Siang ini, Jordhan dan Nandini bersiap untuk keluar. Mereka rencananya akan membeli beberapa persediaan untuk di Mansion. Berhubung persediaan sudah sedikit menipis. Jordhan sudah mempersiapkan segalanya dengan matang. Dan juga ia memberi bekal uang dan kemeja yang di pinta oleh nona-nya. Yang ada dalam pikiran Jordhan saat ini, adalah membantu sang nona keluar dari Mansion tuannya, soal kemarahan Xavier ia akan menerimanya dengan senang hati. "Sudah siap non?" tanya Jordhan pelan. Nandini yang sedang memakai jaket rajutnya pun mengangguk. Kini keduanya melangkah keluar menuju mobil yang sudah Jordhan siapkan juga. Dia berani mengambil resiko ini, hanya agar nona-nya hidup lebih baik lagi. "Kita akan kemana dulu paman?" tanya Nandini pelan. Jordhan yang sedang fokus menyetir pun melirik sekilas nona-nya. "Kita akan ke pasar dulu non, untuk mengelabui orang suruhan tuan muda! Dari sana, saya akan mengantar nona memakai kendaraan umum, biar mobil kita simpan
Nandini sedang dalam perjalanan menuju kota M. Sedang Jordhan saat ini menuju ke kediaman sang tuan. Sementara Xavier di tengah rasa pusing dan mual yang melanda, membuatnya tertidur di sofa ruang kerjanya. Salah satu bodyguardnya hendak mengabarkan jika sang nona menghilang. Tapi, sejak tadi ia menghubungi ponsel sang tuan, sama sekali tidak di angkat. Membuat pria plontos itu memilih untuk menghubungi Abrian. "Ya ada apa!" suara tegas nan datar Abrian menyambut di telinga sang penelepon. "Tuan! Maaf saya mau mengabarkan sesuatu," katanya panik. "Apa?" tanya Abrian penasaran sebab ia dapat mendengar kepanikan di seberang sana. "Nona muda.. Dia.. Dia.." ucapnya terbata. "Ada apa dengan adikku!" teriak Abrian. "Nona muda menghilang!" Jedar Bak di sambar petir di siang bolong. Abrian tidak percaya jika sang adik menghilang. Bagaimana dan kemana ia pergi! "Bagaimana bisa!" "Maafkan kami tuan, tadi kami masih melihat nona bers
Xavier masih menangis. Sembari memeluk sebuah alat test kehamilan yang ada di tangannya. Sebuah penyesalan masuk ke dalam relung jiwanya. Xavier mengingat perkataannya waktu itu. Ketika ia meminta Nandini untuk meminum obat pencegah kehamilan. Supaya gadis itu tidak mengandung. "Maafkan aku, maafkan aku," ratau Xavier. Jordhan berada di tepi pintu. Menatap sang tuan yang masih dengan setia meneteskan air mata. Pria paruh baya itu juga sudah menelepon Arshaka. "Dimana dia?" tanya Arshaka begitu ia sampai di depan kamar Xavier. "Tuan di dalam, dia.. Dia sedang menangis," ucap Jordhan. Arshaka menengok ke dalam. Ia melihat penampilan adiknya yang kacau. Arshaka malah terkekeh bahkan tertawa kecil. Ia menggeleng, tidak menyangka jika Nandini gadis yang baru saja di nikahi adiknya selama beberapa bulan, mampu membuat seorang Xavier menangis. Baru kali ini pria itu menangis, bahkan ketika ayah dan ibunya meninggal saja dia tidak menangis. A
Xavier mengurung diri di dalam kamar. Sama sekali tidak beranjak dari dalam sana. Menatap poto pernikahan mereka. Sesal menelusup di dalam dada. Sesak dan rasanya sakit sekali. Andai waktu bisa di putar, Xavier akan menebus semua kesalahannya yang telah ia lakukan pada istri kecilnya itu. "Maafkan aku, tolong kembalilah!" pinta Xavier. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ia melihat nama Bara menghubunginya. Tanpa pikir panjang Xavier segera mengangkat telepon itu. "Bagaimana? Apa kalian sudah mendapatkan kabar kemana istriku pergi!" todong Xavier begitu mengangkat sambungan telepon itu. Terdengar helaan nafas di seberang sana. "Maaf tuan, kami belum bisa menemukan jejak nona. Kami sudah mengelilingi tempat yang berada di kota ini, bahkan kami pun memeriksa tempat yang berada di pinggiran kota ini. Tapi maaf sekali lagi, pencarian kami belum menemukan hasil tuan!" Xavier terdiam. Ia mencengkram kuat ponselnya. Bagaimana mungkin, anak buahnya tidak bisa di
Pikiran pria itu melanglang buana. Kala ia menyiksa Nandini, menyiramnya dengan air shower di kamar mandi. Hingga membuat gadis itu masuk ke rumah sakit. Menyuruhnya untuk membersihkan kolam renang. Membuatnya tenggelam dan kembali berakhir di rumah sakit. Setelah itu, siksaan demi siksaan masih Xavier berikan untuk istri kecilnya. "Apakah kamu sudah lelah sayang. Lelah terhadap sikapku yang jahat dan sama sekali tidak pernah menghargaimu? Apakah kau memang benar-benar sudah ingin menyerah?" lirih Xavier seraya mengelus lembut poto pernikahannya. Bukannya membantu mencari keberadaan sang istri, pria itu malah sibuk meratapi kepergiannya. Sibuk menangis dan juga sibuk bolak balik ke dalam kamar mandi. Penampilannya saat ini sangat kacau. "Bayiku, apakah kamu sehat Nak. Daddy bersyukur karena bukan mommymu yang mengalami mual muntah, tetapi aku. Semoga kau sehat selalu di perut mommy. Maafkan daddy," gumam Xavier. Hingga perlahan, mata tajam nan di
Ueekk ueekk uekkk Suara muntahan itu terdengar menggema di dalam kamar mandi yang luas nan mewah itu. Seorang pria berjongkok di depan wastapel yang kebetulan berada di dalam kamar mandinya. Ia mengusap peluh yang bercucuran di keningnya. Seulas senyum nampak terbit dari bibir sexynya. Meskipun ia harus muntah-muntah setiap pagi. Dan juga harus mengalami lemas dan pusing, tetapi ia merasakan senang sebab dengan seperti itu Nandini istrinya tidak akan mengalami mual dan muntah. "Kamu apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja, begitu juga anakku," lirih Xavier setelah ia kembali ke atas tempat tidurnya. Pria itu teringat jika gudang yang dahulu sempat di tinggalin Nandini belum ia lihat kembali. Karena setelah beberapa hari kepergian Nandini, Xavier hanya mengurung di dalam kamarnya. Bahkan perusahaan pun dengan terpaksa Arshaka yang mengurusnya. "Tuan, sarapan dulu," ucap Jordhan begitu Xavier keluar dari dalam kamarnya. "Antarkan saja ke gudang
Xavier terbangun dari tidurnya. Mimpi yang sama kembali datang ke dalam tidurnya. Seulas senyum terbit di bibir pria itu. "Terima kasih, engkau sudah hadir di mimpi daddy, jaga selalu mommymu nak," lirih Xavier. Xavier beranjak duduk. Ia melirik sarapan yang mungkin sudah mulai dingin. Tetapi ia pun meraih piring tersebut Memaksakan sesuap nasi masuk ke dalam perutnya. Meski itu sangat sulit sekali rasanya. Tetapi perkataan sang putri di dalam mimpinya selalu terngiang. "Daddy akan sehat nak, demi kamu dan mommy," gumam Xavier. * * Detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam bahkan hari demi hari dan bulan demi bulan telah Xavier lalui. Ia melalui hari-harinya dalam kesepian. Hanya sebuah poto kecil Nandini yang menemaninya melalui hari-harinya. "Hei, apa kabar sayang?" gumam Xavier kala menatap poto sang istri kecil yang terpajang di meja kantornya. Senyum terbit di bibirnya yang sexy. Hubungannya dengan Abrian perlahan memba
Abrian kaget. Ia langsung membawa tubuh tinggi besar Xavier menuju rumah sakit. Dengan di bantu oleh Bara yang kebetulan berada di sana. Abrian antara kaget dan juga ingin tertawa. Sebab baru kali ini Xavier sampai pingsan seperti itu. Begitu juga Bara, bosnya yang arogan dan dingin ternyata bisa pingsan juga. "Aku kira sekelas bos kita tidak pernah pingsan," kekeh Bara. Abrian pun ikut tertawa. Beruntung orang yang mereka tertawakan tengah pingsan. Jika tidak, habislah nyawa mereka semenjak kepergian Nandini terkadang Xavier suka bertindak di luar nalar. "Ya, beruntung dia tengah tidak sadarkan diri. Jika tidak krek," ucap Abrian seraya mempraktekkan menggorok lehernya sendiri. Bara tertawa,"Ya kau benar, jika ia terbangun sudah seperti singa yang akan memakan mangsanya," timpal Bara. Kedua anak buat laknat itu tengah asyik menggibah bos mereka. Sang supir hanya tersenyum saja. Jika sang bos tahu, sudah bisa di pastikan hukuman menunggu mereka.