Ruang rawat inap yang tenang dan nyaman menjadi saksi cinta Liam pada Saras. Ia duduk di samping tempat tidur, memandang wajah cantik istrinya yang terlelap. Cahaya lampu malam memancarkan cahaya lembut pada wajah Saras, membuatnya terlihat seperti malaikat.Liam mengambil tangan Saras, memperhatikan napasnya yang teratur. Ia merasa lega melihat istrinya akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Kecemasan dan kesedihan yang sebelumnya menghantui hatinya mulai memudar.Dengan hati-hati, Liam mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi Viktor, anak buah setianya. Suara Viktor terdengar jelas di seberang telepon."Viktor, aku butuh bantuanmu," kata Liam dengan suara pelan."Siap, Tuan. Apa yang harus saya lakukan?" jawab Viktor."Aku ingin kau menemui Vinso. Cari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dia dan Saras. Aku tidak percaya Vinso tidak tahu apa-apa, terlebih Saras saat aku temukan sendirian.”perintah Liam dengan nada serius.Viktor mengangguk, meskipun Liam tidak meli
Sore hari yang cerah memancarkan cahaya hangat saat Saras dan Liam meninggalkan rumah sakit. Dokter telah menyatakan Saras sembuh dan siap pulang.Liam membantu Saras keluar dari mobil, memapahnya dengan hati-hati. Wajah Saras terlihat cerah, senyumnya mengembang. Ia merasa lega akhirnya bisa pulang dan beristirahat di rumah.Sesampainya di rumah, Liam membantu Saras masuk dan membaringkannya di sofa. Ia menyiapkan segelas air dan obat-obatan yang diresepkan dokter. Saras menatap Liam dengan mata penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Liam. aku masih merasa ini seperti mimpi."Liam tersenyum lembut, memijat lembut tangan Saras. "Aku ingin kau bahagia dan sehat, Saras. Aku akan selalu melindungimu."Suasana rumah menjadi hangat dan nyaman, dipenuhi cinta dan kasih sayang. Saras merasa aman dan nyaman bersama Liam."Terimakasih, Liam," kata Saras pelan, matanya terpejam, merasakan kelelahan.Liam menutup mata Saras dengan lembut dan mencium keningnya. "Istirahatlah, Sayang. Aku akan me
Bandara internasional Soekarno-Hatta terlihat sibuk dengan lalu-lalang penumpang. Anjaswara, ayahanda Liam, melangkah keluar dari pesawat, menarik koper mewahnya. Wajahnya terlihat serius, mata tajam menatap ke depan.Cahaya matahari memancar di atasnya, memperlihatkan rambutnya yang beruban dan terpotong rapi. Jas hitam yang dikenakannya menunjukkan kekuasaan dan otoritas. Ia melangkah dengan percaya diri, meninggalkan pesawat yang baru saja mendarat.Anjaswara menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar Jakarta. Ia telah lama tidak berada di kota ini, tetapi urusan bisnis dan keluarga memanggilnya kembali.Saat melangkah ke area imigrasi, Anjaswara mengeluarkan paspor dan tiket pesawatnya. Petugas imigrasi menatapnya dengan hormat, mengenali sosok yang berpengaruh ini."Selamat datang, Pak Anjaswara," kata petugas itu dengan sopan.Anjaswara tersenyum singkat. "Terima kasih. Saya ingin segera ke rumah."Setelah melewati proses imigrasi, Anjaswara menuju ke area parkir untuk men
Pagi hari yang cerah memancarkan cahaya hangat di sekitar rumah Liam dan Saras. Udara segar dan sejuk memenuhi paru-paru mereka saat berjalan-jalan menikmati keindahan alam.Liam dan Saras berjalan berdampingan, menikmati keheningan pagi yang hanya diiringi oleh kicau burung dan gemuruh daun-daun. Matahari pagi memancarkan sinar emas, menerangi wajah mereka yang bahagia.Saras tersenyum, menatap Liam dengan mata bersinar. "Hari ini sangat indah, bukan?"Liam merengkuh bahu Saras, memeluknya erat. "Karena kau ada di sampingku, Berjanjilah padaku, setiap hari kita akan melakukan kegiatan ini, bersama-sama membangun kenangan yang indah.”Saras mengangguk mengiyakan, dan tanpa sadar ia mengelus lembut perutnya. seperti ingin mengatakan pada sang jabang bayi, bahwa ayahnya sudah menerima kehadirannya.Mereka berjalan melewati taman yang dipenuhi bunga-bunga cerah, menikmati aroma harum yang memenuhi udara. Jalan setapak yang berliku-liku membawa mereka ke pemandangan yang lebih indah.Di k
Ruangan ICU yang sunyi itu terasa seperti neraka bagi Liam. Ia duduk di samping tempat tidur ibunya, Rosa, yang terbaring tak berdaya. Mesin-mesin medis berderak-derak, memantau kondisi ibunya yang kritis.Cahaya lampu yang lembut memancarkan kesan haru biru di wajah ibunya. Liam memandangnya dengan mata penuh harapan, berdoa agar ibunya segera sadar dari koma. Tangan ibunya yang lembut kini terasa dingin dan kaku.Liam memegang tangan ibunya, merasakan kehangatan yang mulai memudar. "Ibu, bangunlah kami ada disini. " katanya dengan suara yang terdengar seperti bisikan.Air matanya mengalir, membasahi pipinya. Ia merasakan kesedihan yang tak terhingga. walaupun Liam tahu selama ini ia hanya dijadikan sebagai pion dalam keluarga ini, tapi melihat kondisi ibunya seperti ini membuatnya tidak tenang. Saras masuk ke ruangan, memeluk Liam dari belakang. "Kita akan melalui ini bersama, Liam," katanya dengan suara lembut.Liam menatap Saras, mata penuh kesedihan. "Aku takut kehilangan ibu," k
Luna berdiri di tengah kamarnya,dikelilingi keheningan yang menyesakkan. Cahaya sore hari memancarkan bayangan di dinding, namun tidak dapat menghilangkan rasa takut yang menghantui hatinya.Matanya terpaku pada dinding, namun pikirannya ribuan mil jauhnya, kembali ke hari itu. Hari ketika semuanya berubah.Saat itu, Rosa dan Luna berdiri di pinggir jalan, menunggu jemputan. Karena masih merasa kesal dengan sikap Liam yang telah kembali ke sisi Saras,Ia mengucapkan kata-kata yang tidak terduga, "Aku pernah tidur dengan Ricard, Tante. Karena alkohol, aku tidak bisa mengontrol diri."Rosa terkejut, wajahnya pucat. "Luna, apa yang kau katakan?" suaranya terputus, napasnya terengah-engah.tidak menyangka jika Luna yang ia pikir gadis baik-baik, nyatanya tidak seperti dugaannya.Luna tidak menyangka reaksi Rosa begitu hebat. Rosa tiba-tiba terkena serangan jantung, terkapar di jalan dengan kedua tangannya memegangi dadanya.Luna panik, takut, dan meninggalkan Rosa seorang diri.Sekarang, Lun
Ruang gelap dan sunyi itu terasa seperti lubang neraka. Vinso terbaring di lantai yang kotor dan lembab, tubuhnya lusuh dan lemah. Ia terbelenggu dengan tali yang kasar, tidak bisa bergerak.Cahaya remang-remang dari jendela kecil di atasnya memperlihatkan wajah Vinso yang penuh luka dan memar. Matanya nampak begitu lelah, kulitnya pucat. Ia terlihat seperti mayat hidup.Vinso berusaha menggerakkan badannya, namun tali yang mengikatnya terlalu kuat. Ia merasa putus asa, tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan."Tolong... tolong aku..." katanya dengan suara lemah, namun tidak ada jawaban.Ia teringat pada Saras. Apakah Saras masih berada di hotel atau kembali ke rumah Liam? Apakah Saras tahu ia disekap di tempat ini?Vinso menutup matanya, merasa air mata mengalir. Ia berdoa agar seseorang menemukannya sebelum terlambat.Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki. Vinso membuka matanya, melihat seorang pria berwajah kejam masuk ke ruangan."Kau masih hidup?" pria itu bertanya deng
Saras berjalan menuju lift di lantai dasar rumah sakit, langkahnya pelan dan terukur. Ia masih terpengaruh oleh adegan di parkiran tadi, merasa tak nyaman dan bingung. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan dan keraguan tentang hubungan Ricard dan Luna.Saat pintu lift terbuka, Saras memasuki ruang yang kecil dan tertutup itu. Ia menekan tombol lantai atas, tempat ruang ICU berada. Lift itu terasa pengap dan sunyi, hanya terdengar suara mesin yang beroperasi.Tiba-tiba, pintu lift yang berada di samping Lift yang digunakan oleh Saras terbuka lagi dan Liam serta ayahnya, Anjaswara, keluar tanpa mengetahui kehadiran Saras. Mereka berdua terburu-buru, tidak memperhatikan sekitar.Saras menahan napas, berharap tidak ada yang melihatnya. Ia tidak ingin berbicara dengan Ricard sekarang, terutama setelah melihat adegan antara Ricard dan Luna. Ia merasa sedikit kebingungan dan berharap agar pria itu tidak berusaha untuk mendekatinya.Sesampainya di ruang ICU, Saras tidak menemukan Liam. Yang
Danuarta berjalan menuju ke mobilnya yang terparkir di depan rumahnya, dengan langkah yang terlihat mantap dan percaya diri. Cahaya matahari sore yang memancar dari langit membuat bayangan Danuarta terlihat panjang dan gagah. Vinso, yang berdiri di sampingnya, mencoba untuk menghalangi keinginan Danuarta."Pak,saya mohon jangan lakukan ini," Vinso berkata, dengan suara yang terdengar khawatir. "anda tidak tahu apa yang akan terjadi jika anda mendatangi rumah Liam. Mungkin ada bahaya yang mengintai di sana."Namun, Danuarta tidak menghiraukan peringatan Vinso. ia sudah bersiap untuk ke rumah Liam, dan tidak ada yang bisa menghalangi keinginannya. ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya, dengan gerakan yang cepat dan percaya diri."Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi," Danuarta berkata, dengan suara yang mantap dan percaya diri."Aku tidak bisa hanya duduk dan menunggu. aku harus tahu kebenaran tentang Liam dan apa yang dia lakukan pada putriku. Karena surat perjanjian yang k
Mobil yang ditumpangi Saras dan Liam sudah sampai rumah, dan Viktor tidak ikut turun. ia hanya memandang ke arah Saras dan Liam dengan mata yang terlihat sedikit khawatir, sebelum memutuskan untuk tidak ikut turun. Viktor memutuskan untuk kembali ke Perusahaan.Saras dan Liam keluar dari mobil dan berjalan ke arah rumah. Mereka tidak berbicara apa-apa, dan hanya memandang ke arah depan dengan mata yang terlihat sedikit marah dan kecewa.Saat mereka memasuki rumah, Saras langsung memandang ke arah Liam dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Liam, kau telah berbohong padaku," Saras berkata, dengan suara yang terdengar sedikit keras. Ia tidak peduli jika anak buah Liam yang berjaga diluar mendengar percakapan mereka. "Saras, aku tidak tahu apa maksud ucapanmu," sahut Liam mencoba untuk tetap tenang.Saras memandang ke arah Liam dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Kau telah berbohong padaku tentang ayah," Saras berkata, dengan suara yang terdengar lebih keras. "Tuduhan Ricard b
Ricard memandang ke arah Saras dan Liam dengan tatapan mata penuh semangat. Jujur saja ia suka melihat ekspresi panik keduanya. "Aku menculik Vinso karena aku ingin membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya," Ricard berkata, dengan suara yang terdengar meremehkan lawan bicaranya.Saras dan Liam terkejut dengan pengakuan Ricard. Mereka tidak bisa mempercayai bahwa Ricard telah menculik Vinso hanya untuk membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya. darimana ia tahu, jika Danuarta masih hidup?"Apa yang kau maksud, Ricard?" Saras bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit tidak percaya. "Aku telah menculik Vinso karena aku ingin membuat Danuarta keluar dari persembunyiannya," Ricard berkata, dengan suara yang terdengar sedikit lebih keras. "Aku telah memiliki insting bahwa Danuarta masih hidup, dan aku ingin membuktikannya.apakah penjelasanku ini masih kurang?”Liam memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit marah. "Ricard, apa yang kau pikirkan?" Liam bertanya,
Saras terkejut mendengar perkataan Ricard yang mengatakan bahwa ayahnya, Danuarta, ternyata masih hidup. ia merasa dadanya sesak dan seperti ada batu besar yang tengah menindihnya."Apa... apa yang kau katakan?" Saras bertanya, dengan suara yang bergetar, menahan rasa sesak yang ia rasakan.Ricard memandang ke arah Saras dengan tatapan mata yang begitu tajam. "Aku mengatakan bahwa ayahmu, Danuarta, masih hidup," ulang Ricard ,dengan suara yang terdengar sedikit lebih keras.Saras merasa seperti telah kehilangan kesadaran. Ia tidak bisa berbicara apa-apa, dan hanya bisa memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit kosong.Liam, yang duduk di sebelah Saras, memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit tidak percaya. "Apa yang kau katakan, Ricard?" Liam bertanya, dengan suara yang terdengar yang lebih keras lagi, membuat suasana semakin tegang.Ricard memandang ke arah Liam, kali ini tatapan mata meremehkan itu terlihat begitu jelas. "Aku mengatakan bahwa mert
Liam berdiri dari tempat duduknya, dengan mata yang terlihat begitu marah. ia bersiap untuk menghajar Ricard, karena tidak bisa menolerir tatapan mata Ricard yang terlihat begitu intens terhadap Saras.Baru beberapa langkah, Liam sudah siap untuk menyerang Ricard. Tapi, tiba-tiba saja Saras memeluknya erat dari belakang. Saras tidak ingin ada pertengkaran, dan ia ingin melindungi Liam dari kemarahan yang sedang memuncak."Liam, jangan!" Saras berkata, dengan suara yang terdengar sedikit tidak nyaman. "Jangan lakukan hal itu, Liam. aku tidak ingin ada pertengkaran."Liam merasa tidak nyaman, karena Saras memeluknya erat dari belakang. ia tidak bisa bergerak, karena Saras memeluknya dengan begitu erat."Aku tidak bisa mentolerir hal itu, Saras," Liam berkata, dengan suara yang terdengar sedikit marah. "Aku tidak bisa menolerir Ricard yang memandangmu dengan tatapan seperti itu.”Saras memeluk Liam dengan lebih erat, dan ia memandang ke arah Ricard dengan mata yang terlihat sedikit tidak
Danuarta terkejut setelah mengetahui bahwa Saras telah hamil. ia merasa seperti telah dipukul oleh petir, dan tidak bisa berbicara apa-apa. Vinso, yang duduk di sebelahnya, memandang ke arah Danuarta dengan mata yang terlihat khawatir."Maaf pak, saya harus mengatakan hal ini. tapi, saya juga tidak dapat terus menutupi hal ini terus menerus, karena suatu saat nanti anda pun akan mendengarnya.”" Vinso bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit khawatir.Danuarta tidak bisa berbicara apa-apa. ia hanya bisa memandang ke luar jendela, dengan mata yang terlihat sedikit kosong. ia merasa sangat sedih, karena dirinya telah mendorong Saras ke dalam lingkaran dendam antar keluarga.Danuarta memejamkan matanya, dengan wajah yang ia tundukan."Ya, aku telah mendorong Saras ke dalam lingkaran dendam antar dua keluarga," Danuarta berkata, dengan suara yang terdengar sedikit terharu. "Aku merasa sangat bersalah, karena aku telah membuat Saras hamil dalam keadaan seperti ini."Vinso memandang ke
Vinso duduk di atas tempat tidur rumah sakit, memandang ke luar jendela dengan mata yang terlihat sedikit lelah. ia baru saja selesai melakukan pemeriksaan dengan dokter, dan hasilnya sangat memuaskan. Dokter mengatakan bahwa keadaannya sudah mulai membaik, dan ia bisa pulang hari ini.Vinso merasa sangat lega mendengar kabar itu. ia sudah bosan berada di rumah sakit selama beberapa hari terakhir. ia ingin segera pulang dan kembali ke rutinitas normalnya. terutama memberikan kabar pada Saras tentang keadaannya.Danuarta, yang duduk di sebelah Vinso, ikut senang mendengar kabar itu. ia memandang ke arah Vinso dengan mata yang terlihat sedikit gembira."Senang sekali, Vinso," Danuarta berkata, dengan suara yang terdengar sedikit hangat. "Kau sudah bisa pulang hari ini."Vinso mengangguk, dan terlihat sedikit lega. "Ya, aku sudah bosan berada di sini," sahut Vinso dengan menampilkan senyum pada wajahnya.Danuarta mengangguk, dan segera mengambil ponselnya. "Aku akan menghubungi anak buah
Mobil Liam yang dikendarai oleh Viktor sudah sampai di rumah sakit. Viktor memandang ke sekelilingnya, mencari tempat parkir yang tersedia. Setelah beberapa detik, ia menemukan tempat parkir yang kosong dan memarkirkan mobil di sana.Liam memandang ke luar jendela, melihat rumah sakit yang terlihat sangat besar dan megah. ia merasa sedikit khawatir, tidak tahu apa yang akan terjadi ketika ibunya akan kembali pada setelan awal, yaitu kembali tidak menyukai Saras.Viktor memandang ke arah Liam, melihat bahwa bosnya terlihat sedikit khawatir. "Jangan khawatir, Tuan Liam," Viktor berkata, dengan suara yang terdengar sedikit menenangkan. "Semuanya akan baik-baik saja."Liam mengangguk, memandang ke luar jendela lagi. ia melihat bahwa Anjaswara dan Rosa sudah menunggunya di depan rumah sakit.Anjaswara dan Rosa berjalan menuju mobil, dan Viktor membuka pintu mobil untuk mereka. Mereka berdua masuk ke dalam mobil, dan Viktor menutup pintu mobil lagi.Liam memandang ke arah Rosa,melihat bahwa
Mobil Taksi yang ditumpangi Luna kehilangan jejak mobil yang saat ini membawa Liam. Luna begitu kesal, tapi tidak dapat berbuat banyak dan pasrah. ia memandang ke luar jendela, melihat mobil-mobil yang berlalu-lalang di jalan, tapi tidak ada tanda-tanda mobil yang membawa Liam.Luna menghela napas, merasa frustrasi karena tidak dapat menemukan Liam. ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi dia tahu bahwa dia tidak dapat menyerah. ia harus terus mencari Liam, tidak peduli apa pun yang terjadi.Sementara itu, Viktor yang sedang mengendarai mobil hanya duduk tenang menyetir. ia tidak terganggu oleh kejadian yang baru saja terjadi, dan ia terus memandang ke jalan, memastikan bahwa tidak melakukan kesalahan.Liam, yang duduk di sebelah Viktor, terlihat sedang menerima telepon dari seseorang."Ayah, apa yang terjadi?" Liam bertanya, dengan suara yang terdengar sedikit khawatir."Hari ini, ibumu, sudah diperbolehkan pulang ke rumah," Anjaswara berkata, dengan suara yang terdengar sedikit