“Oh, kamu. Ada apa?” Septi bertanya dengan wajah dan nada yang sama-sama dingin.
Delia meresponnya dengan meringis malu-malu.
Setelah dia berpikir semalaman, akhirnya dia memutuskan untuk melakukan usulan Galang. Jadi di sinilah dia, mengetuk pintu rumah Septi di siang hari. Delia tahu jika ibu kandung Faisya ini bekerja menjadi buruh pemetik di kebun seorang juragan di desanya. Jadi pagi dan sore hari Septi ada di kebun untuk bekerja.
“Aku mau bicara soal Faisya, Mbak,” kata Delia.
Septi menghela napas. Dia masih berdiri di ambang pintu, sementara Delia dibiarkan berdiri di sisi luar. Tidak ada tanda-tanda dia ingin mempersilakan istri dari mantan suaminya ini masuk.
“Kenapa sama Faisya? Kamu capek mengurusnya ya?” ujar Septi. Tawa bernada mengejek memercik dari mulutnya. “Memang dikira membesarkan anak itu gampang?”
Delia menelan ludahnya. Perempuan itu menjadi galau. Haruskah dia teruskan niatnya ini?
“Kalau kamu mau serahin Faisya ke aku, ya silakan, karena aku memang ibu kandungnya. Yang lebih berhak mengasuh dia daripada kamu. Eh, kewajiban ya. Iya, kewajiban aku mengasuh anakku.”
Delia masih menunduk. Ucapan Septi bagai duri-duri sedari tadi, tajam menusuk … sama sekali tidak ramah. Apa ini hanya dilontarkan kepada dirinya, atau memang aslinya begini? Baru sekali ini dia bercakap dengan Septi.
Ibu kandung Faisya ini jarang berkunjung ke rumah, bahkan bisa dikatakan nyaris tidak pernah. Selama dua tahun pernikahan Delia dengan Firman, Septi baru dua kali ke rumahnya. Itu pun terkait pembagian harta gono gini yang memang terlambat dibicarakan antara dia dan Firman.
“Aku sebenarnya mau nitipin Faisya ke Mbak Septi, mungkin tiga harian … aku mau nyusul Mas Firman sebentar ke Jakarta. Ada perlu.”
“Iya. Mau kapan?” jawab Septi cepat.
Membuat Delia terperangah. Septi setuju tanpa banyak bertanya, sehingga Delia tergagap-gagap berkata, “Mung-mungkin aku berangkat besok pagi.”
Septi mengangguk. “Udah?”
“Hah?”
“Kalau udah, aku mau istirahat.”
Delia mengangguk, belum sempat dia mengucap salam, pintu telah ditutup. Perempuan itu menghembus napas kasar, sedikit menjadi kesal.
Delia melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Hatinya masih gundah meskipun dia sudah punya solusi untuk permasalahannya. Melihat sikap Septi tadi, Delia menjadi ragu untuk menitipkan Faisya kepadanya.
“Aduh, jangan-jangan memang benar ucapan Mas Firman, kalau Septi itu tidak sayang sama Fa,” desis Delia.
Sampai di rumah dia menelepon Galang, dan bercerita tentang sikap Septi kepada dirinya.
“Aku jadi galau, Bang. Nanti kalau Fa ada apa-apanya gimana? Mas Firman bisa marah besar kalau sampai terjadi apa-apa sama Faisya.”
“Tenanglah, Del, Septi itu kan ibu kandungnya Faisya—“
“Tapi Mas Firman itu pernah cerita kalau Septi enggak sayang sama Faisya. Sedari Faisya bayi, dia enggak becus mengurusnya. Maka itu Septi diceraikan Mas Firman.”
“Halah, itu kan cerita Firman. Laki-laki kalau udah enggak suka sama perempuan ya pasti punya seribu satu alasan untuk pergi.”
Delia terdiam. Bagaimana pun dia sayang kepada Faisya sebagai anak tiri, sebagai anak-anak, sebagai sesama manusia … ya, pokoknya yang seperti itulah. Delia benar-benar tulus menyayangi anak Septi itu. Dia tidak ingin sesuatu terjadi pada Faisya.
“Kalau Faisya dititipkan di situ aja gimana, Bang?”
“Di situ di mana?”
“Di rumah Abang—“
“Heh, ngawur!” ceplos Galang spontan.
“Loh Abang sama Bibi kan masih saudara sama Mas Firman, ya wajar kan kalau Faisya menginap di rumah Abang.”
“Aduh, nanti orang-orang malah curiga. Kita ini mau menyelesaikan masalah, Del, kok malah jadi menambah masalah.”
Delia menggigit bibirnya.
“Kalau titip ke ibumu, Del?”
“Ah, Abang kayak enggak ngerti. Ibuku kan enggak merestui pernikahan aku sama Mas Firman, Ibu benci sama Mas Firman.”
“Mertuamu?”
“Dia juga enggak suka sama aku.”
“Tapi kan Faisya itu cucu mereka sendiri.”
Delia menepuk dadanya yang terasa sesak. Kok jadi seruwet ini. “Abang sih enggak pakai pengaman waktu itu, sekarang kita jadi kalang kabut begini.”
Galang terdiam. Dia tidak akan terpancing dengan kalimat kekasih gelapnya itu. Mereka sudah pernah bahas hal ini berkali-kali, bahkan berdebat panjang. Mau dibahas, mau didebat ribuan kali juga menjadi percuma.
“Solusi paling baik adalah kamu gugurkan kandungannya. Sudah, beres.”
Delia segera menutup teleponnya.
“Fa, Ibu ada rencana mau ke Jakarta. Mau kasih surprise ke Bapak, jadi Fa jangan kasih tau Bapak soal ini ya.”“Asyik, kita berangkat kapan, Bu?” Faisya menjadi sangat antusias.Delia tersenyum. Dia membelai kepala Faisya, lalu membawa ke dalam pelukannya. “Tapi sayangnya, kali ini Fa enggak bisa ikut dulu—““Loh, kenapa?” Suara bocah sembilan tahun itu berubah sendu. Saat Delia mengambil wajahnya menggunakan kedua tangannya, mata anak tirinya itu sudah penuh air mata.“Ibu cuma sebentar kok. Fa kan sekolah, dan sebentar lagi UTS, nanti Bapak marah ke Ibu kalau Fa jadi terganggu belajarnya.”Faisya sudah mulai menangis. Tangannya dia gunakan untuk memeluk pinggang Delia erat-erat. “Tapi Fa mau ikut ….”“Kali ini Fa di rumah aja ya, tapi Ibu janji bulan depannya lagi kita berdua ke Jakarta bareng-bareng.”Tangis Faisya meledak.Delia butuh waktu hampir dua jam untuk menenangkan Faisya. Membujuk ini itu dan pada akhirnya Faisya mengangguk.“Fa sama Ibu Septi, tapi Ibu Septi yang nginep
“Kamu kenapa, Man? Pusing aku ngeliat kamu mondar mandir gitu,” celetuk Abdul. Dia adalah OB di kantor bos Firman. “Apa kamu enggak pusing? Tanah yang kamu injak udah sampai benyek gitu.”Reflek Firman melihat ke bawah. Ke tanah kebun kantor, tempat dia biasa duduk-duduk menunggu bos membutuhkan tenaganya. Ya, memang tanah bekas tapak sepatunya membuat jejak, menjadi lebih cekung dibanding tanah di sekitarnya.Firman duduk. “Kalau aku ijin pulang lagi, apa dikasih ya?” ceplosnya dengan tatapan nanar.“Loh, bukannya kamu baru balik dua hari lalu dari kampung?”“I-ini anakku barusan telpon, istriku muntah-muntah.”“Hah? Baru dipakai kemarin udah hamil? Tokcer juga kamu, Man.”Firman melenguh sebal. Biasanya candaan semacam itu akan membuatnya melepaskan tawa panjang, tetapi sekarang terdengar menjadi begitu menyesakkan. Sesak dada, sesak napas, sebab memang betul istrinya muntah-muntah karena hamil. Masalahnya Delia hamil bukan dengan dirinya. Firman mengelap keringatnya yang bermuncul
“Jadi Faisya udah kasih tau Bapak kalau Ibu mau ke Jakarta?” Delia membelalakkan matanya.Faisya yang kaget dengan reaksi Delia menjadi ciut. Kaki kecilnya mundur dua langkah, dan mulai bergetar. “Ibu jangan marah, Fa cuma takut Ibu kenapa-napa di jalan. Kan Ibu sakit.” Delia menghela napas, lalu menghembuskan kuat-kuat. “Astafirulloh, maaf Fa, maafin Ibu … Ibu cuma kaget aja.”“Ibu enggak marah?” Mata Faisya menjadi lebih menyala. Delia menggeleng. Gadis cilik itu segera menghambur ke dalam pelukan Delia. “Ibu cepet sembuh ya. Nanti kalau udah sembuh, baru boleh ke Jakarta.”Delia sekali lagi mengangguk. “Terima kasih tehnya ya, Fa memang anak pintar. Sekarang Ibu mau istirahat dulu boleh?”“Iya, Bu. Ini baju-baju Ibu yang di koper Fa masukin ke lemari lagi ya?”“Nanti aja, enggak apa-apa dibiarin di situ dulu.”“Tapi Ibu jangan ke Jakarta ya.”“Iya, Sayang. Sini peluk lagi, Fa mandi dulu, kan bentar lagi waktunya ngaji.”“Fa pengen nungguin Ibu, jadi boleh enggak kalau Fa bolos men
“Mas.” Delia tercekat mendapati Firman ada di depan pintu rumahnya pada pagi hari. Lelaki itu pasti segera berburu tiket kereta api selepas mereka bertelepon.“Aku enggak mau basa basi, Del. Segera kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini,” kata Firman. Dia memalingkan muka, sama sekali tidak ingin melihat wajah istrinya.“Tapi aku harus kemana, Mas?”“Bukan urusanku.”“Nanti Faisya bagaimana? Siapa yang akan mengurus dia?”Firman tertawa tanpa minat. “Jangan sok perhatian. Sudah cepat, waktu berjalan terus. Kalau kamu melambat-lambatkan, aku terpaksa mengusir kamu dengan paksa.”Delia menunduk. Air matanya jatuh satu per satu. Dengan gontai dia kembali ke kamar, koper yang sudah sempat dia rapikan semalam, dia buka kembali. Dilesakkan beberapa baju hingga koper itu penuh. Tidak mungkin dia bisa membawa semua bajunya, jumlah barang itu terlalu banyak untuk koper sekecil itu.“Ibu, mau kemana? Kan Bapak udah di rumah?” Faisya yang baru keluar dari kamarnya segera memburu sosok Delia.
Firman tertawa menggelegar. “Ngelawak kamu kan, Sep?”Sementara Delia sudah terduduk lemas di salah satu kursi terdekat.“Bu, kok lama?” Faisya akhirnya muncul. “Loh ada Ibu Septi juga?”Ketiga orang dewasa di situ saling melirik satu sama lain.Faisya berlari mendapatkan Delia. “Bu, udah siang nih, nanti kalau Fa terlambat sekolah gimana?”Delia melirik Firman. Lelaki itu terpekur, jelas sekali dia menahan beban yang maha berat. “Ayok, Ibu siapkan air hangatnya ya.”Faisya bersorak. Dia menarik tangan Delia untuk pergi ke belakang.“Kamu mau tau siapa bapak Faisya yang sebenarnya?” Septi dengan nada tercampur tawa, bertanya. Di telinga Firman terdengar begitu mengejek.“Omong kosong apa kamu, Sep. Kamu itu hanya ingin memperkeruh suasana, iya kan? Seneng melihat aku makin terpuruk.”Septi mengumbar tawa. “Ya terserah sih kalau kamu enggak percaya. Tapi yang sebenarnya ibumu tau.”Firman tersengat kaget.“Kamu boleh tanya ibumu sendiri, kalau kamu enggak percaya sama aku. Ngomong-ngom
“Mau ngapain kamu seret-seret koper ke sini?” Lasmi, ibu kandung Delia tertawa lebar melihat kedatangan anak pertamanya. Sama sekali tidak ada rasa kasihan melihat wajah putrinya yang sudah bersimbah air mata.“Udah jadi orang kaya kok mau balik ke gubug derita, nanti kudisan kamu,” lanjutnya sambil memiringkan bibir.“Ibu ….” Delia menghambur ke kaki ibunya. “Maafkan aku, Bu.”Lasmi makin kencang tertawa, meskipun dalam hatinya sangat perih. Anak sulungnya ini yang sudah berani melawan perintahnya, bahkan nekat kabur dari rumah lalu menikah tanpa restu. Delia pula yang pernah sesumbar tidak akan lagi balik ke rumah sebab dia sudah hidup dengan layak bersama suami pilihannya.“Kalau ada apa-apa dalam pernikahanmu, sana ke bapakmu, jangan ke sini. Kan bapakmu yang merestui pernikahanmu,” ujar Lasmi seraya menahan tangis. Bagaimana pun hati seorang ibu tidak tega melihat anak kandungny
“Bapak enggak bisa ditelpon ….” Tangis Faisya pecah membahana.Sejenak Delia tercenung. Membayangkan Faisya kebingungan sendirian, ketakutan, mungkin juga dalam keadaan lapar, tetapi untuk balik ke rumah itu lagi dia tidak berani. Kuatir Firman akan mengamuk jika memergokinya.Tadi dia sempat menyuruh Faisya untuk menelepon Firman, barangkali lelaki itu sedang menenangkan diri sejenak di suatu tempat. Pasti dia akan segera kembali ke rumah kalau Faisya yang meneleponnya, sebab ….DENG!Satu pukulan mampir di kalbu Delia. Jangan-jangan Firman tidak peduli lagi pada Faisya, setelah tahu gadis cilik itu bukan putri kandungnya.“Fa … jangan nangis, coba Fa minum dulu ya. Ibu coba telponin Bapak.”“Ibu di mana? Ibu pulang cepet, Fa laper.” Bocah itu terus saja menangis.“Tunggu ya, ini telponnya Ibu matiin dulu.” Delia menguatkan hatinya untuk langsung menutup
“Eh, enggak ada apa-apa, Fa. Ibu kaget aja, kayaknya kuota Ibu habis,” ujar Delia berbohong. “Boleh pinjam hape Fa untuk coba telpon Bapak?”Faisya tertawa. “Ya ampun, Ibu bikin kaget, ternyata cuma perkara kuota habis.” Gadis cilik itu menggeleng-gelengkan kepala. Entah dia menirukan siapa, kelakuan dan omongan yang lebay begitu. Delia mau tidak mau pun tertawa.Setelah telepon genggam Faisya di tangannya, Delia menelusur kontak Firman. Ya, betul! Sama dengan miliknya, tanda centang dua dan berwarna biru. Berarti Firman telah aktif dan telah membaca pesan-pesan Delia serta Faisya. Kenapa Firman tidak membalas ya? Kalau lelaki itu enggan terhadap dirinya, setidaknya Firman bisa merespon pesan Faisya.Serta merta Delia segera mencoba menelepon Firman. Berdering lama, namun hingga dering itu habis, tidak ada respon apa-apa. Delia mencoba menelepon lagi, ternyata sudah tidak bisa. Dengan hati penuh kegugupan, Delia mencoba menget
“A-aku terpaksa, a-aku terpaksa demi kamu, Sep,” tutur Ratri terbata-bata. “A-aku memang tidak suka sama kamu, sedari awal Firman mengenalkan kamu … tapi aku bukan perempuan yang jahat, aku tidak akan membiarkan Eko berbuat keji sama kamu.”“Jadi benar kamu bunuh suamimu?” Rahmat melotot tidak percaya.Septi tertawa ringan. “Pergilah kalian dari sini. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Aku betul-betul tidak peduli dengan Faisya, jadi tolong jangan sertakan aku ke dalam masalah keluarga Anda lagi, Bu Ratri. Anggap saja kita tidak pernah punya hubungan apa-apa.”“Sep, tunggu!” cegah Ratri saat melihat Septi hendak membalik badan dan menuju ke dalam rumah. “Tapi Faisya itu anakmu.”“Pergilah, Bu, pergilah! Cukup semuanya, aku tidak ingin melihat Faisya, sebab setiap aku melihat anak itu aku selalu terbayang perbuatan bejat ….”“Tapi Faisya itu
“Apa yang Ibu lakukan di sini?” Delia berseru melihat Ratri tengah menggedor-gedor pintu kamar mandi sekolah.Sementara anak-anak dan beberapa orang tua murid dan guru telah berkerumun di sekitar Ratri.“Ibu, Ibu Delia!” Faisya segera berteriak saat mendengar suara Delia.“Ya, Sayang. Ini Ibu Delia!” seru Delia.“Fa takut, Bu.”Delia merangsek, mendorong Ratri untuk mundur. “Buka, Fa, enggak apa-apa, ini Ibu.”Pintu kamar mandi segera terbuka. Faisya dengan gesit melesat ke arah Delia. Dia berhasil berkelit ketika tangan Ratri hendak menjamah tubuh kecilnya.“Aku enggak mau ikut Mbah Ratri ke Jakarta, aku mau sama Ibu!” teriak Faisya sembari memeluk pinggang Delia dengan erat.“Faisya, Ibu Delia itu bukan ibumu!” Ratri tak kalah berseru.“Bu, tolong jangan berteriak-teriak di sini. Setidaknya hormati diri Ibu sendiri,&rd
“Ayo, Del!” Mbah Barid menarik tangan Delia.“A-aku takut kalau nanti jadi ribut, Mbah,” jawab Delia pelan. Langkahnya sudah terhenti sedari tadi, sebelum akhirnya seperti sekarang, ditarik-tarik oleh Mbah Barid.“Kan ada Mbah di sini. Ayo!”Delia terpaksa melangkah lagi. Mengekor sang nenek yang jalan di depan, memasuki halaman rumah Astuti. Jenasah Galang sudah dimakamkan semalam, dan rumah Astuti menjadi lebih sepi. Konon kemarin sore pun tidak banyak pelayat yang datang. Hanya beberapa kerabat dan sedikit warga sekitar.Astuti sedang duduk di sofa ruang tamu seorang diri. Matanya bengkak akibat terlalu banyak menangis. Dia terlihat kaget saat mendengar salam dari mulut Mbah Barid, apalagi setelah melihat ada Delia di belakang orang tua itu. Astuti spontan berdiri, badannya siap siaga. Entah mengapa kedua tangannya terkepal kuat.“Mau apa kamu ke sini, Del? Mau mensyukuri musibah yang Bibi terima?
“Maafkan kami, Bu, Pak Firman tidak bersedia untuk menemui Anda.”Delia merespon dengan anggukan lemah. Matanya bersitatap dengan milik Rena.“Betul kan, Ren? Mas Firman enggak akan mau melihat aku lagi,” bisik Delia sembari melangkah keluar, berjejeran dengan Rena.“Iya, Mbak. Yang penting Mbak Delia udah coba,” hibur Rena.Sejak kemarin sore, Rena memang mengajak Delia untuk membezuk Firman di kantor polisi, tempat lelaki itu ditahan sementara. Delia sudah menolak, sebab dia tahu Firman sekarang sangat membencinya. Perlakuan-perlakuan pada dirinya dan Galang sudah mengindikasikan semua itu.Akan tetapi Rena seperti tidak lelah untuk membujuk kakaknya menjenguk sang suami, atau sekarang sudah mantan? Ah entahlah. Yang pasti, akhirnya Delia berangkat juga ke kantor polisi setelah mengantar Faisya ke sekolah. Lagi-lagi Rena yang memaksanya.“Delia!”Spontan kakak beradik itu menoleh
“Jadi Fa bobo di sini?” Mata Faisya membulat. Dia mengedar pandangan lagi, entah sudah yang ke berapa kali.Sejatinya gadis kecil itu sudah melihat-lihat rumah Mbah Barid dengan detail tadi, bahkan sampai masuk ke kamar Mbah Barid. Jika tidak akan tinggal di sini sudah pasti Delia akan melarang Faisya, sebab itu sangat tidak sopan. Namun Delia membuat pengecualian kali ini supaya Faisya merasa lebih nyaman.“Bobo-nya sama Ibu kan?” tanya Faisya lagi.Delia tersenyum. “Iya dong, kita bobo sama-sama.”“Kalau bobo bareng Ibu Delia, aku mau,” sahut Faisya seraya memeluk Delia, lalu menarik tangan ibu tirinya itu agar telinga Delia dekat ke mulutnya. Faisya lantas berbisik, “Rumah Mbah agak horor.”“Oh iya?” Delia memasang mata jenaka.“Sst ….” Faisya mengangkat telunjuk ke depan bibirnya yang mengerucut, lalu matanya melirik ke arah luar. Seaka
“Del, apa maksudmu melibatkan Mbah Barid dalam permasalahan kita? Pakai mengancam segala. Kalau aku enggak memenuhi permintaan dari kamu, aku mau kamu sant3t, begitu?” seru Galang.“Sant3t?”Delia tertawa. Dia baru sadar sekarang, bahwa orang-orang selalu menganggap Mbah Barid sebagai orang yang mempunyai ilmu hitam. Mentang-mentang dia tinggal nyempil sendirian di ujung desa, warga berasumsi si Mbah dekat dengan mistis. Mungkin itu yang menyebabkan Astuti begitu ketakutan melihat sosok si Mbah.“Ya, pasti akan aku lakukan, Bang. Aku akan sant3t kamu biar enggak ada lagi orang yang bisa kamu sakiti. Lebih enak sih kalau burungmu aku bikin letoy!” Delia terbahak. Ekor matanya menangkap Faisya dan Mbah Barid menoleh dengan cepat di kejauhan. Namun perempuan itu tidak peduli, dia tetap saja menyaringkan derai tawanya.“Kita kan melakukan itu suka sama suka. Emang ada aku maksa kamu? Kalau akhirnya kamu ha
“Biar saya saja yang turun,” kata Fiko lugas. “Mbah sama Mbak di sini saja ya.”“Makasih, Mas Fiko,” sahut Mbah Barid cepat. Tangan kirinya meraih genggaman Delia. “Kita di sini saja, Del.”Delia menunduk pasrah. Dia semakin menunduk ketika mendengar suara Firman menggelegar, dan para tetangga kembali muncul.“Mau apa lagi perempuan murahan itu ke sini? Sampai kapan pun aku tidak akan menerima kamu lagi!” lengking Firman.“Nunsewu, Mas Firman, saya mau ambil barang-barang ini, setelah itu kami langsung pergi,” kata Fiko kalem, badannya menunduk, khas penghormatan orang kampung.Di bawah tatap mata tajam Firman, Fiko cekatan memindahkan barang-barang Delia dan Faisya yang tidak seberapa banyak itu. Entah karena melihat kegesitan Fiko, atau memang karena Firman kehilangan selera untuk marah, yang jelas mulut Firman terkatup bisu. Matanya saja yang berkilat-kilat mengikut
Delia ambruk sampai di halaman rumah Mbah Barid. Bunyi jatuhnya sepeda, barang bawaan dan tubuh Delia susul menyusul berdentuman. Sebagian kerakal yang menutupi halaman berhamburan, sebagian lagi menggores tubuh perempuan itu. Dua detik kemudian tangan dan kakinya mengeluarkan bintik-bintik berwarna merah yang lama kelamaan mengumpul menjadi nuansa darah.Delia menangis. Bukan karena tangan dan kakinya terluka. Dia sedang merasa malu, merasa harga dirinya sudah berada di level minus.“Delia ….” Mbah Barid datang dari arah dalam. Ayunan kakinya kencang mendekati sang cucu. “Syukurlah kamu sudah pulang, capek ya? Sini Mbah bantu.”Mbah Barid tersenyum. Tangan keriputnya yang kasar menyibak rambut Delia dan mengusap kedua pipi cucunya bergantian. “Kalau capek enggak apa-apa istirahat. Yuk, Mbah bantu masuk.”Melihat perlakuan Mbah Barid, Delia malah tergugu, dan isaknya semakin kencang. Wanita renta berusia enam pul
“Bagus, kamu datang!” teriak Firman. Lelaki itu berkacak pinggang di depan pintu rumah yang sepenuhnya terbuka. Teriakan yang melengking sangat tinggi, membuat beberapa tetangga yang berada dalam rumah mereka satu per satu mulai keluar. Hati Delia ciut seketika. Wajah Firman sudah merah merata, dengan mata membeliak mengerikan yang menghunjam ke seluruh sosoknya. Perempuan itu masih terpaku di atas motor, dan indera pendengarannya menangkap gumaman serupa gerombolan lebah. Saat dia melirik, orang-orang sudah berkumpul sembari berbisik-bisik.Berbeda dengan Delia yang menciut, Firman justru tampak mengembang. Meski dadanya sesak luar biasa, namun dia senang melihat para warga yang mulai berkumpul sebab kehebohan yang sudah dia buat. “Bapak, Ibu. Istri saya ini sudah main gila dengan keponakan saya sendiri!” seru Firman lagi. Suaranya menjadi lebih lantang.Delia tergopoh-gopoh turun dari motornya dan mendekati Firman. Serta merta memegang kaki Firman dan mulai menangis. “Mas, semua b