Eshan mendekatkan telinganya ke arah hidung wanita itu untuk mengecek napasnya. ‘Syukurlah… wanita ini masih bernapas.’
Entahlah, mungkin Eshan panik karena tidak mau melihat ada orang mati di rumah ini. Eshan benci orang lemah, dan wanita ini selalu menunjukkan hal itu di depannya.
‘Sial! Kenapa wanita ini terlihat begitu rapuh?’
Dzurriya tampak pucat, dengan bulir keringat yang tersisa di dahinya. Eshan juga melihat ruam-ruam muncul di permukaan kulit Dzurriya.
“Apa ini….”
Eshan bolak-balik tangan mungil itu, kemudian menyisingkan lengan bajunya untuk melihat keadaan kulitnya yang lain. Ia juga melihat ke arah sisi-sisi pipi wanita itu, kemudian menyentuhkan punggung tangannya ke leher wanita itu. Ia tersentak kaget, badan Dzurriya begitu panas.
Eshan dengan cepat memencet tombol di atas meja kecil di samping tempat tidurnya untuk memanggil Tikno. Ia juga mengambil ponselnya dan menghubungi Ryan berkali-kali. Sebagai sepupu dan dokter pribadi keluarganya, harusnya lelaki itu merespons dengan cepat.
“Ayo angkat! Dokter sialan! Untuk apa kau punya telepon kalau tak berfungsi?!” gerutu Eshan sambil terus berusaha menghubungi Ryan, tapi tidak diangkat sama sekali.
Matanya terus mengawasi Dzurriya yang terus menggigil. Niat awalnya, Eshan hanya ingin membahagiakan Alexa dengan menikahi Dzurriya. Wanita itu jadi mudah emosi sejak kecelakaan waktu itu.
Alexa akan bahagia jika balas dendamnya terpenuhi, makanya Eshan menyanggupi rencana itu. Ia berusaha sekuat mungkin untuk membenci Dzurriya. Namun anehnya, wanita yang terlihat lemah dan pasrah itu, selalu berhasil menarik perhatiannya.
Bagaimana ia pasrah saja memakai baju bekas, bagaimana ia diam-diam kelaparan, bagaimana ia yang mengendap mencari makanan tengah malam, sampai saat ini… ketika dirinya demam dengan kulit penuh ruam begini.
‘Wanita merepotkan! Kenapa kau selalu mengganggu kehidupan damaiku?!’
“Kau ini bodoh atau apa? Kenapa mau saja diminta ini dan itu?” gerutu Eshan sambil mengusap keringat yang terus mengalir di dahi wanita itu.
***
Dzurriya merasakan tubuhnya yang menggigil itu perlahan terasa ringan. Ia sudah bisa merasakan kehangatan menyentuh pipinya. Ia tersenyum, masih dengan mata terpejam.
Perasaan ini sangat nyaman.
Dzurriya merasakan sesuatu menyentuh dahinya, bersamaan dengan sayup-sayup suara dua orang lelaki yang berbincang di dekatnya. Ia mencoba untuk membuka mata, tapi rasanya masih terlalu berat.
“Jaga dia baik-baik, bukannya kau ingin menggunakan rahimnya?” ucap seorang lelaki yang terdengar familiar.
Kemudian, lelaki yang satunya mendengus. “Dia saja yang lemah.”
Dzurriya membuka matanya pelan-pelan. Langit-langit kamar itu tak asing, sepertinya ini masih di kamar Alexa, tapi… kenapa ia bisa rebahan di kasur besar ini?
Dzurriya refleks duduk dengan cepat. Namun, seorang lelaki langsung memperingatkannya. “Kau tidak boleh bangun dulu, Nona.”
Dzurriya menoleh. “D-dokter Ryan?”
Ryan tersenyum. Di sebelah dokter itu, berdiri Eshan. Ia memandang lelaki itu dalam-dalam, dan tatapan mereka pun bertemu selama beberapa detik. Sebelum akhirnya Eshan yang lebih dulu memutuskan kontak itu.
‘Seingatku, tadi aku masih memandikan Snow di kamar mandi? Kenapa aku bisa di kasur? ‘Apa dia yang menggendongku?’ gumam Dzurriya dalam hati.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Dokter Ryan mengalihkan perhatiannya.
Dzurriya hanya mengejapkan matanya sebentar, mulutnya masih terasa begitu kering. “I-itu….”
“Apa kau mau minum?” Ryan menyodorkan segelas air kepada Dzurriya.
Dzurriya mengulurkan tangannya untuk mengambil. Pada saat itulah ia melihat punggung tangannya yang kemerahan. Lantas, ia pun memeriksa tangannya yang lain, juga wajah dan lehernya yang tertutup kerudung.
Pantas saja dia merasa gatal dan panas sedari tadi.
Dzurriya akhirnya minum segelas air yang diserahkan Ryan, sambil melirik dua lelaki di depannya. Lalu, saat matanya kembali bertemu dengan Eshan, ia buru-buru mengalihkan pandangan. Ia takut kena marah lagi.
‘Apa Eshan akan mengancamku lagi karena pingsan?’
“Awasi dia, jangan sampai dia melakukan hal bodoh lagi,” ujar Eshan sambil beranjak dari tempatnya.
Dzurriya menegang. Benar kan dugaannya. Eshan pasti marah.
Berbeda dengan Dzurriya, Ryan malah terkekeh. “Kau tenang saja. Istrimu ada di bawah pengawasanku.”
Bisa Dzurriya dengar dengusan keras dari Eshan, sebelum lelaki itu menutup pintu.
“Hachi! Hachi!” Dzurriya tiba-tiba bersin-bersin kembali, dan Ryan dengan sigap segera mengambilkannya tissue.
“Sudah kubilang, jangan dekat-dekat kucing, kamu tuh alergi kucing,” ucap Ryan sambil menyerahkan nampan berisi semangkuk bubur, dan dua butir obat. “Nah, minum obat ini agar ruamnya cepat hilang.”
Bukannya mengambil obat itu, Dzurriya malah menatap Ryan dengan dahi berkerut. “Kapan kamu bilang aku alergi kucing, Dok? Bukannya ini pertama kalinya….”
Ryan tampak mengerjapkan mata dengan wajah sedikit tegang. Hanya beberapa detik, karena lelaki itu kembali mengulaskan senyum manisnya dan meletakkan obat itu ke tangan Dzurriya langsung.“Maksudku, aku seorang dokter, gejala yang kau tampakkan itu biasa aku lihat,” jawabnya dengan tenang. “Lihat, ada ruam di wajahmu, kan? Jadi itu pasti karena kamu alergi kucing.”“Memang gejala alergi lain berbeda?” tanya Dzurriya lagi.“Y-ya iya, beda-beda. Sudah, mending sekarang kamu minum obat gatalnya, makan bubur,, habis itu minum vitaminnya.”‘Kenapa sikapnya aneh? Apa ini hanya firasatku saja.. atau sebenarnya dia sudah mengenalku?’****Setelah keadaan Dzurriya membaik, ia pun kembali ke kamarnya di lantai bawah. Bisa gawat kalau Alexa tahu kasurnya telah ditiduri Dzurriya. Setelah kejadian hari itu, tidak ada lagi panggilan dari Alexa atau bahkan Tikno. Dzurriya seolah diizinkan untuk beristirahat, meskipun ia tidak yakin begitu. Alexa atau Eshan pasti hanya sedang sibuk, dan tidak mau pe
Eshan terus berjalan masuk ke rumah dengan perasaan tak karuan yang berusaha dia abaikan. Aura dinginnya menyebar ke seluruh rumah. Para pelayan pun telah mengerti, mereka hanya harus menunduk sebentar di depannya kemudian berlalu setelah dia melewati mereka. Dia memasuki ruang kerjanya yang berada di lantai dua, memandang dari sebuah jendela klasik menghadap kebun. Untuk beberapa saat, ia hanya berdiri di sana, menatap Dzurriya yang sedang memakai jaket hitam miliknya. Mata sayu wanita itu tampak memandang ke langit, dan kadang-kadang tangannya mengusap bagian bawah matanya. Mungkin air mata baru saja menetes ke pipinya. ‘Bodoh!’*****Tiga minggu berlalu. Perlakuan yang didapat Dzurriya perlahan berbeda dari sebelumnya. Tikno menyiapkan segalanya untuknya, dari mulai makanan, pakaian sampai menjadi teman bicara. Namun, perubahan yang paling besar justru ketidakhadiran Eshan. Aroma musk yang biasa membuatnya kaget dan terkesiap, tak lagi diciumnya, meski hanya sekilas lalu. Juga
“Aku—”“Tikno!” Seolah tidak membiarkan Dzurriya menjelaskan, Eshan malah berteriak memanggil sang kepala pelayan.Tidak lama kemudian, Tikno tampak berlari tergopoh-gopoh mendengar teriakan dari suaminya tersebut. “Ya, Tuan.”Eshan mendekat ke arah Tikno. Setiap langkahnya yang menggema di lantai marmer. Namun, berbeda dengan Dzurriya yang sudah gemetaran, Tikno malah tampak sangat tenang.“Sudah berapa kali aku bilang untuk melarang Braha masuk ke rumah ini,” ucapan Eshan yang dingin dan dalam itu dilontarkan untuk Tikno. “Siapa yang berani mengizinkannya masuk?”Begitu banyak pertanyaan di kepala Dzurriya, tapi wanita itu memilih tetap diam dan berdiri sambil menundukkan kepala di belakang Eshan. ‘Braha? Siapa sebenarnya dia? Kenapa dia sampai naik pitam seperti ini?’Tikno menundukkan kepalanya. “Mohon maaf, Tuan—”“Kalian berani mengabaikan perintahku?!” suara Eshan naik satu oktaf, membuat Tikno kembali menutup mulutnya.“Kutanya sekali lagi. Siapa yang mengizinkan Braha mengi
Ia menoleh sekali lagi, hanya untuk memastikan apakah lelaki itu sudah pergi atau belum. Dzurriya seperti sudah hafal bagaimana tabiat lelaki itu. Ya, setelah memberi perintah dengan singkat, Eshan pasti pergi, atau paling tidak kembali ke pelukan Alexa.Namun, untuk saat ini tidak. Eshan ternyata juga tengah menatapnya.***Dzurriya mondar-mandir di kamarnya. Ia begitu khawatir setelah dua hari suaminya itu belum kembali. Sikapnya yang terlalu tenang sebelum pergi benar-benar bukan seperti Eshan yang dikenalnya selama ini. Apalagi para pelayan tengah asik membicarakan gosip kepergian Eshan terkait pertengkarannya dengan Alexa dan pamannya yang katanya licik itu.‘Apakah terjadi sesuatu sampai dia tak pulang?’Pikirannya mulai berkelana tak karuan. Ingin sekali ia bertanya pada Tikno, tapi takut ada yang mendengar dan menjadi bahan gunjingan.Setelah berkutat cukup lama di dalam kamar, Dzurriya akhirnya memberanikan diri keluar dan mencari Tikno. Sayangnya rumah itu sangat sepi ketik
Setelah malam yang awalnya penuh kecemasan, Dzurriya akhirnya bisa tidur dengan pulas. Hatinya menjadi damai dengan ucapan sederhana Eshan malam itu.Paginya, ia bangun dengan perasaan jauh lebih baik. Dzurriya bahkan berjalan ke ruang depan dengan senyum-senyum sendiri. Bisikan lirih Eshan kemarin malam terus terngiang di kepalanya.“Kenapa kamu mengajaknya? Dia nanti jadi besar kepala.” Suara rendah Eshan membuatnya mengurungkan niat untuk berbelok ke lorong tersebut.Dzurriya berhenti di balik tembok, dan tetap mendengarkan percakapan Dzurriya dengan seseorang. Pagi ini Tikno memang memberitahunya bahwa dia harus ikut kegiatan amal perusahaan ke salah satu Yayasan Panti Asuhan di Bogor. “Ayolah, Kak… Katanya Kakak ingin menggunakan rahimnya. Tak baik menyimpan istri mudamu itu di rumah terus, dia bisa stres nanti.” Suara itu sepertinya tak asing, itu suara Dokter Ryan. ‘Jadi Dokter Ryan itu adiknya?’ batin Dzurriya bertanya-tanya.“Benar, Sayang. Kita juga tidak boleh menekannya
Dzurriya terdiam, tak bisa menjawab pertanyaan itu. Benar, namanya Dzurriya, tapi… kenapa wanita ini mengenalnya? Seingat Dzurriya, ini adalah pertemuan pertama mereka.“Kamu kenal Nona ini?” tanya salah satu wanita tua yang tadi menyambut mereka kepada wanita muda itu.“Ya kenal,” jawab wanita muda itu dengan yakin. “Dia ini yang tersesat waktu di Bandung itu lho, Bu.”‘Tersesat? Di Bandung?’Mata Dzurriya begetar. Semua infomasi baru ini membuat dadanya berdebar cepat, hingga membuatnya sesak. Kepalanya pun mulai berdenyut nyeri.Wanita muda itu tersenyum lebar dengan wajah penasaran. “Jadi gimana? Sudah ketemu tunangan kamu—Oh!” ia berhenti mengoceh dan nyengir ketika melihat Ryan berdiri di belakang Dzurriya.“Jadi mas ini ya calon suami kamu?” Wanita muda itu kembali bertanya sambil mengangkat alisnya beberapa kali di depan Dzurriya.Sekali lagi mereka salah mengira bahwa Ryan adalah calon suaminya. Namun kali ini berbeda, Dzurriya tidak langsung membantahnya, dan malah berpikir.
“Baik.” Akhirnya, Asiyah menghela napas dan mulai bercerita.Intinya, Asiyah hanya mengetahui nama Dzurriya karena pernah menolongnya saat tersesat di Stasiun Bandung. Asiyah mengantar Dzurriya sampai terminal bus. Dari situlah cerita mengapa Dzurriya bisa datang ke Bandung mengalir.“Saat itu kamu sedang mencari tunanganmu,” cerita Asiyah, yang membuat dada Dzurriya lagi-lagi terasa sesak. “Itu saja, karena kita cuma bersama sebentar.”Dzurriya kecewa, tapi ia tidak bisa juga mendesak Asiyah. Benar, mungkin mereka hanya bertemu sebentar, lantas apa yang ia harapkan?Meskipun masih merasakan kekecewaan, Dzurriya tetap berterima kasih kepada wanita itu. Asiyah pun membalasnya singkat, sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu lebih dulu.Sedangkan Dzurriya meminta izin untuk menenangkan pikirannya sebentar di sini.‘Setidaknya aku tahu namaku dan tujuanku di Bandung,’ Dzurriya menghela napas panjang. Semakin dipikirkan, ini semakin rumit.Siapa tunangannya? Jadi, dari mana dia berasal?
Dzurriya melihat bola mata Eshan bergerak memandang bibirnya yang polos itu. Ia pun semakin tegang. Apalagi ketika, Eshan kembali menatap matanya dalam-dalam. Napas panas itu terasa semakin dekat dan membentur pipinya. Tanpa sadar, Dzurriya pun menahan napasnya sendiri. Lalu, perlahan wajah Eshan mulai semakin mendekat.‘Apa ini?’Namun, tiba-tiba bayangan bagaimana Alexa mencium mesra bibir Eshan beberapa saat lalu, terlintas di kepalanya. Senyum Alexa yang mengejek, serta tatapan mata Eshan yang terkesan tidak keberatan masih teringat jelas. Seketika, Dzurriya merasa jijik sendiri.Dugh!Dengan agresif, dibenturkannya kepalanya ke dahi suaminya itu tanpa berpikir panjang.Eshan langsung menjauhkan kepalanya. Ekspresinya berubah marah. “Apa kau gila?!” hardik lelaki itu sambil mengusap-usap dahinya. Seperti disiram air dingin, Dzurriya tersadar apa yang baru saja ia lakukan. Saking ketakutannya, ia pun mendorong badan suaminya itu untuk keluar mobil. Entah dapat dari mana keberania
“Kenapa kau membiarkannya pergi?” tanya Ryan tampak menatap Dzurriya dengan heran, setelah kepergian Eshan yang terlihat kesal, saat mendapati dirinya dan Ryan bersama.“Bukankah kau juga menginginkannya?” ucap Dzurriya bertanya balik padanyaLelaki itu tampak memicingkan matanya sembari melirik ke arahnya, “jangan berbohong padaku! bahkan kau melakukannya bukan untukku, apa kau cemburu karena Alexa tadi tiba-tiba datang dan menciumnya?”“Jangan bicara omong kosong! untuk apa aku cemburu pada wanita murahan seperti dia? cepat dorong aku!” ujar Dzurriya berusaha mengalihkan pembicaraan.Ryan tampak terkesiap mendengar penuturannya tersebut.“A–apa maksudmu? Kenapa kau menyebutnya murahan?” tanya lelaki itu terdengar terbata-bata dan berhati-hati.Dzurriya kembali menoleh ke belakang dan menatap lelaki itu dalam-dalam.‘Apa kau benar-benar yakin mau mendengarnya dariku?’ pikir Dzurriya kemudian menelan ludahnya.“Apa kau benar-benar tidak ingin membawaku untuk keluar? aku begitu penat b
“Apa?” Tampak Eshan berusaha memastikan apa yang barusan ia dengar tersebut, dengan alisnya yang tampak saling mendekat dan hampir menyatu.“Jadi jangan sia-siakan dia! atau aku akan segera merebutnya darimu,” ujar Ryan tiba-tiba menarik kerah Eshan, sambil menatap begitu tajam ke arah kakak sepupunya tersebut.‘Hah!” desah Dzurriya penuh sesal, Iya begitu terkesiap sekaligus tak menyangka kalau mantan kekasihnya itu bakal bicara sembarangan seperti itu.Sementara Alexa terlihat nyengir kegirangan, Ia bahkan terlihat sangat menikmati pemandangan itu.Berbeda dengan dirinya yang mulai was-was, apalagi melihat suaminya itu memegang tangan Ryan yang tengah mencengkeram kuat kerah bajunya, kemudian perlahan menurunkan tangan adik sepupunya itu, dan mulai menatapnya dengan tajam.‘Jangan-jangan mereka akan berkelahi!’ pikir Dzurriya.Tapi apa yang akan terjadi melampaui perkiraannya.“Kalau kau sangat menyukainya…”‘Apa yang mau kau katakan, Mas?’ pikir Dzurriya sambil menatap mata suamin
BekTerdengar suara pukulan begitu keras, diikuti cairan yang terasa memancar di pipi kiri Dzurriya, tapi anehnya Dzurriya tak merasakan apa-apa.“Apa yang terjadi?” pikirnya.Dengan heran dibukanya matanya perlahan penuh was-was.Tampak tubuh tua bangka itu tergolek lemah di sampingnya dengan sisa-sisa bercak di tepi mulutnya, sepertinya itu adalah darah.Seketika Dzurriya langsung tersentak, sembari kembali menutup mulutnya yang mendesah singkat.Dialihkannya kemudian pandangannya ke arah seseorang berkemeja putih yang tampak memukul satu persatu para pengawal itu dengan membabi buta di depannya.“Mas!” Panggil Dzurriya lirih, begitu mendapati wajah lelaki yang tadi membelakanginya itu tiba-tiba menendang kepala seorang pengawal hinggap badannya memutar menghadap ke arah Dzurriya.Sementara itu tiba-tiba terlihat tangan Braha yang tersungkur di sebelahnya meraba-raba, seperti tengah hendak meraihnya. Dzurriya yang terperanjat kaget langsung menyeret tubuhnya mundur.Namun badan le
Dzurriya hendak menjelaskan kalau dia benar-benar amnesia, dan baru ingat semuanya, namun tiba-tiba tubuh Ryan tersentak hebat bersamaan dengan darah yang tiba-tiba memancar keluar dari dalam mulut mantan tunangannya itu.Sontak Eshan begitu terperanjat kaget dan terlihat langsung menghampiri sepupunya itu, kemudian menggendongnya.Dzurriya yang begitu syok hanya bisa menoleh sambil mendesah cepat, dan seketika menutup mulutnya dengan kedua tangannya, matanya sendiri langsung berkaca-kaca.Ia lalu mengikuti suaminya yang setengah berlari dengan panik itu.Namun tiba-tiba tangan kanan Alexa menjulur dan menghalangi jalannya.Dzurriya menoleh ke arah wanita itu dengan heran, namun wanita tak punya hati itu malah tersenyum nyengir ke hadapannya, dan segera melirik ke arah pengawalnya tadi, yang sepertinya terlupakan oleh suaminya.Dia kemudian menggerakkan bola matanya melirik ke arah Dzurriya dengan cepat.Alhasil dalam sepersekian detik saja, para pengawal itu langsung membungkam mulut
Dzurriya segera mencari sesuatu di badan Ryan. Kalau perkiraannya benar, dan lelaki itu datang ke sana untuk menyelamatkannya, pasti dia membawa sesuatu untuk membela diri, dan benar saja itu yang menemukan senjata api di bagian dalam saku jaketnya.Dzurriya segera mengambil senjata itu dan berlari ke belakang pintu. Namun na’as, pintu itu tiba-tiba terbuka begitu saja, mata Dzurriya langsung membelalak lebar, tubuhnya pun yang tadinya condong kedepan karena buru-buru berlari ke belakang pintu, sontak menegak bersamaan dengan matanya yang menoleh ke arah pintu tersebut.Dengan panik, ia segera mengokang pistolnya, dan mengarahkan pistol itu pada seseorang yang masuk pertama, yang tak lain adalah paman istri pertama suaminya itu.Tapi karena Ia tidak mahir sama sekali juga begitu gugup, peluru pistol itu malah meluncur ke arah daun pintu tadi dan menyebabkan suara dentuman yang begitu keras. Alhasil Alexa dan Braha berhasil mundur dan menghindar.“Kurang ajar! berani sekali dia melaku
“Hi, Sayang! Apa kau sudah tertidur?” Mata Dzurriya langsung tersentak bangun mendengar suara yang mendesah berat tersebut, Ia langsung seketika berusaha mengangkat dirinya yang terikat kuat tersebut sampai-sampai kursi itu terangkat dan bergeser sedikit, kemudian terantuk ke lantai begitu keras.“Apa maumu, jangan coba-coba menyentuhku!” ancam Dzurriya dengan matanya yang membulat sempurna menoleh ke arah Tua bangka, Braha sialan itu, yang tengah memandangnya dengan dengan tatapan yang begitu menjijikan.“Kamu kira kamu bisa menghindar dariku sekarang?” ujar lelaki itu sambil meringis, belum lagi tangannya yang kotor dan keriput itu mengusap pipinya, membuat Dzurriya benar-benar muak dan segera menolehkan wajahnya ke arah lelaki itu, kemudian….“Akh!”Terdengar jeritan kesakitan yang begitu keras dan panjang dari lelaki itu, karena Dzurriya sengaja menggigit jemari tangannya yang barusan menyentuhnya sembarangan tersebut.Lelaki yang tampak kesakitan itu berusaha memukul badan dan k
“Apa? Kurang Ajar!” seru Eshan naik pitam, sambil menggebrak meja dengan keras, membuat Tikno yang baru saja masuk ke ruang kerjanya itu ikut tersentak kaget, dan langsung mengangkat kepala menatapnya.“Bagaimana kalian bisa dikecoh oleh seorang wanita seperti itu? Dasar Bodoh! Aku tidak mau tahu, cari dia sampai ketemu, atau kepala kalian taruhannya!” lanjutnya sembari langsung menutup teleponnya dengan nafas yang terengah-engah marah.“Beraninya dia bermain-main denganku?” gumamnya sambil menundukkan punggungnya dan menyandarkan tangannya di atas meja kerjanya.“Ada apa, apa dia menghilang?”Eshan mengangkat bola mata dan alisnya bersamaan ke arah Tikno.“Sepertinya tak ada cara lain, Tuan harus memasang penyadap di mobil Nyonya, ini pasti ada hubungannya dengan lelaki itu,” saran Tikno.“Kita bicarakan itu nanti,” ujar Eshan sembari menegakkan badannya berdiri. Selama ini dia berusaha tidak memata-matai dan percaya pada istrinya, sebagaimana janjinya dulu pada wanita itu sebelum me
Dzurriya sontak tersentak bangun dengan nafasnya yang ngop-ngopan, gimana tidak? tiba-tiba saja wajahnya ditimpa guyuran air yang menamparnya begitu deras. Padahal ia baru saja pingsan tertidur karena kelelahan, setelah hampir seharian ia ditampar dan dipukuli oleh Alexa dan Pamannya.“Enak sekali ya tidurnya?” tanya Alexa yang kini tengah berdiri kembali di hadapannya sambil membawa ember.“Kenapa kau terus menyiksaku?” tanya Dzurriya memberanikan diri.“Pertanyaan apa itu? Menurutmu, apa semua ini sudah sepadan untuk wanita perusak ruma tangga orang lain sepertimu, Hah?” tanya balik Alexa sambil dengan nada membentak.“Bukankah kau yang membawaku ke rumah itu, kau yang memaksaku untuk menikah dengan suami? Apa kau lupa? sekarang sikapmu sungguh kekanak-kanakan, kenapa— apa kau takut dengan keberadaanku?” tanya Dzurriya berusaha balik memprovokasinya.“Aku? takut dengan keberadaanmu? Apa kau sudah gila? Wanita murahan sepertimu, bagian dirimu mana yang harus aku iri?” tanya wanita it
“Lihat siapa yang ada di depanku!” seru Alexa lirih, sepertinya ia menikmati sekali keterkejutan Dzurriya.“Tak salah aku kembali, mau menangkap koi dapat piranha,” lanjut wanita itu sinis. Dzurriya berusaha mengabaikannya dan hendak melewatinya pergi begitu saja. Namun wanita itu tiba-tiba menarik lengannya dan menatapnya tajam.“Dasar Babu sialan, ikuti perintahku!”Dzurriya hanya bisa terdiam pasrah, pinggangnya ditodong pisau oleh istri pertama suaminya itu.Wanita gila itu lalu menyeret pisaunya itu mengitari pinggang sampai punggung Dzurriya.“Jalan!” perintahnya sambil mendorong tiba-tiba bahu Dzurriya.Tak ada pilihan lain, Dzurriya mulai berjalan melewati lorong demi lorong rumah sakit itu dengan was-was, sambil menunggu kesempatan untuk melarikan diri dari wanita kejam itu.Dan akhirnya kesempatan itu datang, terlihat dari lorong di seberangnya, para pengawal suaminya tampak panik berjalan setengah berlari, sepertinya mereka telah menyadari kalau ia telah kabur.‘Lebih baik