Laurent sudah mengetahui segalanya. Skandal demi skandal yang menimpa keluarga Everstone membuat media nyaris tak berhenti menyorotinya. Tapi yang ia rasakan bukanlah iba. Bukan pula simpati.Ia hanya tersenyum tipis, menatap roti panggang hangat di atas piringnya seolah hari itu adalah pagi yang biasa. Nyaman dan tenang.“Kau terlihat sangat bahagia, sayang,” suara Adrian memecah keheningan pagi dari seberang meja.“Hm…” Laurent menyandarkan tubuhnya pada kursi, jemarinya memutar cangkir teh. “Aku memang bahagia. Sayang, kau percaya pada karma?”Adrian mengangkat alis. “Percaya. Apa yang kau tanam, itu pula yang akan kau tuai.”Laurent tertawa pelan, tawa yang lebih mirip gumaman puas. “Dulu aku seperti sendirian di dunia ini. Tak ada tempat berpijak, tak ada tempat bernaung. Tapi sekarang…” Ia menatap jauh, seolah membayangkan wajah Damian. “Sekarang Damian merasakan semuanya.”Adrian ikut tertawa. “Alicia kabur, bukan? Perempuan itu... dia menakutkan. Dia mencoba membunuh banyak or
Kondisi Nyonya Everstone berangsur membaik. Dokter mengatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan—meski ia masih terlihat lemah, napasnya telah teratur dan detak jantungnya stabil. Namun, yang menghantam lebih keras bukanlah kondisi fisiknya—melainkan kenyataan yang baru saja ia dengar.Ketika Damian memberitahu siapa pelakunya, ekspresi wanita paruh baya itu membeku. “Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. Matanya melebar, penuh keterkejutan dan rasa tak percaya.“Dia wanita berbahaya, Bu,” kata Damian, suaranya berat. Ia berdiri di sisi ranjang, menatap ibunya yang kini berusaha duduk dengan bantuan bantal. “Sangat berbahaya. Ibu tak tahu siapa dia sebenarnya.”Nyonya Everstone menghela napas keras, matanya memejam sejenak sebelum terbuka kembali dengan sorot amarah yang samar. “Kenapa kau bisa bertemu dengan gadis seperti itu?” tanyanya pelan, suaranya mengandung rasa kecewa yang begitu dalam. Untuk pertama kalinya, ia terlihat tak lagi membela Alicia.Damian menunduk sejenak sebelum
Laurent duduk diam di sudut lobi rumah sakit, tubuhnya tegak namun jiwanya bergemuruh. Matanya menatap kosong ke depan, tak benar-benar melihat apa pun. Ia berusaha keras menenangkan pikirannya yang bergejolak.Ada rasa jijik yang menyelusup dalam dirinya, menjalar hingga ke tulang. Jijik pada dirinya sendiri—karena membiarkan pria itu… menyentuhnya, memeluknya begitu erat, mencium bibirnya dengan kasar dan penuh hasrat di kamar Dante.Laurent memejamkan mata, rahangnya mengeras. Napasnya masih tak teratur, berdesir cepat di dadanya seperti badai kecil yang tak kunjung reda. Ia menekuk jemarinya yang dingin di pangkuan, mencoba meredam amarah dan rasa malu yang membara di balik kulitnya yang dingin.Setelah beberapa menit, ia berhasil menguasai dirinya kembali. Ia menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan, lalu bangkit dari bangku. Dante… Anak itu pasti menunggunya. Ia tak boleh terlihat lemah di hadapan anak yang telah mencuri hatinya itu.Langkahnya mantap menuju lift. Tanga
Sore itu...Damian membuka pintu mobil dan membantu ibunya duduk di bangku penumpang dengan hati-hati. Jalanan sore tampak lengang, dan langit mulai merona jingga keemasan, memantulkan bayangan yang temaram di jendela mobil.Ia masuk dan duduk di samping Nyonya Everstone, tubuhnya bersandar ringan di jok kulit yang dingin. Jemarinya mengepal pelan di pangkuan.“Karena Alicia sudah pergi…” Damian membuka suara, nadanya berat namun tenang, “sepertinya aku tak punya alasan lagi untuk mengurus Darley, Bu.”Ibunya menoleh pelan, menatap wajah anak lelakinya yang kini dipenuhi keteguhan dan luka masa lalu yang samar-samar masih terpantul di sorot matanya.“Aku akan fokus merebut hati Elara kembali,” lanjut Damian, menatap ke depan, ke jalan yang memanjang seperti takdirnya sendiri. “Lagipula... Darley bukan darah dagingku. Dulu aku memutuskan untuk merawatnya karena ingin menebus kesalahanku... karena kupikir Darley kecil adalah anakku.”Nyonya Everstone hanya mengangguk. “Baiklah. Ibu aka
Lauren dan Adrian memutuskan untuk berlibur ke luar negeri selama lima hari. Sebuah bulan madu singkat sekaligus perayaan kecil untuk menandai ulang tahun pernikahan mereka yang ke empat.Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi saat mereka bersiap meninggalkan rumah. Di ruang keluarga, Elea yang masih balita duduk bersila di lantai, memeluk boneka kesayangannya. Matanya berbinar meski sedikit bingung melihat koper besar yang dibawa kedua orang tuanya."Elea, jangan nakal ya. Main sama Kakak Dante, jangan buat Pengasuh repot," ucap Lauren sambil membungkuk mencium pipi putrinya.Elea mengangguk kecil, lalu melambaikan tangan kecilnya dengan polos. Sementara itu, Dante—kakaknya yang berusia empat tahun—berdiri kaku di sisi sofa. Wajahnya cemberut."Dante nggak mama pergi," katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia hampir menangis. Adrian tersenyum, meraih bahu putranya dan menatap matanya dengan tenang. "Hanya lima hari, Dante. Kamu anak yang pintar. Jaga adikmu. Jangan nakal.
Kapal itu melaju tenang di atas laut biru keperakan, membelah permukaan air yang berkilau di bawah cahaya sore. Angin laut bertiup lembut, menggoyangkan tirai-tirai kecil di dalam kabin. Namun di balik ketenangan itu, tersembunyi niat gelap yang tengah dijalankan dengan dingin.Di dalam salah satu kamar mewah kapal, Laurent terbaring lemah. Tubuhnya belum sadar sepenuhnya, napasnya halus dan perlahan. Wajahnya tampak pucat, kontras dengan gaun lembut yang melekat di tubuhnya.Damian duduk di sisi ranjang, menatapnya dalam diam. Matanya mengamati setiap lekuk wajah mantan istrinya. Ada sesuatu yang liar dan tak terkendali dalam sorot matanya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang nyaris menyeramkan."Dia benar-benar sudah berubah," gumamnya pelan. Tangannya menyentuh ujung rambut Laurent. "Kenapa kau tidak secantik ini sejak dulu, hah?"Kapal perlahan menjauh dari daratan, meninggalkan dermaga yang kian menghilang di balik kabut senja. Tak ada sinyal. Tak ada suara selain gemur
Setelah lukanya dibersihkan dan dibalut oleh sang asisten, Damian duduk bersandar di kursi ruang tamu vila. Lampu temaram memantulkan cahaya redup ke wajahnya yang dingin dan penuh perhitungan.Rencananya sangat sederhana. Terlalu sederhana, hingga terasa kejam.Ia hanya perlu membuat Laurent terlihat buruk di mata Adrian. Lalu, pria itu akan menceraikannya. Setelah itu… apa pun yang terjadi pada wanita itu, tak akan ada yang peduli.Dengan cara itu, Laurent—entah ia suka atau tidak—akan menjadi miliknya.**Jam satu dini hari.Keheningan vila yang pekat hanya diselingi suara lembut ombak di kejauhan. Damian berdiri di ambang pintu kamar Laurent, diam-diam mengamati siluet tubuh perempuan itu yang terbaring di ranjang, membelakanginya. Blusnya masih setengah terbuka, seperti sebelumnya. Rambutnya terurai berantakan di atas bantal, membuatnya tampak rapuh… dan indah dalam kesunyian.Lampu tidak dinyalakan. Cahaya bulan menyusup melalui tirai yang tersingkap sebagian, menciptakan bay
Laurent menatap Damian dengan sorot mata tajam penuh bara. Pergelangan tangannya masih merah, bekas ikatan yang baru saja dilepas oleh lelaki itu. Nafasnya memburu, bukan karena takut—tapi karena marah."Aku tahu kenapa kau melakukan semua ini," desisnya lirih, tapi tajam bak belati.Damian berdiri membisu, rahangnya mengeras. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya."Dulu, kau bahkan tak sudi menatapku. Kau jijik padaku, Damian. Kau tak pernah memberiku kesempatan menjadi istrimu… dan sekarang?" suara Laurent meninggi, getarannya menyimpan luka lama yang kembali menganga. "Sekarang kau ingin bersamaku?"Matanya berkilat. Luka masa lalu menari-nari dalam tatapannya. "Karena aku sudah seperti ini, ya? Karena aku sudah punya nama, karena aku sudah berdiri di atas kakiku sendiri, makanya kau datang mencariku!" tuduh Laurent, nadanya penuh amarah dan kekecewaan yang mendidih.Damian masih tak bergeming, tapi matanya tak lepas dari wajah Laurent."Jangan lupa, Damian," ucap Laurent l
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis