Sore itu...Damian membuka pintu mobil dan membantu ibunya duduk di bangku penumpang dengan hati-hati. Jalanan sore tampak lengang, dan langit mulai merona jingga keemasan, memantulkan bayangan yang temaram di jendela mobil.Ia masuk dan duduk di samping Nyonya Everstone, tubuhnya bersandar ringan di jok kulit yang dingin. Jemarinya mengepal pelan di pangkuan.“Karena Alicia sudah pergi…” Damian membuka suara, nadanya berat namun tenang, “sepertinya aku tak punya alasan lagi untuk mengurus Darley, Bu.”Ibunya menoleh pelan, menatap wajah anak lelakinya yang kini dipenuhi keteguhan dan luka masa lalu yang samar-samar masih terpantul di sorot matanya.“Aku akan fokus merebut hati Elara kembali,” lanjut Damian, menatap ke depan, ke jalan yang memanjang seperti takdirnya sendiri. “Lagipula... Darley bukan darah dagingku. Dulu aku memutuskan untuk merawatnya karena ingin menebus kesalahanku... karena kupikir Darley kecil adalah anakku.”Nyonya Everstone hanya mengangguk. “Baiklah. Ibu aka
Lauren dan Adrian memutuskan untuk berlibur ke luar negeri selama lima hari. Sebuah bulan madu singkat sekaligus perayaan kecil untuk menandai ulang tahun pernikahan mereka yang ke empat.Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi saat mereka bersiap meninggalkan rumah. Di ruang keluarga, Elea yang masih balita duduk bersila di lantai, memeluk boneka kesayangannya. Matanya berbinar meski sedikit bingung melihat koper besar yang dibawa kedua orang tuanya."Elea, jangan nakal ya. Main sama Kakak Dante, jangan buat Pengasuh repot," ucap Lauren sambil membungkuk mencium pipi putrinya.Elea mengangguk kecil, lalu melambaikan tangan kecilnya dengan polos. Sementara itu, Dante—kakaknya yang berusia empat tahun—berdiri kaku di sisi sofa. Wajahnya cemberut."Dante nggak mama pergi," katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Ia hampir menangis. Adrian tersenyum, meraih bahu putranya dan menatap matanya dengan tenang. "Hanya lima hari, Dante. Kamu anak yang pintar. Jaga adikmu. Jangan nakal.
Kapal itu melaju tenang di atas laut biru keperakan, membelah permukaan air yang berkilau di bawah cahaya sore. Angin laut bertiup lembut, menggoyangkan tirai-tirai kecil di dalam kabin. Namun di balik ketenangan itu, tersembunyi niat gelap yang tengah dijalankan dengan dingin.Di dalam salah satu kamar mewah kapal, Laurent terbaring lemah. Tubuhnya belum sadar sepenuhnya, napasnya halus dan perlahan. Wajahnya tampak pucat, kontras dengan gaun lembut yang melekat di tubuhnya.Damian duduk di sisi ranjang, menatapnya dalam diam. Matanya mengamati setiap lekuk wajah mantan istrinya. Ada sesuatu yang liar dan tak terkendali dalam sorot matanya. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang nyaris menyeramkan."Dia benar-benar sudah berubah," gumamnya pelan. Tangannya menyentuh ujung rambut Laurent. "Kenapa kau tidak secantik ini sejak dulu, hah?"Kapal perlahan menjauh dari daratan, meninggalkan dermaga yang kian menghilang di balik kabut senja. Tak ada sinyal. Tak ada suara selain gemur
Setelah lukanya dibersihkan dan dibalut oleh sang asisten, Damian duduk bersandar di kursi ruang tamu vila. Lampu temaram memantulkan cahaya redup ke wajahnya yang dingin dan penuh perhitungan.Rencananya sangat sederhana. Terlalu sederhana, hingga terasa kejam.Ia hanya perlu membuat Laurent terlihat buruk di mata Adrian. Lalu, pria itu akan menceraikannya. Setelah itu… apa pun yang terjadi pada wanita itu, tak akan ada yang peduli.Dengan cara itu, Laurent—entah ia suka atau tidak—akan menjadi miliknya.**Jam satu dini hari.Keheningan vila yang pekat hanya diselingi suara lembut ombak di kejauhan. Damian berdiri di ambang pintu kamar Laurent, diam-diam mengamati siluet tubuh perempuan itu yang terbaring di ranjang, membelakanginya. Blusnya masih setengah terbuka, seperti sebelumnya. Rambutnya terurai berantakan di atas bantal, membuatnya tampak rapuh… dan indah dalam kesunyian.Lampu tidak dinyalakan. Cahaya bulan menyusup melalui tirai yang tersingkap sebagian, menciptakan bay
Laurent menatap Damian dengan sorot mata tajam penuh bara. Pergelangan tangannya masih merah, bekas ikatan yang baru saja dilepas oleh lelaki itu. Nafasnya memburu, bukan karena takut—tapi karena marah."Aku tahu kenapa kau melakukan semua ini," desisnya lirih, tapi tajam bak belati.Damian berdiri membisu, rahangnya mengeras. Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya."Dulu, kau bahkan tak sudi menatapku. Kau jijik padaku, Damian. Kau tak pernah memberiku kesempatan menjadi istrimu… dan sekarang?" suara Laurent meninggi, getarannya menyimpan luka lama yang kembali menganga. "Sekarang kau ingin bersamaku?"Matanya berkilat. Luka masa lalu menari-nari dalam tatapannya. "Karena aku sudah seperti ini, ya? Karena aku sudah punya nama, karena aku sudah berdiri di atas kakiku sendiri, makanya kau datang mencariku!" tuduh Laurent, nadanya penuh amarah dan kekecewaan yang mendidih.Damian masih tak bergeming, tapi matanya tak lepas dari wajah Laurent."Jangan lupa, Damian," ucap Laurent l
Setelah satu jam berlalu, Damian menaiki tangga menuju lantai atas, langkahnya mantap menuju kamar Laurent. Begitu membuka pintu, tubuhnya menegang. Jendela besar terbuka lebar, membiarkan angin malam masuk dan menerbangkan tirai tipis yang berkibar liar. Aroma laut menyusup masuk, dingin dan tajam.Matanya langsung menatap ke bawah jendela. Kosong. Tak ada siapa pun. Tapi jejak tali yang terjuntai dari atas hingga menyentuh tanah cukup memberi tahu segalanya."Dia benar-benar tak takut mati," gumam Damian, suara serak di antara helaan napas tertahan.Ia mengeluarkan ponselnya dengan cepat, wajahnya gelap."Segera cari wanita itu di sekitar pulau. Sisir seluruh area, sekarang!" perintahnya tajam pada sang asisten sebelum menutup telepon dengan geram.**Sementara itu, di bawah cahaya bulan yang pucat, Laurent berlari tanpa alas kaki di antara semak dan pasir. Napasnya terengah, rambutnya kusut tertiup angin laut, dan tubuhnya bergetar oleh udara malam yang menusuk kulit.Langit malam
Laurent membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan napasnya terasa berat seperti ada beban menekan dadanya. Rasa sesak itu membuatnya menggeliat lemah, tubuhnya kaku dan dingin. Namun yang pertama kali ia sadari—ia tidak lagi berada di kamar vila terkutuk itu. Bukan tempat itu."Dia sudah sadar!" seru salah satu nelayan, suaranya penuh kelegaan dan harapan. Lelaki itu berdiri di tepi ranjang, mengenakan jaket lusuh dan topi anyaman, mengisyaratkan kepada perawat di ruangan kecil dan sederhana itu.Laurent memutar kepalanya pelan, melihat sekeliling. Lampu neon berkelip pelan di langit-langit, aroma antiseptik bercampur dengan bau garam laut yang masih tertinggal di kulitnya. Dia berada di sebuah klinik kecil, entah di mana, tapi jelas bukan di pulau Damian."Selamatkan... saya..." gumamnya nyaris tak terdengar. Bibirnya kering dan pecah-pecah, suaranya patah.Namun tubuhnya terlalu lemah untuk bertahan. Napasnya terputus, matanya kembali terpejam, dan kesadarannya meng
Ponsel Adrian bergetar di atas meja kayu kerjanya. Sekilas, ia menoleh dengan dahi berkerut, lalu segera meraih perangkat itu dan menekannya ke telinga."Adrian... Ini aku," suara seorang wanita terdengar lemah, namun penuh urgensi di ujung telepon."Elara?!" suara Adrian membuncah dalam keterkejutan, tubuhnya langsung tegak."Aku... aku diculik. Sekarang aku berada di dekat desa nelayan. Cepat ke sini... sebelum anak buah Damian menangkapku," suara Laurent terdengar lirih, napasnya pendek dan terputus-putus."Tunggu aku. Aku akan ke sana sekarang. Kau sembunyi—sebisa mungkin. Jangan keluar sampai aku datang!" ucap Adrian mantap, lalu menutup sambungan dengan tangan bergetar.---Di balik sebuah pohon besar yang tumbuh rimbun di pinggiran desa nelayan, Laurent meringkuk dalam diam. Hawa dingin pagi masih menyengat kulitnya yang lembap, namun ia tak bergerak. Suara jantungnya berdentum keras di telinganya.Adrian akan datang menjemputnya. Ia harus percaya itu.Dari arah jalan setapak,
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap
Keesokan harinya – Di kediaman keluarga Adrian VaughnKoran pagi berserakan di meja makan panjang berlapis linen putih. Gambar Dante kecil terpampang di halaman depan, tepat di bawah judul tebal:“ULANG TAHUN PENUH AIR MATA: DANTE VAUGHN, 5 TAHUN, TIBA-TIBA TIDAK BISA BICARA”Subjudul: Apakah trauma tersembunyi membayangi putra angkat keluarga Vaughn?Lauren menatap halaman itu dengan wajah pucat. Cangkir tehnya menggigil di tangan. Adrian duduk di seberangnya, sudah membaca tiga artikel dari tablet-nya sejak pagi buta.Media internet pun tidak kalah kejam. Di berbagai portal, komentar berseliweran—menyerang, menuduh, berspekulasi.> “Apakah Lauren hanya mengadopsi untuk pencitraan?”“Dante terlihat murung di banyak foto. Lihat sorot matanya.”“Di mana perhatian mereka sebagai orang tua? Mengapa anak sekecil itu tidak bicara sama sekali?”Lauren menutup korannya. Tangannya gemetar.“Aku hanya… ingin memberinya kehidupan yang layak,” gumamnya pelan. “Aku tidak tahu... bagaimana ini bis