“Bapak ….”
Suara lengkingan Faisya membuat telinga Firman sejuk seketika. Apalagi ditambah senyuman yang rekah, lalu langkah kecil Faisya berlari menyambut dirinya, seakan si bocah sudah tidak sabar untuk berada dalam pelukan sang bapak.
“Bapak, Fa kangen sama Bapak,” tuturnya centil. Tangan Faisya yang halus melingkari leher Firman. “Bapak udah lama enggak pulang, apa Bapak enggak kangen sama Fa?”
“Aduh, manjanya … padahal kalau enggak ada Bapak, Fa itu pinter apa-apa sendiri loh, Pak,” celetuk Delia. Wajahnya yang memang manis, dia pasang lebih manis lagi. “Fa itu anak pintar dan mandiri.”
Si bocah sembilan tahun itu tertawa. Senang dipuji Delia, ibu tirinya.
“Pak, mau Fa kasih tau satu rahasia Ibu Delia enggak?”
Deg.
Delia tiba-tiba tegang. Melihat Faisya menarik leher Firman, kemudian mendekatkan mulut kecilnya ke telinga Firman. Satu telapak tangannya tergelar membentuk kipas, khas orang sedang membisikkan suatu rahasia.
“Ibu Delia kangen sama Bapak juga.” Suara Faisya lebih mirip seruan daripada sebuah bisikan.
Delia dan Firman spontan tertawa. Delia sampai terbatuk-batuk, akibat meledakkan tawa setelah menahan napas beberapa saat.
“Iya, kan, Bu. Kemarin sore Fa denger kok. Aku juga kangen sama kamu, Bang …. Uhuy Ibu Delia sama Bapak pacaran terus kan?”
Delia melotot, namun sedetik kemudian dia dapat menguasai keadaan. Perempuan itu tertawa. Tawa yang dibuat-buat.
Firman menjadi tertular, dia pun tertawa meskipun agak bingung. Apa telinganya tidak salah dengar? Tadi Faisya mengatakan ‘Bang’ bukan ‘Mas’? Lagi pula sejak kemarin siang, antara dia dan istrinya hanya saling berkirim pesan. Tidak ada panggilan telepon yang terjadi.
Firman melayangkan pandangan dengan jidat mengkerut sedikit. Delia tergeragap, dia memindai tubuh suaminya menjadi tidak nyaman.
“Ah, Fa … Ibu jadi malu. Jadi ketauan kan, Ibu suka ngomong sama foto Bapak,” Delia berkata sembari tertawa. Pandai sekali dia membuat alasan.
Faisya berderai. “Ibu Delia kayak aku ya, Pak, suka ngobrol sama foto Ibu Septi.”
Firman tersenyum lebar. Dia elus rambut anak kesayangannya itu. Faisya terlihat lebih gemuk dan ceria sejak diasuh oleh Delia. Beda saat dia bersama dengan Septi, ibu kandungnya sendiri.
“Ayo, masuk. Masa mau di situ terus?” Delia berkata seraya mendahului masuk.
“Fa, padahal Bapak bawa hadiah. Tumben enggak nagih?” tanya Firman setelah dia duduk. Senyumnya dia lempar kepada istri keduanya itu.
“Hadiah apa, Pak?”
Firman mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna pink. Faisya gegas mendekat, dia berteriak suka cita ketika matanya menumbuk jam tangan berwarna senada dengan kotaknya.
“Bu, jam tangan! Kok Bapak tau, aku pengen jam tangan kayak gini?” Faisya reflek menatap Delia, sedetik kemudian dia berlari memeluk Delia. “Pasti Ibu yang bocorin ke Bapak soal ini. Makasih ya, Bu.”
“Iya, Fa Sayang.”
Delia dan Firman saling melempar senyum.
Setelah Firman membersihkan diri, mereka kemudian makan bersama. Delia telah menyediakan makanan enak, tentu saja hasil dari membeli. Istri yang Firman nikahi dua tahun lalu itu memang tidak begitu pintar memasak. Namun tidak menjadi masalah sebab Delia sayang kepada Faisya, dan mengasuh anaknya dengan baik. Itu lebih dari cukup bagi Firman.
“Mas …”
“Eh, hati-hati, takut Faisya dengar, Sayang. Dia juga baru masuk kamarnya.”
“Tapi aku udah enggak tahan ….”
Firman tersenyum bahagia. Ternyata ucapan Delia saat di telepon bukan omong kosong belaka. Mungkin efek dia sudah dua bulan tidak balik. Liburnya memang tidak pasti, sebab Firman hanya seorang sopir pribadi dari seorang bos. Jatah cuti tergantung jadwal bos.
Berdua mereka masuk ke dalam kamar.
“Aku punya kejutan untuk Mas,” bisik Delia menggoda.
“Apa tuh?”
“Tunggu di sini,” ujarnya genit. Delia setengah berlari ke toilet yang letaknya di dalam kamar. Sebelah tangan perempuan itu menggenggam kain berwarna merah menyala.
Firman paham artinya. Dia pun naik ke atas kasur dengan hati penuh bunga. Inilah alasan lain mengapa dulu dia nekat menceraikan Septi, lalu menikahi Delia. Septi memang pintar memasak, tetapi dia begitu membosankan.
“Halo Mas Sayang!”
Delia keluar dari kamar mandi dengan penampilan begitu menggoda. Alarm di tubuh Firman menyala seketika.
“Aduh, harusnya tadi aku dulu yang ke kamar mandi, Del.” Tiba-tiba Firman melenguh. Dia teringat Delia tidak suka bau rokok. “Aku gosok gigi sebentar ya.”
“Yah …,” sahut Delia memasang tampang kecewa. “Jangan lama-lama loh, nanti aku jamuran.”
Firman terkikik riang.
Lelaki itu menuju kloset terlebih dahulu. Namun keinginan untuk memenuhi panggilan alam dia tunda, ketika melihat benda kecil mencuat dari dalam kloset. Hmm … kebiasaan Delia sering membuang benda ke dalam kloset, padahal sudah sering diperingatkan bahwa ini bisa membuat kloset menjadi mampet.
“Eh, tunggu … bukankah itu … eh.”
Tanpa rasa jijik, Firman mencelupkan tangannya ke dalam kloset.
“Loh bukankah ini ….”
“Hancur semua, Bang. Berantakan … gagal total, padahal tinggal selangkah lagi,” racau Delia. Air matanya bercucuran deras sehingga terlihat begitu menyedihkan. “Aku enggak tau kenapa, tiba-tiba Mas Firman mengeluh sakit kepala pas keluar dari kamar mandi, setelah itu bolak balik ke toilet, katanya perut dia juga sakit.”“Jangan-jangan keracunan,” ceplos Galang. Dia memandang kepada Astuti, ibu kandungnya, yang duduk dekat Delia.“Tapi aku dan Faisya kan makan makanan yang sama, masa cuma Mas Firman aja yang keracunan,” tukas Delia.“Sabarlah, Del, kan masih ada malam ini. Kata kamu kemarin Firman cuti tiga hari kan?” tutur Astuti. “Lebih baik sekarang kamu pulang, rawat Firman, kasih dia perhatian yang penuh biar cepat sembuh. Jadi rencana kita berhasil.”Galang ikut mengangguk dengan usul sang ibu. Sejujurnya dia juga sama kuatirnya dengan Delia. Jika rencana mereka gagal malam ini, mereka harus menunggu jadwal kepulangan Firman yang berikutnya. Itu berarti paling cepat dua bulan lag
“Mas, udah sembuh?” Delia membeliakkan matanya dengan indah. Mulutnya ternganga beberapa detik, setelah itu membentuk senyum lebar. Perempuan berwajah manis itu pun menubruk suaminya.Hati Delia senang bukan kepalang ketika keesokan harinya, menemukan Firman sudah segar. Rambut lelakinya basah, dan dari tubuh Firman menguar aroma sampo dan sabun mandi.Firman tertawa berurai. Membiarkan Delia melingkarkan tangan di sekeliling pinggangnya. Namun ketika Delia bermaksud menempelkan bibirnya, Firman sengaja menjatuhkan sisir, dan segera menunduk untuk melindungi wajahnya dari bibir sang istri.“Alhamdulillah pagi ini aku udah agak enakan, jadi aku bisa balik ke Jakarta.”“Balik ke Jakarta?” Delia melepas pelukan, lalu mundur. “Sekarang?”“Iya,” jawab Firman. Tawa Firman lepas sempurna manakala melihat Delia membeliakkan matanya lagi, tentu saja kali ini hanya melotot saja tanpa senyum.Otak Firman terus berpikir semalaman, menghubung-hubungkan antara Delia yang tiba-tiba memaksanya pulang
“Del, aku bilang juga apa, Firman cepat sembuh kan? Tadi dia ke sini sama Faisya, beli jajan. Keliatan segar bugar kok,” cerocos Astuti, dia menyambut kedatangan Delia, tak lama setelah Firman pergi dari toko kecilnya.Delia mencebik, kemudian menyelonong masuk ke dalam rumah. Bukan duduk di teras seperti biasa.“Eh, malah duduk di sini. Udah sana pulang, rayu suami kamu. Bisalah mumpung kalian hanya berdua di rumah,” tutur Astuti. Dia ikut duduk di samping Delia.“Mas Firman itu dari nganter Faisya langsung ke stasiun, Bi,” sahutnya dengan nada kesal.“Loh berarti dia tadi itu langsung balik Jakarta dari sini?”Delia melirik, masih dengan aura kekecewaan, lalu mengangguk.“Terus kamu belum gituan sama dia?”“Ya belum, Bi. Semalam udah aku pijitin, udah aku kerikin, sambil aku rayu-rayu. Tapi kayaknya memang Mas Firman sakit beneran. Dia kayak lemes gitu, Bi. Sampai capek sendiri aku ngerayunya.”Tepat saat itu Galang masuk. Dia yang mendengar ucapan Delia, langsung memandang ibunya
“Oh, kamu. Ada apa?” Septi bertanya dengan wajah dan nada yang sama-sama dingin.Delia meresponnya dengan meringis malu-malu.Setelah dia berpikir semalaman, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan usulan Galang. Jadi di sinilah dia, mengetuk pintu rumah Septi di siang hari. Delia tahu jika ibu kandung Faisya ini bekerja menjadi buruh pemetik di kebun seorang juragan di desanya. Jadi pagi dan sore hari Septi ada di kebun untuk bekerja.“Aku mau bicara soal Faisya, Mbak,” kata Delia.Septi menghela napas. Dia masih berdiri di ambang pintu, sementara Delia dibiarkan berdiri di sisi luar. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mempersilakan istri dari mantan suaminya ini masuk.“Kenapa sama Faisya? Kamu capek mengurusnya ya?” ujar Septi. Tawa bernada mengejek memercik dari mulutnya. “Memang dikira membesarkan anak itu gampang?”Delia menelan ludahnya. Perempuan itu menjadi galau. Haruskah dia teruskan niatnya ini?“Kalau kamu mau serahin Faisya ke aku, ya silakan, karena aku memang ibu kandung
“Fa, Ibu ada rencana mau ke Jakarta. Mau kasih surprise ke Bapak, jadi Fa jangan kasih tau Bapak soal ini ya.”“Asyik, kita berangkat kapan, Bu?” Faisya menjadi sangat antusias.Delia tersenyum. Dia membelai kepala Faisya, lalu membawa ke dalam pelukannya. “Tapi sayangnya, kali ini Fa enggak bisa ikut dulu—““Loh, kenapa?” Suara bocah sembilan tahun itu berubah sendu. Saat Delia mengambil wajahnya menggunakan kedua tangannya, mata anak tirinya itu sudah penuh air mata.“Ibu cuma sebentar kok. Fa kan sekolah, dan sebentar lagi UTS, nanti Bapak marah ke Ibu kalau Fa jadi terganggu belajarnya.”Faisya sudah mulai menangis. Tangannya dia gunakan untuk memeluk pinggang Delia erat-erat. “Tapi Fa mau ikut ….”“Kali ini Fa di rumah aja ya, tapi Ibu janji bulan depannya lagi kita berdua ke Jakarta bareng-bareng.”Tangis Faisya meledak.Delia butuh waktu hampir dua jam untuk menenangkan Faisya. Membujuk ini itu dan pada akhirnya Faisya mengangguk.“Fa sama Ibu Septi, tapi Ibu Septi yang nginep
“Kamu kenapa, Man? Pusing aku ngeliat kamu mondar mandir gitu,” celetuk Abdul. Dia adalah OB di kantor bos Firman. “Apa kamu enggak pusing? Tanah yang kamu injak udah sampai benyek gitu.”Reflek Firman melihat ke bawah. Ke tanah kebun kantor, tempat dia biasa duduk-duduk menunggu bos membutuhkan tenaganya. Ya, memang tanah bekas tapak sepatunya membuat jejak, menjadi lebih cekung dibanding tanah di sekitarnya.Firman duduk. “Kalau aku ijin pulang lagi, apa dikasih ya?” ceplosnya dengan tatapan nanar.“Loh, bukannya kamu baru balik dua hari lalu dari kampung?”“I-ini anakku barusan telpon, istriku muntah-muntah.”“Hah? Baru dipakai kemarin udah hamil? Tokcer juga kamu, Man.”Firman melenguh sebal. Biasanya candaan semacam itu akan membuatnya melepaskan tawa panjang, tetapi sekarang terdengar menjadi begitu menyesakkan. Sesak dada, sesak napas, sebab memang betul istrinya muntah-muntah karena hamil. Masalahnya Delia hamil bukan dengan dirinya. Firman mengelap keringatnya yang bermuncul
“Jadi Faisya udah kasih tau Bapak kalau Ibu mau ke Jakarta?” Delia membelalakkan matanya.Faisya yang kaget dengan reaksi Delia menjadi ciut. Kaki kecilnya mundur dua langkah, dan mulai bergetar. “Ibu jangan marah, Fa cuma takut Ibu kenapa-napa di jalan. Kan Ibu sakit.” Delia menghela napas, lalu menghembuskan kuat-kuat. “Astafirulloh, maaf Fa, maafin Ibu … Ibu cuma kaget aja.”“Ibu enggak marah?” Mata Faisya menjadi lebih menyala. Delia menggeleng. Gadis cilik itu segera menghambur ke dalam pelukan Delia. “Ibu cepet sembuh ya. Nanti kalau udah sembuh, baru boleh ke Jakarta.”Delia sekali lagi mengangguk. “Terima kasih tehnya ya, Fa memang anak pintar. Sekarang Ibu mau istirahat dulu boleh?”“Iya, Bu. Ini baju-baju Ibu yang di koper Fa masukin ke lemari lagi ya?”“Nanti aja, enggak apa-apa dibiarin di situ dulu.”“Tapi Ibu jangan ke Jakarta ya.”“Iya, Sayang. Sini peluk lagi, Fa mandi dulu, kan bentar lagi waktunya ngaji.”“Fa pengen nungguin Ibu, jadi boleh enggak kalau Fa bolos men
“Mas.” Delia tercekat mendapati Firman ada di depan pintu rumahnya pada pagi hari. Lelaki itu pasti segera berburu tiket kereta api selepas mereka bertelepon.“Aku enggak mau basa basi, Del. Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini,” kata Firman. Dia memalingkan muka, sama sekali tidak ingin melihat wajah istrinya.“Tapi aku harus kemana, Mas?”“Bukan urusanku.”“Nanti Faisya bagaimana? Siapa yang akan mengurus dia?”Firman tertawa tanpa minat. “Jangan sok perhatian. Sudah cepat, waktu berjalan terus. Kalau kamu melambat-lambatkan, aku terpaksa mengusir kamu dengan paksa.”Delia menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. Dengan gontai dia kembali ke kamar, koper yang sudah sempat dia rapikan semalam, dia buka kembali. Dilesakkan beberapa baju hingga koper itu penuh. Tidak mungkin dia bisa membawa semua bajunya, jumlah barang itu terlalu banyak untuk koper sekecil itu.“Ibu, mau kemana? Kan Bapak udah di rumah?” Faisya yang baru keluar dari kamarnya segera memburu sosok Delia.
“A-aku terpaksa, a-aku terpaksa demi kamu, Sep,” tutur Ratri terbata-bata. “A-aku memang tidak suka sama kamu, sedari awal Firman mengenalkan kamu … tapi aku bukan perempuan yang jahat, aku tidak akan membiarkan Eko berbuat keji sama kamu.”“Jadi benar kamu bunuh suamimu?” Rahmat melotot tidak percaya.Septi tertawa ringan. “Pergilah kalian dari sini. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Aku betul-betul tidak peduli dengan Faisya, jadi tolong jangan sertakan aku ke dalam masalah keluarga Anda lagi, Bu Ratri. Anggap saja kita tidak pernah punya hubungan apa-apa.”“Sep, tunggu!” cegah Ratri saat melihat Septi hendak membalik badan dan menuju ke dalam rumah. “Tapi Faisya itu anakmu.”“Pergilah, Bu, pergilah! Cukup semuanya, aku tidak ingin melihat Faisya, sebab setiap aku melihat anak itu aku selalu terbayang perbuatan bejat ….”“Tapi Faisya itu
“Apa yang Ibu lakukan di sini?” Delia berseru melihat Ratri tengah menggedor-gedor pintu kamar mandi sekolah.Sementara anak-anak dan beberapa orang tua murid dan guru telah berkerumun di sekitar Ratri.“Ibu, Ibu Delia!” Faisya segera berteriak saat mendengar suara Delia.“Ya, Sayang. Ini Ibu Delia!” seru Delia.“Fa takut, Bu.”Delia merangsek, mendorong Ratri untuk mundur. “Buka, Fa, enggak apa-apa, ini Ibu.”Pintu kamar mandi segera terbuka. Faisya dengan gesit melesat ke arah Delia. Dia berhasil berkelit ketika tangan Ratri hendak menjamah tubuh kecilnya.“Aku enggak mau ikut Mbah Ratri ke Jakarta, aku mau sama Ibu!” teriak Faisya sembari memeluk pinggang Delia dengan erat.“Faisya, Ibu Delia itu bukan ibumu!” Ratri tak kalah berseru.“Bu, tolong jangan berteriak-teriak di sini. Setidaknya hormati diri Ibu sendiri,&rd
“Ayo, Del!” Mbah Barid menarik tangan Delia.“A-aku takut kalau nanti jadi ribut, Mbah,” jawab Delia pelan. Langkahnya sudah terhenti sedari tadi, sebelum akhirnya seperti sekarang, ditarik-tarik oleh Mbah Barid.“Kan ada Mbah di sini. Ayo!”Delia terpaksa melangkah lagi. Mengekor sang nenek yang jalan di depan, memasuki halaman rumah Astuti. Jenasah Galang sudah dimakamkan semalam, dan rumah Astuti menjadi lebih sepi. Konon kemarin sore pun tidak banyak pelayat yang datang. Hanya beberapa kerabat dan sedikit warga sekitar.Astuti sedang duduk di sofa ruang tamu seorang diri. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Dia terlihat kaget saat mendengar salam dari mulut Mbah Barid, apalagi setelah melihat ada Delia di belakang orang tua itu. Astuti spontan berdiri, badannya siap siaga. Entah mengapa kedua tangannya terkepal kuat.“Mau apa kamu ke sini, Del? Mau mensyukuri musibah yang Bibi terima?
“Maafkan kami, Bu, Pak Firman tidak bersedia untuk menemui Anda.”Delia merespon dengan anggukan lemah. Matanya bersitatap dengan milik Rena.“Betul kan, Ren? Mas Firman enggak akan mau melihat aku lagi,” bisik Delia sembari melangkah keluar, berjejeran dengan Rena.“Iya, Mbak. Yang penting Mbak Delia udah coba,” hibur Rena.Sejak kemarin sore, Rena memang mengajak Delia untuk membezuk Firman di kantor polisi, tempat lelaki itu ditahan sementara. Delia sudah menolak, sebab dia tahu Firman sekarang sangat membencinya. Perlakuan-perlakuan pada dirinya dan Galang sudah mengindikasikan semua itu.Akan tetapi Rena seperti tidak lelah untuk membujuk kakaknya menjenguk sang suami, atau sekarang sudah mantan? Ah entahlah. Yang pasti, akhirnya Delia berangkat juga ke kantor polisi setelah mengantar Faisya ke sekolah. Lagi-lagi Rena yang memaksanya.“Delia!”Spontan kakak beradik itu menoleh
“Jadi Fa bobo di sini?” Mata Faisya membulat. Dia mengedar pandangan lagi, entah sudah yang ke berapa kali.Sejatinya gadis kecil itu sudah melihat-lihat rumah Mbah Barid dengan detail tadi, bahkan sampai masuk ke kamar Mbah Barid. Jika tidak akan tinggal di sini sudah pasti Delia akan melarang Faisya, sebab itu sangat tidak sopan. Namun Delia membuat pengecualian kali ini supaya Faisya merasa lebih nyaman.“Bobo-nya sama Ibu kan?” tanya Faisya lagi.Delia tersenyum. “Iya dong, kita bobo sama-sama.”“Kalau bobo bareng Ibu Delia, aku mau,” sahut Faisya seraya memeluk Delia, lalu menarik tangan ibu tirinya itu agar telinga Delia dekat ke mulutnya. Faisya lantas berbisik, “Rumah Mbah agak horor.”“Oh iya?” Delia memasang mata jenaka.“Sst ….” Faisya mengangkat telunjuk ke depan bibirnya yang mengerucut, lalu matanya melirik ke arah luar. Seaka
“Del, apa maksudmu melibatkan Mbah Barid dalam permasalahan kita? Pakai mengancam segala. Kalau aku enggak memenuhi permintaan dari kamu, aku mau kamu sant3t, begitu?” seru Galang.“Sant3t?”Delia tertawa. Dia baru sadar sekarang, bahwa orang-orang selalu menganggap Mbah Barid sebagai orang yang mempunyai ilmu hitam. Mentang-mentang dia tinggal nyempil sendirian di ujung desa, warga berasumsi si Mbah dekat dengan mistis. Mungkin itu yang menyebabkan Astuti begitu ketakutan melihat sosok si Mbah.“Ya, pasti akan aku lakukan, Bang. Aku akan sant3t kamu biar enggak ada lagi orang yang bisa kamu sakiti. Lebih enak sih kalau burungmu aku bikin letoy!” Delia terbahak. Ekor matanya menangkap Faisya dan Mbah Barid menoleh dengan cepat di kejauhan. Namun perempuan itu tidak peduli, dia tetap saja menyaringkan derai tawanya.“Kita kan melakukan itu suka sama suka. Emang ada aku maksa kamu? Kalau akhirnya kamu ha
“Biar saya saja yang turun,” kata Fiko lugas. “Mbah sama Mbak di sini saja ya.”“Makasih, Mas Fiko,” sahut Mbah Barid cepat. Tangan kirinya meraih genggaman Delia. “Kita di sini saja, Del.”Delia menunduk pasrah. Dia semakin menunduk ketika mendengar suara Firman menggelegar, dan para tetangga kembali muncul.“Mau apa lagi perempuan murahan itu ke sini? Sampai kapan pun aku tidak akan menerima kamu lagi!” lengking Firman.“Nunsewu, Mas Firman, saya mau ambil barang-barang ini, setelah itu kami langsung pergi,” kata Fiko kalem, badannya menunduk, khas penghormatan orang kampung.Di bawah tatap mata tajam Firman, Fiko cekatan memindahkan barang-barang Delia dan Faisya yang tidak seberapa banyak itu. Entah karena melihat kegesitan Fiko, atau memang karena Firman kehilangan selera untuk marah, yang jelas mulut Firman terkatup bisu. Matanya saja yang berkilat-kilat mengikut
Delia ambruk sampai di halaman rumah Mbah Barid. Bunyi jatuhnya sepeda, barang bawaan dan tubuh Delia susul menyusul berdentuman. Sebagian kerakal yang menutupi halaman berhamburan, sebagian lagi menggores tubuh perempuan itu. Dua detik kemudian tangan dan kakinya mengeluarkan bintik-bintik berwarna merah yang lama kelamaan mengumpul menjadi nuansa darah.Delia menangis. Bukan karena tangan dan kakinya terluka. Dia sedang merasa malu, merasa harga dirinya sudah berada di level minus.“Delia ….” Mbah Barid datang dari arah dalam. Ayunan kakinya kencang mendekati sang cucu. “Syukurlah kamu sudah pulang, capek ya? Sini Mbah bantu.”Mbah Barid tersenyum. Tangan keriputnya yang kasar menyibak rambut Delia dan mengusap kedua pipi cucunya bergantian. “Kalau capek enggak apa-apa istirahat. Yuk, Mbah bantu masuk.”Melihat perlakuan Mbah Barid, Delia malah tergugu, dan isaknya semakin kencang. Wanita renta berusia enam pul
“Bagus, kamu datang!” teriak Firman. Lelaki itu berkacak pinggang di depan pintu rumah yang sepenuhnya terbuka. Teriakan yang melengking sangat tinggi, membuat beberapa tetangga yang berada dalam rumah mereka satu per satu mulai keluar. Hati Delia ciut seketika. Wajah Firman sudah merah merata, dengan mata membeliak mengerikan yang menghunjam ke seluruh sosoknya. Perempuan itu masih terpaku di atas motor, dan indera pendengarannya menangkap gumaman serupa gerombolan lebah. Saat dia melirik, orang-orang sudah berkumpul sembari berbisik-bisik.Berbeda dengan Delia yang menciut, Firman justru tampak mengembang. Meski dadanya sesak luar biasa, namun dia senang melihat para warga yang mulai berkumpul sebab kehebohan yang sudah dia buat. “Bapak, Ibu. Istri saya ini sudah main gila dengan keponakan saya sendiri!” seru Firman lagi. Suaranya menjadi lebih lantang.Delia tergopoh-gopoh turun dari motornya dan mendekati Firman. Serta merta memegang kaki Firman dan mulai menangis. “Mas, semua b