Zanitha menelan saliva ketika Ananta menatapnya tajam, seolah-olah dia sudah menjadi milik pria itu sepenuhnya.Tangan Ananta yang besar menggenggam dagunya dengan kuat, mengangkat wajahnya agar tidak bisa menghindar dari sorotan mata penuh dominasi.“Kamu pikir aku akan menunda-nunda? Setelah dua istri pamanku berniat menjatuhkanmu? Aku enggak bisa membiarkan kelemahanmu menghambat rencana ini, Nitha.”Sepertinya Ananta mendapat informasi dari Klause kalau tante Livia juga datang tadi pagi bermaksud mendekatinya.Napas Zanitha tersengal saat Ananta merunduk kian dalam membuat dada mereka kini benar-benar saling bersentuhan.Dia ingin melawan, ingin berteriak, tetapi tubuhnya beku di tempat. Aura pria itu terlalu kuat, terlalu mendominasi, dan Zanitha tidak bisa berpaling.Tangan Ananta bergerak ke belakang tengkuk Zanitha, jari-jarinya menekan ringan sebelum bibir pria itu menelusuri sisi rahang Zanitha, menciptakan sensasi panas yang membuat tubuhnya
Sinar matahari yang menyelinap melalui celah gorden menyentuh kulit Zanitha, membangunkannya perlahan dari tidur yang dalam dan lelap setelah semalaman digempur tanpa ampun oleh Ananta.Begitu matanya terbuka, ia segera menyadari sesuatu—tubuhnya terasa nyeri luar biasa. Setiap inci tubuhnya seperti habis dihantam badai, terutama di bagian intinya yang terasa perih dan ngilu sekaligus.Saat kesadarannya kembali sepenuhnya, ia menyadari satu hal lagi ternyata masih berada dalam dekapan Ananta.Pria itu tidur dengan tenang di belakangnya, satu lengannya melingkari pinggangnya erat sementara satu tangannya lagi ada di bawah leher Zanitha seolah memastikan bahwa Zanitha tidak bisa pergi ke mana pun.Dadanya yang bidang dan hangat bersentuhan langsung dengan punggungnya, membuat Zanitha merasakan kehangatan yang menjalar dari kulit ke kulit.“Oh Tuhan… apa yang sudah kulakukan semalam?” Zanitha membatin sembari memejamkan mata erat.Kilasan kejadian tadi mal
Setelah berkendara selama beberapa menit dalam keheningan, akhirnya Ananta menghentikan mobil di sebuah kawasan yang tampak klasik dengan bangunan-bangunan tua khas Eropa yang berdiri kokoh.Udara sore di Zurich terasa sejuk, angin berembus lembut membawa aroma kopi dari kafe-kafe kecil di sepanjang jalan berbatu yang tertata rapi.Langit biru cerah dengan semburat oranye dari matahari yang mulai condong ke barat memberikan kesan hangat di tengah kesejukan musim semi.Zanitha turun dari mobil dengan hati berdebar, matanya berbinar melihat suasana sekitar. “Kita di mana?” tanyanya sambil melirik ke arah Ananta yang dengan santai memasukkan tangannya ke dalam saku celana linen-nya.“Altstadt,” jawab Ananta singkat, menutup pintu mobil dan berjalan mendahuluinya.Zanitha mengerjap, lalu mengerutkan kening. “Altstadt? Kota tua Zurich?” Dia mengejar langkah Ananta yang panjang dan sigap.Ananta mengangguk, lalu meliriknya sekilas. “Kamu bilang ingin jalan-jalan. Zurich punya banyak t
Langit Zurich sudah gelap ketika mobil mereka akhirnya memasuki halaman mansion.Lampu-lampu eksterior menerangi jalan masuk, memberikan kilauan hangat di antara pepohonan yang berjajar rapi.Zanitha turun dari mobil lebih dulu, menoleh ke belakang saat melihat Ananta masih duduk di kursinya, tangannya memijit pelipis dengan gerakan lambat.Pria itu tampak… lelah.Zanitha mengernyit, tapi tidak mengatakan apa-apa.Mereka sudah menghabiskan waktu yang cukup lama di luar dan meskipun pria itu tidak menunjukkan ekspresi berlebihan, Zanitha tahu bahwa Ananta menikmati jalan-jalan mereka.Bahkan, pria itu tidak menunjukkan wajah sekaku biasanya.“Ayo masuk,” kata Ananta akhirnya, tanpa menoleh ke arah Zanitha.Wanita itu mengangguk kecil dan melangkah lebih dulu ke dalam mansion.Sesampainya di kamar, Zanitha segera mengganti pakaian dengan piyama satin lembut berwarna merah muda. Rambutnya digerai begitu saja, terasa ringan setelah seharian dia ikat saat berada di luar rumah.Ke
Setelah Ananta pergi ke kantor, Zanitha memutuskan untuk berjalan-jalan di taman yang luas di halaman mansion.Udara sejuk dan aroma bunga yang bermekaran menyambut langkahnya. Burung-burung berkicau riang di antara pepohonan tinggi, sementara dedaunan yang berguguran tertiup angin menciptakan suasana damai.Di sudut taman, seorang tukang kebun sedang merawat tanaman dengan penuh perhatian. Pria tua itu menyadari kehadiran Zanitha dan tersenyum ramah.“Selamat pagi, Nyonya.”Zanitha membalas senyumannya. “Pagi. Tamannya indah sekali.”Tukang kebun itu mengangguk bangga. “Tuan Ananta sangat memperhatikan taman ini, beliau selalu ingin segalanya terlihat sempurna.”Mendengar itu, Zanitha terdiam sejenak. Ananta dan kesempurnaannya—tidak heran kalau pria itu selalu menuntut segalanya berada dalam kendalinya.Setelah berbasa-basi sebentar, Zanitha melanjutkan langkahnya. Ia berjalan ke halaman samping yang jarang dikunjungi sebelumnya.Di sana, hamparan bunga lavender bergoyang le
Suasana makan malam di mansion terasa jauh lebih hening dari biasanya.Zanitha duduk di kursinya dengan tenang, menyendok makanannya tanpa ekspresi, sementara di seberangnya, Ananta menikmati steak dengan gerakan perlahan sesekali mencuri pandang ke arah istrinya.Biasanya, meskipun hubungan mereka sering diwarnai adu argumen, Zanitha akan berbicara atau setidaknya menanyakan sesuatu kepada Ananta—walaupun hanya basa-basi karena Zanitha sama sekali bukan perempuan tipe pendiam.Tapi malam ini berbeda.Wanita itu tidak mengeluarkan satu kata pun. Bahkan tatapannya tak sekalipun terangkat untuk melihat sang suami tampan di depannya.Ananta yang semula santai mulai merasa gelisah.Tentu saja dia tahu alasan kenapa Zanitha mendiamkannya.Ananta menyuapkan potongan steak terakhirnya ke mulut, lalu meletakkan pisau dan garpunya dengan perlahan.“Kata Klaus tadi kamu jatuh di taman.” Ananta membuka topik pembicaraan, dia ingin mendengar cerita langsung dari Zanitha kenapa bisa berakh
Sejak pagi, suasana hati Ananta sudah buruk.Duduk di kursi CEO di kantor Shipping Helvion Group, ia menatap layar MacBook dengan ekspresi datar.Seharusnya Ananta fokus pada laporan keuangan yang sedang dipresentasikan oleh manajernya, tapi pikirannya justru melayang ke mansion di mana Zanitha berada.Seharusnya ia lega karena wanita itu akhirnya berhenti mengganggunya. Seharusnya ia senang karena Zanitha tidak lagi mencari-cari perhatiannya.Tapi nyatanya?Setiap detik Ananta justru menunggu reaksi dari wanita itu.Setiap kali ponselnya bergetar, Ananta berharap itu pesan dari Zanitha—meskipun hanya satu kata singkat atau permintaan absurd.Tapi sejak pagi tadi, ponselnya tetap sepi.Tidak ada pesan.Tidak ada panggilan.Tidak ada perhatian.Ananta mendengus pelan, menyandarkan punggung ke kursinya.“Jadi … bagaimana Tuan? Apakah saya bisa lanjutkan ke laporan berikutnya?” Sang manager bertanya untuk yang kedua kalinya karena tidak ada jawaban dari Ananta padahal tatapan
Langit Zurich sudah mulai gelap ketika mobil Ananta memasuki halaman mansion dengan kecepatan stabil. Cahaya lampu jalan yang temaram memantulkan bayangannya di kaca mobil, tetapi pria itu tetap diam dengan rahang mengeras.Di samping kemudi, Taylor-sang sekretaris, menoleh ke belakang membaca ekspresi tajam majikannya yang sedang menahan emosi.Tanpa banyak bicara, begitu mobil berhenti di depan pintu utama mansion, Ananta langsung turun. Langkahnya lebar dan penuh wibawa, tubuhnya tegak, dan sorot matanya menyiratkan ketenangan yang mencekam.Ia berjalan lurus melewati koridor menuju taman samping tempat Klaus melaporkan bahwa Elias sedang menikmati teh bersama Zanitha.Ketika pria itu sampai di taman, ia menemukan pemandangan yang langsung memanaskan darahnya.Zanitha duduk di salah satu kursi besi berbantal empuk tampak begitu anggun menggunakan dress lengan panjang motif floral, sementara Elias duduk di hadapannya dengan ekspresi santai, mengenakan kemeja linen yang terlihat
“Enak ‘kan kuenya?” Zanitha bertanya kepada Lena.Lena menganggukan kepala pelan.Detik berikutnya suara sirene ambulan yang menuju ke lantai ansion sebelah membuatnya menoleh.Kening Zanitha mengerut. Kenapa ada ambulans di sana?Dia bangkit dari kursinya diikuti Lena, mereka berdua mengawasi ambulan yang kini terparkir di pintu utama mansion.Saat keduanya masih dilanda tanda tanya besar, Klaus datang membawa satu pizza berukuran besar.“Klaus, siapa yang sakit di mansion sebelah?” tanyanya dengan nada khawatir.Klaus, yang selalu memiliki informasi tercepat, menjawab dengan tenang, “Tuan Elias, Nyonya. Dia… melakukan percobaan bunuh diri barusan.” Raut wajah Klaus tampak datar.Mata Zanitha melebar. “Apa?!”Jantungnya mencelos. Elias mencoba mengakhiri hidupnya?Kenapa?Apa yang membuatnya sampai seperti itu?Petugas medis baru saja keluar dari mansion sambil membawa tandu di mana sudah bisa dipastikan kalau Elias yang ada di atas tandu itu.Zanitha tidak bisa berbuat
Elias duduk di dalam kamar pribadinya di mansion keluarga Simon, menatap kosong ke arah gelas anggur yang hampir habis.Pagi ini begitu sunyi bahkan tidak terdengar suara burung berkicau di luar sana seolah mencerminkan kekosongan dalam hatinya.Di antara bayangan gelas kristal yang bergetar di tangannya, pikirannya terus berputar.Zanitha.Perempuan berparas cantik, baik hati, selalu ceria dan sayangnya adalah istri dari kakak sepupunya sehingga dia tidak bisa memiliki perempuan itu.Padahal Elias telah melakukan segalanya, mencoba menjadi sosok yang lebih baik, mencoba menunjukkan bahwa dia bisa menjadi pria yang lebih baik daripada Ananta. Namun, tetap saja….Zanitha tidak melihatnya. Tidak pernah sekalipun menempatkan namanya di hati perempuan itu atau menjadi pilihan disandingkan dengan Ananta.Tidak pernah.Di hati Zanitha hanya ada Ananta, suaminya yang dingin, kaku bahkan tidak bersahabat.Meski begitu Elias salut dengan perjuangan Ananta menjemput Zanitha ke privat i
Begitu mereka tiba di ruang makan, suasana langsung menjadi hidup. Madame Cécile Laurent, Giovanni De Luca, dan Marcel Fournier sudah duduk di kursi mereka, menikmati sarapan mewah di meja panjang yang menghadap ke laut.Begitu melihat Zanitha dan Ananta datang dengan tubuh dan wajah segar mengenakan pakaian casual tapi elegan ala old money, bibir mereka bertiga pun tersenyum.“Ah, akhirnya pasangan ini bergabung dengan kami,” ujar Giovanni sambil mengangkat gelasnya. “Kami sempat khawatir kalian akan memaksa terbang saat badai tadi malam.”Madame Cécile menatap Zanitha dengan penuh kebanggaan. “Cherie, kamu benar-benar luar biasa. Kamu tidak hanya menjadi wajah dari proyek ini, tapi juga membuktikan profesionalismemu.”Cherie adalah panggilan kesayangan Madame Cécile kepada Zanitha karena bibir Zanitha yang plumpy seperti buah Ceri.“Dan yang lebih mengesankan,” tambah Marcel Fournier, “adalah bagaimana kamu tetap setia pada suamimu, bahkan ketika banyak mata yang mencoba menggi
Pagutan Ananta tidak berhenti hanya melahap bibir Zanitha namun kemudian beralih ke bagian rahang dan lehernya pun menjadi sasaran keganasan hasrat pria itu.Sementara tangannya mengusap paha Zanitha membawa gaun dengan belahan hingga ke paha naik terus hingga ke pinggang.“Ta …,” desah Zanita saat jemari Ananta mengusap bagian intinya dari luar celana dalam.“Dokter enggak pernah melarang kita bercinta, kan?” Ananta berbisik di depan wajah Zanitha.“Enggak?” Zanitha menjawab parau, menelan saliva kelat. Tidak bisa Zanitha pungkiri, dia juga menginginkan itu.Lalu dengan satu tarikan lembut, Ananta berhasil melepaskan kain berenda Zanitha di bawah sana.Bibirnya mulai turun dari leher ke bagian dada usai berhasil menarik sleting di belakang punggung Zanitha membuat dua bongkahan besar yang tidak memakai bra itu tampak nyata di depan mata Ananta.Ananta merematnya dengan lembut sementara bagian yang satu lagi dia raup menggunakan mulutnya, memainkan lidahnya di sana.“Kenapa in
Ketika itu hujan semakin deras saat hari menuju sore.Ananta duduk di ruang meeting utama gedung Helvion Group. Presentasi dari salah satu eksekutifnya terus berjalan, tetapi pikirannya melayang jauh ke tempat lain. Ia mengangkat tangannya, memijat pelipis yang terasa berat. Ada firasat buruk yang menghantui sejak pagi, meski ia tak tahu pasti apa penyebabnya.Setelah meeting selesai, Ananta mengantar para tamunya ke lobby.Sambil melangkah menuju ruangannya, Ananta merogoh ponsel lalu mengaktifkannya.Begitu dinyalakan, puluhan pesan masuk membanjiri layar—dan di antaranya, pesan dari Zanitha.Zanitha : Ta, aku akan pergi ke pesta perayaan proyek ini. Kami akan terbang menggunakan jet pribadi ke pulau eksklusif. Aku sebenarnya enggak terlalu ingin pergi, tapi karena aku adalah bintangnya, rasanya enggak enak jika tidak hadir. Aku akan segera pulang setelah acara selesai. Aku tahu kamu sibuk, jadi aku hanya ingin memberitahumu. Aku akan baik-baik saja, janga
Zanitha berdiri bersama seluruh tim termasuk designer yang mengerjakan proyek ini mengelilingi Elias yang berdiri di tengah lingkaran mereka, yang lain tampak antusias dan senang tapi tidak dengan Zanitha yang menatap kosong pria itu.Elias sedang memberi kabar bahagia tentang sebuah pesta dan mereka semua diundang.Sontak sorak bahagia disertai tepuk tangan mengudara kemudian satu persatu dari mereka bubar untuk mempersiapkan diri.“Kamu pasti datang, kan? Kamu adalah bintangnya.” Madame Cécile Laurent (Chanel) bertanya langsung kepada Zanitha.“Saya akan minta ijin suami dulu.” Zanitha tidak memberi kepastian.“Oh ayolah, gosip antara kamu dan Elias pun sudah tak terdengar lagi dan tampaknya suamimu juga mengerti dengan kondisi yang terjadi,” timpal Giovanni De Luca (Elie Saab).“Ingat Zanitha, kamu bintangnya … pesta tidak akan sempurna tanpa kamu.” Marcel Fournier (Dior) berujar demikian membuat Zanitha bimbang.“Kami sudah menyediakan privat jet khusus untuk kamu, jadi kam
Suara nyaring memekakan telinga datang dari powder room dekat ruang makan.Ananta yang sedang sarapan jadi tidak selera mendengar suara itu bukan karena jijik melainkan memikirkan istrinya tidak bisa masuk makanan sedikitpun.“Klaus, aku minta ice cream …,” kata Ananta memerintah.“Tapi Tuan, ini masih pagi dan di dalam ice cream tidak terkandung makanan bergizi yang baik untuk ibu hamil … kebanyakan adalah gula.” “Kalau begitu suruh koki buatkan ice cream yang baik dikonsumsi ibu hamil, aku tidak peduli rasanya karena istriku hanya bisa makan ice cream.” Ananta memaksa.“Baik Tuan.” Dan Klaus tidak memiliki pilihan kata selain itu.Saat terdengar suara kunci pintu powder room terbuka, Ananta langsung bangkit dari kursi memburu istrinya.Tadi Zanitha mengunci diri di sana karena tidak ingin Ananta melihat muntahannya.“Kamu makan buah-buahan aja ya,” kata Ananta sembari membantu Zanitha duduk.Zanitha mengangguk pasrah.Dan entah ap
Mansion Sebastian Von Rotchschild berdiri megah di bawah cahaya sore, dikelilingi taman luas yang dipenuhi bunga-bunga eksotis. Namun, keindahan itu tidak bisa menghapus ketegangan yang menyelimuti ruangan utama di dalamnya.Di meja makan panjang yang biasa digunakan untuk pertemuan keluarga, Sebastian duduk di kursi utama dengan ekspresi penuh wibawa. Di sekelilingnya, para anggota keluarga Von Rotchschild telah berkumpul. Ada Rafael, Seraina, Simon, Amelie, dan tentu saja, Elias yang duduk dengan ekspresi campuran antara kepedulian dan sesuatu yang lebih sulit ditebak.Dan di ujung meja, Ananta duduk dengan santai, sementara di sebelahnya, Zanitha tampak tenang meskipun dalam hatinya ada ketakutan besar. Ia tahu, pertemuan ini bukan sekadar makan malam keluarga biasa. Ini adalah panggilan penghakiman.Sebastian menyesap tehnya sebelum akhirnya berbicara."Ananta," suara tuanya terdengar dalam dan penuh tekanan, "Aku yakin kamu sudah membaca berita yang beredar di luar sana. Tent
Di salah satu mansion megah keluarga Von Rotchschild, Simon duduk santai di sofa besar dengan cangkir teh hitam di tangannya.Sore itu, langit Zurich berwarna keemasan, dan angin musim semi berhembus lembut dari jendela terbuka, membawa aroma teh herbal yang khas.Di sebelahnya, Amelie-sang istri, duduk dengan anggun, menyilangkan kaki dan menyesap tehnya perlahan.Matanya terpaku pada layar televisi yang sedang menyiarkan berita terbaru tentang keluarga mereka.“BREAKING NEWS: Istri Ananta Von Rotchschild Dicurigai Mengandung Anak Elias Von Rotchschild?”Di layar, beberapa foto ditampilkan—Elias yang membawa Zanitha keluar dari rumah sakit, Elias yang duduk di samping ranjang rumah sakit dengan senyum khasnya, dan berbagai spekulasi yang mulai berkembang di media.Amelie meletakkan cangkir tehnya dengan bunyi yang cukup nyaring, lalu tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.Tangannya bahkan bertepuk beberapa kali, seolah menikmati tontonan yang sangat menghibur.“Suamiku sayang, li