"Tadi ketika Shei pulang, ia dan Alarich di hadang oleh beberapa orang. Sepertinya mereka dari sekolah lain, entah apa alasannya yang membuat mereka menyerang putriku. Aku ingin kau menyelidikinya, Bri. Aku tidak mau sampai terjadi sesuatu pada putriku. Kau tahu sesayang apa aku padanya," ucap Xavier sendu. Terlihat sekali jika ia begitu takut. Ayah mana yang tidak akan khawatir, jika ada ancaman untuk putri kecilnya. Meskipun kenyataannya, Sheinafia kini berusia hampir tujuh belas tahun. Tetapi di mata seorang ayah ia tetap putri kecilnya. "Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, jika sampai sesuatu terjadi padanya." Abrian mengangguk. Ia tentu mengerti kerisauan sang adik ipar. "Baik, kau tenang saja. Dan aku akan memberikan bodyguard untuk putri kita. Meskipun ia bisa menjaga dirinya sendiri," ujar Abrian. "Shei tidak sendiri Vier. Ada Alarich yang akan selalu menjaganya. Kau tentu tidak lupa dengan janji putra kita, jika ia akan menjaga S
Sheinafia menatap ke lima pria yang tengah berjejer di dekat motor sport Alarich. Ia menatap malas berbeda dengan Alarich yang tidak hentinya terkekeh sejak tadi. Kakaknya kembali akan di kawal oleh bodyguard. Hanya karena kejadian kemarin. Padahal Sheinafia pun bisa menjaga dirinya sendiri, tapi dasar sang ayah yang terlalu posesif. "Jangan tertawa Al," ucap Sheinafia kesal. Alarich meraih bahu gadis itu, dan mengusapnya lembut. Ia juga mengusap lembut rambut panjang Sheinafia. "Tidak apa-apa, hmm. Semua ini demi kebaikanmu, ayah khawatir makanya dia memberikan kamu bodyguard lagi. Meskipun aku selalu berada di sampingmu, tetapi rasa khawatir orang tua beda lagi, Shei," ucap Alarich lembut. "Huft, baiklah," jawabnya pasrah. Xavier melihat interaksi kedua anaknya. Ia tidak perlu khawatir sebab Alarich selalu bisa menenangkan Sheinafia. "Bagaimana, apa kakak mau menerima jika di kawal bodyguard lagi?" Tanya si kembar Sean. Xavier
"Paman, segera kemari!" Teriak Alarich begitu salah satu bodyguard mengangkat teleponnya. Para bodyguard itu langsung berlari masuk ke dalam sekolah Sheinafia. Mereka membuka GPS yang ada di ponsel nona-nya. Ya Xavier sengaja memasang GPS dalam ponsel sang putri. Mereka langsung berlari menuju kamar mandi. Di sana sudah ada beberapa orang, Alarich tampak keluar dari dalam sana dengan menggendong Sheinafia. Wajahnya terlihat begitu dingin dan datar, membuat siapa saja merasa takut. "Tuan, Ya Tuhan. Ada apa dengan nona?" tanya salah satu dari mereka panik. Alarich tidak langsung menjawab, tetapi ia melihat sekumpulan orang-orang yang saat ini tengah mengerumuninya. Ia menatap tajam orang-orang tersebut seolah-olah hendak memakannya. "Paman, temukan siapa yang sudah melakukan hal ini pada adikku. Jika kalian sudah menemukannya, bawa mereka menghadapku. Biar aku yang menghukum mereka." "Apa Tuan Muda yakin? Saya yakin jika tuan besar pasti sudah m
Abrian menatap tajam ke empat murid sekolahan itu. Mereka menundukkan kepalanya, tidak berani menatap pada Abrian dan juga pria berkepala plontos yang kini menatap mereka tajam. "Ma-af, apa maksud dengan perkataan anda, Tuan." Abrian diam, tetapi ia berjalan mendekati ke empat remaja itu. Salah satu di antara mereka, terlihat tidak takut sama sekali padanya. Abrian tersenyum sinis. Ke tiga orang perempuan itu menunduk, hanya satu perempuan yang dengan beraninya mengangkat dagunya. Dengan angkuh balik menantang Abrian lewat tatapannya. "Kami tidak bersalah, lantas apa yang anda inginkan." Abrian masih diam. Memperhatikan mereka, satu persatu seolah Abrian tengah merekam mereka di dalam memory Abrian. "Apa maksud perkataan kalian barusan. Kalian yang menyiram putriku dengan air comberan hmm," ujar Abrian dingin. "Tidak, mungkin saja Tuan salah dengar. Kami tidak berkata seperti itu." Lagi dan lagi siswa perempuan itu yang menjawab. Berbeda denga
[Hallo, Al sayang. Kamu di mana, Nak.] [Hallo, Assalamu'alaikum ibu. Al lagi di jalan. Bawa Shei ke rumah sakit Romanov.] Dada Nandini seketika bergemuruh kala mendengar laporan dari putranya. Entah apa yang terjadi pada putri kecilnya. [Ibu nyusul, Al. Tolong jaga baik-baik kakakmu.] [Baik ibu. Ibu tidak perlu risau ataupun khawatir. Sebab aku akan menjaganya dengan sangat baik.] [Terima kasih, Sayang. Terima kasih karena kamu sudah berada di garda terdepan untuk menjaga Shei. Jika tidak ada kamu, ibu tidak tahu bagaimana nasib putri ibu.] Alarich menenangkan ibunya. Nandini pun bersiap-siap, hari ini ia akan berangkat bersama dengan Namilea dan juga Melati. Di sepanjang perjalanan, wanita itu bergerak gelisah. Pikirannya terus tertuju pada putrinya. Jika tidak parah, Sheinafia tidak mungkin sampai di bawa ke rumah sakit. "Nan, jangan terlalu gelisah seperti itu. Aku yakin jika putri kita tidak apa-apa. Ia han
Sheinafia tampak mengerjapkan matanya, ia membuka dengan perlahan. Mencoba untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Di ruangan itu, Nandini dan Xavier tampak menunggui putri mereka. Sedang Alarich tengah menuju kantin. Namilea dan Melati pergi menyusul suami mereka. Abrian tengah mengumpulkan data dan bukti untuk membuat orang tua para remaja itu bangkrut. "Eungh," lenguh Sheinafia. Xavier dan Nandini langsung beranjak ketika mendengar lenguhan putrinya. Nandini melihat dengan khawatir dan panik sang anak gadis. Xavier langsung memencet bel tepat di dekat ranjang pasien. "Sayang, kamu tidak apa-apa? Mana yang sakit, Nak?" tanya Nandini lembut. Sheinafia menggeleng, ia tidak merasakan sakit. Hanya saja kepalanya sedikit pusing. Mungkin efek dari ia pingsan tadi. "Aku tidak apa-apa, Ibu. Jangan terlalu khawatir, aku baik-baik saja." "Bagaimana kami tidak khawatir, Nak. Sudah sejak lama kamu tidak pernah pingsan akibat kedinginan
Saat ini, Nandini dan Xavier tengah berada di taman rumah sakit. Sedangkan si kembar dan juga Alarich menemani Sheinafia di ruang perawatan. Nandini sengaja mengajak suaminya ke sana. Nandini ingin berbicara empat mata bersama suaminya. Ia tidak ingin anak-anaknya melihat emosi kekasih halalnya itu. Nandini tahu, bagaimana jeleknya sifat Xavier. "Sayang," panggil Nandini lembut setelah sekian lama mereka berdua diam. Lalu Nandini mengambil tangan lebar suaminya. Dan menggenggamnya lembut, Nandini menatap Xavier dengan penuh kelembutan. "Sayang, boleh aku bicara," pinta Nandini. "Mau bicara apa, Sayang," jawab Xavier tenang seperti biasanya. Nandini tersenyum lembut. Senyuman yang selalu bisa membuat Xavier merasakan sebuah ketenangan. Ketika Xavier merasa gusar, gelisah dengan mendatangi istri kecilnya entah bagaimana kegelisahan itu seolah menguap begitu saja. Nandini seolah bagaikan obat untuknya yang memiliki tempramen jelek. "
Sheinafia memaksa sang ayah untuk mempertemukan ia dengan teman-teman yang sudah membully dirinya kemarin. Dengan terpaksa ia mempertemukan putrinya dengan orang-orang itu. "Ayah, kenapa cemberut terus sih," ujar Sheinafia tersenyum lebar. Setelah di rawat sehari semalam, Sheinafia di izinkan pulang. Kini Nandini tengah membereskan barang-barang sang putri. Nandini terkekeh, Xavier terkadang akan bersikap seperti anak kecil jika sudah kesal. Apalagi jika itu menyangkut putrinya. Lantas bagaimana jika nanti sang putri menikah, entah drama apa yang akan di mainkan olehnya. "Ayahmu tengah kesal, Sayang. Kamu memintanya untuk bertemu dengan orang-orang yang sudah menyakitimu. Dan ayahmu sudah bisa menebak, apa yang akan terjadi nanti," ujar Nandini seraya tertawa kecil. Xavier hanya menatap dingin dan datar kedua wanita paling berharga di dalam hidupnya itu. Sedangkan kedua wanita berbeda usia itu malah semakin bersemangat untuk menggoda si kepala kel