Mamas yang siap-siap syuting. Diandra yang bangun nggak mau tidur lagi, terus Iqis yang ada aja buat ulah. Membuat pag hariku amat sangat damai langgeng sejahtera merdeka-merdeka. Sambil siapin sarapan, sambil gendong anak. Aku berubah semua karena cintaku pada Mas Jimmin. Ya, sudahlah, mau gimana lagi. “Dah, Papa pergi dulu, mungkin pulangnya agak lama. Kalau di sekolah nanti jangan kasih Iqis jajan yang terlalu banyak warna, bahaya.” Mas Jimmin mengecup kening dua anaknya, aku beda lagi donk yang dicium, Ngoahahahah, kasihan jomlo yang nggak bisa niruin. Sehabis papanya pergi pakai jemputan dari salah satu tim yang minta bantuan dia. Aku pun lanjut sarapan karena perut laper. Rencana dietku gagal total sudah. Pas mau diet ada aja makanan disuguhin. Aku harus apa? Ya harus pasrah aja, nggak ada pilihan lain. Bahkan ketika aku nggak bisa menikmati makanan dengan nikmat karena Diandra nangis, dan Iqis ngambek. Nikmat luar biasa menjadi ibu rumah tangga. Makanya kedai kue milikku
“Apa kata ibu gurunya tadi?” tanya mamas ketika kami sudah di rumah. Iqis lanjut ngaji di masjid dan belum pulang. Diandra main di karpet bulu sama kami dan Mas Jimmin keluarin cemilan dari dalam tas. “Disuruh ajarin Iqis jadi perempuan lemah lembut, anggun, soleh, penuh kasih sayang.” Eh, iya, loh emang gitu pesan gurunya. Ha ha ha ha ha. Mas Jimmin ketawa. Nggak puas juga, dia ketawa lagi sampai ngakak sampai keluar air mata. Ada yang lucu apa, ya? “Kenapa, sih, Mas?” “Lemah lembut, ahahahaha.” “Mas!” Aku greget. Lama-lama aku jadikan samsak baru tahu rasa. “Emang kamu dulu lemah lembut?” Pertanyaannya membuatku membeku. “Kok, jadi bahas, Can, sih.” Aku mengambil biskuit dan aku kunyah sampai rapuh. Aslinya pengen gigit Mamas. “Istriku yang paling cantik dan semok. Dengar baik-baik, ya, buah jatuh itu nggak jauh dari pohonnya. Kecuali di bawah ada sungai tu buahnya hanyut. Ngertiiii?” Ceileh, main peribahasa lagi. To the point aja kenapa? “Ya, terus?” “Ya kamu dulu pernah
Kebahagiaan terpancar dari wajah Kayla dan Chef Putra. Walau aku sendiri nggak rela. Nggak tahu, deh, kenapa. Padahal bucin mereka mendatangkan rupiah buatku. Kemudian waktu terus berjalan dengan cepat. Umurku bertambah, umur Mamas juga. Terus berita pernikahan keempat Kayla dan Chef Putra yang membuat kami hampir kena serangan jantung dadakan. “Nggak bisa, ini nggak bisa!” tunjukku pada kartu undangan yang dibawa Mamas. “Ya, memang udah jodohnya, mau gimana, Can. Jangan lupa cake ulang tahun empat tingkat dari kamu, ya,” jawab Mas Jimmin santai aja tanpa beban. Aku yang syok, entah kenapa juga kaget. Padahal mereka bukan saudara apalagi anak. “Mahal nih kue kalau untuk pernikahan.” “Santai, Chef Putra berani bayar mahal demi sebuah kualitas. Asal jangan lupa pantunnya.” “Burung elang burung cendrawasih,” kataku masi kesel. “Terus?” Mamas menunggu lanjutannya. “Cukup sekian dan terima kasih.” Aku meletakkan kartu undangan di meja. Orang sekeren Chef Putra dapat Kayla itu ras
Sirup ABC, sigh. Itu nama kecilku dari dulu. Sebenernya aku nggak suka. Tapi gimanalah, punya orang tua keduanya pelawak, ya, emang ini. Btw, Bestie, sekarang aku sudah besar. Umurku sudah 23 tahun. Aku sudah memiliki pekerjaan sendiri. Nggak jauh dari dunia yang papaku geluti. Iqis panggilanku dari dulu, walau lebih sering dipanggil yang lain. Mamaku namanya Cantika Wulandari. “Cantika Ayu Jelitta. Bukan Wulandari.” Suara mamaku tergiang-ngiang lagi di telinga. Papaku sendiri, Jimmin Zola, beliau sudah … hmmm, pensiun. Maksudku lebih banyak di rumah istirahat dan sesekali mengurus bisnis. Di umur sebelas tahun aku berhasil menyabet juara satu untuk sebuah ajang masak bergengsi di kalangan anak-anak. Yang aku tahu dulu ternyata papa juri pertamanya dan mama jadi peserta. Kontrasepsi, eh, konspirasi macam apa ini? Apakah dari sana aku lahir? Dari adonan tepung, gula, ragi, susu dan pengembang hingga brojollah anak seperti aku. Sejak kemenangan yang akhirnya aku tahu diributkan n
Aku pulang ketika kerjaan udah kelar semua.Aku naik motor agar lebih cepat sampai ke rumah. Di tengah jalan, ponselku bergetar. Pas sampai rumah aku lihat pesan yang masuk. Undangan reuni sesama teman-teman SD dua minggu lagi. Tempat belum ditentukan di mana, dan aku abaikan pesan itu, donk.Bukan sombong, aku sibuk sekali ngurus restaurant dan harus fokus di sana. Modal yang terbenam sudah banyak dan itu dari hasil kerja kerasku juga ngumpulin dari satu kontes ke kontes masak lain. Rumah begitu sepi, paling ada Diandra aja yang sesekali keluar kamar mengambil minum. Papa dan Mama pasti sudah tidur duluan. [Ditunggu jawaban dari Iqis. Udah lama banget nggak ketemu sama kamu.] Pesan yang aku baca ketika mataku sudah lima wat. Hmmm apa dah. Aku tu malas ngumpul-ngumpul kalau bahas kekonyolan masa lalu. Masa di mana aku nggak tahu malu. Fix aku senyapkan ponsel dan nggak peduli apa yang terjadi. Pokoknya aku tidur dulu. Bahkan sampai ke alam mimpi pun aku dikejar gurita kaki seribu
Apalah daya, tanganku tak mampu mempertahankan pengkhianat. Udah nggak aku laporkan ke kantor polisi aja bagus banget. Imbasnya sama kerjaku hari ini, agak berantakan. Makanan yang aku masak dengan tanganku berkali-kali kena komplain. Papa pernah bilang mood masak mempengaruhi cita rasa masakan, dan mood perempuan paling cepet hancur. Makanya lebih baik di pastry yang tekanannya lebih rendah. Tapi apa pun itu aku berusaha bertanggung jawab. Tiga orang pelanggan yang protes dengan cita rasa kami kali ini aku gratiskan saja. Daripada buat review buruk di medsos dan tahu sendiri gimana reaksi netizen. [Iqis, jangan lupa makan.] Papaku mengirim pesan. Aku foto saja makanan yang aku ambil dari bahan sisa. Agak mau nangis makannya, tapi aku harus strong. Tiga tahun membuka restaurant udah banyak banget suka duka yang aku lewati. Kadang aku pendam sendirian, kadang kalau nggak kuat cerita juga sama Papa. “Chef.” Waitress datang dan aku tahu pasti mengabarkan kalau restauran sudah tutu
Bang Ale keluar dari mobi dan sempat salaman sama papaku. Tapi bukan itu yang aku takutkan. Melainkan tatapan kanjeng mama serupa silet yang mengoyak keberanianku. “Hayo siapa? Udah mulai berani sama cowok, ya,” kata Mama sambil masukkan batu. “Nah, itu dia, Ma, dia kenal Iqis, tapi Iqis nggak,” jawabku sambil ikut main congklak. “Kok, bisa, sih? Kelewat sombong jadi orang? Makanya jangan kerja terooos.” “Emang nggak ingat, Ma, katanya temen SD.” “Ya, kamu SD suka cari gara-gara sama temen. Pantesan banyak lupanya. Lain kali jangan begitu. Sana bilang makasih, ajak masuk basa-basi buatin makan.” “Nanti dia malah serius, Ma.” “Yee, biarin aja, kan ada Papa di rumah, bukan kita kayak maling.” Mama membereskan congklaknya dan aku terpaksa mengiyakan saran beliau. Aku berjalan menuju Papa dan Bang Ale yang asyik ngobrol. “Bang, kata Mama masuk makan dulu.” Udah kutengoklah muka dia ini, tapi ada ingatan sedikit pun. “Udah malam, Qis, kapan-kapan aja. Saya pulang duluan, Om.” Dia
“Tolong minta bill tagihan yang meja 20 itu?” pintaku pada waitrees.Gusti Allah paringi kulo kewarasan. Habis kena tipu karyawan sendiri. Terus traktir tiga orang yang datang malah satu batalyon. Aku cek saldo, mengsad sekali. Bisa, sih, minta sama Papa, tapi kapan aku mandirinya kalau disokong terus? “Chef, yang meja 20 orang itu udah dibayar, terus yang lain pada bayar sendiri-sendiri, gitu katanya.” Aku jadi nggak enak hati dibuatnya. Tapi aku udah nggak sanggup lagi buat ke meja. “Layani tamu dengan baik, jangan lupa kasih acar dan terserah, deh, pokoknya ngggak ada lagi review buruk atas restaurant kita.” Aku masuk ke ruanganku. Di sana aku menutup mata, menaikkan kaki ke meja dan turu bentarlah. Ngantuk, mager, capek, semua rasa berbaur menjadi satu. Kali ini biarlah restaurant diurus karyawan. Bener kata Papa, aku butuh refreshing sejenak. Tapi ke mana, ya? Habis lebaran bagusnya. Soalnya pas ramadhan dua tahun dan setahun lalu, resto selalu ramai sama warga dari timur t