Pancaran kebahagiaan tampak terlihat pada wajah seorang Xavier Romanov. Pria yang di kenal dingin, minum ekspresi dan juga minimal senyum itu. Nyatanya malam ini, pria itu terlihat berbeda, senyuman selalu menghiasi bibir sexynya. Namilea terkekeh membuat suaminya menoleh. Ia menatap heran dengan alisnya yang terangkat satu. "Kenapa?" Tanya Arshaka heran. Namilea pun balas menatap suaminya penuh cinta. Tidak lupa Alarich yang berada di antara keduanya. "Aku melihat Xavier, macam remaja yang tengah jatuh cinta. Senyumannya, pancaran wajahnya dan binar mata pria itu lihatlah, sudah seperti anak remaja yang baru saja merajut cinta," kelakar Namilea. Arshaka ikut memperhatikan adiknya, "Hmm kamu benar, Sayang. Maklum awal menikah Xavier masih di liputi dendam pada mantan kekasihnya. Sekarang saatnya mereka bahagia tanpa ada gangguan apapun lagi." Namilea mengangguk. Banyak yang di undang oleh Arshaka untuk datang ke acara pernikahan adiknya itu. Termas
Nandini memberengut kala melihat baju yang di pegang. Xavier pun meringis malu, kedua pasangan pengantin baru itu bak sepasang remaja. Nandini mengeratkan tali bathrobenya, dan menatap tajam Xavier sesuatu hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Xavier sendiri hanya tersenyum kikuk. "Aku ke bawah hmm, kebetulan di lantai bawah ada butik. Aku akan membelikanmu beberapa pakaian untuk kamu pakai, untuk sementara pakai dulu bathrobenya," ujar Xavier lembut. Nandini mengangguk, Xavier yang hendak membersihkan diri urung karena harus membelikan sang istri baju yang layak. Entah ide siapa, Xavier akan menanyakannya pada sang kakak. Karena ia yakin ini semua pasti ide salah satu dari mereka. Pria tampan berambut gondrong itu, kini tengah berada di lift. Di dalam lift ia tidak sendiri, ada perempuan berbaju sexy yang tengah menatapnya memuja. "Permisi, apa boleh kenalan?" Tanyanya dengan tidak tahu malunya, ia bahkan mengulurkan tangannya. Xavier hanya menatap dingin pada ulura
Xavier bersorak di dalam hatinya. Istri kecilnya dapat ia rayu, dan mau mandi bersama. Ah rasanya dunia milik sendiri jika sudah seperti ini. "Kita hanya mandi saja'kan?"Kembali wanita muda itu bertanya, jangan lupakan semburat merah yang tampil di kedua pipinya. Membuat siapa saja yang melihatnya akan merasa gemas. Begitu juga Xavier yang sudah tidak sabar kembali menyisipkan bibir merah delima itu. Bibir yang hanya satu kali ia rasai, sebelum badai menerpa kehidupan rumah tangganya. "Ya, Sayang. Enggak percaya amat sih sama suami sendiri," gerutu Xavier. Kini keduanya sudah berada di dalam kamar mandi mewah nan luas itu. Nandini mengedarkan pandangannya, kamar mandi kedua yang ia masuki setelah dulu ia di bawa paksa ke dalam kamar mandi Xavier oleh Xavier sendiri. Nandini mematung, sembari memegang baju yang semalam di belikan oleh Xavier. Xavier tahu, jika Nandini takut dan gugup, ia pun tersenyum kecut. Mungkin dirinya terlalu memak
Sheinafia tampak terlelap dalam pelukan sang ibu. Ya mereka masih berada di hotel, belum sempat pulang. Karena tadinya Xavier ingin menghabiskan waktu bersama istri kecilnya, tetapi semua itu hanyalah angan belaka. Selain Xavier tidak bisa memaksa begitu saja istri kecilnya, ia juga tidak mau jika istrinya bertambah trauma bila berdekatan dengannya. Kini Xavier hanya memandangi kedua wanita yang paling berarti di dalam hidupnya. Ia mendesah kasar, rasanya sudah tidak sabar ingin merasakan surga dunia. "Selamat tidur, Sayang," ucap Xavier seraya mencium kening kedua wanita yang begitu ia sayangi. Xavier pergi menuju balkon, rambut gondrongnya ia biarkan terurai sehingga terbawa oleh arus angin. Pria itu diam, entah memikirkan apa. Nandini pun terbangun, ia mencari keberadaan suaminya. "Mas," panggil Nandini lembut. "Sedang apa? Kenapa tidak tidur? Ini sudah sangat larut," tambah Nandini. Xavier menoleh, ia mengangkat tangannya lalu Nandini meraih tan
Tidak terasa sudah hampir enam bulan Nandini dan Xavier menikah. Semakin hari, Xavier semakin menunjukkan rasa cintanya pada kedua wanita yang paling berarti di dalam hidupnya itu. Penampilan Xavier saat ini lebih terurus meski rambut gondrongnya masih tetap ia biarkan. Saat ini pria itu tengah berkerja, tetapi tiba-tiba ia menginginkan rujak. Entahlah baru kali ini ia menginginkan makanan seperti itu. "Bri, aku bisa minta tolong," ujar Xavier begitu Abrian tiba di dalam ruangannya untuk memberikan beberapa berkas yang memerlukan tanda tangan pria itu. Abrian menatap Xavier dengan matanya yang memicing tajam. Heran, sebab wajah pria itu terlihat pucat. "Minta tolong apa? Tumben sekali rasanya, adik iparku ini meminta tolong padaku," kelakar Abrian. Xavier mendengus, salah ia telah meminta tolong pada bujang lapuk itu. "Tolong belikan aku rujak, perasaan kemarin aku melihat di seberang perusahaan kita. Jika kamu tidak mau, suruh salah satu OB perusah
Seorang gadis tampak baru saja turun dari sebuah mobil. Tubuhnya yang tinggi semampai, serta rambut panjangnya yang berwarna coklat. Jangan lupakan bola matanya yang berwarna hazel. Gadis yang baru saja menginjak usia tujuh belas tahun itu tampak memasuki sekolahnya. Banyak pasang mata yang melihatnya, Sheinafia yang merupakan idola di sekolahnya. Tampak cuek saja ketika banyak teman-temannya menatap penuh kagum. "Shei," teriak Alarich. Masih ingat Alarich? Ya dia adalah anak dari Arshaka dan juga Namilea. Pria tampan itu tampak menghampiri sepupunya itu. "Ada apa, Al? Sepertinya kamu tengah bergembira." Al terkekeh lalu merengkuh tubuh sang adik sepupu. Mereka tampak seperti sepasang kekasih. "Hmm, kamu tahu Shei. Baru saja ada empat perempuan yang menyatakan cintanya padaku. Ah senangnya, aku seperti seorang pangeran yang tengah di kejar-kejar oleh dayang-dayangnya," ujar Alarich. Sheinafia memutar bola matanya malas, "Dasar buaya buntung."
"Shei," panggil Alarich. "Aku lihat, sepertinya pria tadi begitu membencimu. Apa sebelumnya kalian mempunyai masalah?" Teriak Alarich. Suara motornya begitu bising, sehingga apabila berbicara baik Alarich ataupun Sheinafia harus berteriak. Sheinafia mengeratkan pelukan di pinggang Alarich, kini mereka tengah berhenti karena lampu merah. Tepat di sebelahnya sebuah motor berwarna hitam berhenti. Shei sempat melirik, dan ternyata itu adalah Rain. Di balik helmnya, Rain menatap tajam pada Sheinafia. "Baru saja kita omongin Shei. Eh dia sudah ada di samping kita." Sheinafia diam, ia tidak berbicara apapun. Raut muka gadis cantik itu tampak sendu. "Cepat maju Al, sudah lampu merah," teriak Sheinafia. Tanpa pikir panjang Alarich melajukan motornya membelah jalanan. Tepat di belakang motor Alarich ada beberapa motor yang mengikuti keduanya. Alarich menyadari hal itu, dia mengelus punggung tangan Sheinafia membuat gadis itu semakin mengeratkan pelukannya.
"Tadi ketika Shei pulang, ia dan Alarich di hadang oleh beberapa orang. Sepertinya mereka dari sekolah lain, entah apa alasannya yang membuat mereka menyerang putriku. Aku ingin kau menyelidikinya, Bri. Aku tidak mau sampai terjadi sesuatu pada putriku. Kau tahu sesayang apa aku padanya," ucap Xavier sendu. Terlihat sekali jika ia begitu takut. Ayah mana yang tidak akan khawatir, jika ada ancaman untuk putri kecilnya. Meskipun kenyataannya, Sheinafia kini berusia hampir tujuh belas tahun. Tetapi di mata seorang ayah ia tetap putri kecilnya. "Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, jika sampai sesuatu terjadi padanya." Abrian mengangguk. Ia tentu mengerti kerisauan sang adik ipar. "Baik, kau tenang saja. Dan aku akan memberikan bodyguard untuk putri kita. Meskipun ia bisa menjaga dirinya sendiri," ujar Abrian. "Shei tidak sendiri Vier. Ada Alarich yang akan selalu menjaganya. Kau tentu tidak lupa dengan janji putra kita, jika ia akan menjaga S