Setelah malam yang awalnya penuh kecemasan, Dzurriya akhirnya bisa tidur dengan pulas. Hatinya menjadi damai dengan ucapan sederhana Eshan malam itu.Paginya, ia bangun dengan perasaan jauh lebih baik. Dzurriya bahkan berjalan ke ruang depan dengan senyum-senyum sendiri. Bisikan lirih Eshan kemarin malam terus terngiang di kepalanya.“Kenapa kamu mengajaknya? Dia nanti jadi besar kepala.” Suara rendah Eshan membuatnya mengurungkan niat untuk berbelok ke lorong tersebut.Dzurriya berhenti di balik tembok, dan tetap mendengarkan percakapan Dzurriya dengan seseorang. Pagi ini Tikno memang memberitahunya bahwa dia harus ikut kegiatan amal perusahaan ke salah satu Yayasan Panti Asuhan di Bogor. “Ayolah, Kak… Katanya Kakak ingin menggunakan rahimnya. Tak baik menyimpan istri mudamu itu di rumah terus, dia bisa stres nanti.” Suara itu sepertinya tak asing, itu suara Dokter Ryan. ‘Jadi Dokter Ryan itu adiknya?’ batin Dzurriya bertanya-tanya.“Benar, Sayang. Kita juga tidak boleh menekannya
Dzurriya terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan itu. Benar, namanya Dzurriya, tapi… kenapa wanita ini mengenalnya? Seingat Dzurriya, ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu kenal Nona ini?” tanya salah satu wanita tua yang tadi menyambut mereka kepada wanita muda itu.“Ya kenal,” jawab wanita muda itu dengan yakin. “Dia ini yang tersesat waktu di Bandung itu lho, Bu.”‘Tersesat? Di Bandung?’Mata Dzurriya begetar. Semua infomasi baru ini membuat dadanya berdebar cepat, hingga membuatnya sesak. Kepalanya pun mulai berdenyut nyeri.Wanita muda itu tersenyum lebar dengan wajah penasaran. “Jadi gimana? Sudah ketemu tunangan kamu—Oh!” ia berhenti mengoceh dan nyengir ketika melihat Ryan berdiri di belakang Dzurriya.“Jadi mas ini ya calon suami kamu?” Wanita muda itu kembali bertanya sambil mengangkat alisnya beberapa kali di depan Dzurriya.Sekali lagi mereka salah mengira bahwa Ryan adalah calon suaminya. Namun kali ini berbeda, Dzurriya tidak langsung membantahnya, dan malah berpikir.
“Baik.” Akhirnya, Asiyah menghela napas dan mulai bercerita.Intinya, Asiyah hanya mengetahui nama Dzurriya karena pernah menolongnya saat tersesat di Stasiun Bandung. Asiyah mengantar Dzurriya sampai terminal bus. Dari situlah cerita mengapa Dzurriya bisa datang ke Bandung mengalir.“Saat itu kamu sedang mencari tunanganmu,” cerita Asiyah, yang membuat dada Dzurriya lagi-lagi terasa sesak. “Itu saja, karena kita cuma bersama sebentar.”Dzurriya kecewa, tapi ia tidak bisa juga mendesak Asiyah. Benar, mungkin mereka hanya bertemu sebentar, lantas apa yang ia harapkan?Meskipun masih merasakan kekecewaan, Dzurriya tetap berterima kasih kepada wanita itu. Asiyah pun membalasnya singkat, sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu lebih dulu.Sedangkan Dzurriya meminta izin untuk menenangkan pikirannya sebentar di sini.‘Setidaknya aku tahu namaku dan tujuanku di Bandung,’ Dzurriya menghela napas panjang. Semakin dipikirkan, ini semakin rumit.Siapa tunangannya? Jadi, dari mana dia berasal?
Dzurriya melihat bola mata Eshan bergerak memandang bibirnya yang polos itu. Ia pun semakin tegang. Apalagi ketika, Eshan kembali menatap matanya dalam-dalam. Napas panas itu terasa semakin dekat dan membentur pipinya. Tanpa sadar, Dzurriya pun menahan napasnya sendiri. Lalu, perlahan wajah Eshan mulai semakin mendekat.‘Apa ini?’Namun, tiba-tiba bayangan bagaimana Alexa mencium mesra bibir Eshan beberapa saat lalu, terlintas di kepalanya. Senyum Alexa yang mengejek, serta tatapan mata Eshan yang terkesan tidak keberatan masih teringat jelas. Seketika, Dzurriya merasa jijik sendiri.Dugh!Dengan agresif, dibenturkannya kepalanya ke dahi suaminya itu tanpa berpikir panjang.Eshan langsung menjauhkan kepalanya. Ekspresinya berubah marah. “Apa kau gila?!” hardik lelaki itu sambil mengusap-usap dahinya. Seperti disiram air dingin, Dzurriya tersadar apa yang baru saja ia lakukan. Saking ketakutannya, ia pun mendorong badan suaminya itu untuk keluar mobil. Entah dapat dari mana keberania
Dzurriya akhirnya masuk menuju kamar yang disediakan untuknya. Ia tidak peduli dengan baju yang belum diganti, atau udara dingin yang masuk dari celah jendela. Ia hanya bersembunyi di bawah selimutnya dan menangis sesenggukan sampai tertidur.Esoknya, sekitar jam 5 subuh, Dzurriya terbangun karena suara azan. Badannya terasa gatal-gatal dan dingin begitu bangun tidur. Ia terus menggaruk-garuk punggung dan lehernya sampai memerah sembari menguap beberapa kali. Ia pun memutuskan mandi air hangat, lalu disambung dengan berwudu dan solat. Namun, karena bajunya tidak diganti dari kemarin, tubuhnya masih terasa kotor saja.‘Ah! Rasanya baju ini sudah terlalu bau dan kotor. Mandi pun tak ada pengaruhnya. Aku masih gatal-gatal!’ Dzurriya mengeluh dalam hati sambil menarik kerah bajunya ke atas. Ia mengendusnya setelah keluar dari kamar mandi. “Berjalanlah dengan cepat,” sebuah suara berat menyahut dari arah samping, seolah bisa membaca isi kepalanya.Dzurriya kaget dan menoleh. Ada suaminy
Karena terus memaksa, Dzurriya akhirnya mengganti pakaiannya dengan baju yang dibawakan Ryan. Baru saja ia selesai memakai pasmina, ada seseorang mengetuk pintunya. Suara ketukan itu beradu lirih dengan ketukan air hujan di permukaan genteng dan kaca. Akhir-akhir ini hujan memang sering turun, sepertinya musim mulai berganti.Dzurriya membuka pintu itu, terlihat sedikit demi sedikit sosok punggung lelaki sedang menunggunya di depan kamar. Lelaki itu kemudian berbalik setelah mendengar suara pintu di buka. Ternyata Ryan.“Ada apa?” tanya Dzurriya pelan, berusaha menutupi rasa kecewanya. Ia pikir itu Eshan tadi.Ryan hanya bengong dan tak menjawabnya. Ia memandang Dzurriya dalam-dalam. Terlihat jakunnya naik turun seperti sedang menelan ludah. Sementara matanya yang berkaca-kaca terlihat berbinar-binar.“Aku tidak menyangka rasanya akan seperti ini….” gumam Ryan pelan.“Apa?” Dzurriya berusaha menyakinkan dirinya apa yang barusan samar-samar di dengarnya.Ryan mengerjapkan matanya samb
Eshan menatap keluar jendela mobil. Di luar tampak hujan begitu deras disertai petir menghiasi langit yang beranjak malam. Pikiran Eshan terus dipenuhi Dzurriya. Padahal dia sendiri tadi yang menyuruh Dzurriya naik mobil sendiri bersama pengawalnya. Ia bahkan melarang Ryan untuk menemani Dzurriya, dan malah memintanya mengantar Alexa duluan.Sekarang, wanita itu masih tertinggal di belakang bersama para pengawal. Sementara Eshan dan yang lain sudah lebih dulu berangkat.‘Apa dia baik-baik saja?’Lalu, ia mendesah sendiri, menyadari kalau rasa khawatir ini begitu konyol. Tidak mungkin dia mengkhawatirkan wanita jahanam itu.“Putarlah sesuatu!” perintah Eshan dingin, kepada anak buahnya.“Baik, Pak,” jawab pengawal yang duduk di sebelah sopir sambil memutar radio dan mencari saluran yang pas. Sebuah lagu mengalun merdu, membawa pendengarnya merasakan isi lagu tersebut. Suasana hujan menambah syahdu lagu yang bernada pelan itu.Pikiran Eshan semakin tak tenang. Padahal satu kilometer l
“Jadi kalian semua meninggalkannya sendiri di mobil untuk mencari bantuan? Apa kalian tahu mobil itu ringsek dihantam pohon yang roboh! Hah!”Dzurriya mengernyitkan dahinya di antara sadar dan tidak sadar. Suara hardikan samar-samar itu mengusiknya. Ia membuka matanya pelan-pelan, mengintip keadaan sekitar. Sebentar saja ia sudah tahu jika sudah berada di kamarnya.“Enyah kalian! Jangan pernah muncul di depanku!” suara keras Eshan menggelegar, bahkan dengan pintu yang tertutup.Ini pertama kalinya Dzurriya mendengar Eshan semarah itu. Biasanya, lelaki itu hanya berkata dingin dan menusuk, kadang juga sarkas. Namun kali ini, Eshan benar-benar berteriak.Dzurriya jadi bertanya-tanya, apa yang membuat suaminya itu semarah itu.Selang tak berapa lama, terdengar gagang pintu di tarik turun. Sepertinya seseorang akan masuk. Dzurriya spontan menutup matanya lagi.‘Kalau itu Eshan, aku tak mau kena marah lagi. Lebih baik aku pura-pura tidur saja’Suara langkah kaki yang sangat dikenalnya ter
“Jadi ini rumahnya?” ujar Eshan sembari menilik keluar jendela, menatap rumah bercat hijau tanpa pagar dengan halaman yang tidak cukup lebar. Tampak sebuah pohon mangga besar dan rindang yang tengah berbuah banyak berada di tepi samping halamannya, dengan beberapa macam bunga di tepi depannya, rumah milik orang tua Dzurriya itu sungguh terlihat sederhana, tapi menyejukkan mata yang memandang.Terlihat kemudian pintu mobilnya dibuka oleh pengawalnya, ia segera keluar dari mobilnya dan masih menatap rumah itu dalam-dalam.Rumah itu kelihatan sepi seperti rumahnya, tapi kenapa hatinya merasa adem, seperti ada aura yang berbeda di rumah itu.“Apa Saya mau ketukan pintu, Tuan?” tanya salah seorang pengawalnya.Eshan hanya menggelengkan kepala, aku akan melakukannya sendiri.Ia kemudian mulai berjalan ke arah teras rumah itu, saat tiba-tiba seorang anak perempuan berlari ke arahnya sambil memegang-megang jasnya seperti hendak bersembunyi “Jangan lari kau! Dasar anak nakal!”Eshan langsun
“Apa kamu bisa menjamin bahwa kalian akan baik-baik saja, jika tidak bersamaku?”Dzurriya terdiam mendengar ucapan suaminya tersebut.“Setidaknya mereka tidak akan tahu bahwa aku dan Angel adalah keluargamu?”“Sampai kapan?” tanya lelaki itu balik.Sekali lagi Dzurriya hanya terdiam. “Apa kamu bisa menjamin tidak akan ada yang mengejar kalian?” lanjutnya membuat Dzurriya semakin tercenung diam.“Jika kalian ada di sini, justru tempat yang menurutmu paling aman, bisa menjadi tempat yang paling berbahaya di dunia ini, apa kau sadar itu Dek?” Ucap lelaki itu terdengar masuk akal.“Aku ingin memberi kalian status, supaya tidak ada lagi orang yang berani menyentuh kalian Aku hanya ingin kebaikan itu untuk kalian, setidaknya dengan bersamaku, aku bisa memastikan bahwa kalian aman dan baik-baik saja,” jelas suaminya itu.Dzurriya menelan ludahnya mendengar ucapan suaminya tersebut.“Aku mencintaimu Dzurriya,” ucap lelaki itu sambil menatapnya dengan lembut.Dzurriya terkesiap diam dan mena
Dzurriya menatap keluar jendela mobil tersebut, kampungnya tampak tak berbeda jauh dengan setahun setengah yang lalu.Terlihat beberapa orang yang tengah bersantai di depan rumah tetangganya, memandang mobil yang dinaikinya itu dengan heran.Dzurriya tersenyum dalam-dalam menatap mereka, matanya tampak berkaca-kaca.“Akhirnya aku kembali Aba, Ummi,” gumam Dzurriya dalam hati setelah menghela nafas panjang, kemudian berbalik menatap Putri kecilnya lagi.“Sayang! akhirnya Bunda bisa membawamu pulang,” seru Dzurriya dengan senang, kemudian mengecup pipi mungil putrinya dengan gemas.Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari luar mobil tersebut.Ia segera menoleh ke arah jendela kembali tampak beberapa mobil mewah terparkir di depan rumah budenya yang terbilang sangat luas itu, yang tepat bersebelahan dengan rumahnya.‘Ada apa, kok banyak mobil? apa Mas Erwin sedang lamaran?” pikirnya bertanya-tanya, sampai lehernya menoleh mengikuti gerak mobil itu yang semakin menjauh dari pekarangan r
Dzurriya menatap jauh ke arah suaminya yang tengah duduk di taman rumah sakit itu dengan pandangannya yang kosong.Sudah sejam lelaki itu berada di sana dengan matanya yang sesekali berkaca-kaca.Lelaki itu tadi terlihat sangat bahagia mendapati Dzurriya berada di sampingnya tadi, namun tiba-tiba berubah murung saat mengetahui bahwa istri pertamanya telah tiada.‘Secinta itu kau padanya Mas,” pikir Dzurriya sembari menelan ludahnya.“Apa yang kau pikirkan?”Dzurriya tersentak kaget mendengar pertanyaan Ryan barusan, ia kemudian menoleh ke arah sepupu iparnya tersebut.“Kenapa kau tak menghampirinya saja? Sepertinya dia butuh teman bicara,” tanya lelaki itu lebih jauh.Dzurriya tersenyum ringan, kemudian berbalik menatap jauh ke arah suaminya.“Apa kau tahu apa yang ditanyakannya tadi padaku saat dia baru siuman?” tanyanya tanpa menoleh ke arah Ryan sedikitpun.“Apa dia bertanya kalau kau baik-baik saja?”Dzurriya tersenyum sambil menunduk ke bawah, mendengar jawaban Ryan tersebut, kem
“Mas!” teriak Dzurriya panik dengan mata yang nanar dan berkaca-kaca. Ia memeluk suaminya dalam perempuannya tersebut.Lelaki itu tampak berusaha tersenyum padanya, sambil berbicara dengan nada terbata-bata, “ S–sekarang kita sudah impas… A—aku sudah ti—dak berhutang lagi padamu.”“Tidak! ini belum cukup! kau harus membayarnya seumur hidupmu! kau dengar itu?” ujar Dzurriya di antara air matanya yang terus-menerus mengalir ketakutan.Eshan kembali terlihat tersenyum, sebelum akhirnya tubuhnya tiba-tiba tersentak hebat, dan dari dalam mulutnya memancar darah yang begitu banyak, hingga menciprat ke sebagian pakaian Dzurriya dan mukanya.Lelaki itu pingsan dan langsung menutup mata setelahnya, membuat Dzurriya menangis histeris dengan begitu panik. Ia berusaha menggoyang-goyang tubuh suaminya itu, namun tidak ada respon sekali.Dengan ketakutan ia mulai berteriak minta tolong.Tiba-tiba beberapa orang datang bersama dengan Alexa yang tadi lari begitu saja setelah menikam suaminya.Di
“Lepaskan dia!” Sayup-sayup terdengar teriakan begitu kera, setelah suara pintu yang terdengar digebrak dan dibanting tiba-tiba. Diikuti kemudian oleh suara langkah kaki yang berlari dan berderap begitu berat, tampak tubuh Alexa tertarik ke belakang. Dzurriya langsung terbatuk-batuk, nafasnya yang tertahan begitu lama langsung tersengal-sengal keluar. ‘Apa dia benar-benar sudah gila?’ pikir Dzurriya sembari memegang lehernya dan melirik ke arah istri pertama suaminya itu. “Kamu nggak pa-pa?” tanya suaminya yang tengah berdiri di hadapannya dengan wajah begitu khawatir, sambil memegang kedua lengan atasnya. “Sayang, aku bisa jelaskan,” sela Alexa yang baru saja bangkit dan menghampiri suaminya itu, terdengar begitu gupuh. Jakun Ehsan tampak naik turun mendengar ucapan wanita itu yang kelihatan terus berusaha berkilah, sedang giginya tampak mencengkeram dengan kuat sambil membuang muka ke atas. Lelaki itu tampak begitu kesal, namun sepertinya masih berusaha untuk menahannya. “T
BrakTerdengar suara benturan dari bagian belakang kursi roda yang dinaiki Dzurriya karena menabrak dinding. Kursi roda itu tiba-tiba saja ditarik ke dalam sebuah ruangan oleh seseorang, kemudian kerangka sandarannya didorong ke belakang dengan cepat.Kejadian yang begitu cepat itu spontan membuat Dzurriya tersentak dengan tarikan nafasnya yang terjeda yang kemudian terengah-engah.Pria segera berusaha menguasai dirinya yang berdebar hebat dengan menelan ludahnya, kemudian perlahan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap siapa yang sudah menariknya ke dalam ruangan tersebut.‘Mas!’Tampak wajah sang suami terlihat merah padam, sepertinya laki-laki itu sedang kesal.“Apa sebenarnya yang kau inginkan?” ucap suaminya itu terdengar begitu sinis dan dingin.“Yang kuinginkan? Apa maksudmu?” tanya Dzurriya tak mengerti dengan apa yang diucapkan lelaki itu padanya.“Jangan pura-pura lugu kau sedang memanfaatkan kami berdua, kan?” tuduh Eshan tampak menatapnya semakin dekat dan semakin dingin.
“Kenapa kau membiarkannya pergi?” tanya Ryan tampak menatap Dzurriya dengan heran, setelah kepergian Eshan yang terlihat kesal, saat mendapati dirinya dan Ryan bersama.“Bukankah kau juga menginginkannya?” ucap Dzurriya bertanya balik padanyaLelaki itu tampak memicingkan matanya sembari melirik ke arahnya, “jangan berbohong padaku! bahkan kau melakukannya bukan untukku, apa kau cemburu karena Alexa tadi tiba-tiba datang dan menciumnya?”“Jangan bicara omong kosong! untuk apa aku cemburu pada wanita murahan seperti dia? cepat dorong aku!” ujar Dzurriya berusaha mengalihkan pembicaraan.Ryan tampak terkesiap mendengar penuturannya tersebut.“A–apa maksudmu? Kenapa kau menyebutnya murahan?” tanya lelaki itu terdengar terbata-bata dan berhati-hati.Dzurriya kembali menoleh ke belakang dan menatap lelaki itu dalam-dalam.‘Apa kau benar-benar yakin mau mendengarnya dariku?’ pikir Dzurriya kemudian menelan ludahnya.“Apa kau benar-benar tidak ingin membawaku untuk keluar? aku begitu penat b
“Apa?” Tampak Eshan berusaha memastikan apa yang barusan ia dengar tersebut, dengan alisnya yang tampak saling mendekat dan hampir menyatu.“Jadi jangan sia-siakan dia! atau aku akan segera merebutnya darimu,” ujar Ryan tiba-tiba menarik kerah Eshan, sambil menatap begitu tajam ke arah kakak sepupunya tersebut.‘Hah!” desah Dzurriya penuh sesal, Iya begitu terkesiap sekaligus tak menyangka kalau mantan kekasihnya itu bakal bicara sembarangan seperti itu.Sementara Alexa terlihat nyengir kegirangan, Ia bahkan terlihat sangat menikmati pemandangan itu.Berbeda dengan dirinya yang mulai was-was, apalagi melihat suaminya itu memegang tangan Ryan yang tengah mencengkeram kuat kerah bajunya, kemudian perlahan menurunkan tangan adik sepupunya itu, dan mulai menatapnya dengan tajam.‘Jangan-jangan mereka akan berkelahi!’ pikir Dzurriya.Tapi apa yang akan terjadi melampaui perkiraannya.“Kalau kau sangat menyukainya…”‘Apa yang mau kau katakan, Mas?’ pikir Dzurriya sambil menatap mata suamin