini hanya ada Abrian dan juga Xavier yang berada di ruangan tersebut. Keduanya tampak terdiam, saling menatap tajam. "Mengapa kau tega Vier!" tegas Abrian. Xavier menatap Abrian. Di matanya, Abrian bukan hanya seorang assisten tetapi juga sudah seperti saudara. Sama seperti dia dan Arshaka. Bagaimana dirinya akan menjelaskan. Sedangkan Abrian tahu sendiri bagaimana kejadian tersebut terjadi. Ia pun terpaksa harus menodai Nandini. "Aku terpaksa, kau tahu sendiri jika saat itu aku tengah terpengaruh obat perangsang yang di berikan oleh adikmu itu. Aku pulang untuk meredamkan hasratku, tetapi sepertinya dosis yang di berikan adikmu sangat banyak, sehingga meskipun aku sudah merendam diriku sendiri di dalam air dingin. Tetapi tidak menghilangkan efek dari obat sialan itu!" Abrian diam. Lagi dan lagi Meylan lah pelakunya. Tak cukupkah ia menyakiti Nandini, Abrian menghela nafas lelah. "Sekarang d
Wajah ceria Xavier membuat para maid yang berada di rumahnya menatap heran pada sang majikan. Baru kali ini mereka melihat sang tuan bisa tersenyum seperti itu. Xavier mengedarkan pandangannya mencari sang kepala pelayan. Lantas ia menanyakan keberadaan Jordhan. Dan salah satu maid mengatakan jika Jordhan berada di dekat taman belakang. Xavier pun berlalu menghampiri pria paruh baya itu, namun sepertinya pria itu tengah menelepon seseorang. Xavier tak menginterupsi percakapan Jordhan, tetapi entah kenapa percakapan pria itu menarik perhatian Xavier. "Siapa yang kau telepon paman!" Suara tegas Xavier menyapa Jordhan. Membuat pria itu seketika membeku. Ia takut jika tuannya itu mendengar percakapannya. Beruntung Jordhan tidak mengucapkan nama nona-nya , jadi ia tidak terlalu khawatir. "Tu-an maaf saya tidak tahu jika anda sudah pulang," ucap Jordhan gugup. Xavier menautkan alisnya, merasa heran karena baru kali ini Jordhan berbicara gugup seperti itu pad
Nandini tampak tengah memakaikan sebuah bedong pada putrinya. Supaya sang putri merasakan kehangatan. Subuh ini mereka akan keluar dari rumah yang sudah di tempati oleh Nandini selama 9 bulan lamanya. Wanita muda itu tampak tersenyum kala melihat bayi mungilnya itu. Gadis kecil itu tampak menggeliat di dalam balutan kain hangat itu. Sangat menggemaskan. "Cantik sekali kamu nak, sayang sekali wajahmu sangat mirip sekali dengan ayahmu, ibu hanya kebagian sedikit saja ini. Hanya matamu saja yang mirip dengan ibu." Mbok Sekar ikut tersenyum kala melihat wajah ceria Nandini. Tadinya ia takut jika Nandini akan mengalami baby blouse. Sebab wajah si bayi begitu mirip sekali dengan suaminya. Mbok Sekar pun tahu bagaimana cerita hidup Nandini dari Jordhan. Pria itu menceritakan semua hal yang terjadi dalam hidup gadis itu. Membuat Mbok Sekar merasa iba. "Sudah siap nak?" Nandini mengangguk. Ia hanya membawa keperluan sang bayi. Sebab barang-barang dia hanya
Nandini baru saja tiba di sebuah kampung kecil yang berada di Sukabumi. Sekar memilih kampung itu karena terletak jauh dari perkotaan. Dia yakin jika suami dari Nandini tidak akan dengan mudah menemukan keberadaan mereka. Walau sebenarnya Sekar merasakan berdosa karena telah memisahkan seorang anak dari ayahnya. Tetapi keadaan yang membuat mereka dengan sangat terpaksa membawa Nandini beserta sang bayi. Meski di tempat tinggal baru Nandini, di sana sangat susah sinyal tetapi setidaknya membuat Sekar dan Jordhan tenang. "Mas, kami sudah tiba di salah satu kampung yang berada di kota Sukabumi. Apabila kamu meneleponku dan ponselku tidak aktif kemungkinan di sana akan susah sinyal. Jadi aku memberi tahumu sekarang supaya nanti tidak terlalu kaget." Itulah kata-kata Sekar kepada Jordhan sebelum mereka melanjutkan perjalanan. Dari kota Sukabumi menuju ke daerah kabupaten Sukabumi. Nandini memperhatikan sekelilingnya, hawa sejuk menyelimuti dirinya. "Mbok i
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia