Zanitha masih mendengus kesal setelah ‘kejahatan’ Ananta di pemakaman tadi, tetapi wajahnya kembali berbinar saat melihat betapa mewahnya area boarding untuk First Class Suite yang mereka gunakan untuk penerbangan ke Swiss.Bandara memang penuh dengan hiruk-pikuk, tapi begitu mereka memasuki lounge eksklusif, suasana langsung berubah menjadi tenang, nyaman, dan elegan.“Ananta… kita benar-benar terbang dengan kelas ini?” bisik Zanitha, hampir tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Lounge ini lebih mirip hotel bintang lima, dengan sofa mewah, layanan personal, dan berbagai makanan berkelas.Lagi-lagi Ananta hanya memberikan lirikan malas sebelum menyerahkan boarding pass kepada petugas.Zanitha langsung melihat tulisan First Class Suite pada tiketnya.“Duh… Aku suka hidup mewah,” Zanitha menggumam sambil tersenyum kecil, lupa akan kesedihan tadi di rumah sakit namun ekspresinya berubah saat Ananta menatap tajam. “Maksudku, ini keren sih, Ta.” Dia meluruskan lalu menyengir lucu.
Zanitha bangun lebih dulu, dia melewati Ananta saat hendak ke toilet.Turbulensi membuat Zanitha limbung dan nyaris menindih Ananta namun dia refleks menggunakan kedua tangannya untuk menopang tubuh di sisi kursi meski berakhir nyaris mencium bibir Ananta.Wajah mereka sangat dekat sekarang, dan dari jarak sedekat ini Zanitha bisa melihat detail wajah suaminya yang sangat … tampan.Zanitha sampai menahan nafas agar Ananta tidak terusik oleh hembusan nafasnya yang mungkin akan memburu karena jantungnya sedang berdebar kencang.Bulu mata Ananta cukup lebat dan lentik untuk ukuran pria, hidungnya yang mancung seperti perosotan TK dan bibirnya yang tipis pernah terasa di kulit leher juga di dada Zanitha.Sebelum Ananta terjaga, Zanitha berusaha bangkit dan melanjutkan niatnya ke lavatory.Dia membasuh wajah lalu menggosok giginya, entah sudah berapa jam mereka terbang, Zanitha lupa mengeceknya di layar televisi.Sorot matanya kembali menyendu mengingat pertemuannya dengan sang papi
Begitu roda pesawat menyentuh landasan Zurich Airport, Zanitha mengembuskan napas panjang, seolah baru saja melewati fase besar dalam hidupnya.Ia menoleh ke jendela, matanya menatap takjub ke luar.Pegunungan Alpen yang jauh tampak membingkai kota dengan keindahan yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Langit Zurich bersih dengan awan tipis menggantung, memberi kesan sejuk yang kontras dengan kelembaban Jakarta yang biasa ia rasakan.Zanitha menoleh ke samping, menatap Ananta yang masih tampak santai seperti tidak ada yang spesial.Tentu saja, bagi pria itu, ini bukanlah pengalaman pertama. Namun, bagi Zanitha, ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Swiss.“Turun,” suara Ananta terdengar dingin, memecah lamunan Zanitha.Zanitha mengikuti langkahnya, menuruni tangga pesawat dengan anggun meskipun jantungnya berdebar-debar.Begitu kakinya menyentuh landasan Zurich, angin musim semi yang sejuk menyapa wajahnya. Ia menghirup napas dalam-dalam, membiarkan udara sega
Begitu mobil mereka memasuki halaman mansion, Zanitha terpana melihat pemandangan di depannya.Meskipun mansion ini tidak sebesar Mansion Sebastian, tetap saja ukurannya luar biasa besar jika dibandingkan dengan rumah mewah pada umumnya.Bangunannya didominasi oleh kaca dan elemen kayu gelap, menciptakan kesan modern dan elegan.Lampu-lampu eksterior yang dipasang dengan presisi memberikan nuansa hangat, sangat kontras dengan kesan aristokratik dan kaku yang ia rasakan di mansion sang kakek.Pintu besar berlapis kayu ek mewah terbuka begitu mereka turun dari mobil. Seorang pria paruh baya dengan setelan hitam berdiri di depan pintu, membungkuk dengan hormat.“Selamat datang, Tuan Ananta dan Nyonya Zanitha. Saya Klaus, kepala pelayan di mansion ini. Saya telah menyiapkan segala sesuatu sesuai instruksi Tuan.” Suaranya dalam dan penuh wibawa seperti Heinz. Apa kepalanya pelayan di keluarga Von Rotchschild memiliki standar yang sama?Zanitha melirik ke arah Ananta yang hanya memb
“Apa-apaan itu tadi, Ta? Aku seperti dikeroyok! Untung Kakek sangat ramah dan menerimaku dengan baik.”Zanitha berjalan mondar-mandir di dalam kamar, ekspresi wajahnya tampak frustrasi.Gaun elegan itu masih melekat di tubuhnya, namun ia sudah melepas heels yang tadi dia lempar ke sudut ruangan tanpa peduli.Sementara itu, Ananta duduk di tepi ranjang dengan ekspresi datar, membuka kancing atas kemejanya dengan santai. “Memangnya kamu mengharapkan mereka menyambutmu dengan bunga dan karpet merah?” tanyanya dengan nada setengah mengejek.Zanitha berhenti melangkah, menatapnya dengan sorot mata tidak percaya. “Seenggaknya aku berharap mereka bersikap netral! Bukan langsung menilaiku seperti aku ini orang asing yang mencoba merebut warisan keluarga mereka!”Ananta mendesah panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke headboard ranjang. “Itulah kenyataannya, Nitha. Aku udah bilang, mereka menginginkan posisi kakek dan meskipun kamu anak Ratu Inggris sekalipun, kamu akan mendapatkan skeptis
Pagi di mansion terasa begitu tenang, hanya terdengar kicauan burung di taman dan suara gemericik air dari pancuran kecil di halaman belakang saat Zanitha dengan langkah anggun menapaki anak tangga.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.Zanitha baru saja turun ke ruang makan ketika ia nyaris tersedak oleh pemandangan yang ia lihat.Meja makan sudah ditata dengan begitu rapi dan elegan. Taplak meja linen berwarna krem lembut, peralatan makan dari perak mengkilap, dan piring porselen dengan ukiran emas di pinggirnya tersusun sempurna. Di tengah meja, terdapat vas kristal berisi bunga putih segar yang tampak mahal.Namun yang paling membuatnya syok adalah bagaimana para pelayan berdiri di sisi meja dengan sikap penuh penghormatan, seolah ia adalah seorang putri kerajaan yang sedang menunggu suaminya untuk bersantap pagi.Zanitha menoleh ke pelayan yang berada paling dekat dengannya, seorang wanita berusia sekitar empat puluhan dengan wajah ramah.“Ini… benar-benar seperti ini
Setelah kesadaran Zanitha kembali, dia masuk ke dalam mansion dengan wajah masih terlihat linglung.Langkahnya tidak tentu arah karena masih memikirkan ciuman panas tadi bahkan bibir Zanitha terasa kesemutan.Lalu langkahnya berhenti di depan dinding kaca yang menyajikan pemandangan area kolam renang mansion yang luas dan mewah.Kolam renang infinity itu seolah menyatu dengan pemandangan pegunungan di kejauhan, airnya jernih berkilauan tertimpa cahaya matahari.Lantai di sekitar kolam terbuat dari marmer eksklusif yang terasa sejuk di bawah kaki, sementara di sekitarnya terdapat kursi-kursi santai berlapis kain linen putih, beberapa dengan payung besar untuk melindungi dari terik matahari.Taman tropis dengan pepohonan hijau tertata rapi di sekitar area, memberikan suasana yang lebih privat. Pancuran air kecil mengalir dari dinding batu alam di sisi kolam, menciptakan suara gemericik yang menenangkan. Di pojok, terdapat gazebo dengan sofa nyaman dan meja kaca, tempat sempurna untu
Zanitha menelan saliva ketika Ananta menatapnya tajam, seolah-olah dia sudah menjadi milik pria itu sepenuhnya.Tangan Ananta yang besar menggenggam dagunya dengan kuat, mengangkat wajahnya agar tidak bisa menghindar dari sorotan mata penuh dominasi.“Kamu pikir aku akan menunda-nunda? Setelah dua istri pamanku berniat menjatuhkanmu? Aku enggak bisa membiarkan kelemahanmu menghambat rencana ini, Nitha.”Sepertinya Ananta mendapat informasi dari Klause kalau tante Livia juga datang tadi pagi bermaksud mendekatinya.Napas Zanitha tersengal saat Ananta merunduk kian dalam membuat dada mereka kini benar-benar saling bersentuhan.Dia ingin melawan, ingin berteriak, tetapi tubuhnya beku di tempat. Aura pria itu terlalu kuat, terlalu mendominasi, dan Zanitha tidak bisa berpaling.Tangan Ananta bergerak ke belakang tengkuk Zanitha, jari-jarinya menekan ringan sebelum bibir pria itu menelusuri sisi rahang Zanitha, menciptakan sensasi panas yang membuat tubuhnya
“Enak ‘kan kuenya?” Zanitha bertanya kepada Lena.Lena menganggukan kepala pelan.Detik berikutnya suara sirene ambulan yang menuju ke lantai ansion sebelah membuatnya menoleh.Kening Zanitha mengerut. Kenapa ada ambulans di sana?Dia bangkit dari kursinya diikuti Lena, mereka berdua mengawasi ambulan yang kini terparkir di pintu utama mansion.Saat keduanya masih dilanda tanda tanya besar, Klaus datang membawa satu pizza berukuran besar.“Klaus, siapa yang sakit di mansion sebelah?” tanyanya dengan nada khawatir.Klaus, yang selalu memiliki informasi tercepat, menjawab dengan tenang, “Tuan Elias, Nyonya. Dia… melakukan percobaan bunuh diri barusan.” Raut wajah Klaus tampak datar.Mata Zanitha melebar. “Apa?!”Jantungnya mencelos. Elias mencoba mengakhiri hidupnya?Kenapa?Apa yang membuatnya sampai seperti itu?Petugas medis baru saja keluar dari mansion sambil membawa tandu di mana sudah bisa dipastikan kalau Elias yang ada di atas tandu itu.Zanitha tidak bisa berbuat
Elias duduk di dalam kamar pribadinya di mansion keluarga Simon, menatap kosong ke arah gelas anggur yang hampir habis.Pagi ini begitu sunyi bahkan tidak terdengar suara burung berkicau di luar sana seolah mencerminkan kekosongan dalam hatinya.Di antara bayangan gelas kristal yang bergetar di tangannya, pikirannya terus berputar.Zanitha.Perempuan berparas cantik, baik hati, selalu ceria dan sayangnya adalah istri dari kakak sepupunya sehingga dia tidak bisa memiliki perempuan itu.Padahal Elias telah melakukan segalanya, mencoba menjadi sosok yang lebih baik, mencoba menunjukkan bahwa dia bisa menjadi pria yang lebih baik daripada Ananta. Namun, tetap saja….Zanitha tidak melihatnya. Tidak pernah sekalipun menempatkan namanya di hati perempuan itu atau menjadi pilihan disandingkan dengan Ananta.Tidak pernah.Di hati Zanitha hanya ada Ananta, suaminya yang dingin, kaku bahkan tidak bersahabat.Meski begitu Elias salut dengan perjuangan Ananta menjemput Zanitha ke privat i
Begitu mereka tiba di ruang makan, suasana langsung menjadi hidup. Madame Cécile Laurent, Giovanni De Luca, dan Marcel Fournier sudah duduk di kursi mereka, menikmati sarapan mewah di meja panjang yang menghadap ke laut.Begitu melihat Zanitha dan Ananta datang dengan tubuh dan wajah segar mengenakan pakaian casual tapi elegan ala old money, bibir mereka bertiga pun tersenyum.“Ah, akhirnya pasangan ini bergabung dengan kami,” ujar Giovanni sambil mengangkat gelasnya. “Kami sempat khawatir kalian akan memaksa terbang saat badai tadi malam.”Madame Cécile menatap Zanitha dengan penuh kebanggaan. “Cherie, kamu benar-benar luar biasa. Kamu tidak hanya menjadi wajah dari proyek ini, tapi juga membuktikan profesionalismemu.”Cherie adalah panggilan kesayangan Madame Cécile kepada Zanitha karena bibir Zanitha yang plumpy seperti buah Ceri.“Dan yang lebih mengesankan,” tambah Marcel Fournier, “adalah bagaimana kamu tetap setia pada suamimu, bahkan ketika banyak mata yang mencoba menggi
Pagutan Ananta tidak berhenti hanya melahap bibir Zanitha namun kemudian beralih ke bagian rahang dan lehernya pun menjadi sasaran keganasan hasrat pria itu.Sementara tangannya mengusap paha Zanitha membawa gaun dengan belahan hingga ke paha naik terus hingga ke pinggang.“Ta …,” desah Zanita saat jemari Ananta mengusap bagian intinya dari luar celana dalam.“Dokter enggak pernah melarang kita bercinta, kan?” Ananta berbisik di depan wajah Zanitha.“Enggak?” Zanitha menjawab parau, menelan saliva kelat. Tidak bisa Zanitha pungkiri, dia juga menginginkan itu.Lalu dengan satu tarikan lembut, Ananta berhasil melepaskan kain berenda Zanitha di bawah sana.Bibirnya mulai turun dari leher ke bagian dada usai berhasil menarik sleting di belakang punggung Zanitha membuat dua bongkahan besar yang tidak memakai bra itu tampak nyata di depan mata Ananta.Ananta merematnya dengan lembut sementara bagian yang satu lagi dia raup menggunakan mulutnya, memainkan lidahnya di sana.“Kenapa in
Ketika itu hujan semakin deras saat hari menuju sore.Ananta duduk di ruang meeting utama gedung Helvion Group. Presentasi dari salah satu eksekutifnya terus berjalan, tetapi pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Ia mengangkat tangannya, memijat pelipis yang terasa berat. Ada firasat buruk yang menghantui sejak pagi, meski ia tak tahu pasti apa penyebabnya.Setelah meeting selesai, Ananta mengantar para tamunya ke lobby.Sambil melangkah menuju ruangannya, Ananta merogoh ponsel lalu mengaktifkannya.Begitu dinyalakan, puluhan pesan masuk membanjiri layar—dan di antaranya, pesan dari Zanitha.Zanitha : Ta, aku akan pergi ke pesta perayaan proyek ini. Kami akan terbang menggunakan jet pribadi ke pulau eksklusif. Aku sebenarnya enggak terlalu ingin pergi, tapi karena aku adalah bintangnya, rasanya enggak enak jika tidak hadir. Aku akan segera pulang setelah acara selesai. Aku tahu kamu sibuk, jadi aku hanya ingin memberitahumu. Aku akan baik-baik saja, janga
Zanitha berdiri bersama seluruh tim termasuk designer yang mengerjakan proyek ini mengelilingi Elias yang berdiri di tengah lingkaran mereka, yang lain tampak antusias dan senang tapi tidak dengan Zanitha yang menatap kosong pria itu.Elias sedang memberi kabar bahagia tentang sebuah pesta dan mereka semua diundang.Sontak sorak bahagia disertai tepuk tangan mengudara kemudian satu persatu dari mereka bubar untuk mempersiapkan diri.“Kamu pasti datang, kan? Kamu adalah bintangnya.” Madame Cécile Laurent (Chanel) bertanya langsung kepada Zanitha.“Saya akan minta ijin suami dulu.” Zanitha tidak memberi kepastian.“Oh ayolah, gosip antara kamu dan Elias pun sudah tak terdengar lagi dan tampaknya suamimu juga mengerti dengan kondisi yang terjadi,” timpal Giovanni De Luca (Elie Saab).“Ingat Zanitha, kamu bintangnya … pesta tidak akan sempurna tanpa kamu.” Marcel Fournier (Dior) berujar demikian membuat Zanitha bimbang.“Kami sudah menyediakan privat jet khusus untuk kamu, jadi kam
Suara nyaring memekakan telinga datang dari powder room dekat ruang makan.Ananta yang sedang sarapan jadi tidak selera mendengar suara itu bukan karena jijik melainkan memikirkan istrinya tidak bisa masuk makanan sedikitpun.“Klaus, aku minta ice cream …,” kata Ananta memerintah.“Tapi Tuan, ini masih pagi dan di dalam ice cream tidak terkandung makanan bergizi yang baik untuk ibu hamil … kebanyakan adalah gula.” “Kalau begitu suruh koki buatkan ice cream yang baik dikonsumsi ibu hamil, aku tidak peduli rasanya karena istriku hanya bisa makan ice cream.” Ananta memaksa.“Baik Tuan.” Dan Klaus tidak memiliki pilihan kata selain itu.Saat terdengar suara kunci pintu powder room terbuka, Ananta langsung bangkit dari kursi memburu istrinya.Tadi Zanitha mengunci diri di sana karena tidak ingin Ananta melihat muntahannya.“Kamu makan buah-buahan aja ya,” kata Ananta sembari membantu Zanitha duduk.Zanitha mengangguk pasrah.Dan entah ap
Mansion Sebastian Von Rotchschild berdiri megah di bawah cahaya sore, dikelilingi taman luas yang dipenuhi bunga-bunga eksotis. Namun, keindahan itu tidak bisa menghapus ketegangan yang menyelimuti ruangan utama di dalamnya.Di meja makan panjang yang biasa digunakan untuk pertemuan keluarga, Sebastian duduk di kursi utama dengan ekspresi penuh wibawa. Di sekelilingnya, para anggota keluarga Von Rotchschild telah berkumpul. Ada Rafael, Seraina, Simon, Amelie, dan tentu saja, Elias yang duduk dengan ekspresi campuran antara kepedulian dan sesuatu yang lebih sulit ditebak.Dan di ujung meja, Ananta duduk dengan santai, sementara di sebelahnya, Zanitha tampak tenang meskipun dalam hatinya ada ketakutan besar. Ia tahu, pertemuan ini bukan sekadar makan malam keluarga biasa. Ini adalah panggilan penghakiman.Sebastian menyesap tehnya sebelum akhirnya berbicara."Ananta," suara tuanya terdengar dalam dan penuh tekanan, "Aku yakin kamu sudah membaca berita yang beredar di luar sana. Tent
Di salah satu mansion megah keluarga Von Rotchschild, Simon duduk santai di sofa besar dengan cangkir teh hitam di tangannya.Sore itu, langit Zurich berwarna keemasan, dan angin musim semi berhembus lembut dari jendela terbuka, membawa aroma teh herbal yang khas.Di sebelahnya, Amelie-sang istri, duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan menyesap tehnya perlahan.Matanya terpaku pada layar televisi yang sedang menyiarkan berita terbaru tentang keluarga mereka.“BREAKING NEWS: Istri Ananta Von Rotchschild Dicurigai Mengandung Anak Elias Von Rotchschild?”Di layar, beberapa foto ditampilkan—Elias yang membawa Zanitha keluar dari rumah sakit, Elias yang duduk di samping ranjang rumah sakit dengan senyum khasnya, dan berbagai spekulasi yang mulai berkembang di media.Amelie meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi yang cukup nyaring, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.Tangannya bahkan bertepuk beberapa kali, seolah menikmati tontonan yang sangat menghibur.“Suamiku sayang, li