Udara di Zurich pagi ini masih dingin, menyisakan embun tipis di kaca jendela ruang kerja Sebastian Von Rotchschild. Langit tampak sedikit gelap meskipun jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.Ananta berjalan dengan langkah tegap melewati koridor mewah mansion kakeknya. Suasana di rumah tua itu selalu terasa megah, klasik, tetapi juga mengandung hawa penuh intrik. Ia datang atas panggilan langsung dari Sebastian, sesuatu yang jarang terjadi kecuali ada hal yang benar-benar penting.Seorang pelayan membukakan pintu besar ruang kerja Chairman, memperlihatkan sosok Sebastian Von Rotchschild yang duduk di kursi kebesarannya, dikelilingi rak buku antik dan perapian yang masih menyala. Pria tua itu mengenakan setelan abu-abu dengan kemeja putih, tampak seperti biasa—tenang, penuh wibawa, dan sedikit mengintimidasi.“Ananta,” panggilnya tanpa menoleh, tangannya masih memegang secangkir kopi.“Kamu tahu ‘kan kenapa Kakek memanggilmu?” Sebastian membuka obrolan saat Ananta baru sa
Udara pagi di Zurich terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari baru saja muncul dari balik perbukitan, sinarnya yang lembut menerobos tirai jendela kamar utama di mansion Ananta. Di atas ranjang empuk berlapis linen mewah, Zanitha menggeliat pelan, matanya masih setengah tertutup ketika merasakan kehangatan familiar di sampingnya.Ananta.Pria itu masih terlelap, tubuhnya hanya terbungkus selimut hingga pinggang. Napasnya teratur, dada bidangnya naik turun dengan tenang. Sesaat, Zanitha hanya menatapnya, mengingat bagaimana beberapa bulan lalu ia tidak pernah membayangkan akan berbagi tempat tidur dengan pria yang awalnya terasa begitu asing baginya.Zanitha tersenyum kecil, lalu membalikkan tubuhnya, berniat untuk melanjutkan tidurnya lagi. Namun, sebelum ia benar-benar terlelap, suara berat dan serak khas Ananta terdengar di telinganya."Bangun, kita harus bersiap."Zanitha membuka mata dengan malas, masih tidak bergerak. "Hmmm? Buat apa? Ini masih pagi…
Udara pagi di Santorini begitu segar, angin laut yang lembut masuk melalui jendela besar yang dibiarkan terbuka semalaman.Langit masih dihiasi semburat jingga, pertanda bahwa matahari baru saja naik dari peraduannya.Namun, di dalam vila mewah tempat Ananta dan Zanitha menginap, kehangatan yang berbeda menyelimuti kamar mereka.Zanitha terbangun karena sesuatu yang menggelitik lehernya. Napas hangat Ananta menyentuh kulitnya, dan sebelum ia bisa sepenuhnya sadar, bibir suaminya sudah menelusuri bahunya dengan lembut dengan banyak kecupan."Ta..." Zanitha menggumam pelan, masih mengantuk.Ananta tidak menjawab. Pria itu terus menciumi bahu hingga ke leher, sementara tangannya yang besar dan hangat mengusap perut Zanitha yang sedikit membuncit dari dalam gaun tidurnya.“Kamu tidur nyenyak?” bisik Ananta di telinga Zanitha, suaranya rendah dan serak karena baru bangun tidur.Zanitha hanya mengangguk kecil, tetapi tubuhnya merespons dengan memiringkan kepala, memberi lebih banyak
Keesokan paginya, Zanitha bangun dengan perasaan bahagia. Ia menggeliat di ranjang, lalu menoleh ke samping.Ananta masih tidur.Kening Zanitha mengernyit. Sudah hampir siang, tapi pria itu bahkan belum bangun. Padahal mereka seharusnya pergi berjalan-jalan lagi hari ini.Zanitha duduk, lalu menggoyangkan bahu suaminya. “Ta, bangun. Kita jalan-jalan.”Ananta hanya menggumam pelan, tidak membuka matanya. “Nanti aja.”Zanitha mengerutkan kening. “Nanti kapan? Ini udah hampir siang, kita enggak bisa terus-terusan di kamar.”Ananta menarik selimutnya lebih erat. “Aku lelah, Nitha.”Zanitha mendengus kesal. “Aku ke sini buat jalan-jalan, bukan buat nungguin kamu tidur terus.”Ananta akhirnya membuka matanya, menatap istrinya dengan ekspresi datar. “Aku yang membayar liburan ini, jadi aku juga yang menentukan mau ngapain.”Zanitha terkejut mendengar kata-kata itu. Ia mengepalkan tangannya. “Kalau begitu, aku jalan sendiri!”Ia beranjak dar
Pagi di Santorini kembali menyambut dengan angin laut yang hangat dan semilir. Di balkon vila pribadi mereka, meja sarapan sudah tertata rapi.Pancake lembut bertumpuk dengan taburan buah berry segar, yoghurt khas Yunani, roti panggang, telur orak-arik, potongan buah segar dan jus jeruk yang masih mengembun.Zanitha duduk di salah satu kursi, mengenakan gaun santai berbahan linen putih, rambutnya dikuncir longgar, memperlihatkan leher jenjangnya yang terlihat lebih tirus karena kehamilan yang menguras banyak energi. Kedua sikunya bertumpu di atas meja, dagunya diletakkan di atas punggung tangan sambil menatap kosong ke arah laut. Sepiring pancake di depannya masih utuh.Ananta, yang baru saja selesai menuangkan kopi hitam ke cangkirnya, melirik Zanitha dengan satu alis terangkat. Ia meneguk kopinya pelan sebelum menaruhnya kembali di atas meja, lalu menyandarkan punggung di sandaran kursi.“Kamu enggak makan?” tanyanya dengan nada datar, tapi ada sedikit sorot perhatian di matanya
Ananta mengusap pipinya pelan. “Aku memilih melindungi kamu dengan caraku. Dan, lihat sekarang, kamu jauh lebih aman di sisiku. Kalau kamu nggak jadi pengantinku, kamu mungkin enggak akan mendapatkan semua fasilitas terbaik ini.” Tentu saja Ananta mengatakannya di dalam hati.Dia gengsi untuk mengucapkan cinta dan sayang kepada Zanitha.Zanitha menunduk, pelan-pelan menghapus air matanya sendiri. Ada logika kuat di balik kata-kata Ananta yang sulit untuk ia sangkal.Ananta benar, papinya tidak akan membela dan mami serta kedua kakak tirinya akan bahagia melihat dia masuk penjara.“Tapi tetap aja… kamu jahat,” katanya lirih.Ananta tersenyum tipis. “Aku tahu. Itu kenapa sekarang aku membayar lunas semua kesalahanku… aku mengikuti semua keinginan kamu dan semua tuntutanmu meski enggak masuk akal sekalipun.”Zanitha menyipitkan mata, lalu tersenyum nakal. “Kalau gitu, pijitin kakiku sekarang.”Ananta mendesah, namun menurut. Ia duduk di depan Zanitha, mengambil kakinya lalu memija
Malam itu…Suara deburan ombak dari kejauhan terdengar lembut, menyatu dengan desir angin yang menyusup masuk melalui jendela balkon vila mereka yang terbuka setengah.Lampu-lampu kecil di sepanjang dinding kamar memancarkan cahaya temaram, membuat suasana terasa hangat dan menenangkan.Zanitha duduk di atas ranjang, bersandar pada sandaran kayu yang dihiasi ukiran khas Yunani. Ia mengenakan gaun tidur berbahan satin lembut warna gading, rambut panjangnya dibiarkan tergerai melewati bahu. Matanya mengikuti setiap gerakan Ananta yang sibuk membereskan MacBook dan dokumen yang tadi sempat ia baca di balkon.Ananta menutup laptop dengan bunyi klik yang tegas. Pria itu meletakkannya di meja kecil di sudut ruangan, lalu melirik sekilas ke arah Zanitha yang masih memandanginya. “Kenapa lihat-lihat?”Zanitha tersenyum kecil, matanya setengah menyipit. “Enggak boleh lihat suami sendiri?”Ananta mendengus pendek, tapi ia berjalan mendekat, melepaskan kemeja linen tipis yang tadi ia kenakan
Zurich menyambut mereka kembali dengan dingin yang menggigit, jauh berbeda dengan hangatnya matahari Santorini yang baru mereka tinggalkan sehari sebelumnya.Dari balik jendela limousine yang membelah jalan-jalan kota, Zanitha mengamati butiran salju tipis yang mulai turun, membalut atap bangunan klasik kota itu.Tangannya bertaut dengan Ananta yang duduk di sampingnya, meski genggaman itu lebih seperti kebiasaan daripada bentuk kemesraan. Sejak mendarat di Zurich, Ananta kembali dengan sikap dinginnya. Pria itu mulai menatap iPad kerjanya lagi, membahas rapat dewan direksi yang menunggunya besok pagi, membiarkan Zanitha kembali tenggelam dalam keheningan dunianya.Tapi Zanitha mengerti. Suaminya memang seperti itu. Ia hanya diam, menatap keluar, menikmati sisa rasa manis dari perjalanan mereka di Santorini. Zanitha tak mau merusak kenangan itu dengan menuntut lebih dari Ananta. Tidak untuk sekarang.Namun, takdir rupanya tidak suka membiarkan mereka menikmati kedamaian lebih la
Kantor cabang Helvion Group Indonesia di bilangan Kuningan masih sunyi saat Mathias masuk lebih awal seperti biasa.Ia duduk di ruangannya yang luas, dinding kaca memperlihatkan lanskap kota yang masih terbungkus kabut pagi. Di hadapannya bertumpuk berkas laporan logistik dari pelabuhan-pelabuhan besar—Tanjung Priok, Belawan, dan Surabaya.Matanya menatap tajam lembar-lembar berisi angka. Sesekali ia menandai beberapa data dengan stabilo kuning. Tangannya gemetar ringan tapi ia abaikan.Tubuhnya memang terasa lebih lemas sejak dua hari terakhir, tapi otaknya masih bekerja secepat biasa.“Kapasitas kontainer meningkat 12% dibanding kuartal lalu, tapi rute Sumatera masih defisit margin…,” gumamnya sambil menelusuri grafik. Pelipisnya mulai berdenyut.Ryan, sekretaris muda yang setia menemaninya masuk ke ruangan dengan iPad di tangan.“Tuan, ini laporan ekspor-impor tambahan dari gudang Batam—”“Aku sudah baca laporan yang lama. Kirim revisi ke Zurich, minta approval final dari An
Zurich, Helvion Group PusatRuang pertemuan VIP di lantai tertinggi yang bertempat di kantor pusat Helvion Group Zurich hari itu terasa jauh lebih sunyi dari biasanya.Sebastian Von Rotchschild duduk tegak di kursi kulit hitam, menatap pria paruh baya berjas kelabu yang baru saja duduk di depannya.Andrew Schwerin-ayah dari Adelina Schwerin.“Jadi, perjodohan ini gagal?” suara Sebastian pelan, tapi tajam.Pria di depannya menghela napas panjang sebelum menjawab, “Adelina sangat menyukai Ananta, itu pengakuannya sendiri. Tapi dia lebih memilih mundur karena tidak mau menjalani hidup dengan pria yang hatinya sudah diberikan kepada wanita lain.”Sebastian menautkan jemari. Matanya menyipit. “Dan kamu percaya itu alasan yang masuk akal untuk membatalkan pernikahan dua keluarga besar?”Ayah Adelina menatap Sebastian tajam. “Saya percaya anak saya lebih berhak memilih hidup yang jujur. Apakah Anda ingin melihat cucu Anda hidup dalam pernikahan yang penuh kepura-puraan hanya demi alia
Langit Zurich senja itu digelayuti awan tipis. Lampu-lampu di sepanjang jalan mulai menyala, menciptakan nuansa keemasan yang sendu.Di kamar bayi Mansion Ananta Von Rotchschild, suasana lebih tenang. Ares terlelap dalam pelukan ayahnya, sementara tangan kecilnya masih menggenggam ujung kemeja Ananta.Ananta duduk di kursi goyang, menatap wajah mungil itu dengan mata yang sembab oleh kelelahan batin. Di sudut ruangan dekat meja kecil di sampingnya, sebuah dasi dan jas hitam telah tergantung rapi—pakaian yang akan ia kenakan untuk malam ini.Makan malam perjodohan.“Maaf, Ares… Daddy akan pulang larut malam,” bisiknya sambil mencium kening sang putra. “Tapi sebelum Daddy pergi… Daddy harus pastikan kamu tidur nyenyak dulu.”Ares bergumam kecil dalam tidurnya, lalu memeluk lebih erat.Ananta menutup matanya, menghela napas panjang. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Lalu dengan perlahan, ia bangkit, membaringkan Ares ke tempat tidur, dan menyelimuti tubuh kecil itu dengan hati-hat
Malam telah larut di mansion Von Rotchschild, Zurich. Cahaya lampu temaram dari kamar kerja Ananta menyinari meja besar yang dipenuhi dokumen ekspansi pelabuhan, laporan kinerja divisi Shipping dan satu map cokelat tua yang sejak enam bulan lalu tidak pernah berpindah tempat dari lacinya.Map itu berisi dokumen gugatan cerai.Dokumen yang tidak pernah disentuh lagi sejak pertama kali Taylor menyerahkannya.Ananta duduk di kursi kulit hitam, menarik laci lalu mengeluarkan map tersebut sebelum akhirnya membukanya.Di dalam map ada sebuah berkas yang tertulis nama Zanitha Azkayra Wiranata dan namanya sendiri, lengkap dengan stempel pengacara keluarga Von Rotchschild.Tangannya mengusap halaman pertama dokumen itu, lalu mendesah panjang.Sudah berbulan-bulan Sebastian menanyakan hal ini. Bahkan Heinz dan Taylor pun bergantian menyampaikan permintaan agar dokumen itu segera ditandatangani. Tapi Ananta selalu punya alasan: rapat terlalu padat, jadwal penuh, atau dokumen belum diperiks
Sementara itu di mansion Zurich, Sebastian duduk di ruang musik bersama Ares yang tengah duduk di atas pangkuannya. “Lihat ini, Ares…” katanya sambil menekan tuts piano, memainkan melodi sederhana. Ares menatap jemari tua itu lalu ikut menekan satu dua tuts sembarangan setelahnya tertawa kecil. “Ha!” Sebastian terkekeh. “Kamu punya bakat musik rupanya?” Nanny yang berdiri di dekat pintu tersenyum. “Sepertinya dia nyaman sekali dengan Tuan Sebastian.” Sebastian menoleh, menatap cicitnya yang tersenyum sambil menepuk-nepuk piano. “Ananta sudah punya segalanya… tapi wanita itu… wanita itu telah membawa warna ke hidup bocah ini,” gumam Sebastian sambil memeluk Ares erat. Kenyataan bahwa Ananta kini adalah pewaris sah Helvion Group, memiliki kekuasaan, reputasi, bahkan seorang anak sebagai penerus garis darah keluarga Von Rotchschild. Ananta secara material dan status te
Pagi yang sunyi di Zurich,Langkah Ananta menggema di lorong utama mansion Sebastian Von Rotchschild saat ia berjalan menuju ke sebuah ruang kerja.Di tangannya ada map hitam berisi laporan perkembangan proyek pelabuhan baru Helvion Shipping di kawasan Asia Tenggara—sebuah proyek ekspansi strategis yang sedang ia pimpin langsung.Sesampainya di depan pintu, Ananta mengetuk pelan.“Masuk,” suara Sebastian terdengar dari dalam.Ananta membuka pintu dan masuk dengan sikap tenang, namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme.“Ada yang ingin kamu sampaikan?” Sebastian langsung menatapnya tanpa basa-basi.Ananta mengangguk. “Aku akan ke Jakarta untuk inspeksi awal lokasi pelabuhan baru yang sedang kita rencanakan. Ada celah efisiensi distribusi di kawasan timur Indonesia. Aku perlu validasi lapangan sebelum eksekusi.”Sebastian menautkan jari-jari di atas meja. “Sendiri?” Keningnya berkerut disertai sorot mata penuh kecur
Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun hati Zanitha justru terasa mendung. Ponselnya bergetar lembut dan di layar menampilkan nama: Ryan.Zanitha menjawab dengan suara pelan, “Halo, Mas Ryan?”Suara Ryan terdengar tenang, seperti biasa, tapi dengan nada berat yang tak bisa disembunyikan.“Selamat pagi, Nyonya. Saya minta maaf harus menyampaikan ini .…”Zanitha menegakkan punggung, firasat buruk langsung menyusup.“Ada apa?”“Saya… tidak bisa mendampingi Anda lagi dalam pembangunan toko bunga.”Ryan terdiam sejenak.“Ini perintah langsung dari Tuan Mathias. Saya diultimatum… dan saya tidak ingin Anda terseret masalah.”Zanitha menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kecewa. Tapi ia tetap menjaga suaranya tetap stabil.“Saya mengerti, Mas. Kamu ‘kan memang sekretaris utama Helvion Group. Aku semestinya enggak boleh mengganggu kamu ….”Ryan menarik napas lega mendengar reaksi itu, meski tetap terdengar sedih.“Saya sudah menugaskan sepupu jauh saya. Namanya Bella—dia s
Setelah berkeliling pasar bunga dan memastikan kontrak dengan beberapa supplier, Ryan dan Zanitha mampir ke sebuah showroom interior kecil di Kemang yang direkomendasikan seorang kenalan florist.Di dalam, ruangan dipenuhi mock-up etalase toko, meja kasir bergaya industrial, lampu gantung rotan, serta rak kayu bergaya rustic. Segalanya tampak menawan—dan terlalu banyak pilihan untuk Zanitha yang perfeksionis.“Mas, kayu jati atau kayu pinus?” Zanitha berdiri di depan dua contoh rak display. “Yang jati lebih kokoh, tapi pinus warnanya lebih cerah.”Ryan mendekat, membuka map hitamnya lagi, lalu mencatat. “Kalau dari biaya produksi, pinus lebih murah. Tapi daya tahannya—”“Mas Ryan,” sela Zanitha cepat, “kamu tahu enggak, kamu tuh… bisa kerja jadi wedding planner.”Ryan tertawa pelan. “Jadi Nyonya mau bilang saya cerewet dan penuh catatan?”Zanitha nyengir. “Iya… Mas Ryan kaya google.”Ryan mengangguk dramatis. “Google… tapi versi manusia. Tanpa iklan.”Zanitha tertawa. Kemudian
Hidup nyaman bukan berarti hidup bahagia.Setidaknya itu yang Zanitha pelajari dalam satu minggu terakhir tinggal di apartemen megah kawasan SCBD. Kamar tidur luas dengan ranjang empuk, dapur lengkap, ruang kerja pribadi, balkon dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, bahkan mobil mewah dan supir yang selalu siap kapan pun. Tapi setiap malam saat ia terjaga dari tidur gelisah, hanya ada satu yang mengisi pikirannya.Ares.Tangisnya. Senyumnya. Suara gumam pelannya saat tertidur di dada Zanitha. Jemari mungilnya yang menggenggam erat saat menyusu. Semua itu tidak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Bahkan dalam diam, tubuh Zanitha masih terasa nyeri karena tidak lagi menyusui.Sementara itu, satu nama lainnya yang juga tak bisa ia lupakan…Ananta.Pria itu tidak menghubunginya, tidak mengirim pesan. Tidak juga mencoba menjelaskan. Seolah hubungan mereka sudah benar-benar selesai.Padahal Zanitha tahu, Ananta bukan pria yang begitu saja bisa melepaskan. Tapi mungkin…