Aku pulang ketika kerjaan udah kelar semua.Aku naik motor agar lebih cepat sampai ke rumah. Di tengah jalan, ponselku bergetar. Pas sampai rumah aku lihat pesan yang masuk. Undangan reuni sesama teman-teman SD dua minggu lagi. Tempat belum ditentukan di mana, dan aku abaikan pesan itu, donk.Bukan sombong, aku sibuk sekali ngurus restaurant dan harus fokus di sana. Modal yang terbenam sudah banyak dan itu dari hasil kerja kerasku juga ngumpulin dari satu kontes ke kontes masak lain. Rumah begitu sepi, paling ada Diandra aja yang sesekali keluar kamar mengambil minum. Papa dan Mama pasti sudah tidur duluan. [Ditunggu jawaban dari Iqis. Udah lama banget nggak ketemu sama kamu.] Pesan yang aku baca ketika mataku sudah lima wat. Hmmm apa dah. Aku tu malas ngumpul-ngumpul kalau bahas kekonyolan masa lalu. Masa di mana aku nggak tahu malu. Fix aku senyapkan ponsel dan nggak peduli apa yang terjadi. Pokoknya aku tidur dulu. Bahkan sampai ke alam mimpi pun aku dikejar gurita kaki seribu
Apalah daya, tanganku tak mampu mempertahankan pengkhianat. Udah nggak aku laporkan ke kantor polisi aja bagus banget. Imbasnya sama kerjaku hari ini, agak berantakan. Makanan yang aku masak dengan tanganku berkali-kali kena komplain. Papa pernah bilang mood masak mempengaruhi cita rasa masakan, dan mood perempuan paling cepet hancur. Makanya lebih baik di pastry yang tekanannya lebih rendah. Tapi apa pun itu aku berusaha bertanggung jawab. Tiga orang pelanggan yang protes dengan cita rasa kami kali ini aku gratiskan saja. Daripada buat review buruk di medsos dan tahu sendiri gimana reaksi netizen. [Iqis, jangan lupa makan.] Papaku mengirim pesan. Aku foto saja makanan yang aku ambil dari bahan sisa. Agak mau nangis makannya, tapi aku harus strong. Tiga tahun membuka restaurant udah banyak banget suka duka yang aku lewati. Kadang aku pendam sendirian, kadang kalau nggak kuat cerita juga sama Papa. “Chef.” Waitress datang dan aku tahu pasti mengabarkan kalau restauran sudah tutu
Bang Ale keluar dari mobi dan sempat salaman sama papaku. Tapi bukan itu yang aku takutkan. Melainkan tatapan kanjeng mama serupa silet yang mengoyak keberanianku. “Hayo siapa? Udah mulai berani sama cowok, ya,” kata Mama sambil masukkan batu. “Nah, itu dia, Ma, dia kenal Iqis, tapi Iqis nggak,” jawabku sambil ikut main congklak. “Kok, bisa, sih? Kelewat sombong jadi orang? Makanya jangan kerja terooos.” “Emang nggak ingat, Ma, katanya temen SD.” “Ya, kamu SD suka cari gara-gara sama temen. Pantesan banyak lupanya. Lain kali jangan begitu. Sana bilang makasih, ajak masuk basa-basi buatin makan.” “Nanti dia malah serius, Ma.” “Yee, biarin aja, kan ada Papa di rumah, bukan kita kayak maling.” Mama membereskan congklaknya dan aku terpaksa mengiyakan saran beliau. Aku berjalan menuju Papa dan Bang Ale yang asyik ngobrol. “Bang, kata Mama masuk makan dulu.” Udah kutengoklah muka dia ini, tapi ada ingatan sedikit pun. “Udah malam, Qis, kapan-kapan aja. Saya pulang duluan, Om.” Dia
“Tolong minta bill tagihan yang meja 20 itu?” pintaku pada waitrees.Gusti Allah paringi kulo kewarasan. Habis kena tipu karyawan sendiri. Terus traktir tiga orang yang datang malah satu batalyon. Aku cek saldo, mengsad sekali. Bisa, sih, minta sama Papa, tapi kapan aku mandirinya kalau disokong terus? “Chef, yang meja 20 orang itu udah dibayar, terus yang lain pada bayar sendiri-sendiri, gitu katanya.” Aku jadi nggak enak hati dibuatnya. Tapi aku udah nggak sanggup lagi buat ke meja. “Layani tamu dengan baik, jangan lupa kasih acar dan terserah, deh, pokoknya ngggak ada lagi review buruk atas restaurant kita.” Aku masuk ke ruanganku. Di sana aku menutup mata, menaikkan kaki ke meja dan turu bentarlah. Ngantuk, mager, capek, semua rasa berbaur menjadi satu. Kali ini biarlah restaurant diurus karyawan. Bener kata Papa, aku butuh refreshing sejenak. Tapi ke mana, ya? Habis lebaran bagusnya. Soalnya pas ramadhan dua tahun dan setahun lalu, resto selalu ramai sama warga dari timur t
“Resto tutup dua jam lebih cepat, ya, saya ada tamu spesial hari ini,” ucapku pada pelayan melalui alat komunikasi. Dan ternyata ingatan mereka jauh lebih baik daripada aku. Resto udah hampir ditutup. Ke mana aja aku dari tadi? Kayaknya beneran aku butuh refreshing bentar. Ke LN lagi gitu? Aku mandi di kamar mandi yang tersedia di ruangan setelah dikunci rapat. Pakaian sudah aku bawa ke dalam tas. Rangkaian skin care aku pakai nggak lupa make up tipis-tipis. Namanya reuni itu sedikit banyaknya ya pasti ada pamernya. Tapi dari semua hal aku penasaran banget sama Bang Ale. Kenapa juga dia nggak mau to the point siapa dirinya. Ada tiga dress yang aku bawa. Coba sana sini dan nggak ada yang cocok sama jilbab. Nggak mungkin minta Dian antar dress lagi ke sini. “Chef, temen-temennya mulai datang itu.” Terdengar suara pelayan usai ketukan di pintu. “Iya, bentar lagi saya siap,” jawabku sambil memakai jarum pentul. Akhirnya aku pakai baju koki aja, biarin deh, kelihatan habis kerja ker
“Ya kalau kamu nggak percaya dia itu le minerale, terus kemana temen kamu yang namanya Ale Armania itu, Qis?” Bu Zahra membuatku diam membisu. Sesekali aku lirik Bang Ale yang naikin alis ke arahku. Terus aku malu ketahuan liatin dia, terus jantungku jadi deg degan, terus aja gitu sampai makanan timur tengah dicampurin rawit setan. Nggak akan pernah kejadian. “Ya udah aku percaya. Sory, ya, le minerale, eh Bang Ale. Aku nggak kenal sama kamu, soalnya beda banget waktu SD sama udah jadi bapak orang gini.” “Enak aja, Qis, aku belum jadi bapak orang. Aku masih jadi jomlo kesepian?” “Terus kamu pikir aku percaya gitu?” Mana ada ceritanya abdi negara nggak ada cewek. Begh, yang ada di tempat dinas sini lain di tempat dinas sana lain juga. Lain daerah lain pacarnya. “Makaaan!” teriak temanku yang sudah lama dihadapkan pada hidangan. Aku mempersilakan semua menikmati hidangan yang aku buat. Aku cicip juga dikit-dikit. Beberapa dari mereka mengunyah sambil mendalami ekspresi. “Kalau di
Nggak salah denger aku, kan? Pemenangnya si le minerale? Nasi goreng sederhana pelit toping itu? “Ibu, salah nggak? Bu, yang ini punya Iqis.” Aku sampai menyodorkan nasgor milikku lagi pada dua wali kelas. “Nggak, kami nggak salah, kok, Nak Iqis. Yang lebih enak yang ini,” tunjuknya pada piring Bang Ale. Aku menoleh ke arahnya, dia tersenyum penuh makna. Nggak, nggak, nggak bener sama sekali ini. “Ibu, coba cicipin sekaliii lagi aja.” Bisa jadi salah sebut, kan, ya? Diturutinlah permintaanku, sesendok dicicip dan keputusan masih sama. Oh, tidak bisa dibiarkan. Bisa gempar jagad dunia masak kalau sampai aku kalah dari seorang yang amatir begini. “Buk, tolong, Buk, Ibuk lihat wajah Iqis sekaliiii lagi aja. Saya yang lomba sampai ke luar negeri. Yang jadi chef itu saya, yang kerja di dapur itu tiap hari itu saya. Yang juara satu itu saya, yang jadi juri lomba masak anak-anak juga saya. Tolong, Buk, tolooong,” pintaku sambil memohon. Dua ibu wali kelas memandang wajahku sekali, lag
Walau tampilannya sederhana gini, kok, bisa enak, ya? Eh, berarti aku ngaku kalah, donk? Nggak bisa gitu. Aku harus panggil papa sebagai juri yang adil. Sepuluh menit kemudian. Dengan wajah ngantuk dan mulut menguap, Papa dan Mama duduk di meja yang berisikan dua nasi goreng. Aku sengaja nggak kasih tahu mana buatanku mana buatan le mineral. Penjurian dimulai. “Enakan ini, deh.” Mama jelas mengenali masakan anaknya. “Lebih mewah ini, tapi soal rasa ini punya ciri khas.” Kaaan, si papa nunjuk piringnya Ale. Pupus sudah harapanku. “Ada apa, ada apa?” Dian ikutan bangun. Kalau udah lihat makanan hidungnya pasti bisa mengendus walau disembunyikan di kolong jembatan. Nggak perlu basa-basi, Dian langsung ambil sendok dan nyicipin. “Ini pasti buatan anak magang,” tunjuknya di piringku, “enakan yang ini.” Udahlah. Pemenangnya mau gimanapun tetap dia. “Ini buatan Iqis, ini buatan temen yang nganterin pulang waktu itu.” Akhirnya aku jujur pada semuanya. “Kok, bisa?” tanya Mama. “Nggak