Dari kolong meja, Dzurriya menebak kalau Eshan ke dapur untuk mengambil minum. Karena suasana yang sunyi, Dzurriya bisa mendengar setiap gerakan lelaki itu dengan jelas. Ia pun terus menegang di kolong meja, bahkan sampai menahan napasnya.
Sampai akhirnya, terdengar suara langkah kaki Eshan yang menjauh. Dzurriya pun menghela napas panjang dan keluar dari kolong meja. Ia harus buru-buru kembali ke kamar sebelum Eshan melihatnya di sini tanpa memakai kerudung.
Namun, ia sama sekali tidak sadar kalau lampu dapur masih menyala terang.
“Ekhem!”
Dzurriya refleks menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Ia ingin segera berlari, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku tak bisa digerakkan.
Hanya matanya yang bisa melirik ke arah kanan, di mana Eshan berdiri dengan kimono tidur berwarna hitam dan tangan terlipat di dada. Rambutnya yang biasa ditata ke atas, kini diturunkan dan menutupi dahinya yang indah.
“Sedang apa—”
“Maafkan aku! Aku lapar, aku hanya ingin makan, sungguh!” ucap Dzurriya cepat dengan mata terpejam rapat. Ia sudah membayangkan ujung pistol Eshan sudah mengarah kembali ke kepalanya.
Karena tidak mendengar balasan Eshan cukup lama, Dzurriya pun membuka matanya. Ia melihat Eshan hanya diam di tempatnya.
Lalu, lelaki itu menggeleng pelan sambil berdecak, dan berjalan mendekat. Sontak, Dzurriya berjalan mundur sampai punggungnya merapat ke pintu kulkas. Ia sudah lupa dengan rambutnya yang tidak tertutup kerudung.
Eshan tidak juga berhenti, meskipun posisi Dzurriya sudah terpojokan.
‘Ya Allah! Apa yang mau lelaki ini lakukan?’ Dzurriya kembali menutup rapat matanya. Tangannya pun disilangkan di depan dada.
Ia bisa merasakan aroma musk itu semakin pekat menusuk hidungnya, desah napasnya pun terasa di atas permukaan kulit pipinya.
Seketika, bulu kuduk di sekujur tubuhnya bergetar. Apalagi sekarang jemari tangan kekar itu tengah terulur perlahan di bawah bahunya, sambil menjumput untaian kerudungnya dan menyilangkannya di pundak dengan lembut.
“Bukankah sudah kubilang?” suara rendah lelaki itu menyapu lembut telinga Dzurriya. Sontak wanita itu pun bertambah merinding.
“A-apa?” cicit Dzurriya.
“Kalau butuh sesuatu, panggil pelayan.” Tangan Eshan yang terulur di belakang punggung Dzurriya itupun memencet sebuah tombol di samping kulkas dua kali, sampai terdengar seperti suara bel.
Tikno, sang kepala pelayan, keluar dari lorong di depannya sambil berlari kecil. Napasnya terlihat terengah, seperti buru-buru datang untuk menghampiri tuannya.
“Ya, Tuan,” sapa Tikno sambil membungkukkan badan.
Dzurriya langsung tersadar ketika melihat Tikno datang, dan segera menyembunyikan rambutnya menggunakan kedua tangannya.
Kemudian, terdengar suara decakan dari Eshan, yang berdiri tepat di depannya. Ketika Dzurriya merasa ia akan mendapat omelan lagi, Eshan justru bergeser ke arah kanan, membuat bayangan tubuh tingginya menutupi sosok kecil Dzurriya sepenuhnya.
“Siapkan makanan untuk nyonyamu. Dan jangan ditinggalkan sampai dia selesai makan, mengerti?”
Dzurriya mengerjapkan mata. ‘Eh? Apa yang baru dia katakan….’
“Baik, Tuan,” jawab Tikno, bersiap untuk berjalan ke arah kulkas.
***
Kejadian semalam mungkin bisa menjadi satu keajaiban yang dialami Dzurriya. Setelah puluhan malam hidup dalam ketakutan, baru kali ini ia melihat sisi lain Eshan.
Lelaki itu memang masih berkata dingin dan tidak peduli padanya. Namun di satu sisi, Eshan terlihat jauh lebih lembut daripada ketika mereka pertama kali bertemu.
‘Apa dia mulai menerimaku sebagai istrinya?’ pikir Dzurriya sambil merapikan kerudungnya. Dia baru saja selesai mandi.
Tok…Tok…Tok…
“Permisi, Nyonya. Saya Tikno. Apakah saya boleh masuk?” suara ketukan pintu itu diiringi oleh suara Tikno selanjutnya.
Dzurriya segera membuka pintu kamar, dan menghadapi Tikno. “Ya, Tikno. Ada apa?” tanya Dzurriya.
“Nyonya Alexa meminta Nyonya datang ke kamarnya,” jawab Tikno sopan.
“Baik.”
“Mari, saya antar, Nyonya. Ikuti saya.”
Dzurriya sudah lelah berprasangka, jadi ia hanya menurut saja ke mana Tikno akan membawa. Entah apa yang akan wanita perintahkan kepadanya nanti.
Mereka sampai di lantai lima rumah itu. Pintu lift terbuka, Tikno mempersilahkan Dzurriya untuk keluar duluan. Tikno kemudian mengantarnya ke depan sebuah kamar satu-satunya di lantai tersebut.
“Silakan, Nyonya,” ujar Tikno sambil membukakan pintu.
Dzurriya hanya mengangguk dengan gugup.
Pintu mulai terbuka, dan perlahan Tikno menghindar dari depan sana agar Dzurriya bisa masuk. Namun, entah salah Tikno yang tidak mengetuk lebih dulu, atau Dzurriya yang masuk terlalu cepat, pemandangan di depannya sangat membuat dadanya tertohok.
Helaan napas Dzurriya tertahan di tenggorokan. Suara kecapan dan rayuan memenuhi ruangan luas itu.
Di depan sana, Eshan dan Alexa sedang bercumbu mesra.
“Aku mencintaimu, Sayang….” suara serak Eshan bagai tamparan untuk Dzurriya.
Itu bukan ungkapan cinta untuknya, melainkan untuk Alexa, sang istri pertama. Dzurriya merasa dadanya berdenyut nyeri, entah karena apa. Tanpa sadar, ia menggenggam tangannya sendiri.
Dzurriya mematung di tempatnya kala melihat pergumulan Eshan dan Alexa di sofa. Posisi Eshan duduk membelakangi pintu, jadi tidak menyadari kehadiran Dzurriya. Namun berbeda dengan Alexa, yang duduk di pangkuan lelaki itu sambil mencumbunya.
Tatapan Dzurriya bertemu dengan Alexa. Dzurriya bisa melihat senyum tipis wanita itu, sebelum mencium Eshan lebih dalam dari sebelumnya. Tangannya terulur di belakang leher lelaki itu, sambil badannya digerakkan dengan sensual.
Dzurriya memalingkan wajah.
Ia baru merasakan kebahagiaan semalam, setelah Eshan menyebutnya sebagai ‘istri’. Namun, ia kembali ditampar kenyataan bahwa status itu tidak lebih dari perjanjian di atas kertas.
“Sepertinya kita harus lanjutkan nanti,” suara Alexa terdengar, setelah bunyi kecapan panjang.
“Kenapa….” desahan Eshan tertahan karena Alexa menahan dada lelaki itu, lalu turun dari pangkuannya.
“Kita kedatangan tamu,” jawab Alexa sambil melempar tatapan ke arah Dzurriya di depan pintu, membuat Eshan akhirnya membalikkan tubuh.
Mata Eshan membulat beberapa saat, sebelum akhirnya membuang wajahnya kembali.
Dzurriya langsung kembali menundukkan kepala ketika melihat gestur Eshan. Bukan hanya takut kena marah, tapi karena malu melihat dada Eshan yang terekpos karena ulah Alexa tadi.Lelaki itu merapikan kancing kemejanya, lalu berjalan menuju pintu. Dzurriya sedikit bergeser dari sana, menghindari kontak dengan Eshan. Tap!Masih dengan pandangan tertuju di lantai, Dzurriya bisa merasakan Eshan berhenti sejenak di depannya. Tangan Dzurriya saling bertaut, ketakutan. Apa kali ini Eshan akan memarahinya lagi?“Untung saja kau terlihat seperti orang normal hari ini,” ucap Eshan, lalu berlalu pergi.Dzurriya mengangkat kepalanya dengan cepat. ‘Apa maksudnya?’Ia menatap punggung suaminya yang kemudian menghilang dari balik pintu lift. “Dia tampak tampan dan gagah dengan setelan itu, kan?”Dzurriya langsung menoleh kembali, dan menyadari ada Alexa di belakangnya.“I-itu–”“Tapi jangan coba-coba berpikir ingin memilikinya. Aku akan membunuhmu sebelum dia!” ancam wanita itu sambil melotot tajam
Eshan mendekatkan telinganya ke arah hidung wanita itu untuk mengecek napasnya. ‘Syukurlah… wanita ini masih bernapas.’Entahlah, mungkin Eshan panik karena tidak mau melihat ada orang mati di rumah ini. Eshan benci orang lemah, dan wanita ini selalu menunjukkan hal itu di depannya.‘Sial! Kenapa wanita ini terlihat begitu rapuh?’Dzurriya tampak pucat, dengan bulir keringat yang tersisa di dahinya. Eshan juga melihat ruam-ruam muncul di permukaan kulit Dzurriya. “Apa ini….”Eshan bolak-balik tangan mungil itu, kemudian menyisingkan lengan bajunya untuk melihat keadaan kulitnya yang lain. Ia juga melihat ke arah sisi-sisi pipi wanita itu, kemudian menyentuhkan punggung tangannya ke leher wanita itu. Ia tersentak kaget, badan Dzurriya begitu panas. Eshan dengan cepat memencet tombol di atas meja kecil di samping tempat tidurnya untuk memanggil Tikno. Ia juga mengambil ponselnya dan menghubungi Ryan berkali-kali. Sebagai sepupu dan dokter pribadi keluarganya, harusnya lelaki itu meres
Ryan tampak mengerjapkan mata dengan wajah sedikit tegang. Hanya beberapa detik, karena lelaki itu kembali mengulaskan senyum manisnya dan meletakkan obat itu ke tangan Dzurriya langsung.“Maksudku, aku seorang dokter, gejala yang kau tampakkan itu biasa aku lihat,” jawabnya dengan tenang. “Lihat, ada ruam di wajahmu, kan? Jadi itu pasti karena kamu alergi kucing.”“Memang gejala alergi lain berbeda?” tanya Dzurriya lagi.“Y-ya iya, beda-beda. Sudah, mending sekarang kamu minum obat gatalnya, makan bubur,, habis itu minum vitaminnya.”‘Kenapa sikapnya aneh? Apa ini hanya firasatku saja.. atau sebenarnya dia sudah mengenalku?’****Setelah keadaan Dzurriya membaik, ia pun kembali ke kamarnya di lantai bawah. Bisa gawat kalau Alexa tahu kasurnya telah ditiduri Dzurriya. Setelah kejadian hari itu, tidak ada lagi panggilan dari Alexa atau bahkan Tikno. Dzurriya seolah diizinkan untuk beristirahat, meskipun ia tidak yakin begitu. Alexa atau Eshan pasti hanya sedang sibuk, dan tidak mau pe
Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. ‘Bodoh!’*****Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga
“Aku—”“Tikno!” Seolah tidak membiarkan Dzurriya menjelaskan, Eshan malah berteriak memanggil sang kepala pelayan.Tidak lama kemudian, Tikno tampak berlari tergopoh-gopoh mendengar teriakan dari suaminya tersebut. “Ya, Tuan.”Eshan mendekat ke arah Tikno. Setiap langkahnya yang menggema di lantai marmer. Namun, berbeda dengan Dzurriya yang sudah gemetaran, Tikno malah tampak sangat tenang.“Sudah berapa kali aku bilang untuk melarang Braha masuk ke rumah ini,” ucapan Eshan yang dingin dan dalam itu dilontarkan untuk Tikno. “Siapa yang berani mengizinkannya masuk?”Begitu banyak pertanyaan di kepala Dzurriya, tapi wanita itu memilih tetap diam dan berdiri sambil menundukkan kepala di belakang Eshan. ‘Braha? Siapa sebenarnya dia? Kenapa dia sampai naik pitam seperti ini?’Tikno menundukkan kepalanya. “Mohon maaf, Tuan—”“Kalian berani mengabaikan perintahku?!” suara Eshan naik satu oktaf, membuat Tikno kembali menutup mulutnya.“Kutanya sekali lagi. Siapa yang mengizinkan Braha mengi
Ia menoleh sekali lagi, hanya untuk memastikan apakah lelaki itu sudah pergi atau belum. Dzurriya seperti sudah hafal bagaimana tabiat lelaki itu. Ya, setelah memberi perintah dengan singkat, Eshan pasti pergi, atau paling tidak kembali ke pelukan Alexa.Namun, untuk saat ini tidak. Eshan ternyata juga tengah menatapnya.***Dzurriya mondar-mandir di kamarnya. Ia begitu khawatir setelah dua hari suaminya itu belum kembali. Sikapnya yang terlalu tenang sebelum pergi benar-benar bukan seperti Eshan yang dikenalnya selama ini. Apalagi para pelayan tengah asik membicarakan gosip kepergian Eshan terkait pertengkarannya dengan Alexa dan pamannya yang katanya licik itu.‘Apakah terjadi sesuatu sampai dia tak pulang?’Pikirannya mulai berkelana tak karuan. Ingin sekali ia bertanya pada Tikno, tapi takut ada yang mendengar dan menjadi bahan gunjingan.Setelah berkutat cukup lama di dalam kamar, Dzurriya akhirnya memberanikan diri keluar dan mencari Tikno. Sayangnya rumah itu sangat sepi ketik
Setelah malam yang awalnya penuh kecemasan, Dzurriya akhirnya bisa tidur dengan pulas. Hatinya menjadi damai dengan ucapan sederhana Eshan malam itu.Paginya, ia bangun dengan perasaan jauh lebih baik. Dzurriya bahkan berjalan ke ruang depan dengan senyum-senyum sendiri. Bisikan lirih Eshan kemarin malam terus terngiang di kepalanya.“Kenapa kamu mengajaknya? Dia nanti jadi besar kepala.” Suara rendah Eshan membuatnya mengurungkan niat untuk berbelok ke lorong tersebut.Dzurriya berhenti di balik tembok, dan tetap mendengarkan percakapan Dzurriya dengan seseorang. Pagi ini Tikno memang memberitahunya bahwa dia harus ikut kegiatan amal perusahaan ke salah satu Yayasan Panti Asuhan di Bogor. “Ayolah, Kak… Katanya Kakak ingin menggunakan rahimnya. Tak baik menyimpan istri mudamu itu di rumah terus, dia bisa stres nanti.” Suara itu sepertinya tak asing, itu suara Dokter Ryan. ‘Jadi Dokter Ryan itu adiknya?’ batin Dzurriya bertanya-tanya.“Benar, Sayang. Kita juga tidak boleh menekannya
Dzurriya terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan itu. Benar, namanya Dzurriya, tapi… kenapa wanita ini mengenalnya? Seingat Dzurriya, ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu kenal Nona ini?” tanya salah satu wanita tua yang tadi menyambut mereka kepada wanita muda itu.“Ya kenal,” jawab wanita muda itu dengan yakin. “Dia ini yang tersesat waktu di Bandung itu lho, Bu.”‘Tersesat? Di Bandung?’Mata Dzurriya begetar. Semua infomasi baru ini membuat dadanya berdebar cepat, hingga membuatnya sesak. Kepalanya pun mulai berdenyut nyeri.Wanita muda itu tersenyum lebar dengan wajah penasaran. “Jadi gimana? Sudah ketemu tunangan kamu—Oh!” ia berhenti mengoceh dan nyengir ketika melihat Ryan berdiri di belakang Dzurriya.“Jadi mas ini ya calon suami kamu?” Wanita muda itu kembali bertanya sambil mengangkat alisnya beberapa kali di depan Dzurriya.Sekali lagi mereka salah mengira bahwa Ryan adalah calon suaminya. Namun kali ini berbeda, Dzurriya tidak langsung membantahnya, dan malah berpikir.
“Jadi ini rumahnya?” ujar Eshan sembari menilik keluar jendela, menatap rumah bercat hijau tanpa pagar dengan halaman yang tidak cukup lebar. Tampak sebuah pohon mangga besar dan rindang yang tengah berbuah banyak berada di tepi samping halamannya, dengan beberapa macam bunga di tepi depannya, rumah milik orang tua Dzurriya itu sungguh terlihat sederhana, tapi menyejukkan mata yang memandang.Terlihat kemudian pintu mobilnya dibuka oleh pengawalnya, ia segera keluar dari mobilnya dan masih menatap rumah itu dalam-dalam.Rumah itu kelihatan sepi seperti rumahnya, tapi kenapa hatinya merasa adem, seperti ada aura yang berbeda di rumah itu.“Apa Saya mau ketukan pintu, Tuan?” tanya salah seorang pengawalnya.Eshan hanya menggelengkan kepala, aku akan melakukannya sendiri.Ia kemudian mulai berjalan ke arah teras rumah itu, saat tiba-tiba seorang anak perempuan berlari ke arahnya sambil memegang-megang jasnya seperti hendak bersembunyi “Jangan lari kau! Dasar anak nakal!”Eshan langsun
“Apa kamu bisa menjamin bahwa kalian akan baik-baik saja, jika tidak bersamaku?”Dzurriya terdiam mendengar ucapan suaminya tersebut.“Setidaknya mereka tidak akan tahu bahwa aku dan Angel adalah keluargamu?”“Sampai kapan?” tanya lelaki itu balik.Sekali lagi Dzurriya hanya terdiam. “Apa kamu bisa menjamin tidak akan ada yang mengejar kalian?” lanjutnya membuat Dzurriya semakin tercenung diam.“Jika kalian ada di sini, justru tempat yang menurutmu paling aman, bisa menjadi tempat yang paling berbahaya di dunia ini, apa kau sadar itu Dek?” Ucap lelaki itu terdengar masuk akal.“Aku ingin memberi kalian status, supaya tidak ada lagi orang yang berani menyentuh kalian Aku hanya ingin kebaikan itu untuk kalian, setidaknya dengan bersamaku, aku bisa memastikan bahwa kalian aman dan baik-baik saja,” jelas suaminya itu.Dzurriya menelan ludahnya mendengar ucapan suaminya tersebut.“Aku mencintaimu Dzurriya,” ucap lelaki itu sambil menatapnya dengan lembut.Dzurriya terkesiap diam dan mena
Dzurriya menatap keluar jendela mobil tersebut, kampungnya tampak tak berbeda jauh dengan setahun setengah yang lalu.Terlihat beberapa orang yang tengah bersantai di depan rumah tetangganya, memandang mobil yang dinaikinya itu dengan heran.Dzurriya tersenyum dalam-dalam menatap mereka, matanya tampak berkaca-kaca.“Akhirnya aku kembali Aba, Ummi,” gumam Dzurriya dalam hati setelah menghela nafas panjang, kemudian berbalik menatap Putri kecilnya lagi.“Sayang! akhirnya Bunda bisa membawamu pulang,” seru Dzurriya dengan senang, kemudian mengecup pipi mungil putrinya dengan gemas.Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari luar mobil tersebut.Ia segera menoleh ke arah jendela kembali tampak beberapa mobil mewah terparkir di depan rumah budenya yang terbilang sangat luas itu, yang tepat bersebelahan dengan rumahnya.‘Ada apa, kok banyak mobil? apa Mas Erwin sedang lamaran?” pikirnya bertanya-tanya, sampai lehernya menoleh mengikuti gerak mobil itu yang semakin menjauh dari pekarangan r
Dzurriya menatap jauh ke arah suaminya yang tengah duduk di taman rumah sakit itu dengan pandangannya yang kosong.Sudah sejam lelaki itu berada di sana dengan matanya yang sesekali berkaca-kaca.Lelaki itu tadi terlihat sangat bahagia mendapati Dzurriya berada di sampingnya tadi, namun tiba-tiba berubah murung saat mengetahui bahwa istri pertamanya telah tiada.‘Secinta itu kau padanya Mas,” pikir Dzurriya sembari menelan ludahnya.“Apa yang kau pikirkan?”Dzurriya tersentak kaget mendengar pertanyaan Ryan barusan, ia kemudian menoleh ke arah sepupu iparnya tersebut.“Kenapa kau tak menghampirinya saja? Sepertinya dia butuh teman bicara,” tanya lelaki itu lebih jauh.Dzurriya tersenyum ringan, kemudian berbalik menatap jauh ke arah suaminya.“Apa kau tahu apa yang ditanyakannya tadi padaku saat dia baru siuman?” tanyanya tanpa menoleh ke arah Ryan sedikitpun.“Apa dia bertanya kalau kau baik-baik saja?”Dzurriya tersenyum sambil menunduk ke bawah, mendengar jawaban Ryan tersebut, kem
“Mas!” teriak Dzurriya panik dengan mata yang nanar dan berkaca-kaca. Ia memeluk suaminya dalam perempuannya tersebut.Lelaki itu tampak berusaha tersenyum padanya, sambil berbicara dengan nada terbata-bata, “ S–sekarang kita sudah impas… A—aku sudah ti—dak berhutang lagi padamu.”“Tidak! ini belum cukup! kau harus membayarnya seumur hidupmu! kau dengar itu?” ujar Dzurriya di antara air matanya yang terus-menerus mengalir ketakutan.Eshan kembali terlihat tersenyum, sebelum akhirnya tubuhnya tiba-tiba tersentak hebat, dan dari dalam mulutnya memancar darah yang begitu banyak, hingga menciprat ke sebagian pakaian Dzurriya dan mukanya.Lelaki itu pingsan dan langsung menutup mata setelahnya, membuat Dzurriya menangis histeris dengan begitu panik. Ia berusaha menggoyang-goyang tubuh suaminya itu, namun tidak ada respon sekali.Dengan ketakutan ia mulai berteriak minta tolong.Tiba-tiba beberapa orang datang bersama dengan Alexa yang tadi lari begitu saja setelah menikam suaminya.Di
“Lepaskan dia!” Sayup-sayup terdengar teriakan begitu kera, setelah suara pintu yang terdengar digebrak dan dibanting tiba-tiba. Diikuti kemudian oleh suara langkah kaki yang berlari dan berderap begitu berat, tampak tubuh Alexa tertarik ke belakang. Dzurriya langsung terbatuk-batuk, nafasnya yang tertahan begitu lama langsung tersengal-sengal keluar. ‘Apa dia benar-benar sudah gila?’ pikir Dzurriya sembari memegang lehernya dan melirik ke arah istri pertama suaminya itu. “Kamu nggak pa-pa?” tanya suaminya yang tengah berdiri di hadapannya dengan wajah begitu khawatir, sambil memegang kedua lengan atasnya. “Sayang, aku bisa jelaskan,” sela Alexa yang baru saja bangkit dan menghampiri suaminya itu, terdengar begitu gupuh. Jakun Ehsan tampak naik turun mendengar ucapan wanita itu yang kelihatan terus berusaha berkilah, sedang giginya tampak mencengkeram dengan kuat sambil membuang muka ke atas. Lelaki itu tampak begitu kesal, namun sepertinya masih berusaha untuk menahannya. “T
BrakTerdengar suara benturan dari bagian belakang kursi roda yang dinaiki Dzurriya karena menabrak dinding. Kursi roda itu tiba-tiba saja ditarik ke dalam sebuah ruangan oleh seseorang, kemudian kerangka sandarannya didorong ke belakang dengan cepat.Kejadian yang begitu cepat itu spontan membuat Dzurriya tersentak dengan tarikan nafasnya yang terjeda yang kemudian terengah-engah.Pria segera berusaha menguasai dirinya yang berdebar hebat dengan menelan ludahnya, kemudian perlahan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap siapa yang sudah menariknya ke dalam ruangan tersebut.‘Mas!’Tampak wajah sang suami terlihat merah padam, sepertinya laki-laki itu sedang kesal.“Apa sebenarnya yang kau inginkan?” ucap suaminya itu terdengar begitu sinis dan dingin.“Yang kuinginkan? Apa maksudmu?” tanya Dzurriya tak mengerti dengan apa yang diucapkan lelaki itu padanya.“Jangan pura-pura lugu kau sedang memanfaatkan kami berdua, kan?” tuduh Eshan tampak menatapnya semakin dekat dan semakin dingin.
“Kenapa kau membiarkannya pergi?” tanya Ryan tampak menatap Dzurriya dengan heran, setelah kepergian Eshan yang terlihat kesal, saat mendapati dirinya dan Ryan bersama.“Bukankah kau juga menginginkannya?” ucap Dzurriya bertanya balik padanyaLelaki itu tampak memicingkan matanya sembari melirik ke arahnya, “jangan berbohong padaku! bahkan kau melakukannya bukan untukku, apa kau cemburu karena Alexa tadi tiba-tiba datang dan menciumnya?”“Jangan bicara omong kosong! untuk apa aku cemburu pada wanita murahan seperti dia? cepat dorong aku!” ujar Dzurriya berusaha mengalihkan pembicaraan.Ryan tampak terkesiap mendengar penuturannya tersebut.“A–apa maksudmu? Kenapa kau menyebutnya murahan?” tanya lelaki itu terdengar terbata-bata dan berhati-hati.Dzurriya kembali menoleh ke belakang dan menatap lelaki itu dalam-dalam.‘Apa kau benar-benar yakin mau mendengarnya dariku?’ pikir Dzurriya kemudian menelan ludahnya.“Apa kau benar-benar tidak ingin membawaku untuk keluar? aku begitu penat b
“Apa?” Tampak Eshan berusaha memastikan apa yang barusan ia dengar tersebut, dengan alisnya yang tampak saling mendekat dan hampir menyatu.“Jadi jangan sia-siakan dia! atau aku akan segera merebutnya darimu,” ujar Ryan tiba-tiba menarik kerah Eshan, sambil menatap begitu tajam ke arah kakak sepupunya tersebut.‘Hah!” desah Dzurriya penuh sesal, Iya begitu terkesiap sekaligus tak menyangka kalau mantan kekasihnya itu bakal bicara sembarangan seperti itu.Sementara Alexa terlihat nyengir kegirangan, Ia bahkan terlihat sangat menikmati pemandangan itu.Berbeda dengan dirinya yang mulai was-was, apalagi melihat suaminya itu memegang tangan Ryan yang tengah mencengkeram kuat kerah bajunya, kemudian perlahan menurunkan tangan adik sepupunya itu, dan mulai menatapnya dengan tajam.‘Jangan-jangan mereka akan berkelahi!’ pikir Dzurriya.Tapi apa yang akan terjadi melampaui perkiraannya.“Kalau kau sangat menyukainya…”‘Apa yang mau kau katakan, Mas?’ pikir Dzurriya sambil menatap mata suamin