Satu Hari KemudianLaurent duduk di dalam kamar bayi, menatap Darley yang tertidur pulas di dalam boksnya. Cahaya redup dari lampu meja menerangi wajah polos anak itu, napasnya naik turun dengan tenang, tidak menyadari badai yang sedang berkecamuk di luar sana.Bayi ini tidak bersalah. Laurent tahu itu.Tetapi setiap kali dia menatapnya, dia mengingat Alicia. Mengingat Damian. Mengingat bagaimana keluarganya dihancurkan oleh mereka. Kebencian membakar dadanya, tetapi dia menelannya bulat-bulat. Bukan saatnya bertindak gegabah.Pintu kamar terbuka sedikit. Salah satu anak buah Adrian masuk dengan sebuah amplop di tangannya."Nyonya, hasil tes DNA-nya," katanya dengan nada hormat.Laurent mengambil amplop itu, membukanya perlahan, meskipun dia sudah tahu apa yang akan ia temukan di dalamnya. Dan benar saja.Tidak cocok.Darley bukan anak Damian.Laurent mengembuskan napas panjang. Dia tidak terkejut, tidak juga lega. Yang ada hanya kepastian bahwa rencananya baru saja menemukan fondasi
"Bukan apa-apa!" kata Alicia buru-buru, suaranya gemetar. Wajahnya pucat pasi, nyaris tanpa darah.Matanya melirik Damian sekilas, takut kalau suaminya bisa membaca kebohongan di balik ekspresinya. Namun, sebelum Damian sempat bertanya lebih jauh, teriakan nyaring menggema dari lantai bawah.Suara itu melengking, panik, penuh kepedihan.Alicia menegang. Itu suara ibu mertuanya.Damian langsung berbalik, langkahnya cepat menuruni tangga menuju sumber suara.Alicia berdiri terpaku sejenak, lalu buru-buru merobek surat di tangannya. Potongan kertas itu ia remas dengan tangan gemetar, lalu dilemparkan ke dalam kloset. Ia menekan tombol flush, menyaksikan kepingan bukti itu lenyap bersama air.Damian tidak boleh tahu.**Di lantai bawah, kekacauan telah pecah.Ibu Damian terduduk di lantai marmer, tubuhnya bergetar hebat. Wajahnya basah oleh air mata, napasnya tersengal-sengal di antara isakan. Polisi berdiri di dekatnya, ekspresi mereka penuh kehati-hatian saat menyerahkan sesuatu padanya
Malam itu, hujan turun deras di luar rumah keluarga Everstone.Petir menyambar di kejauhan, menerangi halaman yang basah oleh air hujan. Angin menderu di sela-sela pepohonan, membuat ranting-rantingnya bergesekan seperti bisikan-bisikan samar di kegelapan.Di balik gerbang besi Everstone, sebuah bayangan kecil tergolek di bawah lampu temaram. Sebuah selimut kusam membungkus tubuh mungilnya. Hanya suara tangisan lirih yang nyaris tersapu oleh derasnya hujan menjadi satu-satunya tanda keberadaannya.Ketukan keras di pintu utama membuyarkan keheningan di dalam rumah.Seorang pelayan bergegas membukanya dan mendapati seorang pria—petugas keamanan rumah—berdiri dengan wajah tegang."Nyonya... ada sesuatu yang harus Anda lihat," ucapnya, suaranya terdengar ragu.Alicia yang sedang duduk di ruang tamu, masih mengenakan gaun tidurnya, menoleh dengan malas. Hatinya masih berat oleh duka. "Apa lagi sekarang?" gumamnya dingin.Damian meletakkan gelas yang sedari tadi dipegangnya dan berjalan me
Tiga tahun kemudian…“Mama!” panggil suara kecil dari seorang anak laki-laki yang baru saja turun dari kursi balitanya dengan langkah tertatih. Matanya berbinar, penuh semangat, sementara sisa makanan masih menempel di sudut bibirnya. Babysitter yang sedang menyuapinya tersenyum sabar, lalu menyeka mulut anak itu dengan lembut.Laurent, yang berdiri tak jauh dari sana, tersenyum kecil. “Kau makan dengan lahap?” tanyanya seraya mendekati anak itu.Anak laki-laki itu mengangguk penuh semangat, membuat rambutnya yang lembut bergoyang sedikit. “Enak, Ma!”Laurent berjongkok di hadapannya. “Dante, nanti malam ikut Mama dan Papa pergi ke pesta, ya.”“Pesta, Ma?” tanya Dante dengan mata polos yang membesar karena antusiasme.Laurent mengangguk. “Iya, Mama mau kenalin kamu ke teman-teman Mama dan Papa.”Dante langsung melompat kecil kegirangan. “Dante suka pesta!” serunya penuh keceriaan.Laurent tersenyum tipis, lalu berbalik dan menaiki tangga menuju lantai atas. Dia membuka pintu sebuah k
Alicia menekan nomor di ponselnya, jari-jarinya sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang tertahan. Ketika suara pria di ujung sana menjawab, suaranya terdengar datar dan penuh perhitungan."Sebaiknya, kau bereskan seseorang nanti malam," kata Alicia dengan dingin."Siapa lagi kali ini?" tanya pria itu, suaranya penuh rasa ingin tahu namun tanpa emosi.Alicia menarik napas dalam, menguatkan dirinya. "Pembantu di rumah ini. Dia sudah tahu kalau ada yang menerorku dengan surat hasil tes DNA. Aku tidak mau hancur sekarang, apalagi kalau Damian sampai tahu."Sejenak, ada keheningan di seberang. Lalu pria itu tertawa pelan. "Kau tahu, kadang aku heran bagaimana kau bisa tidur nyenyak dengan semua ini."Alicia mengeratkan genggamannya pada ponselnya. "Kau tahu, kadang aku bersyukur karena Darley mati," katanya, suaranya begitu dingin hingga udara di sekitarnya terasa membeku. "Karena jika tidak, mungkin Damian lambat laun akan tahu bahwa Darley bukan anaknya, tapi anak or
Adrian melangkah ke dalam taman yang telah disulap menjadi negeri dongeng, tempat pesta ulang tahun cucu seorang pengusaha sukses tengah berlangsung. Lampu-lampu kristal tergantung di antara pepohonan, sementara bunga-bunga segar menghiasi setiap sudut. Musik lembut mengalun, berpadu dengan tawa anak-anak yang bermain riang di playground khusus yang disediakan.Laurent menggandeng Dante, bocah kecil itu tampak terpesona oleh keindahan pesta di sekelilingnya. Matanya yang polos berbinar kagum saat melihat dekorasi megah di taman luas itu."Mama, Dante juga mau pesta seperti ini!" serunya dengan penuh antusias.Laurent menatap anak itu, bibirnya melengkung dalam senyum kecil, tapi tak ada kehangatan di dalamnya. Senyum itu lebih seperti sebuah kewajiban daripada ungkapan kasih sayang yang tulus. Adrian memperhatikannya dari samping. Ia tahu bahwa di balik ketenangan Laurent, masih ada luka yang menganga, terutama karena bocah yang kini berada di sisinya adalah anak kandung Alicia—per
Laurent membawa Dante pergi tanpa perlawanan, langkahnya ringan seolah tak ada beban. Alicia terdiam, matanya membuntuti punggung Laurent yang menjauh, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mengapa Laurent tidak membalasnya? Mengapa ia memilih mundur tanpa sedikit pun melanjutkan pertengkaran?Suara Damian menyusup di telinganya. "Kenapa membuat keributan di pesta orang?" bisiknya pelan, nyaris seperti teguran.Alicia mengabaikan peringatan itu, masih terpaku pada bayangan Laurent dan Dante yang semakin jauh. "Anak kecil itu…" gumamnya tanpa sadar. "Dia anak yang diadopsi oleh Laurent, kan?""Ya," Damian mengangguk. "Anak yang diadopsi setelah orang tuanya tewas dalam bencana." Ia melirik Alicia dengan alis sedikit berkerut. "Kenapa? Apa dia membuat masalah dengan Darley?"Alicia tak langsung menjawab. Pikirannya masih sibuk mencerna bagaimana Laurent, yang selalu terlihat dominan dan penuh kendali, justru memilih diam kali ini. "Aneh sekali dia hanya diam saja," kata
Dante berjalan melintasi halaman pesta yang mulai lengang, matanya sibuk mencari sosok Laurent di antara para tamu yang berpamitan. Pesta hampir usai, dan ia sudah lelah. Setelah menemukan Mr. Chang dan menyampaikan salam perpisahan dengan sopan, ia akhirnya memutuskan untuk pulang.Di dalam mobil, Dante duduk di kursinya dengan kaki menggantung. Wajahnya masih menyiratkan kemarahan yang tersisa dari kejadian tadi. Ia mengusap lengannya yang memerah, lalu menoleh ke arah Laurent dengan ekspresi serius."Mama, tadi aku dicubit oleh bibi kotoran," katanya dengan penuh emosi.Laurent menoleh, alisnya sedikit terangkat. Senyumnya muncul samar, tapi bukan karena kekhawatiran. Ada kilatan kepuasan di matanya."Benar kata Mama," Dante melanjutkan, tangannya mengepal kecil. "Bibi itu jahat!"Laurent mengangguk pelan, menyembunyikan kegembiraannya yang dingin. Ia melihat bagaimana kebencian mulai berakar dalam hati bocah itu, menyebar seperti racun yang ditanamkan dengan sempurna. Tidak ad
Adrian berdiri terpaku di ambang pintu kamar sempit itu. Bau apek alkohol, asap rokok, dan tubuh yang terlalu lama terbaring tanpa perawatan membuat udara begitu menyesakkan. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tubuh kecil yang tergeletak di atas kasur reyot itu begitu pucat, begitu sunyi… terlalu sunyi. Mata Dante tertutup, bibirnya membiru, dan tubuhnya tampak kaku.“Dante…” bisik Adrian, nyaris tanpa suara.Langkahnya terhuyung mendekat. Ia jatuh berlutut di sisi tempat tidur yang ringkih, tangannya gemetar saat menyentuh wajah bocah itu. Dingin. Tak ada respons. Air matanya mulai menggenang tanpa ia sadari. Napasnya tercekat di tenggorokan.“Dia… dia sudah…” ucap Adrian, suaranya pecah.Namun sebelum duka itu benar-benar melumpuhkannya, salah satu anak buahnya—seorang pria bernama Richie—berjongkok cepat di sisi Adrian. Ia mengambil denyut nadi di pergelangan tangan Dante dengan teliti, lalu menyentuh leher anak itu dengan jari terlatih.“Tuan… tunggu sebentar,” ucap Richie p
Adrian menerima telepon dengan tangan gemetar. Suara berat dari seberang terdengar jelas, dingin dan tanpa rasa."Kami akan serahkan anakmu di bawah jembatan layang. Pastikan kau datang sendiri."Adrian mengepalkan tangan. "Baiklah. Aku akan ke sana."Namun, hatinya terasa tak tenang. Firasatnya begitu buruk. Sejak tadi, pikirannya berkecamuk tak henti. Sesuatu terasa janggal. Terlalu mudah. Terlalu cepat. Tapi dia tak bisa menunggu lagi. Dante adalah prioritasnya.Tanpa membuang waktu, ia bergegas menuju lokasi yang disebutkan. Di dalam mobil, bersama dua orang kepercayaannya, ia menyusun rencana. Mereka akan berpencar, mengelilingi area. Mengantisipasi segala kemungkinan, termasuk jika para penculik berbohong atau merencanakan sesuatu yang lebih kejam.---Di bawah jembatan, malam hari…Langit menggantung kelam tanpa bintang. Hanya suara angin yang merayap di antara tiang-tiang beton dan bayangan malam yang menyelimuti. Di kejauhan, langkah kaki Adrian menggema pelan. Setiap lang
Adrian dan Laurent saling berpandangan, tatapan mereka kosong namun penuh makna. Di antara keheningan yang menyelimuti ruang kerja itu, keduanya masih mencoba mencerna kenyataan: beberapa menit lalu, telepon dari penculik Dante akhirnya masuk.Suaranya parau, penuh tekanan dan tanpa belas kasihan.“Jika ingin anakmu selamat, sebaiknya jangan libatkan kepolisian.”Ancaman itu menusuk tajam ke telinga Adrian. Rahangnya mengeras, ekspresi wajahnya menegang seketika. Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya, datar tapi penuh ketegasan.“Baiklah.”Setelah panggilan berakhir, ruangan kembali sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar. Laurent memandang Adrian, matanya bergetar.“Kau yakin ingin memberikan uang tebusan itu?” tanyanya pelan, hampir seperti bisikan.Adrian mengangguk mantap tanpa menoleh. “Tak ada pilihan lain.”“Tapi bagaimana kalau mereka berbohong? Kau tahu sendiri, penculik tak akan semudah itu menyerahkan tawanan. Bagaimana kalau... mereka tak pernah bern
Pagi itu langit tampak muram, seolah ikut menyesap kegelisahan yang melingkupi rumah keluarga Vaughn. Di ruang makan yang dipenuhi aroma kopi hangat dan roti panggang yang tak tersentuh, suasana justru terasa dingin. Televisi di sudut ruangan menyala tanpa suara, menayangkan berita tentang penculikan Dante yang telah menyebar luas ke berbagai media.Laurent duduk di ujung meja dengan tubuh sedikit membungkuk, satu tangannya memijat pelipisnya yang terasa berat sejak tadi malam. Di hadapannya, tablet yang memuat berita-berita daring dan komentar netizen berseliweran tanpa ampun. Adrian duduk di seberangnya, masih mengenakan kaus putih dan celana tidur, wajahnya tampak lelah meski baru saja melewati malam yang panjang.“Konferensi pers belum bisa dilakukan,” gumam Laurent pelan, menahan nada frustasi di ujung lidahnya, “tapi netizen sudah berkomentar sesuka mereka... seolah mereka tahu segalanya.”Adrian menghela napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya ke meja. “Aku sudah mel
Begitu pintu rumah terbuka, Laurent disambut oleh suara langkah kecil yang berlarian cepat di lantai marmer. Dante, dengan piyamanya yang sedikit kebesaran dan boneka kecil di tangan, berlari memeluk pinggang Laurent erat-erat.Anak itu tersenyum lebar, seolah melupakan semua luka masa lalunya. Namun hati Laurent tetap mengeras sejenak. Anak lima tahun itu seharusnya sudah bisa memanggilnya “Mama” jauh sebelum Alicia datang dan menyusup ke dalam rumah mereka dengan menyamar sebagai pengasuh. Sebelum semuanya berubah.Laurent membungkuk, membelai rambut lembut Dante dengan perlahan, menahan genangan air mata yang hampir tumpah.Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar di ambang pintu. Adrian masuk dengan ekspresi serius di wajahnya.“Kita akan adakan konferensi pers,” ucapnya mantap. “Kita harus luruskan semuanya, Laurent. Publik berhak tahu—kalau kondisi Dante seperti ini karena ulah Alicia. Semua karena balas dendamnya padamu.”Laurent mengangguk pelan. Ia berdiri, menatap ke
Beberapa minggu setelah persidangan, udara pagi masih terasa lembab ketika Lauren dan Adrian membawa Dante ke klinik psikiatri anak di pusat kota. Gedung itu tenang dan nyaman, dindingnya dipenuhi lukisan warna-warni yang menenangkan, namun kecemasan tetap menggantung di benak Lauren.Dante duduk di pangkuannya saat mereka menunggu giliran. Anak itu sudah mulai bisa tersenyum, meski kadang-kadang masih terlihat seperti memaksa. Tapi bagi Lauren, itu adalah kemajuan besar. Setidaknya Dante tak lagi hanya menatap kosong seperti dulu.Ketika mereka akhirnya duduk di ruangan psikiater, seorang wanita paruh baya bernama Dr. Selina, suasana berubah menjadi lebih serius. Dokter itu membuka berkas, lalu menatap Lauren dan Adrian dengan lembut, namun penuh kehati-hatian.“Dante mengalami trauma berat,” ucapnya perlahan. “Selama berada dalam pengasuhan terdakwa, ia tidak hanya diberikan obat penenang dalam dosis yang tidak sesuai, tapi juga mengalami proses manipulasi mental yang cukup parah.
Setelah Lauren keluar dari kamar dengan langkah elegan dan tenang, Kyle masih berdiri di tempatnya—gugup, tubuhnya bergetar ringan. Kata-kata Lauren barusan masih terngiang di telinganya, menusuk batinnya lebih dalam dari pisau manapun.Dengan tangan gemetar, ia mendekati tempat tidur kecil itu. Cahaya lampu malam menyorot lembut wajah Dante yang polos dan damai dalam tidurnya. Perlahan, penuh ragu, Kyle menyingkap kaus tidur yang dikenakan bocah itu. Dan di sanalah—pada sisi kiri dada kecil itu—ia melihatnya. Sebuah tanda lahir.Matanya membelalak. Tubuhnya seketika membeku.Tanda itu… tanda yang selama ini menghantui mimpinya. Tanda berbentuk seperti setengah bulan dengan garis tipis melintang di tengahnya. Ia mengenalinya. Tanda yang pernah dimiliki anak laki-lakinya—Daren. Anak yang hilang darinya ketika baru berumur tiga bulan.Dulu ia mengira Daren telah mati. Tapi kenyataan yang kini terbuka jauh lebih menyakitkan sekaligus menakjubkan.Lauren tidak berbohong. Anak ini… Dant
Tiga hari telah berlalu sejak Dante dibawa ke rumah sakit. Dalam diam, Adrian menunggu. Ada satu pertanyaan yang terus mengusik pikirannya: siapa sebenarnya perempuan bernama Kyle yang kini tinggal di rumah mereka?Pagi itu, ponselnya berdering. Nama anak buahnya muncul di layar, dan Adrian langsung menjawab. Suara di seberang terdengar berat namun tegas.“Tuan Adrian… kami telah mendapatkan hasilnya. Identitas asli dari file yang Anda temukan—perempuan yang wajahnya menyerupai Kyle… namanya Alicia. Alicia Everston. Mantan istri Damian Everston.”Adrian sontak terdiam. Napasnya tertahan.“Alicia?” bisiknya nyaris tak terdengar. “Kau yakin?”“Ya, Tuan. Kami menemukan catatan medis dan laporan dari klinik bedah plastik di Zurich. Alicia mengubah total wajahnya. Ia memilih menyerupai Kyle—pengasuh yang seharusnya dipekerjakan—dan menggunakan identitasnya. Motifnya… kami yakini balas dendam terhadap Nyonya Lauren.”Adrian mengusap wajahnya yang mulai tegang, matanya menyipit penuh kecurig
Adrian baru saja pulang ke rumah saat langit London mulai beranjak gelap. Langkahnya tergesa melintasi lorong yang sepi, menuju kamar kecil Dante—anak yang belakangan ini begitu membebani pikirannya.Ketika pintu terbuka perlahan, matanya langsung menangkap pemandangan yang mengganggunya: Kyle sedang duduk di sisi tempat tidur, membisikkan sesuatu ke telinga Dante. Wajah Kyle tampak lembut, seperti biasa, namun kini ada yang terasa ganjil. Terlalu tenang. Terlalu sempurna.Adrian terdiam di ambang pintu, tak ingin mengganggu. Tapi di benaknya, kenangan tadi kembali berkelebat—kenangan yang belum sempat ia ceritakan pada siapa pun.Ia mengingat jelas saat ia berdiri di rumah sakit, melihat perempuan muda yang ditemukan pingsan di trotoar. Nama di dokumen itu: Kyle. Wajahnya... nyaris identik dengan pengasuh Dante di rumah ini. Namun isi file itu menyiratkan kenyataan yang lebih menakutkan—identitas perempuan itu telah dicuri, digunakan untuk sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap