Malam itu…Suara deburan ombak dari kejauhan terdengar lembut, menyatu dengan desir angin yang menyusup masuk melalui jendela balkon vila mereka yang terbuka setengah.Lampu-lampu kecil di sepanjang dinding kamar memancarkan cahaya temaram, membuat suasana terasa hangat dan menenangkan.Zanitha duduk di atas ranjang, bersandar pada sandaran kayu yang dihiasi ukiran khas Yunani. Ia mengenakan gaun tidur berbahan satin lembut warna gading, rambut panjangnya dibiarkan tergerai melewati bahu. Matanya mengikuti setiap gerakan Ananta yang sibuk membereskan MacBook dan dokumen yang tadi sempat ia baca di balkon.Ananta menutup laptop dengan bunyi klik yang tegas. Pria itu meletakkannya di meja kecil di sudut ruangan, lalu melirik sekilas ke arah Zanitha yang masih memandanginya. “Kenapa lihat-lihat?”Zanitha tersenyum kecil, matanya setengah menyipit. “Enggak boleh lihat suami sendiri?”Ananta mendengus pendek, tapi ia berjalan mendekat, melepaskan kemeja linen tipis yang tadi ia kenakan
Zurich menyambut mereka kembali dengan dingin yang menggigit, jauh berbeda dengan hangatnya matahari Santorini yang baru mereka tinggalkan sehari sebelumnya.Dari balik jendela limousine yang membelah jalan-jalan kota, Zanitha mengamati butiran salju tipis yang mulai turun, membalut atap bangunan klasik kota itu.Tangannya bertaut dengan Ananta yang duduk di sampingnya, meski genggaman itu lebih seperti kebiasaan daripada bentuk kemesraan. Sejak mendarat di Zurich, Ananta kembali dengan sikap dinginnya. Pria itu mulai menatap iPad kerjanya lagi, membahas rapat dewan direksi yang menunggunya besok pagi, membiarkan Zanitha kembali tenggelam dalam keheningan dunianya.Tapi Zanitha mengerti. Suaminya memang seperti itu. Ia hanya diam, menatap keluar, menikmati sisa rasa manis dari perjalanan mereka di Santorini. Zanitha tak mau merusak kenangan itu dengan menuntut lebih dari Ananta. Tidak untuk sekarang.Namun, takdir rupanya tidak suka membiarkan mereka menikmati kedamaian lebih la
Sore itu kelam. Langit Zurich mendung, bayangan awan bergulung-gulung di balik pegunungan Alpen yang menjulang jauh di utara.Zanitha keluar dari mansion dengan hati-hati dan mengendap-ngendap berjalan melewati deretan pohon cemara yang membingkai jalan setapak di taman belakang.Dan di sana, di bawah lampu taman yang temaram berbatasan dengan taman mansion Simon—Elias berdiri.Wajahnya tampak lebih tirus, rambutnya agak berantakan, dan senyum di bibirnya lebih mirip guratan sakit daripada kehangatan.“Kamu datang.” Elias tersenyum.“Baiklah … karena aku sudah ada di sini jadi bicaralah, karena setelah itu giliranku bicara,” kata Zanitha ketus sembari menjaga jarak.Elias menatapnya lekat. “Kamu seharusnya bersamaku, bukan dengan Ananta.”“Kamu tahu itu tidak mungkin, aku mengenal Ananta lebih dulu dari pada kamu … dan Elias, masih banyak perempuan di luar sana yang cantik dan tergila-gila sama kamu, kenapa harus aku?” Zanitha mencoba tenang.Elias melangkah lebih dekat, dia m
Zanitha terbangun di dalam ruangan asing. Bau logam menyengat hidungnya. Ia menyadari tangan dan kakinya terikat.Ruangan itu gelap, hanya lampu remang yang tergantung di atas kepalanya.Elias duduk di kursi seberang, menatapnya seperti patung batu.“Aku tidak akan menyakitimu… kalau kamu mau jadi milikku,” bisiknya lalu seringai mengerikan muncul di sudut bibir Elias.Zanitha menahan air mata, jantungnya berdebar kencang. “Elias… jangan lakukan ini. Kita bisa bicara baik-baik.”Pria itu menggeleng. “Ananta tidak pantas memiliki kamu.”Air mata Zanitha jatuh, dia menyimpan tangannya di perut yang buncit dan demi apa Elias benci sekali melihat perut buncit Zanitha.***Sementara itu di Mansion, Ananta bergerak cepat. Dia tidak memiliki waktu untuk memarahi orang- orangnya yang tidak berguna karena tidak bisa menjaga Zanitha padahal sudah memperketat keamanan. Tim keamanan keluarga dikerahkan. CCTV di seluruh mansion diperiksa. Taylo
Salju turun lebih lebat di Zurich malam itu. Udara di sekeliling mansion Von Rotchschild menjadi semakin dingin, namun suhu yang menusuk tulang tidak ada apa-apanya dibanding hawa es yang kini menjalar di seluruh tubuh Ananta Victor von Rotchschild.Ia berdiri kaku di hadapan kakeknya, Sebastian Von Rotchschild, dengan rahang mengeras, kedua tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Napasnya berat, namun matanya tetap dingin dan fokus, seperti sepasang bilah pedang yang siap menebas siapa saja yang menghalangi jalannya.Sebastian menatap Ananta tajam dari balik meja kerja besar berbahan kayu mahoni di ruang kantornya. Lampu gantung kristal di atas mereka berayun pelan, memantulkan cahaya redup ke seluruh ruangan, namun tak mampu mencairkan atmosfer berat yang memenuhi tempat itu.Di layar iPad yang kini diletakkan di meja, rekaman CCTV terlihat jelas. Wajah Elias tertangkap kamera saat menarik tubuh Zanitha yang lemas, wajahnya tertutup kain hitam. Elias me
Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di gudang tua yang disebut Taylor.Ananta turun tanpa menunggu. Dua pria berbadan besar dari tim keamanan segera mengikuti, senjata terangkat.“Clear lantai satu!” lapor salah satu dari mereka.Ananta masuk ke dalam. Bau cat dan minyak solar memenuhi udara. Gudang kosong, hanya ada beberapa kanvas lusuh tergantung di dinding.Namun, di lantai dua mereka menemukan tanda-tanda aktivitas baru: tali bekas mengikat, secangkir teh masih hangat, dan… kain hitam yang sama seperti yang digunakan Elias untuk menutup kepala Zanitha.“Dua jam lalu,” ujar Taylor setelah memeriksa sisa panas di cangkir.Ananta mengepalkan tangannya. “Kita terlambat.”***Ananta membuka GPS iPad Taylor. “Ke mana mereka pergi selanjutnya?”Taylor menunjuk peta. “Ada jalur lama ke arah desa tua di pegunungan. Sudah jarang digunakan, tapi cocok untuk bersembunyi.”Ananta mengangguk. “Ayo, kita ke sana sekarang.”Mereka menyus
Salju masih turun saat SUV hitam itu meluncur dengan kecepatan tinggi membelah jalanan Zurich yang lengang menuju Klinik Swiss Private Care—fasilitas kesehatan paling eksklusif milik keluarga Von Rotchschild. Suara roda yang melindas salju menghasilkan derit panjang, memecah sunyi malam, seolah menandai betapa gentingnya perjalanan itu.Di kursi belakang, Zanitha bersandar di dada Ananta, tubuhnya gemetar padahal selimut tebal membalutnya. Darah kering di lehernya masih tampak jelas, dan pipinya sembab karena tangis yang belum sepenuhnya reda. Namun, lebih dari itu, sorot matanya… kosong. Trauma membekas di sana, dalam, menyayat.Ananta menahan napasnya, menahan amarah. Tangan pria itu yang besar dan kokoh terus membelai rambut Zanitha, menekannya pelan ke dadanya. Ia mencium pucuk kepala istrinya berkali-kali, meskipun tak satu kata pun keluar dari mulutnya.Ia masih menggenggam tangan Zanitha, erat, seolah takut kehilangan lagi.“Aku di sini.” Kalimat itu diucapkannya dalam hati
Salju yang turun di Zurich sore itu tidak menghapus kenyataan getir yang menghantam keluarga Simon Von Rotchschild. Di ruang tamu mansion yang telah mereka tinggali selama bertahun-tahun, kehangatan api perapian tampak sia-sia menghadirkan rasa nyaman. Semua terasa kosong, dingin, dan hampa.Simon duduk di kursi kulit tua yang menghadap langsung ke jendela, menatap kosong ke luar. Di tangannya tergenggam segelas anggur merah tua yang isinya bahkan tak berkurang sejak dituangkan. Jemari tangannya yang dulu cekatan menyusun strategi bisnis, kini bergetar, seolah kehilangan tenaga.Amelie berdiri di dekat rak buku, jemarinya sibuk merapikan potongan foto keluarga yang baru saja ia keluarkan dari bingkai perak. Matanya sembab, wajahnya kaku. Ia tidak berbicara apa-apa, hanya menarik napas berat dan mengembuskannya pelan, lagi dan lagi. Sesekali ia mencubit pangkal hidungnya, seperti mencoba mencegah air mata yang tak terbendung.Sementara itu, Luca duduk di sofa seberang,
Setelah beberapa hari mempertimbangkan undangan Satria, malam ini Zanitha memutuskan untuk memberi jawaban.Dengan menarik napas panjang, Zanitha akhirnya menekan tombol panggil pada nama kontak Satria yang baru saja dia simpan di ponselnya.Nada sambung terdengar hanya dua kali sebelum panggilan terjawab. “Hallo?” sapa Satria. Suaranya terdengar ramah di seberang sana, membuat jantung Zanitha berdegup sedikit lebih cepat.“Halo, Satria… ini Zanitha,” jawab Zanitha pelan namun jelas. Ia mencoba terdengar tenang meski dadanya berdebar. “Aku… ini tentang undangan acara di rooftop yang kemarin kamu sampaikan.”“Ya, tentu. Gimana… gimana? Apakah kamu bisa hadir?” tanya Satria dengan nada penuh harap namun tetap sopan. Zanitha menggigit bibir, berusaha menenangkan diri. “Ya. Aku pikir… aku akan datang,” ucapnya akhirnya. Ada kelegaan dan sekaligus kegugupan dalam suaranya.Di ujung panggilan telepon, Satria tersenyum lega. “Syukurlah … kalau begitu, biar ak
Hujan turun pelan sore itu, menari di atas kanopi kaca toko bunga yang wangi dan hangat. Di dalam, suasana hening. Pelanggan terakhir baru saja keluar, dan Bella sedang membersihkan meja kasir sementara Zanitha menyirami pot gantung yang digantung di langit-langit.Sore seperti ini biasanya memberi Zanitha ruang untuk berpikir. Tapi hari itu, pikirannya tidak tenang. Mungkin karena mimpi semalam yang aneh—tentang Ares, tentang pelukan yang ia rindukan. Atau mungkin karena rasa kosong yang makin terasa setelah Mathias keluar dari rumah sakit.Ia tidak tahu pasti.Saat sedang menurunkan satu pot dari gantungan, matanya tak sengaja melihat laci kasir sedikit terbuka. Zanitha menurunkannya, lalu berjalan ke meja dan menarik laci tersebut.Sebuah kartu nama tergeletak rapi di sana.Matanya sempat menyipit, sebelum mengambilnya. Kertas itu tebal, dengan cetakan emboss elegan dan desain minimalis khas orang berpendidikan tinggi.Satria Yudhistira.Managing Director — Kencana Investmen
Tiga belas hari sejak pertama kali Mathias dilarikan ke rumah sakit.Langit Jakarta pagi itu cerah. Udara sedikit lebih hangat dari biasanya, menyusup pelan melalui jendela kamar VIP yang terbuka sebagian.Di dalam ruangan, Mathias duduk di tepi ranjang dengan bantal menyangga punggungnya, mengenakan kemeja linen putih longgar dan celana navy tipis. Wajahnya masih pucat, tapi lebih segar. Selang infus sudah dilepas sejak dua hari lalu.Zanitha berdiri di dekat koper hitam kecil yang baru saja ia rapihkan, memastikan semua perlengkapan Mathias sudah masuk ke sana.Di atas meja, satu buket mawar putih dan eucalyptus kering tersusun rapi, sebagai penutup perawatan hari-hari terakhir.“Sudah siap?” tanya Zanitha lembut, menatap pria tua itu dari balik rambut panjang yang diselipkan ke belakang telinga.Mathias mengangguk pelan. Tangannya menyentuh ujung kursi roda yang sudah disiapkan perawat. “Dokter bilang aku sudah cukup stabil untuk pulang,” katanya, nadanya seperti biasa—tenang
Setiap pagi, sebelum toko bunganya buka, Zanitha sudah tiba di rumah sakit membawa satu buket bunga segar—mawar putih, anggrek ungu, atau kadang lili Casablanca yang menjadi kesukaan mendiang istri Mathias. Ia meletakkannya di vas meja sudut ruangan, mengganti airnya, lalu memastikan aromanya tidak terlalu menusuk untuk ruangan rawat inap.“Ini bunga lili. Harumnya lembut, seperti musim semi di Munich,” gumamnya sambil menyusun tangkai-tangkai bunga di vas keramik putih.Mathias hanya menatap Zanitha dari atas ranjang, diam, tak berkomentar. Tapi matanya mengikuti gerak tangan Zanitha—lincah dan terampil.“Selamat pagi….” Bagian catering masuk membawa sarapan pagi untuk Mathias.“Ini sarapan paginya,” kata wanita itu sembari meletakan piring-piring di atas meja makan pasien portable beroda.“Terimakasih,” kata Zanitha sembari membuka plastik putih yang menjaga makanan tetap higienis.Zanitha duduk di samping ranjang Mathias, sudah siap untuk menyuapinya
Kantor cabang Helvion Group Indonesia di bilangan Kuningan masih sunyi saat Mathias masuk lebih awal seperti biasa.Ia duduk di ruangannya yang luas, dinding kaca memperlihatkan lanskap kota yang masih terbungkus kabut pagi. Di hadapannya bertumpuk berkas laporan logistik dari pelabuhan-pelabuhan besar—Tanjung Priok, Belawan, dan Surabaya.Matanya menatap tajam lembar-lembar berisi angka. Sesekali ia menandai beberapa data dengan stabilo kuning. Tangannya gemetar ringan tapi ia abaikan.Tubuhnya memang terasa lebih lemas sejak dua hari terakhir, tapi otaknya masih bekerja secepat biasa.“Kapasitas kontainer meningkat 12% dibanding kuartal lalu, tapi rute Sumatera masih defisit margin…,” gumamnya sambil menelusuri grafik. Pelipisnya mulai berdenyut.Ryan, sekretaris muda yang setia menemaninya masuk ke ruangan dengan iPad di tangan.“Tuan, ini laporan ekspor-impor tambahan dari gudang Batam—”“Aku sudah baca laporan yang lama. Kirim revisi ke Zurich, minta approval final dari An
Zurich, Helvion Group PusatRuang pertemuan VIP di lantai tertinggi yang bertempat di kantor pusat Helvion Group Zurich hari itu terasa jauh lebih sunyi dari biasanya.Sebastian Von Rotchschild duduk tegak di kursi kulit hitam, menatap pria paruh baya berjas kelabu yang baru saja duduk di depannya.Andrew Schwerin-ayah dari Adelina Schwerin.“Jadi, perjodohan ini gagal?” suara Sebastian pelan, tapi tajam.Pria di depannya menghela napas panjang sebelum menjawab, “Adelina sangat menyukai Ananta, itu pengakuannya sendiri. Tapi dia lebih memilih mundur karena tidak mau menjalani hidup dengan pria yang hatinya sudah diberikan kepada wanita lain.”Sebastian menautkan jemari. Matanya menyipit. “Dan kamu percaya itu alasan yang masuk akal untuk membatalkan pernikahan dua keluarga besar?”Ayah Adelina menatap Sebastian tajam. “Saya percaya anak saya lebih berhak memilih hidup yang jujur. Apakah Anda ingin melihat cucu Anda hidup dalam pernikahan yang penuh kepura-puraan hanya demi alia
Langit Zurich senja itu digelayuti awan tipis. Lampu-lampu di sepanjang jalan mulai menyala, menciptakan nuansa keemasan yang sendu.Di kamar bayi Mansion Ananta Von Rotchschild, suasana lebih tenang. Ares terlelap dalam pelukan ayahnya, sementara tangan kecilnya masih menggenggam ujung kemeja Ananta.Ananta duduk di kursi goyang, menatap wajah mungil itu dengan mata yang sembab oleh kelelahan batin. Di sudut ruangan dekat meja kecil di sampingnya, sebuah dasi dan jas hitam telah tergantung rapi—pakaian yang akan ia kenakan untuk malam ini.Makan malam perjodohan.“Maaf, Ares… Daddy akan pulang larut malam,” bisiknya sambil mencium kening sang putra. “Tapi sebelum Daddy pergi… Daddy harus pastikan kamu tidur nyenyak dulu.”Ares bergumam kecil dalam tidurnya, lalu memeluk lebih erat.Ananta menutup matanya, menghela napas panjang. Satu menit. Dua menit. Tiga menit. Lalu dengan perlahan, ia bangkit, membaringkan Ares ke tempat tidur, dan menyelimuti tubuh kecil itu dengan hati-hat
Malam telah larut di mansion Von Rotchschild, Zurich. Cahaya lampu temaram dari kamar kerja Ananta menyinari meja besar yang dipenuhi dokumen ekspansi pelabuhan, laporan kinerja divisi Shipping dan satu map cokelat tua yang sejak enam bulan lalu tidak pernah berpindah tempat dari lacinya.Map itu berisi dokumen gugatan cerai.Dokumen yang tidak pernah disentuh lagi sejak pertama kali Taylor menyerahkannya.Ananta duduk di kursi kulit hitam, menarik laci lalu mengeluarkan map tersebut sebelum akhirnya membukanya.Di dalam map ada sebuah berkas yang tertulis nama Zanitha Azkayra Wiranata dan namanya sendiri, lengkap dengan stempel pengacara keluarga Von Rotchschild.Tangannya mengusap halaman pertama dokumen itu, lalu mendesah panjang.Sudah berbulan-bulan Sebastian menanyakan hal ini. Bahkan Heinz dan Taylor pun bergantian menyampaikan permintaan agar dokumen itu segera ditandatangani. Tapi Ananta selalu punya alasan: rapat terlalu padat, jadwal penuh, atau dokumen belum diperiks
Sementara itu di mansion Zurich, Sebastian duduk di ruang musik bersama Ares yang tengah duduk di atas pangkuannya. “Lihat ini, Ares…” katanya sambil menekan tuts piano, memainkan melodi sederhana. Ares menatap jemari tua itu lalu ikut menekan satu dua tuts sembarangan setelahnya tertawa kecil. “Ha!” Sebastian terkekeh. “Kamu punya bakat musik rupanya?” Nanny yang berdiri di dekat pintu tersenyum. “Sepertinya dia nyaman sekali dengan Tuan Sebastian.” Sebastian menoleh, menatap cicitnya yang tersenyum sambil menepuk-nepuk piano. “Ananta sudah punya segalanya… tapi wanita itu… wanita itu telah membawa warna ke hidup bocah ini,” gumam Sebastian sambil memeluk Ares erat. Kenyataan bahwa Ananta kini adalah pewaris sah Helvion Group, memiliki kekuasaan, reputasi, bahkan seorang anak sebagai penerus garis darah keluarga Von Rotchschild. Ananta secara material dan status te