“Itu harga yang harus kamu bayar karena sudah membunuh anakku dan membuat istriku menderita.”
Dzurriya kembali tertohok ketika diingatkan oleh kata-kata Alexa beberapa saat lalu. Perasaan bersalah itu membuatnya merasa sangat kotor.
Benar! Ia tidak punya hak apa-apa untuk menolak, dirinya sangat berdosa. Bahkan ini belum seberapa dengan apa yang sudah dilakukannya.
“Cepat tanda tangan!” ucapan Eshan yang dingin dan menusuk itu membuat badannya sontak terkejut.
Suara dan tatapan Eshan memberikan tekanan untuk Dzurriya. Ia ketakutan, ditambah tidak bisa mengingat apa pun sekarang. Begitu bangun, ia langsung dihadapkan dengan ancaman Eshan dan Alexa.
Dzurriya tidak punya pilihan lain. Ia tidak mau mati sekarang.
Dengan ragu, ia mulai menanda tangani surat di atas materai itu. Namun, ia menyadari sesuatu.
‘Dzurriyatul Jannah... nama di bawah materai itu Dzurriyatul Jannah…
“Apa ini namaku?” tanyanya sambil menunjuk tulisan nama itu.
“Jangan berpura-pura! Cepat tanda tangani!”
‘Jadi benar ini namaku….’ Ada rasa lega sekaligus bingung yang memenuhi hati Dzurriya sekarang. ‘Tapi… dari mana lelaki ini tahu namaku? Jadi, mereka mengenalku?’
***
Setelah Dzurriya menandatangani surat kontrak itu, keesokan harinya pun pernikahan dilaksanakan. Tidak ada pesta besar atau baju pengantin cantik, atau ucapan selamat. Dzurriya hanya memakai baju pasien dan melakukan ijab kabul di ruang rawat Alexa.
Setelah itu pun ia langsung dibawa paksa oleh orang-orang berpakaian hitam ke sebuah rumah besar. Di dalam mobil, ia duduk diapit dua orang pria berbadan besar, sedangkan Eshan dan Alexa di mobil berbeda.
‘Jadi beginikah rasanya jadi tahanan?’ gumam Dzurriya ketika digiring ke sebuah kamar di lantai satu, di pojok dekat dapur.
Pemandangan pertama yang Dzurriya lihat adalah kamar penuh debu dan pengap. Beberapa perabotnya ditutup kain berwarna putih. Temboknya tampak kusam, tanpa hiasan apa pun. Sepertinya, ia membutuhkan banyak waktu untuk membersihkan ini semua.
Dzurriya melenguh panjang sambil mengusap kain penutup perabotan di kamar barunya. Bagaimana ia harus membereskan sendiri kamar sekotor dan seberantakan itu, padahal dirinya masih lemah dan lelah?
Namun, mengeluh takkan menyelesaikan masalah. Jadi, Dzurriya mulai bersiap-siap membersihkan kamar itu.
“Huh!”
Dzurriya segera menarik satu persatu kain penutup, kemudian melipat dan menumpuknya jadi satu. Ia tahu takkan ada yang membantunya di rumah itu. Walaupun sampai bersin-bersin dan tubuhnya gatal karena debu, tapi Dzurriya masih terus bergerak.
Setelah kasur dan nakasnya bersih, sekarang Dzurriya berjalan ke arah lemari dengan langkah gontai. Walaupun pakaian yang ia punya hanyalah yang ia pakai saat ini, Dzurriya juga ingin melihat isi lemari tersebut.
Krie…k!
“Allah Kariim!” Dzurriya memekik histeris sambil melompat, ketika seekor tikus kecil tiba-tiba keluar dari dalam lemari.
Tikus hitam itu berputar-putar di sekitar kaki Dzurriya, membuat wanita itu langsung lari terbirit-birit keluar. Namun, karena kakinya yang masih lemas, ia jatuh tersandung di depan kamar.
“Aaah!” Dzurriya siap untuk terbentur lantai yang keras ketika merasakan sebuah tangan besar menangkap kedua bahunya.
Matanya yang terpejam kuat itu perlahan terbuka. Hal pertama yang ia lihat adalah bola mata hitam di balik kacamata itu sedang menatapnya tajam.
Sepersekian detik keduanya berpandangan, dan Dzurriya merasakan debar jantungnya semakin lama semakin cepat.
Entah kenapa lelaki bengis itu terlihat begitu tampan di matanya saat ini. Aroma musknya juga tercium menyegarkan.
“Apa kamu buta?” suara dalam dan dingin Eshan menyapa Dzurriya.
Dzurriya langsung tersadar. Ia langsung menjauhkan diri dari Eshan dan berdiri dengan kepala tertunduk.
“M-maafkan aku…” cicit Dzurriya.
Eshan terdengar mendengus, tapi Dzurriya belum berani mengangkat kepala. Wanita itu hanya menatap ujung sepatu pantofel Eshan.
“Kalau kau kesulitan, panggil saja pelayan,” ucap Eshan tiba-tiba, membuat Dzurriya mengangkat kepala.
“Apa?”
“Aku tidak mau melihat orang mati karena kelelahan di rumahku hari ini,” jawab pria itu dengan aura dinginnya.
Dzurriya menelan air liurnya.
“Apa lagi kau harus tinggal di sini sampai bisa melahirkan akan untukku dan Alexa.” Tanpa menjelaskan maksudnya, Eshan beranjak dari sana.
***
Walaupun terasa begitu berat dan penuh air mata, sebulan berlalu sejak Dzurriya menjadi istri kedua Eshan, sekaligus rahim pengganti untuk Alexa.
Para pelayan juga terus menggunjing dan mengasihani Dzurriya yang selalu memakai pakaian bekas pelayan yang diberikan Alexa.
“Kasihan, ya….”
“Kok, Tuan bisa ya, bawa wanita dekil itu ke sini. Mana dijadiin madu Bu Alexa lagi.”
“Jauh banget kalau dibandingkan Bu Alexa.”
Dzurriya masih berusaha bertahan, karena berpikir Eshan sedikit lebih baik karena sudah menjadi istrinya. Namun, sama saja.
Bahkan, ketika melakukan serangkaian tes untuk menjadi rahim pengganti Alexa, lelaki itu tetap membencinya. Hanya karena Dzurriya tidak bisa mengingat riwayat penyakitnya, kapan terakhir haid, dan informasi semacamnya, ia berakhir mendapat ancaman dari Eshan.
Mau bagaimana lagi, Dzurriya sama sekali tidak mengingat apa pun sebelum kecelakaan itu.
Oleh karena itu, Dzurriya sebisa mungkin menghindari orang-orang di sini. Tidak ada yang menyukainya di sini.
Jadi, setiap malam, Dzurriya pun harus mengendap keluar kamar untuk bisa makan. Ia tidak berani makan bersama Eshan dan Alexa. Lagi pula, keduanya juga tidak akan mengizinkan Dzurriya makan bersama.
Malam ini pun, Dzurriya menatap sekitar yang begitu gelap dengan penuh kewaspadaan.
‘Sepertinya semua orang sudah tidur, tapi aku tidak boleh lengah.’
Ia sudah melepas kerudungnya di kamar, berpikir tidak akan ada siapa pun yang melihat. Ia pun keluar dari kamar dengan langkah kakinya yang telanjang, hampir tak terdengar bahkan oleh dirinya sendiri.
Hanya sedikit lagi sampai ia mencapai tujuannya. Namun, ketika tangannya terulur untuk meraih pintu itu, seketika lampu menyala.
Dzurriya melotot kaget. Dengan tergopoh-gopoh, ia segera menunduk dan melompat ke bawah meja panjang di dekatnya.
Duk!
“Ah!”
Tangannya sontak menutup mulutnya yang meringis kesakitan karena kepalanya terantuk meja. Suara kaki itu terdengar sangat familiar. Aroma musk-nya juga semakin dekat.
Dari kolong meja, Dzurriya menebak kalau Eshan ke dapur untuk mengambil minum. Karena suasana yang sunyi, Dzurriya bisa mendengar setiap gerakan lelaki itu dengan jelas. Ia pun terus menegang di kolong meja, bahkan sampai menahan napasnya.Sampai akhirnya, terdengar suara langkah kaki Eshan yang menjauh. Dzurriya pun menghela napas panjang dan keluar dari kolong meja. Ia harus buru-buru kembali ke kamar sebelum Eshan melihatnya di sini tanpa memakai kerudung.Namun, ia sama sekali tidak sadar kalau lampu dapur masih menyala terang.“Ekhem!”Dzurriya refleks menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Ia ingin segera berlari, tapi seluruh tubuhnya terasa kaku tak bisa digerakkan.Hanya matanya yang bisa melirik ke arah kanan, di mana Eshan berdiri dengan kimono tidur berwarna hitam dan tangan terlipat di dada. Rambutnya yang biasa ditata ke atas, kini diturunkan dan menutupi dahinya yang indah. “Sedang apa—”“Maafkan aku! Aku lapar, aku hanya ingin makan, sungguh!” ucap Dzurriya cepat den
Dzurriya langsung kembali menundukkan kepala ketika melihat gestur Eshan. Bukan hanya takut kena marah, tapi karena malu melihat dada Eshan yang terekpos karena ulah Alexa tadi.Lelaki itu merapikan kancing kemejanya, lalu berjalan menuju pintu. Dzurriya sedikit bergeser dari sana, menghindari kontak dengan Eshan. Tap!Masih dengan pandangan tertuju di lantai, Dzurriya bisa merasakan Eshan berhenti sejenak di depannya. Tangan Dzurriya saling bertaut, ketakutan. Apa kali ini Eshan akan memarahinya lagi?“Untung saja kau terlihat seperti orang normal hari ini,” ucap Eshan, lalu berlalu pergi.Dzurriya mengangkat kepalanya dengan cepat. ‘Apa maksudnya?’Ia menatap punggung suaminya yang kemudian menghilang dari balik pintu lift. “Dia tampak tampan dan gagah dengan setelan itu, kan?”Dzurriya langsung menoleh kembali, dan menyadari ada Alexa di belakangnya.“I-itu–”“Tapi jangan coba-coba berpikir ingin memilikinya. Aku akan membunuhmu sebelum dia!” ancam wanita itu sambil melotot tajam
Eshan mendekatkan telinganya ke arah hidung wanita itu untuk mengecek napasnya. ‘Syukurlah… wanita ini masih bernapas.’Entahlah, mungkin Eshan panik karena tidak mau melihat ada orang mati di rumah ini. Eshan benci orang lemah, dan wanita ini selalu menunjukkan hal itu di depannya.‘Sial! Kenapa wanita ini terlihat begitu rapuh?’Dzurriya tampak pucat, dengan bulir keringat yang tersisa di dahinya. Eshan juga melihat ruam-ruam muncul di permukaan kulit Dzurriya. “Apa ini….”Eshan bolak-balik tangan mungil itu, kemudian menyisingkan lengan bajunya untuk melihat keadaan kulitnya yang lain. Ia juga melihat ke arah sisi-sisi pipi wanita itu, kemudian menyentuhkan punggung tangannya ke leher wanita itu. Ia tersentak kaget, badan Dzurriya begitu panas. Eshan dengan cepat memencet tombol di atas meja kecil di samping tempat tidurnya untuk memanggil Tikno. Ia juga mengambil ponselnya dan menghubungi Ryan berkali-kali. Sebagai sepupu dan dokter pribadi keluarganya, harusnya lelaki itu meres
Ryan tampak mengerjapkan mata dengan wajah sedikit tegang. Hanya beberapa detik, karena lelaki itu kembali mengulaskan senyum manisnya dan meletakkan obat itu ke tangan Dzurriya langsung.“Maksudku, aku seorang dokter, gejala yang kau tampakkan itu biasa aku lihat,” jawabnya dengan tenang. “Lihat, ada ruam di wajahmu, kan? Jadi itu pasti karena kamu alergi kucing.”“Memang gejala alergi lain berbeda?” tanya Dzurriya lagi.“Y-ya iya, beda-beda. Sudah, mending sekarang kamu minum obat gatalnya, makan bubur,, habis itu minum vitaminnya.”‘Kenapa sikapnya aneh? Apa ini hanya firasatku saja.. atau sebenarnya dia sudah mengenalku?’****Setelah keadaan Dzurriya membaik, ia pun kembali ke kamarnya di lantai bawah. Bisa gawat kalau Alexa tahu kasurnya telah ditiduri Dzurriya. Setelah kejadian hari itu, tidak ada lagi panggilan dari Alexa atau bahkan Tikno. Dzurriya seolah diizinkan untuk beristirahat, meskipun ia tidak yakin begitu. Alexa atau Eshan pasti hanya sedang sibuk, dan tidak mau pe
Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. ‘Bodoh!’*****Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga
“Aku—”“Tikno!” Seolah tidak membiarkan Dzurriya menjelaskan, Eshan malah berteriak memanggil sang kepala pelayan.Tidak lama kemudian, Tikno tampak berlari tergopoh-gopoh mendengar teriakan dari suaminya tersebut. “Ya, Tuan.”Eshan mendekat ke arah Tikno. Setiap langkahnya yang menggema di lantai marmer. Namun, berbeda dengan Dzurriya yang sudah gemetaran, Tikno malah tampak sangat tenang.“Sudah berapa kali aku bilang untuk melarang Braha masuk ke rumah ini,” ucapan Eshan yang dingin dan dalam itu dilontarkan untuk Tikno. “Siapa yang berani mengizinkannya masuk?”Begitu banyak pertanyaan di kepala Dzurriya, tapi wanita itu memilih tetap diam dan berdiri sambil menundukkan kepala di belakang Eshan. ‘Braha? Siapa sebenarnya dia? Kenapa dia sampai naik pitam seperti ini?’Tikno menundukkan kepalanya. “Mohon maaf, Tuan—”“Kalian berani mengabaikan perintahku?!” suara Eshan naik satu oktaf, membuat Tikno kembali menutup mulutnya.“Kutanya sekali lagi. Siapa yang mengizinkan Braha mengi
Ia menoleh sekali lagi, hanya untuk memastikan apakah lelaki itu sudah pergi atau belum. Dzurriya seperti sudah hafal bagaimana tabiat lelaki itu. Ya, setelah memberi perintah dengan singkat, Eshan pasti pergi, atau paling tidak kembali ke pelukan Alexa.Namun, untuk saat ini tidak. Eshan ternyata juga tengah menatapnya.***Dzurriya mondar-mandir di kamarnya. Ia begitu khawatir setelah dua hari suaminya itu belum kembali. Sikapnya yang terlalu tenang sebelum pergi benar-benar bukan seperti Eshan yang dikenalnya selama ini. Apalagi para pelayan tengah asik membicarakan gosip kepergian Eshan terkait pertengkarannya dengan Alexa dan pamannya yang katanya licik itu.‘Apakah terjadi sesuatu sampai dia tak pulang?’Pikirannya mulai berkelana tak karuan. Ingin sekali ia bertanya pada Tikno, tapi takut ada yang mendengar dan menjadi bahan gunjingan.Setelah berkutat cukup lama di dalam kamar, Dzurriya akhirnya memberanikan diri keluar dan mencari Tikno. Sayangnya rumah itu sangat sepi ketik
Setelah malam yang awalnya penuh kecemasan, Dzurriya akhirnya bisa tidur dengan pulas. Hatinya menjadi damai dengan ucapan sederhana Eshan malam itu.Paginya, ia bangun dengan perasaan jauh lebih baik. Dzurriya bahkan berjalan ke ruang depan dengan senyum-senyum sendiri. Bisikan lirih Eshan kemarin malam terus terngiang di kepalanya.“Kenapa kamu mengajaknya? Dia nanti jadi besar kepala.” Suara rendah Eshan membuatnya mengurungkan niat untuk berbelok ke lorong tersebut.Dzurriya berhenti di balik tembok, dan tetap mendengarkan percakapan Dzurriya dengan seseorang. Pagi ini Tikno memang memberitahunya bahwa dia harus ikut kegiatan amal perusahaan ke salah satu Yayasan Panti Asuhan di Bogor. “Ayolah, Kak… Katanya Kakak ingin menggunakan rahimnya. Tak baik menyimpan istri mudamu itu di rumah terus, dia bisa stres nanti.” Suara itu sepertinya tak asing, itu suara Dokter Ryan. ‘Jadi Dokter Ryan itu adiknya?’ batin Dzurriya bertanya-tanya.“Benar, Sayang. Kita juga tidak boleh menekannya
“Jadi ini rumahnya?” ujar Eshan sembari menilik keluar jendela, menatap rumah bercat hijau tanpa pagar dengan halaman yang tidak cukup lebar. Tampak sebuah pohon mangga besar dan rindang yang tengah berbuah banyak berada di tepi samping halamannya, dengan beberapa macam bunga di tepi depannya, rumah milik orang tua Dzurriya itu sungguh terlihat sederhana, tapi menyejukkan mata yang memandang.Terlihat kemudian pintu mobilnya dibuka oleh pengawalnya, ia segera keluar dari mobilnya dan masih menatap rumah itu dalam-dalam.Rumah itu kelihatan sepi seperti rumahnya, tapi kenapa hatinya merasa adem, seperti ada aura yang berbeda di rumah itu.“Apa Saya mau ketukan pintu, Tuan?” tanya salah seorang pengawalnya.Eshan hanya menggelengkan kepala, aku akan melakukannya sendiri.Ia kemudian mulai berjalan ke arah teras rumah itu, saat tiba-tiba seorang anak perempuan berlari ke arahnya sambil memegang-megang jasnya seperti hendak bersembunyi “Jangan lari kau! Dasar anak nakal!”Eshan langsun
“Apa kamu bisa menjamin bahwa kalian akan baik-baik saja, jika tidak bersamaku?”Dzurriya terdiam mendengar ucapan suaminya tersebut.“Setidaknya mereka tidak akan tahu bahwa aku dan Angel adalah keluargamu?”“Sampai kapan?” tanya lelaki itu balik.Sekali lagi Dzurriya hanya terdiam. “Apa kamu bisa menjamin tidak akan ada yang mengejar kalian?” lanjutnya membuat Dzurriya semakin tercenung diam.“Jika kalian ada di sini, justru tempat yang menurutmu paling aman, bisa menjadi tempat yang paling berbahaya di dunia ini, apa kau sadar itu Dek?” Ucap lelaki itu terdengar masuk akal.“Aku ingin memberi kalian status, supaya tidak ada lagi orang yang berani menyentuh kalian Aku hanya ingin kebaikan itu untuk kalian, setidaknya dengan bersamaku, aku bisa memastikan bahwa kalian aman dan baik-baik saja,” jelas suaminya itu.Dzurriya menelan ludahnya mendengar ucapan suaminya tersebut.“Aku mencintaimu Dzurriya,” ucap lelaki itu sambil menatapnya dengan lembut.Dzurriya terkesiap diam dan mena
Dzurriya menatap keluar jendela mobil tersebut, kampungnya tampak tak berbeda jauh dengan setahun setengah yang lalu.Terlihat beberapa orang yang tengah bersantai di depan rumah tetangganya, memandang mobil yang dinaikinya itu dengan heran.Dzurriya tersenyum dalam-dalam menatap mereka, matanya tampak berkaca-kaca.“Akhirnya aku kembali Aba, Ummi,” gumam Dzurriya dalam hati setelah menghela nafas panjang, kemudian berbalik menatap Putri kecilnya lagi.“Sayang! akhirnya Bunda bisa membawamu pulang,” seru Dzurriya dengan senang, kemudian mengecup pipi mungil putrinya dengan gemas.Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari luar mobil tersebut.Ia segera menoleh ke arah jendela kembali tampak beberapa mobil mewah terparkir di depan rumah budenya yang terbilang sangat luas itu, yang tepat bersebelahan dengan rumahnya.‘Ada apa, kok banyak mobil? apa Mas Erwin sedang lamaran?” pikirnya bertanya-tanya, sampai lehernya menoleh mengikuti gerak mobil itu yang semakin menjauh dari pekarangan r
Dzurriya menatap jauh ke arah suaminya yang tengah duduk di taman rumah sakit itu dengan pandangannya yang kosong.Sudah sejam lelaki itu berada di sana dengan matanya yang sesekali berkaca-kaca.Lelaki itu tadi terlihat sangat bahagia mendapati Dzurriya berada di sampingnya tadi, namun tiba-tiba berubah murung saat mengetahui bahwa istri pertamanya telah tiada.‘Secinta itu kau padanya Mas,” pikir Dzurriya sembari menelan ludahnya.“Apa yang kau pikirkan?”Dzurriya tersentak kaget mendengar pertanyaan Ryan barusan, ia kemudian menoleh ke arah sepupu iparnya tersebut.“Kenapa kau tak menghampirinya saja? Sepertinya dia butuh teman bicara,” tanya lelaki itu lebih jauh.Dzurriya tersenyum ringan, kemudian berbalik menatap jauh ke arah suaminya.“Apa kau tahu apa yang ditanyakannya tadi padaku saat dia baru siuman?” tanyanya tanpa menoleh ke arah Ryan sedikitpun.“Apa dia bertanya kalau kau baik-baik saja?”Dzurriya tersenyum sambil menunduk ke bawah, mendengar jawaban Ryan tersebut, kem
“Mas!” teriak Dzurriya panik dengan mata yang nanar dan berkaca-kaca. Ia memeluk suaminya dalam perempuannya tersebut.Lelaki itu tampak berusaha tersenyum padanya, sambil berbicara dengan nada terbata-bata, “ S–sekarang kita sudah impas… A—aku sudah ti—dak berhutang lagi padamu.”“Tidak! ini belum cukup! kau harus membayarnya seumur hidupmu! kau dengar itu?” ujar Dzurriya di antara air matanya yang terus-menerus mengalir ketakutan.Eshan kembali terlihat tersenyum, sebelum akhirnya tubuhnya tiba-tiba tersentak hebat, dan dari dalam mulutnya memancar darah yang begitu banyak, hingga menciprat ke sebagian pakaian Dzurriya dan mukanya.Lelaki itu pingsan dan langsung menutup mata setelahnya, membuat Dzurriya menangis histeris dengan begitu panik. Ia berusaha menggoyang-goyang tubuh suaminya itu, namun tidak ada respon sekali.Dengan ketakutan ia mulai berteriak minta tolong.Tiba-tiba beberapa orang datang bersama dengan Alexa yang tadi lari begitu saja setelah menikam suaminya.Di
“Lepaskan dia!” Sayup-sayup terdengar teriakan begitu kera, setelah suara pintu yang terdengar digebrak dan dibanting tiba-tiba. Diikuti kemudian oleh suara langkah kaki yang berlari dan berderap begitu berat, tampak tubuh Alexa tertarik ke belakang. Dzurriya langsung terbatuk-batuk, nafasnya yang tertahan begitu lama langsung tersengal-sengal keluar. ‘Apa dia benar-benar sudah gila?’ pikir Dzurriya sembari memegang lehernya dan melirik ke arah istri pertama suaminya itu. “Kamu nggak pa-pa?” tanya suaminya yang tengah berdiri di hadapannya dengan wajah begitu khawatir, sambil memegang kedua lengan atasnya. “Sayang, aku bisa jelaskan,” sela Alexa yang baru saja bangkit dan menghampiri suaminya itu, terdengar begitu gupuh. Jakun Ehsan tampak naik turun mendengar ucapan wanita itu yang kelihatan terus berusaha berkilah, sedang giginya tampak mencengkeram dengan kuat sambil membuang muka ke atas. Lelaki itu tampak begitu kesal, namun sepertinya masih berusaha untuk menahannya. “T
BrakTerdengar suara benturan dari bagian belakang kursi roda yang dinaiki Dzurriya karena menabrak dinding. Kursi roda itu tiba-tiba saja ditarik ke dalam sebuah ruangan oleh seseorang, kemudian kerangka sandarannya didorong ke belakang dengan cepat.Kejadian yang begitu cepat itu spontan membuat Dzurriya tersentak dengan tarikan nafasnya yang terjeda yang kemudian terengah-engah.Pria segera berusaha menguasai dirinya yang berdebar hebat dengan menelan ludahnya, kemudian perlahan mendongakkan kepalanya ke atas, menatap siapa yang sudah menariknya ke dalam ruangan tersebut.‘Mas!’Tampak wajah sang suami terlihat merah padam, sepertinya laki-laki itu sedang kesal.“Apa sebenarnya yang kau inginkan?” ucap suaminya itu terdengar begitu sinis dan dingin.“Yang kuinginkan? Apa maksudmu?” tanya Dzurriya tak mengerti dengan apa yang diucapkan lelaki itu padanya.“Jangan pura-pura lugu kau sedang memanfaatkan kami berdua, kan?” tuduh Eshan tampak menatapnya semakin dekat dan semakin dingin.
“Kenapa kau membiarkannya pergi?” tanya Ryan tampak menatap Dzurriya dengan heran, setelah kepergian Eshan yang terlihat kesal, saat mendapati dirinya dan Ryan bersama.“Bukankah kau juga menginginkannya?” ucap Dzurriya bertanya balik padanyaLelaki itu tampak memicingkan matanya sembari melirik ke arahnya, “jangan berbohong padaku! bahkan kau melakukannya bukan untukku, apa kau cemburu karena Alexa tadi tiba-tiba datang dan menciumnya?”“Jangan bicara omong kosong! untuk apa aku cemburu pada wanita murahan seperti dia? cepat dorong aku!” ujar Dzurriya berusaha mengalihkan pembicaraan.Ryan tampak terkesiap mendengar penuturannya tersebut.“A–apa maksudmu? Kenapa kau menyebutnya murahan?” tanya lelaki itu terdengar terbata-bata dan berhati-hati.Dzurriya kembali menoleh ke belakang dan menatap lelaki itu dalam-dalam.‘Apa kau benar-benar yakin mau mendengarnya dariku?’ pikir Dzurriya kemudian menelan ludahnya.“Apa kau benar-benar tidak ingin membawaku untuk keluar? aku begitu penat b
“Apa?” Tampak Eshan berusaha memastikan apa yang barusan ia dengar tersebut, dengan alisnya yang tampak saling mendekat dan hampir menyatu.“Jadi jangan sia-siakan dia! atau aku akan segera merebutnya darimu,” ujar Ryan tiba-tiba menarik kerah Eshan, sambil menatap begitu tajam ke arah kakak sepupunya tersebut.‘Hah!” desah Dzurriya penuh sesal, Iya begitu terkesiap sekaligus tak menyangka kalau mantan kekasihnya itu bakal bicara sembarangan seperti itu.Sementara Alexa terlihat nyengir kegirangan, Ia bahkan terlihat sangat menikmati pemandangan itu.Berbeda dengan dirinya yang mulai was-was, apalagi melihat suaminya itu memegang tangan Ryan yang tengah mencengkeram kuat kerah bajunya, kemudian perlahan menurunkan tangan adik sepupunya itu, dan mulai menatapnya dengan tajam.‘Jangan-jangan mereka akan berkelahi!’ pikir Dzurriya.Tapi apa yang akan terjadi melampaui perkiraannya.“Kalau kau sangat menyukainya…”‘Apa yang mau kau katakan, Mas?’ pikir Dzurriya sambil menatap mata suamin