Luna berdiri di tengah kamarnya,dikelilingi keheningan yang menyesakkan. Cahaya sore hari memancarkan bayangan di dinding, namun tidak dapat menghilangkan rasa takut yang menghantui hatinya.Matanya terpaku pada dinding, namun pikirannya ribuan mil jauhnya, kembali ke hari itu. Hari ketika semuanya berubah.Saat itu, Rosa dan Luna berdiri di pinggir jalan, menunggu jemputan. Karena masih merasa kesal dengan sikap Liam yang telah kembali ke sisi Saras,Ia mengucapkan kata-kata yang tidak terduga, "Aku pernah tidur dengan Ricard, Tante. Karena alkohol, aku tidak bisa mengontrol diri."Rosa terkejut, wajahnya pucat. "Luna, apa yang kau katakan?" suaranya terputus, napasnya terengah-engah.tidak menyangka jika Luna yang ia pikir gadis baik-baik, nyatanya tidak seperti dugaannya.Luna tidak menyangka reaksi Rosa begitu hebat. Rosa tiba-tiba terkena serangan jantung, terkapar di jalan dengan kedua tangannya memegangi dadanya.Luna panik, takut, dan meninggalkan Rosa seorang diri.Sekarang, Lun
Ruang gelap dan sunyi itu terasa seperti lubang neraka. Vinso terbaring di lantai yang kotor dan lembab, tubuhnya lusuh dan lemah. Ia terbelenggu dengan tali yang kasar, tidak bisa bergerak.Cahaya remang-remang dari jendela kecil di atasnya memperlihatkan wajah Vinso yang penuh luka dan memar. Matanya nampak begitu lelah, kulitnya pucat. Ia terlihat seperti mayat hidup.Vinso berusaha menggerakkan badannya, namun tali yang mengikatnya terlalu kuat. Ia merasa putus asa, tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan."Tolong... tolong aku..." katanya dengan suara lemah, namun tidak ada jawaban.Ia teringat pada Saras. Apakah Saras masih berada di hotel atau kembali ke rumah Liam? Apakah Saras tahu ia disekap di tempat ini?Vinso menutup matanya, merasa air mata mengalir. Ia berdoa agar seseorang menemukannya sebelum terlambat.Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki. Vinso membuka matanya, melihat seorang pria berwajah kejam masuk ke ruangan."Kau masih hidup?" pria itu bertanya deng
Saras berjalan menuju lift di lantai dasar rumah sakit, langkahnya pelan dan terukur. Ia masih terpengaruh oleh adegan di parkiran tadi, merasa tak nyaman dan bingung. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan tentang hubungan Ricard dan Luna.Saat pintu lift terbuka, Saras memasuki ruang yang kecil dan tertutup itu. Ia menekan tombol lantai atas, tempat ruang ICU berada. Lift itu terasa pengap dan sunyi, hanya terdengar suara mesin yang beroperasi.Tiba-tiba, pintu lift yang berada di samping Lift yang digunakan oleh Saras terbuka lagi dan Liam serta ayahnya, Anjaswara, keluar tanpa mengetahui kehadiran Saras. Mereka berdua terburu-buru, tidak memperhatikan sekitar.Saras menahan napas, berharap tidak ada yang melihatnya. Ia tidak ingin berbicara dengan Ricard sekarang, terutama setelah melihat adegan antara Ricard dan Luna. Ia merasa sedikit kebingungan dan berharap agar pria itu tidak berusaha untuk mendekatinya.Sesampainya di ruang ICU, Saras tidak menemukan Liam. Yang
Koridor rumah sakit terasa sunyi dan dingin, lampu-lampu neon memancarkan cahaya putih yang tajam. Saras duduk di bangku panjang, menatap lantai dengan mata yang terbenam dalam pikiran. Ia tidak menyadari kehadiran Ricard yang keluar dari ruangan ICU. Ricard berjalan pelan, langkahnya tidak menimbulkan suara. Matanya yang tajam dan dingin memindai sekitar, sebelum akhirnya menemukan Saras. Ia berhenti sejenak, memandangnya dengan ekspresi datar. Dengan langkah pelan, Ricard menuju ke arah Saras. Ia duduk di sampingnya, tidak berbicara. Suasana menjadi semakin tegang, keheningan yang tidak nyaman memenuhi udara. Saras merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.Ia mencoba menghindari kontak mata, takut Ricard melihat rasa takutnya. Napasnya menjadi terengah-engah, tangannya gemetar. Ricard tidak berbicara, hanya memandang ke depan. Suasana tegang semakin meningkat, membuat Saras merasa terjebak. Waktu terasa berhenti, hanya ada keheningan yang mendebarkan. Saras m
Pagi itu, cahaya matahari memancar melalui jendela klinik, menerangi ruangan yang tenang. Luna duduk di depan dokter ginekologi, Dr. Wahyuningsih, dengan wajah yang pucat dan cemas. Ia memegang perutnya merasakan kecemasan yang mendalam."Dok, saya tidak siap untuk memiliki anak," kata Luna, suaranya teredam. "Saya ingin melakukan aborsi."Dokter wanita yang nampak begitu cantik itu menatap Luna dengan mata yang hangat dan penuh empati. "Luna, saya paham kecemasan Anda. Tapi, aborsi bukanlah solusi yang tepat. Bayi itu sudah berusia empat minggu. Apakah Anda yakin ingin melakukan hal ini?"Luna menunduk, tidak berani menatap dokter. "Saya tidak tahu, Dok. Saya hanya tahu saya tidak siap."Dokter itu mengambil napas dalam-dalam. "Luna, saya tidak bisa membantu Anda melakukan aborsi. Saya harus mempertimbangkan kesehatan Anda dan bayi tersebut. Selain itu, ada risiko komplikasi yang serius."Luna merasa kecewa dan putus asa. Ia tidak tahu harus berbuat apa. "Tapi, Dok saya tidak ingin
Saras berjalan santai di dalam mall, menikmati suasana yang ceria dan penuh warna. Ia berencana membeli perlengkapan bayi untuk persiapan kelahiran anaknya. Sopir Liam, Pak Tono, menunggu di parkiran, siap mengantar Saras kembali ke rumah. sebenarnya Liam kurang setuju, karena ia ingin menemani Saras. tapi, karena pekerjaan kantor yang begitu menumpuk membuat Liam harus mengalah dan memberikan izin pada Saras pergi sendiri.Saras memasuki toko perlengkapan bayi, matahari yang masuk melalui kaca patri membuat suasana toko semakin hangat. Ia mulai memilih-milih perlengkapan bayi, dari baju hingga mainan.Saat memilih baju bayi yang lucu, matanya tidak sengaja melihat siluet tubuh seseorang yang ia kenali sedang berjalan beriringan melewati toko. Saras merasa terkejut ketika melihat Luna dan Ricard berjalan bersama, berdampingan seperti pasangan.Raut wajah Luna terlihat tertekan, berbeda dengan Ricard yang nampak begitu santai. Mereka berdua berjalan pelan, Ricard mengobrol dengan Luna
Liam dan Saras memasuki rumah, mencari ketenangan setelah hari yang melelahkan. Mereka berjalan pelan, menuju ruang tamu. Namun, keheningan itu tidak berlangsung lama. Suara tembakan bergemuruh di halaman rumah, membuat mereka berdua terkejut. Liam langsung melindungi Saras, memeluknya erat. "Jangan khawatir, aku ada disini," katanya. Anak buah Liam bergegas keluar, menghadapi penyerang. Tembak-tembakan berlangsung beberapa menit, membuat suasana semakin tegang. Saras memejamkan mata, berdoa agar keadaan segera mereda. Tiba-tiba, suara tembakan berhenti. Hening. Liam melepaskan pelukannya, menatap Saras. "Aku akan memeriksa keadaan," katanya. Saras mengangguk, masih terlihat ketakutan. Liam berjalan keluar, menuju halaman. Anak buahnya sudah mengamankan area. "Siapa yang menyerang kita?" Liam bertanya. Salah satu anak buahnya, Riko, menjawab, "orang itu mengenakan topeng, Pak. Kami tidak bisa mengenali wajahnya." Liam menggigit gigi. "Cari informasi tentang penyerang ini. Aku in
Kamar Luna terasa sunyi dan gelap, hanya cahaya remang dari lampu meja menerangi wajahnya yang penuh kesedihan. Ia duduk di atas tempat tidur, memandang kekosongan dengan mata yang terlihat lelah dan penuh air mata.Ingatannya kembali pada saat Richard membawanya ke mall dengan janji belanja apa pun yang diinginkan. Luna terlihat bahagia, memilih gaun dan perhiasan dengan senyum ceria. Tapi, semuanya berubah ketika Richard membawanya ke sebuah klinik terpencil di luar kota.Luna mengingat ekspresi Richard yang berubah, dari senyum menjadi serius dan dingin. "Kita harus melakukan ini, Luna," katanya, suaranya tidak bisa diganggu gugat.Luna merasa cemas, tetapi Richard tidak memberinya pilihan. Ia dipaksa untuk melakukan tindakan aborsi, meninggalkan kesedihan dan trauma yang mendalam.Luna berbaring di meja operasi klinik yang terpencil, dikelilingi oleh dokter-dokter bayaran Richard yang terlihat dingin dan tidak berperasaan. Cahaya lampu operasi memancarkan cahaya terang, membuatnya
Mobil itu berjalan dengan pelan di depan gerbang rumah Liam, terkesan sengaja ingin memperhatikan rumah yang elegan dan mewah itu. Pria paruh baya yang mengendarai mobil itu memandang ke arah rumah Liam dengan mata yang tajam, tapi tidak terlihat wajahnya karena kaca riben yang menutupi wajahnya.Mobil itu berhenti sejenak di depan gerbang rumah Liam, seolah-olah pria paruh baya itu ingin memastikan bahwa rumah itu adalah rumah yang dia cari. Setelah beberapa detik, mobil itu melanjutkan perjalanan, tapi tidak sebelum pria paruh baya itu memandang ke arah rumah Liam sekali lagi.Gerakan mobil itu tidak terlalu mencolok, tapi cukup untuk menarik perhatian seseorang yang sedang memperhatikan. Dan, kebetulan, ada seseorang yang sedang memperhatikan mobil itu. Saras, yang sedang berada di dalam kamarnya yang berada dilantai paling atas, melihat mobil itu berjalan di depan gerbang rumah dengan pelan.Saras merasa sedikit penasaran dengan mobil itu, Tapi, karena dia tidak bisa melihat wajah
Pria itu duduk di atas tempat tidur yang sederhana, di dalam sebuah rumah kecil yang terletak di pinggir hutan. Rumah itu terlihat sederhana, dengan dinding yang terbuat dari kayu dan atap yang terbuat dari daun rumbia. Tapi, meskipun sederhana, rumah itu terlihat nyaman dan hangat.Pria itu, sedang membuka lilitan kain yang membalut lengannya. Lengan itu terkena tembakan beberapa hari yang lalu, dan lukanya sudah mulai membaik. Danuarta memandang lengan itu dengan mata yang tajam, memeriksa apakah lukanya sudah sembuh.Saat dia membuka lilitan kain, terlihatlah luka yang masih merah dan bengkak. Tapi, meskipun masih terlihat sakit, luka itu sudah mulai membaik. Pria paruh baya itu memandang luka dengan mata yang lega, merasa bahwa dia sudah mulai sembuh.Ia nampak memandang sekeliling ruangan, memeriksa apakah ada yang perlu dia lakukan. Ruangan itu terlihat sederhana, dengan beberapa perabotan yang terbuat dari kayu dan beberapa bantal yang terletak di atas tempat tidur. Tapi, mes
Danuarta berjalan dengan langkah yang mantap, meninggalkan Anjaswara yang berdiri tegak di belakangnya. ia telah memutuskan untuk mengikuti jejak preman yang telah dia kalahkan beberapa hari yang lalu.Anjaswara memandang Danuarta dengan mata yang khawatir. ia tahu bahwa Danuarta telah mulai terpengaruh oleh dunia hitam, dan ia tidak ingin kehilangan temannya."Danu, tunggu!" Anjaswara berteriak, berlari mengejar Danuarta.Danuarta berhenti dan memandang Anjaswara dengan mata yang dingin. "Apa yang kau inginkan, Jas?" ia bertanya dengan suara yang kasar."Aku tidak ingin kau terlibat terlalu jauh dengan dunia hitam," Anjaswara berkata dengan suara yang santai. "Kau tahu bahwa itu tidak baik untukmu."Danuarta tertawa. "Kau pikir, kau bisa menghentikanku? Aku telah memutuskan untuk mengikuti jejak mereka dan bukan tanpa alasan, itulah halnya aku tidak akan berhenti."Anjaswara memandang Danuarta dengan mata yang sedih. Ia tahu bahwa Danuarta telah mulai terpengaruh oleh dunia hitam, d
Masih dengan latar belakang tahun 1995.Danuarta dan Anjaswara bekerja di sebuah restoran roti yang terletak di jantung kota. Mereka berdua menjadi pramusaji, bertugas untuk melayani pelanggan dan menyajikan roti yang segar dan lezat.Restoran roti yang menjadi tempat kerja mereka telah menjadi tempat favorit bagi banyak orang di kota. Roti yang disajikan di sana sangat lezat dan segar, dengan aroma yang menggugah selera.Danuarta dan Anjaswara terlihat mengenakan seragam pramusaji yang rapi dan bersih. Mereka berdua memiliki senyum yang ramah dan sopan, sehingga membuat pelanggan merasa nyaman dan senang.Saat itu, restoran roti itu sedang sibuk dengan pelanggan yang datang untuk makan siang. Liam dan Anjaswara berdua berlari ke sana ke mari, melayani pelanggan dan menyajikan roti yang segar dan lezat.Liam, yang mengenakan seragam pramusaji berwarna putih dan biru, memandang pelanggan dengan senyum yang ramah. "Selamat siang, apa yang bisa saya bantu hari ini?" ia bertanya dengan su
(Flashback)Tahun 1995, sebuah kota yang masih terlihat sederhana dan damai. Malam itu, Anjaswara dan Danuarta duduk di sebuah warung kecil di pinggiran kota, menikmati minuman mereka. Warung itu terletak di sebuah gang kecil, dengan lampu yang redup dan suasana yang tenang.Anjaswara, seorang pemuda berusia 25 tahun, dengan rambut hitam yang panjang dan mata yang tajam, memandang Danuarta dengan senyum. "Kamu tahu, Danu, aku sudah lama tidak minum seperti ini," katanya dengan suara yang santai.Danuarta, seorang pemuda berusia 26 tahun, dengan rambut coklat yang pendek dan mata yang cerah, tersenyum. "Aku juga, Jas. Aku sudah lama tidak merasa santai seperti ini."Mereka berdua menikmati minuman mereka, berbicara tentang berbagai hal, dari pekerjaan mereka hingga rencana mereka untuk masa depan. Suasana di warung itu sangat tenang, dengan hanya beberapa pelanggan lain yang duduk di sudut-sudut warung.Tiba-tiba, suasana di warung itu berubah. Sebuah kelompok berandal, dengan wajah ya
Malam itu, Liam dan Saras memasuki restoran termahal dan mewah di kota. Restoran ini dikenal dengan masakannya yang lezat dan suasana yang elegan. Liam telah memesan tempat ini sebelumnya, sehingga mereka bisa menikmati makan malam yang romantis dan tenang.Saat mereka memasuki restoran, mereka disambut oleh pelayan yang ramah dan sopan. Pelayan tersebut membawa mereka ke meja yang telah dipesan oleh Liam, yang terletak di sudut restoran dengan pemandangan kota yang indah.Liam dan Saras duduk di meja yang elegan, dengan kain putih yang rapi dan peralatan makan yang mewah. Mereka memandang menu yang disajikan oleh pelayan, yang berisi berbagai jenis masakan yang lezat.Liam memutuskan untuk memesan berbagai jenis seafood, karena dia tahu bahwa Saras sangat menyukai masakan laut. Mereka memesan udang rebus, lobster panggang, dan ikan bakar yang segar.Sambil menunggu makanan mereka datang, Liam dan Saras berbincang tentang hari mereka. Mereka berbicara tentang pekerjaan Liam, tentang R
Ricard dan Luna memutuskan untuk pergi ke sebuah Club, tentu saja hal itu mereka lakukan untuk melampiaskan kekesalannya karena tidak dapat berbicara langsung pada Rosa. mereka memilih untuk berada di sebuah kamar yang disiapkan oleh pemilik Club, karena sang pemilik yang mengenal baik Ricard. Keduanya memesan beberapa minuman beralkohol.“Apa yang harus kita lakukan, Ricard?” tanya Luna, suaranya terdengar nyaris seperti bisikan. tapi, untunglah kamar ini bisa meredam suara diluar, suara dentuman musik yang keras dan tawa para pengunjung club.Ricard tidak menjawab, justru ia fokus pada belahan dada Luna yang terlihat begitu menantangnya. Ricard menuangkan isi botol minumannya ke gelas yang berada dihadapan Luna. dengan perasaan kacau, Luna langsung meneguk habis tanpa berpikir panjang. melihat respon Luna, Ricard kembali menuangkan minumannya dan hal yang sama kembali terjadi. Luna kembali meneguk habis minuman itu, walaupun wajahnya terlihat sudah memerah.“Saat ini, Saras hamil. a
Saras duduk di samping tempat tidur Rosa, memandang wajah ibu mertuanya yang lemah. Ia tidak bisa menahan perasaan khawatir dan cemas, melihat Rosa yang terbaring di tempat tidur.Tiba-tiba, Liam berdiri di depannya, memandangnya dengan senyum. "Saras, aku ingin bicara denganmu di luar ruangan. Ada beberapa hal yang ingin aku diskusikan denganmu."Saras menggelengkan kepala, tidak mau meninggalkan Rosa sendiri. "Tidak, Liam. Aku tidak ingin meninggalkan Ibu."Liam memandangnya dengan keheranan. "Tapi, Saras, aku ingin bicara denganmu tentang beberapa hal yang penting."Saras menatap Liam. "Maaf Liam. Aku tidak ingin meninggalkan Ibu, terutama saat Luna dan Ricard ada disini."Ucap Saras dengan volume suara yang pelan.Liam memandangnya dengan keheranan, lalu memahami perasaan Saras. "Aku mengerti, Saras. Aku juga tidak terlalu suka dengan kehadiran mereka."Saras mengangguk, merasa lega bahwa Liam memahami perasaannya. "Aku tidak tahu apa yang mereka inginkan, tapi aku tidak percaya p
Gudang tua yang terletak di pinggiran kota menjadi saksi bisu pertempuran sengit antara dua kelompok besar. Suara tembakan bergema di udara, membuat gudang yang sepi menjadi medan perang yang mengerikan.Viktor,berlari dengan cepat di antara tumpukan peti kemas yang berdebu. Ia membawa senjata otomatis yang siap menembak, matanya tajam memantau sekitarnya.Tiba-tiba, suara tembakan menggema dari arah kanan. Viktor merunduk dengan cepat, tapi terlambat. Sebuah peluru mengenai bahunya, membuatnya terjatuh ke tanah.Viktor mengerang kesakitan, tapi ia tahu ia harus bangun dan melawan. ia memeriksa lukanya dan lega mengetahui bahwa peluru hanya meleset dan tidak bersarang di tubuhnya.Sambil meringis kesakitan, Viktor bangun dan melanjutkan pertempuran. ia menembakkan senjatanya ke arah lawan, membuat mereka berlari untuk mencari perlindungan.Kelompok lawan, yang dipimpin oleh seorang pria kejam bernama Jack, tidak mau kalah. Mereka menembakkan senjata mereka dengan gencar, membuat Vikto