Share

Berubah

Author: Iyustine
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Mas, udah sembuh?” Delia membeliakkan matanya dengan indah. Mulutnya ternganga beberapa detik, setelah itu membentuk senyum lebar. Perempuan berwajah manis itu pun menubruk suaminya.

Hati Delia senang bukan kepalang ketika keesokan harinya, menemukan Firman sudah segar. Rambut lelakinya basah, dan dari tubuh Firman menguar aroma sampo dan sabun mandi.

Firman tertawa berurai. Membiarkan Delia melingkarkan tangan di sekeliling pinggangnya. Namun ketika Delia bermaksud menempelkan bibirnya, Firman sengaja menjatuhkan sisir, dan segera menunduk untuk melindungi wajahnya dari bibir sang istri.

“Alhamdulillah pagi ini aku udah agak enakan, jadi aku bisa balik ke Jakarta.”

“Balik ke Jakarta?” Delia melepas pelukan, lalu mundur. “Sekarang?”

“Iya,” jawab Firman. Tawa Firman lepas sempurna manakala melihat Delia membeliakkan matanya lagi, tentu saja kali ini hanya melotot saja tanpa senyum.

Otak Firman terus berpikir semalaman, menghubung-hubungkan antara Delia yang tiba-tiba memaksanya pulang, penemuan testpack dan usaha Delia yang tak kenal lelah untuk meminta nafkah batin. Bahkan Delia terus berusaha meminta meski dirinya beralasan sakit, sungguh bukan sesuatu yang biasa.

Akhirnya Firman paham, semua itu Delia lakukan agar bisa menghilangkan jejak perselingkuhannya. Kalau Firman sampai terkecoh, mungkin sebulan lagi, istrinya akan mengabarkan bahwa dia hamil, hasil hubungan mereka hari ini. Luar biasa licik rencana Delia.

“Seriusan Mas mau balik sekarang? Katanya libur tiga hari?” Nada protes mulai Delia lancarkan.

“Loh kan memang ini sudah hari ketiga, maksudnya tiga hari itu dihitung sama perjalanan balik ke Jakarta.”

“Ooh ….” Delia mulai mendekat. Menyentuh Firman dan berkata, “Yuk, Mas … sempatkan kita saling melepas rindu. Sepuluh menit aja kan bisa.”

Firman tertawa lagi. “Ngawur, yang nganter Fa sekolah siapa? Lagian badanku masih agak lemes, takut dipaksakan malah ambruk lagi.”

Delia mulai berkaca-kaca, jurus andalan perempuan itu agar Firman menuruti kehendaknya. Jika biasanya Firman langsung memeluk dan berusaha menenangkan Delia, kemudian menuruti apa pun yang dia inginkan. Namun tidak sekarang ini. Keadaan sudah berbeda, Firman sudah mulai mencium kecurangan di belakang sikap istrinya yang selalu manis.

“Maaf, Del, kayaknya kita mesti tunda dulu. Kamu yang sabar ya, bulan depan Mas usahain minta cuti lagi,” kata Firman, yang tentu saja hanya bualan belaka.

Tangis Delia pecah langsung. Perempuan dua puluh empat tahun itu menjatuhkan dirinya ke ranjang sambil sedikit meraung.

Firman keluar kamar.

“Bapak, Ibu Delia nangis? Kenapa?” tanya Faisya polos. Dia sedang sarapan seorang diri.

“Iya, katanya sakit perut.”

“Jangan-jangan ketularan Bapak. Kemarin kan Bapak juga sakit perut, eh Bapak udah sembuh?” Faisya bicara bertubi-tubi. Membuat Firman tersenyum.

“Iya, alhamdulillah Bapak udah sembuh, hari ini Bapak balik ke Jakarta.”

Faisya mengangguk.

Setelah selesai sarapan. Firman sengaja mengajak Faisya ke kamar menemui Delia, menyuruh anak kandungnya itu pamitan.

“Bu, jangan nangis lagi, biar cepat sembuh,” kata Faisya seraya mengelus pipi Delia. Delia pun tersenyum, namun senyumnya hilang saat melihat Firman yang berdiri di sebelah Faisya. Lelaki itu telah memakai jaket dan topi.

“Aku juga pamit ya, Bu,” ucap Firman. Dia terpaksa menunduk dan mau tidak mau mengecup kening istrinya. Melihat itu Faisya tersipu malu, kemudian berlari keluar.

“Maafkan aku ya, Del. Tapi aku janji  akan pulang secepatnya untuk kita melepas kangen, aku juga sebenarnya kangen banget sama kamu.” Dengan berat hati Firman membuat janji palsu. Sesaat tadi dia tersadar bahwa anak kandungnya hidup bersama Delia. Ada rasa takut jika dia membuat hati Delia sakit, nanti Faisya kena imbasnya.

“Mas  bisa pulang dua minggu lagi enggak?” Mata Delia yang basah memancar penuh harapan.

“Untuk istri Mas yang cantik, pasti Mas usahain yang terbaik.” Firman membuat janji palsu lagi.

Delia tersenyum.

“Udah, kamu istirahat aja, biar aku antar Faisya ke sekolah, naik taksi sekalian aku ke stasiun.”

Delia mengangguk.

Taksi datang, Faisya dan Firman segera naik.

“Fa, mau beli jajan dulu enggak? Bapak sekalian mau beli minum,” kata Firman sesampainya mereka di sekolah Faisya.

Tentu saja Faisya mengangguk. Mana ada anak kecil ditawarin jajan tidak mau. Bapak dan anak itu pun melangkah ke warung Galang.

Entah hanya perasaan Firman saja atau memang kenyataannya begitu. Galang terlihat gugup sekali dalam melayani Faisya dan dirinya. Hal ini membuat kecurigaan Firman bertambah besar.

“Eh, Firman, udah sembuh?” Astuti muncul dari dalam.

“Loh kok Bibi tau aku sakit?” tanya Firman. Dia memang memanggil Astuti dengan sebutan Bibi, karena ibu dari Galang itu masih kerabat dari ayahnya.

“Eh, kan kemarin Faisya dan Delia yang bilang, tiap hari Faisya jajan di sini. Iya kan, Fa?” Astuti memandang bocah sekolah dasar itu dengan mata membesar. Faisya hanya mengangguk sekilas, lalu memilih lagi jajanan yang dia inginkan.

Lidah Firman ingin sekali bertanya macam-macam, tetapi ditahannya saja. Dia tidak ingin membuat Astuti dan Galang curiga. Firman akan mengikuti permainan mereka, sembari memikirkan bagaimana cara menangkap basah perbuatan keji ini.

Setelah membayar, Firman mengantar Faisya sampai gerbang sekolahnya. Kemudian dia kembali masuk ke dalam taksi. Tidak ada yang tahu jika Firman memesan taksi dengan tujuan pasar di dekat sekolah Faisya, dan dari pasar Firman memesan taksi yang lain untuk ke stasiun.

“Pak, nanti lewat SD ya, terus kalau lewat situ tolong bawanya pelan-pelan saja, saya mau lihat anak saya di sekolah,” kata Firman kepada sopir taksi sesaat p4ntatnya menyentuh jok mobil.

Meski merasa aneh, si sopir mengiyakan saja.

Bukan sekolah Faisya yang ingin Firman lihat, melainkan toko kecil di seberang sekolah itu. Hatinya bergetar hebat, ketika tebakannya betul seratus persen. Mata kepala Firman melihat motor sang istri terparkir di depan toko kecil bibinya.

Related chapters

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Usul Galang

    “Del, aku bilang juga apa, Firman cepat sembuh kan? Tadi dia ke sini sama Faisya, beli jajan. Keliatan segar bugar kok,” cerocos Astuti, dia menyambut kedatangan Delia, tak lama setelah Firman pergi dari toko kecilnya.Delia mencebik, kemudian menyelonong masuk ke dalam rumah. Bukan duduk di teras seperti biasa.“Eh, malah duduk di sini. Udah sana pulang, rayu suami kamu. Bisalah mumpung kalian hanya berdua di rumah,” tutur Astuti. Dia ikut duduk di samping Delia.“Mas Firman itu dari nganter Faisya langsung ke stasiun, Bi,” sahutnya dengan nada kesal.“Loh berarti dia tadi itu langsung balik Jakarta dari sini?”Delia melirik, masih dengan aura kekecewaan, lalu mengangguk.“Terus kamu belum gituan sama dia?”“Ya belum, Bi. Semalam udah aku pijitin, udah aku kerikin, sambil aku rayu-rayu. Tapi kayaknya memang Mas Firman sakit beneran. Dia kayak lemes gitu, Bi. Sampai capek sendiri aku ngerayunya.”Tepat saat itu Galang masuk. Dia yang mendengar ucapan Delia, langsung memandang ibunya

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Ketemuan

    “Oh, kamu. Ada apa?” Septi bertanya dengan wajah dan nada yang sama-sama dingin.Delia meresponnya dengan meringis malu-malu.Setelah dia berpikir semalaman, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan usulan Galang. Jadi di sinilah dia, mengetuk pintu rumah Septi di siang hari. Delia tahu jika ibu kandung Faisya ini bekerja menjadi buruh pemetik di kebun seorang juragan di desanya. Jadi pagi dan sore hari Septi ada di kebun untuk bekerja.“Aku mau bicara soal Faisya, Mbak,” kata Delia.Septi menghela napas. Dia masih berdiri di ambang pintu, sementara Delia dibiarkan berdiri di sisi luar. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mempersilakan istri dari mantan suaminya ini masuk.“Kenapa sama Faisya? Kamu capek mengurusnya ya?” ujar Septi. Tawa bernada mengejek memercik dari mulutnya. “Memang dikira membesarkan anak itu gampang?”Delia menelan ludahnya. Perempuan itu menjadi galau. Haruskah dia teruskan niatnya ini?“Kalau kamu mau serahin Faisya ke aku, ya silakan, karena aku memang ibu kandung

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Telepon Faisya

    “Fa, Ibu ada rencana mau ke Jakarta. Mau kasih surprise ke Bapak, jadi Fa jangan kasih tau Bapak soal ini ya.”“Asyik, kita berangkat kapan, Bu?” Faisya menjadi sangat antusias.Delia tersenyum. Dia membelai kepala Faisya, lalu membawa ke dalam pelukannya. “Tapi sayangnya, kali ini Fa enggak bisa ikut dulu—““Loh, kenapa?” Suara bocah sembilan tahun itu berubah sendu. Saat Delia mengambil wajahnya menggunakan kedua tangannya, mata anak tirinya itu sudah penuh air mata.“Ibu cuma sebentar kok. Fa kan sekolah, dan sebentar lagi UTS, nanti Bapak marah ke Ibu kalau Fa jadi terganggu belajarnya.”Faisya sudah mulai menangis. Tangannya dia gunakan untuk memeluk pinggang Delia erat-erat. “Tapi Fa mau ikut ….”“Kali ini Fa di rumah aja ya, tapi Ibu janji bulan depannya lagi kita berdua ke Jakarta bareng-bareng.”Tangis Faisya meledak.Delia butuh waktu hampir dua jam untuk menenangkan Faisya. Membujuk ini itu dan pada akhirnya Faisya mengangguk.“Fa sama Ibu Septi, tapi Ibu Septi yang nginep

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Galau

    “Kamu kenapa, Man? Pusing aku ngeliat kamu mondar mandir gitu,” celetuk Abdul. Dia adalah OB di kantor bos Firman. “Apa kamu enggak pusing? Tanah yang kamu injak udah sampai benyek gitu.”Reflek Firman melihat ke bawah. Ke tanah kebun kantor, tempat dia biasa duduk-duduk menunggu bos membutuhkan tenaganya. Ya, memang tanah bekas tapak sepatunya membuat jejak, menjadi lebih cekung dibanding tanah di sekitarnya.Firman duduk. “Kalau aku ijin pulang lagi, apa dikasih ya?” ceplosnya dengan tatapan nanar.“Loh, bukannya kamu baru balik dua hari lalu dari kampung?”“I-ini anakku barusan telpon, istriku muntah-muntah.”“Hah? Baru dipakai kemarin udah hamil? Tokcer juga kamu, Man.”Firman melenguh sebal. Biasanya candaan semacam itu akan membuatnya melepaskan tawa panjang, tetapi sekarang terdengar menjadi begitu menyesakkan. Sesak dada, sesak napas, sebab memang betul istrinya muntah-muntah karena hamil. Masalahnya Delia hamil bukan dengan dirinya. Firman mengelap keringatnya yang bermuncul

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Aku Pasrah

    “Jadi Faisya udah kasih tau Bapak kalau Ibu mau ke Jakarta?” Delia membelalakkan matanya.Faisya yang kaget dengan reaksi Delia menjadi ciut. Kaki kecilnya mundur dua langkah, dan mulai bergetar. “Ibu jangan marah, Fa cuma takut Ibu kenapa-napa di jalan. Kan Ibu sakit.” Delia menghela napas, lalu menghembuskan kuat-kuat. “Astafirulloh, maaf Fa, maafin Ibu … Ibu cuma kaget aja.”“Ibu enggak marah?” Mata Faisya menjadi lebih menyala. Delia menggeleng. Gadis cilik itu segera menghambur ke dalam pelukan Delia. “Ibu cepet sembuh ya. Nanti kalau udah sembuh, baru boleh ke Jakarta.”Delia sekali lagi mengangguk. “Terima kasih tehnya ya, Fa memang anak pintar. Sekarang Ibu mau istirahat dulu boleh?”“Iya, Bu. Ini baju-baju Ibu yang di koper Fa masukin ke lemari lagi ya?”“Nanti aja, enggak apa-apa dibiarin di situ dulu.”“Tapi Ibu jangan ke Jakarta ya.”“Iya, Sayang. Sini peluk lagi, Fa mandi dulu, kan bentar lagi waktunya ngaji.”“Fa pengen nungguin Ibu, jadi boleh enggak kalau Fa bolos men

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Fakta Baru

    “Mas.” Delia tercekat mendapati Firman ada di depan pintu rumahnya pada pagi hari. Lelaki itu pasti segera berburu tiket kereta api selepas mereka bertelepon.“Aku enggak mau basa basi, Del. Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini,” kata Firman. Dia memalingkan muka, sama sekali tidak ingin melihat wajah istrinya.“Tapi aku harus kemana, Mas?”“Bukan urusanku.”“Nanti Faisya bagaimana? Siapa yang akan mengurus dia?”Firman tertawa tanpa minat. “Jangan sok perhatian. Sudah cepat, waktu berjalan terus. Kalau kamu melambat-lambatkan, aku terpaksa mengusir kamu dengan paksa.”Delia menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. Dengan gontai dia kembali ke kamar, koper yang sudah sempat dia rapikan semalam, dia buka kembali. Dilesakkan beberapa baju hingga koper itu penuh. Tidak mungkin dia bisa membawa semua bajunya, jumlah barang itu terlalu banyak untuk koper sekecil itu.“Ibu, mau kemana? Kan Bapak udah di rumah?” Faisya yang baru keluar dari kamarnya segera memburu sosok Delia.

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Pergi

    Firman tertawa menggelegar. “Ngelawak kamu kan, Sep?”Sementara Delia sudah terduduk lemas di salah satu kursi terdekat.“Bu, kok lama?” Faisya akhirnya muncul. “Loh ada Ibu Septi juga?”Ketiga orang dewasa di situ saling melirik satu sama lain.Faisya berlari mendapatkan Delia. “Bu, udah siang nih, nanti kalau Fa terlambat sekolah gimana?”Delia melirik Firman. Lelaki itu terpekur, jelas sekali dia menahan beban yang maha berat. “Ayok, Ibu siapkan air hangatnya ya.”Faisya bersorak. Dia menarik tangan Delia untuk pergi ke belakang.“Kamu mau tau siapa bapak Faisya yang sebenarnya?” Septi dengan nada tercampur tawa, bertanya. Di telinga Firman terdengar begitu mengejek.“Omong kosong apa kamu, Sep. Kamu itu hanya ingin memperkeruh suasana, iya kan? Seneng melihat aku makin terpuruk.”Septi mengumbar tawa. “Ya terserah sih kalau kamu enggak percaya. Tapi yang sebenarnya ibumu tau.”Firman tersengat kaget.“Kamu boleh tanya ibumu sendiri, kalau kamu enggak percaya sama aku. Ngomong-ngom

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Harus Kemana?

    “Mau ngapain kamu seret-seret koper ke sini?” Lasmi, ibu kandung Delia tertawa lebar melihat kedatangan anak pertamanya. Sama sekali tidak ada rasa kasihan melihat wajah putrinya yang sudah bersimbah air mata.“Udah jadi orang kaya kok mau balik ke gubug derita, nanti kudisan kamu,” lanjutnya sambil memiringkan bibir.“Ibu ….” Delia menghambur ke kaki ibunya. “Maafkan aku, Bu.”Lasmi makin kencang tertawa, meskipun dalam hatinya sangat perih. Anak sulungnya ini yang sudah berani melawan perintahnya, bahkan nekat kabur dari rumah lalu menikah tanpa restu. Delia pula yang pernah sesumbar tidak akan lagi balik ke rumah sebab dia sudah hidup dengan layak bersama suami pilihannya.“Kalau ada apa-apa dalam pernikahanmu, sana ke bapakmu, jangan ke sini. Kan bapakmu yang merestui pernikahanmu,” ujar Lasmi seraya menahan tangis. Bagaimana pun hati seorang ibu tidak tega melihat anak kandungny

Latest chapter

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Jalani Takdirmu

    “A-aku terpaksa, a-aku terpaksa demi kamu, Sep,” tutur Ratri terbata-bata. “A-aku memang tidak suka sama kamu, sedari awal Firman mengenalkan kamu … tapi aku bukan perempuan yang jahat, aku tidak akan membiarkan Eko berbuat keji sama kamu.”“Jadi benar kamu bunuh suamimu?” Rahmat melotot tidak percaya.Septi tertawa ringan. “Pergilah kalian dari sini. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Aku betul-betul tidak peduli dengan Faisya, jadi tolong jangan sertakan aku ke dalam masalah keluarga Anda lagi, Bu Ratri. Anggap saja kita tidak pernah punya hubungan apa-apa.”“Sep, tunggu!” cegah Ratri saat melihat Septi hendak membalik badan dan menuju ke dalam rumah. “Tapi Faisya itu anakmu.”“Pergilah, Bu, pergilah! Cukup semuanya, aku tidak ingin melihat Faisya, sebab setiap aku melihat anak itu aku selalu terbayang perbuatan bejat ….”“Tapi Faisya itu

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Terungkap

    “Apa yang Ibu lakukan di sini?” Delia berseru melihat Ratri tengah menggedor-gedor pintu kamar mandi sekolah.Sementara anak-anak dan beberapa orang tua murid dan guru telah berkerumun di sekitar Ratri.“Ibu, Ibu Delia!” Faisya segera berteriak saat mendengar suara Delia.“Ya, Sayang. Ini Ibu Delia!” seru Delia.“Fa takut, Bu.”Delia merangsek, mendorong Ratri untuk mundur. “Buka, Fa, enggak apa-apa, ini Ibu.”Pintu kamar mandi segera terbuka. Faisya dengan gesit melesat ke arah Delia. Dia berhasil berkelit ketika tangan Ratri hendak menjamah tubuh kecilnya.“Aku enggak mau ikut Mbah Ratri ke Jakarta, aku mau sama Ibu!” teriak Faisya sembari memeluk pinggang Delia dengan erat.“Faisya, Ibu Delia itu bukan ibumu!” Ratri tak kalah berseru.“Bu, tolong jangan berteriak-teriak di sini. Setidaknya hormati diri Ibu sendiri,&rd

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Korban

    “Ayo, Del!” Mbah Barid menarik tangan Delia.“A-aku takut kalau nanti jadi ribut, Mbah,” jawab Delia pelan. Langkahnya sudah terhenti sedari tadi, sebelum akhirnya seperti sekarang, ditarik-tarik oleh Mbah Barid.“Kan ada Mbah di sini. Ayo!”Delia terpaksa melangkah lagi. Mengekor sang nenek yang jalan di depan, memasuki halaman rumah Astuti. Jenasah Galang sudah dimakamkan semalam, dan rumah Astuti menjadi lebih sepi. Konon kemarin sore pun tidak banyak pelayat yang datang. Hanya beberapa kerabat dan sedikit warga sekitar.Astuti sedang duduk di sofa ruang tamu seorang diri. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Dia terlihat kaget saat mendengar salam dari mulut Mbah Barid, apalagi setelah melihat ada Delia di belakang orang tua itu. Astuti spontan berdiri, badannya siap siaga. Entah mengapa kedua tangannya terkepal kuat.“Mau apa kamu ke sini, Del? Mau mensyukuri musibah yang Bibi terima?

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Syarat

    “Maafkan kami, Bu, Pak Firman tidak bersedia untuk menemui Anda.”Delia merespon dengan anggukan lemah. Matanya bersitatap dengan milik Rena.“Betul kan, Ren? Mas Firman enggak akan mau melihat aku lagi,” bisik Delia sembari melangkah keluar, berjejeran dengan Rena.“Iya, Mbak. Yang penting Mbak Delia udah coba,” hibur Rena.Sejak kemarin sore, Rena memang mengajak Delia untuk membezuk Firman di kantor polisi, tempat lelaki itu ditahan sementara. Delia sudah menolak, sebab dia tahu Firman sekarang sangat membencinya. Perlakuan-perlakuan pada dirinya dan Galang sudah mengindikasikan semua itu.Akan tetapi Rena seperti tidak lelah untuk membujuk kakaknya menjenguk sang suami, atau sekarang sudah mantan? Ah entahlah. Yang pasti, akhirnya Delia berangkat juga ke kantor polisi setelah mengantar Faisya ke sekolah. Lagi-lagi Rena yang memaksanya.“Delia!”Spontan kakak beradik itu menoleh

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Kepada Faisya

    “Jadi Fa bobo di sini?” Mata Faisya membulat. Dia mengedar pandangan lagi, entah sudah yang ke berapa kali.Sejatinya gadis kecil itu sudah melihat-lihat rumah Mbah Barid dengan detail tadi, bahkan sampai masuk ke kamar Mbah Barid. Jika tidak akan tinggal di sini sudah pasti Delia akan melarang Faisya, sebab itu sangat tidak sopan. Namun Delia membuat pengecualian kali ini supaya Faisya merasa lebih nyaman.“Bobo-nya sama Ibu kan?” tanya Faisya lagi.Delia tersenyum. “Iya dong, kita bobo sama-sama.”“Kalau bobo bareng Ibu Delia, aku mau,” sahut Faisya seraya memeluk Delia, lalu menarik tangan ibu tirinya itu agar telinga Delia dekat ke mulutnya. Faisya lantas berbisik, “Rumah Mbah agak horor.”“Oh iya?” Delia memasang mata jenaka.“Sst ….” Faisya mengangkat telunjuk ke depan bibirnya yang mengerucut, lalu matanya melirik ke arah luar. Seaka

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Mengamuk

    “Del, apa maksudmu melibatkan Mbah Barid dalam permasalahan kita? Pakai mengancam segala. Kalau aku enggak memenuhi permintaan dari kamu, aku mau kamu sant3t, begitu?” seru Galang.“Sant3t?”Delia tertawa. Dia baru sadar sekarang, bahwa orang-orang selalu menganggap Mbah Barid sebagai orang yang mempunyai ilmu hitam. Mentang-mentang dia tinggal nyempil sendirian di ujung desa, warga berasumsi si Mbah dekat dengan mistis. Mungkin itu yang menyebabkan Astuti begitu ketakutan melihat sosok si Mbah.“Ya, pasti akan aku lakukan, Bang. Aku akan sant3t kamu biar enggak ada lagi orang yang bisa kamu sakiti. Lebih enak sih kalau burungmu aku bikin letoy!” Delia terbahak. Ekor matanya menangkap Faisya dan Mbah Barid menoleh dengan cepat di kejauhan. Namun perempuan itu tidak peduli, dia tetap saja menyaringkan derai tawanya.“Kita kan melakukan itu suka sama suka. Emang ada aku maksa kamu? Kalau akhirnya kamu ha

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Ancaman

    “Biar saya saja yang turun,” kata Fiko lugas. “Mbah sama Mbak di sini saja ya.”“Makasih, Mas Fiko,” sahut Mbah Barid cepat. Tangan kirinya meraih genggaman Delia. “Kita di sini saja, Del.”Delia menunduk pasrah. Dia semakin menunduk ketika mendengar suara Firman menggelegar, dan para tetangga kembali muncul.“Mau apa lagi perempuan murahan itu ke sini? Sampai kapan pun aku tidak akan menerima kamu lagi!” lengking Firman.“Nunsewu, Mas Firman, saya mau ambil barang-barang ini, setelah itu kami langsung pergi,” kata Fiko kalem, badannya menunduk, khas penghormatan orang kampung.Di bawah tatap mata tajam Firman, Fiko cekatan memindahkan barang-barang Delia dan Faisya yang tidak seberapa banyak itu. Entah karena melihat kegesitan Fiko, atau memang karena Firman kehilangan selera untuk marah, yang jelas mulut Firman terkatup bisu. Matanya saja yang berkilat-kilat mengikut

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Tabahkan Hatimu

    Delia ambruk sampai di halaman rumah Mbah Barid. Bunyi jatuhnya sepeda, barang bawaan dan tubuh Delia susul menyusul berdentuman. Sebagian kerakal yang menutupi halaman berhamburan, sebagian lagi menggores tubuh perempuan itu. Dua detik kemudian tangan dan kakinya mengeluarkan bintik-bintik berwarna merah yang lama kelamaan mengumpul menjadi nuansa darah.Delia menangis. Bukan karena tangan dan kakinya terluka. Dia sedang merasa malu, merasa harga dirinya sudah berada di level minus.“Delia ….” Mbah Barid datang dari arah dalam. Ayunan kakinya kencang mendekati sang cucu. “Syukurlah kamu sudah pulang, capek ya? Sini Mbah bantu.”Mbah Barid tersenyum. Tangan keriputnya yang kasar menyibak rambut Delia dan mengusap kedua pipi cucunya bergantian. “Kalau capek enggak apa-apa istirahat. Yuk, Mbah bantu masuk.”Melihat perlakuan Mbah Barid, Delia malah tergugu, dan isaknya semakin kencang. Wanita renta berusia enam pul

  • Pengakuan Istriku (Setelah siasat liciknya terbongkar)   Dipermalukan

    “Bagus, kamu datang!” teriak Firman. Lelaki itu berkacak pinggang di depan pintu rumah yang sepenuhnya terbuka. Teriakan yang melengking sangat tinggi, membuat beberapa tetangga yang berada dalam rumah mereka satu per satu mulai keluar. Hati Delia ciut seketika. Wajah Firman sudah merah merata, dengan mata membeliak mengerikan yang menghunjam ke seluruh sosoknya. Perempuan itu masih terpaku di atas motor, dan indera pendengarannya menangkap gumaman serupa gerombolan lebah. Saat dia melirik, orang-orang sudah berkumpul sembari berbisik-bisik.Berbeda dengan Delia yang menciut, Firman justru tampak mengembang. Meski dadanya sesak luar biasa, namun dia senang melihat para warga yang mulai berkumpul sebab kehebohan yang sudah dia buat. “Bapak, Ibu. Istri saya ini sudah main gila dengan keponakan saya sendiri!” seru Firman lagi. Suaranya menjadi lebih lantang.Delia tergopoh-gopoh turun dari motornya dan mendekati Firman. Serta merta memegang kaki Firman dan mulai menangis. “Mas, semua b

DMCA.com Protection Status