Tidak terasa sudah hampir enam bulan Nandini dan Xavier menikah. Semakin hari, Xavier semakin menunjukkan rasa cintanya pada kedua wanita yang paling berarti di dalam hidupnya itu. Penampilan Xavier saat ini lebih terurus meski rambut gondrongnya masih tetap ia biarkan. Saat ini pria itu tengah berkerja, tetapi tiba-tiba ia menginginkan rujak. Entahlah baru kali ini ia menginginkan makanan seperti itu. "Bri, aku bisa minta tolong," ujar Xavier begitu Abrian tiba di dalam ruangannya untuk memberikan beberapa berkas yang memerlukan tanda tangan pria itu. Abrian menatap Xavier dengan matanya yang memicing tajam. Heran, sebab wajah pria itu terlihat pucat. "Minta tolong apa? Tumben sekali rasanya, adik iparku ini meminta tolong padaku," kelakar Abrian. Xavier mendengus, salah ia telah meminta tolong pada bujang lapuk itu. "Tolong belikan aku rujak, perasaan kemarin aku melihat di seberang perusahaan kita. Jika kamu tidak mau, suruh salah satu OB perusah
Seorang gadis tampak baru saja turun dari sebuah mobil. Tubuhnya yang tinggi semampai, serta rambut panjangnya yang berwarna coklat. Jangan lupakan bola matanya yang berwarna hazel. Gadis yang baru saja menginjak usia tujuh belas tahun itu tampak memasuki sekolahnya. Banyak pasang mata yang melihatnya, Sheinafia yang merupakan idola di sekolahnya. Tampak cuek saja ketika banyak teman-temannya menatap penuh kagum. "Shei," teriak Alarich. Masih ingat Alarich? Ya dia adalah anak dari Arshaka dan juga Namilea. Pria tampan itu tampak menghampiri sepupunya itu. "Ada apa, Al? Sepertinya kamu tengah bergembira." Al terkekeh lalu merengkuh tubuh sang adik sepupu. Mereka tampak seperti sepasang kekasih. "Hmm, kamu tahu Shei. Baru saja ada empat perempuan yang menyatakan cintanya padaku. Ah senangnya, aku seperti seorang pangeran yang tengah di kejar-kejar oleh dayang-dayangnya," ujar Alarich. Sheinafia memutar bola matanya malas, "Dasar buaya buntung."
"Shei," panggil Alarich. "Aku lihat, sepertinya pria tadi begitu membencimu. Apa sebelumnya kalian mempunyai masalah?" Teriak Alarich. Suara motornya begitu bising, sehingga apabila berbicara baik Alarich ataupun Sheinafia harus berteriak. Sheinafia mengeratkan pelukan di pinggang Alarich, kini mereka tengah berhenti karena lampu merah. Tepat di sebelahnya sebuah motor berwarna hitam berhenti. Shei sempat melirik, dan ternyata itu adalah Rain. Di balik helmnya, Rain menatap tajam pada Sheinafia. "Baru saja kita omongin Shei. Eh dia sudah ada di samping kita." Sheinafia diam, ia tidak berbicara apapun. Raut muka gadis cantik itu tampak sendu. "Cepat maju Al, sudah lampu merah," teriak Sheinafia. Tanpa pikir panjang Alarich melajukan motornya membelah jalanan. Tepat di belakang motor Alarich ada beberapa motor yang mengikuti keduanya. Alarich menyadari hal itu, dia mengelus punggung tangan Sheinafia membuat gadis itu semakin mengeratkan pelukannya.
"Tadi ketika Shei pulang, ia dan Alarich di hadang oleh beberapa orang. Sepertinya mereka dari sekolah lain, entah apa alasannya yang membuat mereka menyerang putriku. Aku ingin kau menyelidikinya, Bri. Aku tidak mau sampai terjadi sesuatu pada putriku. Kau tahu sesayang apa aku padanya," ucap Xavier sendu. Terlihat sekali jika ia begitu takut. Ayah mana yang tidak akan khawatir, jika ada ancaman untuk putri kecilnya. Meskipun kenyataannya, Sheinafia kini berusia hampir tujuh belas tahun. Tetapi di mata seorang ayah ia tetap putri kecilnya. "Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, jika sampai sesuatu terjadi padanya." Abrian mengangguk. Ia tentu mengerti kerisauan sang adik ipar. "Baik, kau tenang saja. Dan aku akan memberikan bodyguard untuk putri kita. Meskipun ia bisa menjaga dirinya sendiri," ujar Abrian. "Shei tidak sendiri Vier. Ada Alarich yang akan selalu menjaganya. Kau tentu tidak lupa dengan janji putra kita, jika ia akan menjaga S
Sheinafia menatap ke lima pria yang tengah berjejer di dekat motor sport Alarich. Ia menatap malas berbeda dengan Alarich yang tidak hentinya terkekeh sejak tadi. Kakaknya kembali akan di kawal oleh bodyguard. Hanya karena kejadian kemarin. Padahal Sheinafia pun bisa menjaga dirinya sendiri, tapi dasar sang ayah yang terlalu posesif. "Jangan tertawa Al," ucap Sheinafia kesal. Alarich meraih bahu gadis itu, dan mengusapnya lembut. Ia juga mengusap lembut rambut panjang Sheinafia. "Tidak apa-apa, hmm. Semua ini demi kebaikanmu, ayah khawatir makanya dia memberikan kamu bodyguard lagi. Meskipun aku selalu berada di sampingmu, tetapi rasa khawatir orang tua beda lagi, Shei," ucap Alarich lembut. "Huft, baiklah," jawabnya pasrah. Xavier melihat interaksi kedua anaknya. Ia tidak perlu khawatir sebab Alarich selalu bisa menenangkan Sheinafia. "Bagaimana, apa kakak mau menerima jika di kawal bodyguard lagi?" Tanya si kembar Sean. Xavier
"Paman, segera kemari!" Teriak Alarich begitu salah satu bodyguard mengangkat teleponnya. Para bodyguard itu langsung berlari masuk ke dalam sekolah Sheinafia. Mereka membuka GPS yang ada di ponsel nona-nya. Ya Xavier sengaja memasang GPS dalam ponsel sang putri. Mereka langsung berlari menuju kamar mandi. Di sana sudah ada beberapa orang, Alarich tampak keluar dari dalam sana dengan menggendong Sheinafia. Wajahnya terlihat begitu dingin dan datar, membuat siapa saja merasa takut. "Tuan, Ya Tuhan. Ada apa dengan nona?" tanya salah satu dari mereka panik. Alarich tidak langsung menjawab, tetapi ia melihat sekumpulan orang-orang yang saat ini tengah mengerumuninya. Ia menatap tajam orang-orang tersebut seolah-olah hendak memakannya. "Paman, temukan siapa yang sudah melakukan hal ini pada adikku. Jika kalian sudah menemukannya, bawa mereka menghadapku. Biar aku yang menghukum mereka." "Apa Tuan Muda yakin? Saya yakin jika tuan besar pasti sudah m
Abrian menatap tajam ke empat murid sekolahan itu. Mereka menundukkan kepalanya, tidak berani menatap pada Abrian dan juga pria berkepala plontos yang kini menatap mereka tajam. "Ma-af, apa maksud dengan perkataan anda, Tuan." Abrian diam, tetapi ia berjalan mendekati ke empat remaja itu. Salah satu di antara mereka, terlihat tidak takut sama sekali padanya. Abrian tersenyum sinis. Ke tiga orang perempuan itu menunduk, hanya satu perempuan yang dengan beraninya mengangkat dagunya. Dengan angkuh balik menantang Abrian lewat tatapannya. "Kami tidak bersalah, lantas apa yang anda inginkan." Abrian masih diam. Memperhatikan mereka, satu persatu seolah Abrian tengah merekam mereka di dalam memory Abrian. "Apa maksud perkataan kalian barusan. Kalian yang menyiram putriku dengan air comberan hmm," ujar Abrian dingin. "Tidak, mungkin saja Tuan salah dengar. Kami tidak berkata seperti itu." Lagi dan lagi siswa perempuan itu yang menjawab. Berbeda denga
[Hallo, Al sayang. Kamu di mana, Nak.] [Hallo, Assalamu'alaikum ibu. Al lagi di jalan. Bawa Shei ke rumah sakit Romanov.] Dada Nandini seketika bergemuruh kala mendengar laporan dari putranya. Entah apa yang terjadi pada putri kecilnya. [Ibu nyusul, Al. Tolong jaga baik-baik kakakmu.] [Baik ibu. Ibu tidak perlu risau ataupun khawatir. Sebab aku akan menjaganya dengan sangat baik.] [Terima kasih, Sayang. Terima kasih karena kamu sudah berada di garda terdepan untuk menjaga Shei. Jika tidak ada kamu, ibu tidak tahu bagaimana nasib putri ibu.] Alarich menenangkan ibunya. Nandini pun bersiap-siap, hari ini ia akan berangkat bersama dengan Namilea dan juga Melati. Di sepanjang perjalanan, wanita itu bergerak gelisah. Pikirannya terus tertuju pada putrinya. Jika tidak parah, Sheinafia tidak mungkin sampai di bawa ke rumah sakit. "Nan, jangan terlalu gelisah seperti itu. Aku yakin jika putri kita tidak apa-apa. Ia han
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia