Setelah Ananta meninggalkan kondominium untuk bekerja, suasana terasa lebih tenang. Zanitha duduk di meja makan bersama Mathias, menikmati teh hangat yang dibuatnya sendiri.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa memiliki seseorang untuk diajak bicara.Mathias menyesap tehnya sambil menatap Zanitha dengan tatapan lembut. “Apa kamu bahagia menikah dengan Ananta?”Zanitha tersenyum kecil. “Sampai saat ini… cukup bahagia, Yah. Meski Ananta enggak banyak bicara.”Mathias terkekeh pelan. “Memang seperti itu Ananta sejak kecil. Dulu waktu masih kecil, dia lebih banyak diam, lebih suka menyendiri. Tapi dia selalu mendengarkan. Dia anak yang keras kepala, tapi juga sangat bertanggung jawab.”Zanitha mengangguk, meskipun dalam pikirannya, ia merasa sulit membayangkan Ananta kecil yang pendiam. Pria itu lebih sering terlihat arogan dan dingin. Tapi, mungkin saja ada sisi lain yang belum ia kenal.“Nanti Ayah akan bicara kepada Ananta agar lebih memperhatikanmu,” lanjut Math
“Yang benar saja, masa aku milikmu? Aku bukan barang!” Zanitha menekukan alisnya tajam menunjukkan tampang penolakan keras, dia menghempaskan tangan Ananta hingga terlepas cekalan pria itu dari pergelangan tangan.“Kamu istriku! Aku berhak atasmu!” Ananta meninggikan suara.“Ekhem ….” Dekheman seorang wanita membuat keduanya menoleh ke asal suara.“Tuan Ananta … apa aku mengganggu?” Suara itu begitu lembut diucapkan oleh bibir yang sedang tersenyum dengan gincu merah.Wanita cantik itu entah datang dari mana, begitu anggun dan seksi dengan tatapan mata sok polos seperti gadis-gadis dalam film dewasa.“Ah enggak.” Ananta menjawab tapi datar.Zanitha menatap wanita itu dari atas sampai bawah.“Aku tidak mengerti Tuan, kenapa kamu ingin menggunakan jasaku padahal ada istrimu di sini?” Sekarang sorot mata Ani-Ani itu tampak menilai Zanitha dari atas hingga bawah.Tidak sepolos tadi lagi.“Maksudnya?” Zanitha spontan bertanya, dengan sorot mata menuntut penjelasan. “Semenjak men
Saat Ananta masuk kembali ke kamar usai diskusi dengan Mathias, dia mendapati Zanitha sudah tertidur pulas.Ananta menyimpan kedua tangan sembari menatap Zanitha kesal.“Aku bilang jangan tidur dulu.” Pria itu menggerutu.Tapi memang malam sudah sangat larut dan besok mereka akan melakukan perjalanan udara belasan jam.Ananta merangkak naik ke atas ranjang melewati tubuh Zanitha.Sekuat tenaga Zanitha tidak bergerak karena sesungguhnya dia belum tidur.Dia hanya pura-pura karena belum siap bercinta dengan Ananta.Sampai usia dua puluh lima tahun hidupnya ini jangankan pria lain, papinya sendiri saja tidak pernah menyentuhnya.Sekalinya menyentuh Zanitha, Damar melabuhkan tamparan di pipi sang putra.Sungguh tragis memang nasib Zanitha.Dan ketika tadi Ananta menyentuhnya membuat seluruh syaraf Zanitha menegang.Ananta berbaring miring menatap punggung Zanitha, kilasan adegan dewasa tadi melintas di benaknya.Tubuh Zanitha yang mulus, seksi dan padat di tempat yang seharusn
“Papi … Nitha akan pergi, Ananta membawa Nitha ke Swiss … Nitha pamit, mungkin enggak akan pernah balik lagi ….” Zanitha menjeda karena dadanya terasa nyeri seperti dihantam sesuatu.Damar menatap lekat putrinya dengan genangan di mata.“Nitha enggak akan nyusahin Papi lagi, maafin Nitha kalau kehadiran Nitha di dunia ini malah mendatangkan penderitaan bagi Papi ….” Zanitha mengusap air matanya menggunakan punggung tangan dengan cepat.“Papi harus sehat ya … Papi lekas sembuh biar Nitha tenang.” Zanitha membungkuk lalu mengecup kening Damar.Damar tidak bergerak namun nafasnya memburu. Tetap bungkam sampai Zanitha keluar dari ruangan itu sambil berlinang air mata.Dan ketika pintu ruangannya ditutup oleh Zanitha dari luar, baru lah tangis Damar pecah.Air matanya mengalir deras, Damar menahan erangan tangisnya dengan menggigit bibir bawah.“Maafkan Papi, Nitha … maafkan Papi … Papi hanya enggak ingin kamu terus-terusan menderita, di bully mami dan Anin juga dilecehkan Aditya …
Zanitha masih mendengus kesal setelah ‘kejahatan’ Ananta di pemakaman tadi, tetapi wajahnya kembali berbinar saat melihat betapa mewahnya area boarding untuk First Class Suite yang mereka gunakan untuk penerbangan ke Swiss.Bandara memang penuh dengan hiruk-pikuk, tapi begitu mereka memasuki lounge eksklusif, suasana langsung berubah menjadi tenang, nyaman, dan elegan.“Ananta… kita benar-benar terbang dengan kelas ini?” bisik Zanitha, hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Lounge ini lebih mirip hotel bintang lima, dengan sofa mewah, layanan personal, dan berbagai makanan berkelas.Lagi-lagi Ananta hanya memberikan lirikan malas sebelum menyerahkan boarding pass kepada petugas.Zanitha langsung melihat tulisan First Class Suite pada tiketnya.“Duh… Aku suka hidup mewah,” Zanitha menggumam sambil tersenyum kecil, lupa akan kesedihan tadi di rumah sakit namun ekspresinya berubah saat Ananta menatap tajam. “Maksudku, ini keren sih, Ta.” Dia meluruskan lalu menyengir lucu.
Zanitha bangun lebih dulu, dia melewati Ananta saat hendak ke toilet.Turbulensi membuat Zanitha limbung dan nyaris menindih Ananta namun dia refleks menggunakan kedua tangannya untuk menopang tubuh di sisi kursi meski berakhir nyaris mencium bibir Ananta.Wajah mereka sangat dekat sekarang, dan dari jarak sedekat ini Zanitha bisa melihat detail wajah suaminya yang sangat … tampan.Zanitha sampai menahan nafas agar Ananta tidak terusik oleh hembusan nafasnya yang mungkin akan memburu karena jantungnya sedang berdebar kencang.Bulu mata Ananta cukup lebat dan lentik untuk ukuran pria, hidungnya yang mancung seperti perosotan TK dan bibirnya yang tipis pernah terasa di kulit leher juga di dada Zanitha.Sebelum Ananta terjaga, Zanitha berusaha bangkit dan melanjutkan niatnya ke lavatory.Dia membasuh wajah lalu menggosok giginya, entah sudah berapa jam mereka terbang, Zanitha lupa mengeceknya di layar televisi.Sorot matanya kembali menyendu mengingat pertemuannya dengan sang papi
Begitu roda pesawat menyentuh landasan Zurich Airport, Zanitha mengembuskan napas panjang, seolah baru saja melewati fase besar dalam hidupnya.Ia menoleh ke jendela, matanya menatap takjub ke luar.Pegunungan Alpen yang jauh tampak membingkai kota dengan keindahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Langit Zurich bersih dengan awan tipis menggantung, memberi kesan sejuk yang kontras dengan kelembaban Jakarta yang biasa ia rasakan.Zanitha menoleh ke samping, menatap Ananta yang masih tampak santai seperti tidak ada yang spesial.Tentu saja, bagi pria itu, ini bukanlah pengalaman pertama. Namun, bagi Zanitha, ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Swiss.“Turun,” suara Ananta terdengar dingin, memecah lamunan Zanitha.Zanitha mengikuti langkahnya, menuruni tangga pesawat dengan anggun meskipun jantungnya berdebar-debar.Begitu kakinya menyentuh landasan Zurich, angin musim semi yang sejuk menyapa wajahnya. Ia menghirup napas dalam-dalam, membiarkan udara sega
Begitu mobil mereka memasuki halaman mansion, Zanitha terpana melihat pemandangan di depannya.Meskipun mansion ini tidak sebesar Mansion Sebastian, tetap saja ukurannya luar biasa besar jika dibandingkan dengan rumah mewah pada umumnya.Bangunannya didominasi oleh kaca dan elemen kayu gelap, menciptakan kesan modern dan elegan.Lampu-lampu eksterior yang dipasang dengan presisi memberikan nuansa hangat, sangat kontras dengan kesan aristokratik dan kaku yang ia rasakan di mansion sang kakek.Pintu besar berlapis kayu ek mewah terbuka begitu mereka turun dari mobil. Seorang pria paruh baya dengan setelan hitam berdiri di depan pintu, membungkuk dengan hormat.“Selamat datang, Tuan Ananta dan Nyonya Zanitha. Saya Klaus, kepala pelayan di mansion ini. Saya telah menyiapkan segala sesuatu sesuai instruksi Tuan.” Suaranya dalam dan penuh wibawa seperti Heinz. Apa kepalanya pelayan di keluarga Von Rotchschild memiliki standar yang sama?Zanitha melirik ke arah Ananta yang hanya memb
Sementara itu di mansion Zurich, Sebastian duduk di ruang musik bersama Ares yang tengah duduk di atas pangkuannya. “Lihat ini, Ares…” katanya sambil menekan tuts piano, memainkan melodi sederhana. Ares menatap jemari tua itu lalu ikut menekan satu dua tuts sembarangan setelahnya tertawa kecil. “Ha!” Sebastian terkekeh. “Kamu punya bakat musik rupanya?” Nanny yang berdiri di dekat pintu tersenyum. “Sepertinya dia nyaman sekali dengan Tuan Sebastian.” Sebastian menoleh, menatap cicitnya yang tersenyum sambil menepuk-nepuk piano. “Ananta sudah punya segalanya… tapi wanita itu… wanita itu telah membawa warna ke hidup bocah ini,” gumam Sebastian sambil memeluk Ares erat. Kenyataan bahwa Ananta kini adalah pewaris sah Helvion Group, memiliki kekuasaan, reputasi, bahkan seorang anak sebagai penerus garis darah keluarga Von Rotchschild. Ananta secara material dan status te
Pagi yang sunyi di Zurich,Langkah Ananta menggema di lorong utama mansion Sebastian Von Rotchschild saat ia berjalan menuju ke sebuah ruang kerja.Di tangannya ada map hitam berisi laporan perkembangan proyek pelabuhan baru Helvion Shipping di kawasan Asia Tenggara—sebuah proyek ekspansi strategis yang sedang ia pimpin langsung.Sesampainya di depan pintu, Ananta mengetuk pelan.“Masuk,” suara Sebastian terdengar dari dalam.Ananta membuka pintu dan masuk dengan sikap tenang, namun matanya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar profesionalisme.“Ada yang ingin kamu sampaikan?” Sebastian langsung menatapnya tanpa basa-basi.Ananta mengangguk. “Aku akan ke Jakarta untuk inspeksi awal lokasi pelabuhan baru yang sedang kita rencanakan. Ada celah efisiensi distribusi di kawasan timur Indonesia. Aku perlu validasi lapangan sebelum eksekusi.”Sebastian menautkan jari-jari di atas meja. “Sendiri?” Keningnya berkerut disertai sorot mata penuh kecur
Pagi itu, langit Jakarta terlihat cerah, namun hati Zanitha justru terasa mendung. Ponselnya bergetar lembut dan di layar menampilkan nama: Ryan.Zanitha menjawab dengan suara pelan, “Halo, Mas Ryan?”Suara Ryan terdengar tenang, seperti biasa, tapi dengan nada berat yang tak bisa disembunyikan.“Selamat pagi, Nyonya. Saya minta maaf harus menyampaikan ini .…”Zanitha menegakkan punggung, firasat buruk langsung menyusup.“Ada apa?”“Saya… tidak bisa mendampingi Anda lagi dalam pembangunan toko bunga.”Ryan terdiam sejenak.“Ini perintah langsung dari Tuan Mathias. Saya diultimatum… dan saya tidak ingin Anda terseret masalah.”Zanitha menggigit bibir bawahnya, menahan rasa kecewa. Tapi ia tetap menjaga suaranya tetap stabil.“Saya mengerti, Mas. Kamu ‘kan memang sekretaris utama Helvion Group. Aku semestinya enggak boleh mengganggu kamu ….”Ryan menarik napas lega mendengar reaksi itu, meski tetap terdengar sedih.“Saya sudah menugaskan sepupu jauh saya. Namanya Bella—dia s
Setelah berkeliling pasar bunga dan memastikan kontrak dengan beberapa supplier, Ryan dan Zanitha mampir ke sebuah showroom interior kecil di Kemang yang direkomendasikan seorang kenalan florist.Di dalam, ruangan dipenuhi mock-up etalase toko, meja kasir bergaya industrial, lampu gantung rotan, serta rak kayu bergaya rustic. Segalanya tampak menawan—dan terlalu banyak pilihan untuk Zanitha yang perfeksionis.“Mas, kayu jati atau kayu pinus?” Zanitha berdiri di depan dua contoh rak display. “Yang jati lebih kokoh, tapi pinus warnanya lebih cerah.”Ryan mendekat, membuka map hitamnya lagi, lalu mencatat. “Kalau dari biaya produksi, pinus lebih murah. Tapi daya tahannya—”“Mas Ryan,” sela Zanitha cepat, “kamu tahu enggak, kamu tuh… bisa kerja jadi wedding planner.”Ryan tertawa pelan. “Jadi Nyonya mau bilang saya cerewet dan penuh catatan?”Zanitha nyengir. “Iya… Mas Ryan kaya google.”Ryan mengangguk dramatis. “Google… tapi versi manusia. Tanpa iklan.”Zanitha tertawa. Kemudian
Hidup nyaman bukan berarti hidup bahagia.Setidaknya itu yang Zanitha pelajari dalam satu minggu terakhir tinggal di apartemen megah kawasan SCBD. Kamar tidur luas dengan ranjang empuk, dapur lengkap, ruang kerja pribadi, balkon dengan pemandangan kota Jakarta dari ketinggian, bahkan mobil mewah dan supir yang selalu siap kapan pun. Tapi setiap malam saat ia terjaga dari tidur gelisah, hanya ada satu yang mengisi pikirannya.Ares.Tangisnya. Senyumnya. Suara gumam pelannya saat tertidur di dada Zanitha. Jemari mungilnya yang menggenggam erat saat menyusu. Semua itu tidak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Bahkan dalam diam, tubuh Zanitha masih terasa nyeri karena tidak lagi menyusui.Sementara itu, satu nama lainnya yang juga tak bisa ia lupakan…Ananta.Pria itu tidak menghubunginya, tidak mengirim pesan. Tidak juga mencoba menjelaskan. Seolah hubungan mereka sudah benar-benar selesai.Padahal Zanitha tahu, Ananta bukan pria yang begitu saja bisa melepaskan. Tapi mungkin…
Damar menatap punggung Zanitha yang sedang berdiri di depan meja teller sebuah bank swasta milik asing.Sebenarnya Damar tidak tega melakukan ini tapi dia tidak bisa mendapatkan suntikan dana segar lagi setelah hutangnya menumpuk di bank.Hanya Zanitha yang bisa menolongnya, beruntung uang kompensasi kawin kontrak yang diberikan Ananta jumlahnya sangat besar dan Damar yakin bisa mengembalikan perusahaannya seperti dulu.Damar tersenyum saat melihat Zanitha telah selesai dengan teller dan sedang berjalan mendekat.“Papi … transfernya sudah berhasil, ini buktinya.” Zanitha yang sudah duduk di samping Damar memberikan secarik kertas bukti yang diberikan teller.“Terimakasih Nitha … Terimakasih ya.” Damar menggenggam tangan Zanitha erat dengan tatapan nanar.Sang papi tidak pernah sedekat ini dengannya membuat Zanitha terharu.“Tapi Papi janji ya jangan berbuat curang lagi … Papi harus inget, Nitha seperti ini karena Von Rotchschild menganggap Papi adalah musuh mereka.” Zanitha men
Keesokan paginya, bel pintu apartemen berbunyi.Seorang pelayan membukakan pintu dan Ryan masuk dengan sopan.“Nyonya,” sapanya hangat.Zanitha keluar dari kamar, masih mengenakan kimono tidur. Rambutnya belum disisir, wajahnya tampak lelah dan sayu dengan mata bengkak karena semalaman memeras air mata. Ia memandang Ryan dengan alis terangkat.“Ada apa pagi-pagi sekali?” gumamnya pelan.“Saya hanya ingin mengecek keadaan nyonya,” jawab Ryan jujur. Zanitha menatapnya datar. “Seriusan? Ananta yang nyuruh Mas Ryan?” Dia menebak.“Enggak Nyonya, ini inisiatif saya …,” ujar Ryan tenang. “Sebagai orang yang ditugaskan membantu semua keperluan Anda di Jakarta… saya merasa perlu memastikan keadaan Anda secara langsung.”Zanitha tidak merespon. Ia hanya berbalik, berjalan ke arah sofa, lalu duduk dengan tubuh lemas.“Kopinya Nyonya ….” Asisten rumah tangga membawa dua mug kopi untuk Zanitha dan Ryan.Ryan duduk di single sofa di living room itu.“Saya juga ingin menyampaikan satu h
*Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta.Langit mendung menggantung rendah, seperti menahan tangis yang tidak sempat tumpah. Udara tropis menyambut Zanitha dengan kelembaban dan panas yang menusuk, begitu kontras dengan dingin elegan Zurich yang baru ia tinggalkan.Langkah kaki Zanitha menyentuh lantai terminal dengan pelan. Sandal hak rendah yang ia kenakan nyaris tidak menimbulkan suara, namun jantungnya berdetak kencang.Ryan berdiri tak jauh dari gate kedatangan, mengenakan setelan jas hitam dan kemeja abu-abu. Tatapannya tenang seperti biasa, namun kali ini ada sedikit ragu di sorot matanya saat melihat Zanitha.“Nyonya Zanitha,” sapanya begitu sopan.Zanitha mengangguk kecil. “Mas Ryan.”Ia tak banyak bicara. Matanya tampak kosong. Ada lelah yang begitu dalam, bukan hanya karena perjalanan, tapi karena kehilangan.“Mobil sudah menunggu di luar. Saya akan mengantar Anda ke apartemen,” ujar Ryan, mengambil alih koper Zanitha.Mobil Mercedes hitam yang dijanjikan Ryan kepada Anant
Beberapa saat setelah meninggalkan mansion Von Rotchschild.Limosin hitam yang membawa Zanitha melaju pelan di jalanan Zurich yang tenang. Di luar, dedaunan berwarna hijau segar menari pelan ditiup angin awal musim panas. Namun, suasana dalam mobil itu terasa beku.Taylor yang duduk di kursi depan sesekali melirik ke spion tengah. Sorot matanya tampak khawatir, meski wajahnya tetap profesional seperti biasa.Di kursi belakang, Zanitha duduk membisu. Tubuhnya kaku, tangannya mengepal erat di atas pangkuan, jemarinya dingin. Matanya kosong menatap keluar jendela, namun air matanya diam-diam turun, tanpa suara. Setiap detik terasa berat. Setiap jarak yang bertambah dari mansion Von Rotchschild membuat hatinya makin sesak.Setelah beberapa lama, suara Zanitha terdengar lirih, hampir seperti bisikan.“Taylor.”Pria itu segera menoleh sedikit, memberi perhatian penuh.“Ya Nyonya ….”“Saya ingin pergi ke kantor tuan Sebastian dulu,” katanya dengan sorot mata penuh harap kalau Taylor