"Mas, terima kasih," ucap Yulia. Kini mereka sudah berada di kamar. Malam ini dan seminggu ke depan adalah giliran Alan bersama Yulia. Dan Yulia memanfaatkan saat-saat di mana mereka hanya berdua dengan mencurahkan semua yang ada di hatinya."Untuk apa?" tanya Alan yang sedang mengajak Cilla bermain. "Untuk semuanya. Karena telah membantuku menyelesaikan semua masalah dan menjernihkan kesalahfahamanku selama ini."Alan tersenyum, lalu mengangguk pelan. "Sudah tugasku menyelesaikan semuanya. Memang peran Mas untuk menjadi penengah antara kalian bertiga. Mas juga sangat bahagia dengan akurnya kalian. Bukan hanya Mas yang harus mendapatkan terima kasih, tetapi kamu juga."Alan terus berbicara dengan nada lembut, hingga membuat Yulia begitu memperhatikannya dan merasa nyaman."Terima kasih sudah menjadi rekan yang baik untuk Aira. Terima kasih untuk kesabaranmu dalam menerima perlakuan dan ucapan-ucapan pedas dari Ibu. Terima kasih juga karena kamu bisa melakukan tugasmu dengan baik."
Yulia masih mematung di depan pintu kamarnya. Lalu kemudian suara tangisan Cilla membuatnya langsung tersadar dan masuk ke dalam kamar. "Eh, anak Ibu sudah bangun." Yulia menyimpan baju hadiah dari suaminya itu dan menggendong Cilla. Ia mencium pipi gembul Cilla dengan gemas."Mandi pagi, yuk, Sayang? Biar segar. Kamu sudah dua hari cuma di lap sama Ibu. Sekarang kita mandi, pakai air hangat." Yulia terus berceloteh riang sambil berjalan ke luar kamar untuk menyiapkan air hangat. "Ehh ... Anak Bunda sudah bangun?" ucap Aira begitu melihat Yulia memasuki ruang makan. "Sini, sini ... Bunda kangen sekali ingin gendong kamu ... " Aira langsung mengambil alih Cilla dari pangkuan Yulia dan menciumnya dengan gemas."Mbak, Cillanya mau aku mandiin dulu biar wangi." "Iya. Kamu siapin aja air hangatnya. Biar Cilla aku yang gendong. Yang namanya bayi gak ada bau-baunya walaupun baru bangun tidur. Mulutnya juga wangi khas bayi." Aira terus mencium Cilla yang masih terus menggeliat sambil meng
Hari yang tertera di kartu undangan pun telah tiba. Semua segera bersiap-siap untuk menghadiri acara tersebut. Karena Yulia repot mengurusi Cilla, Alan akhirnya bersiap dengan dibantu Aira. "Perfect," ucap Alan yang sedang menatap Aira berdandan. Aira mengulum senyum dan pipinya bersemu merah. Ia kini menggunakan Abaya yang baru saja Alan hadiahkan padanya. Dipadukan dengan jilbab pashmina berwarna senada yang lebar hingga menutup bawah p*ntatnya. Wajah cantiknya semakin terlihat segar dengan sapuan make up tipis."Kamu juga perfect, Mas," ucap Aira tak mau kalah."Emm, Mas lihat Yulia dulu, ya? Takutnya dia kerepotan dan butuh bantuan." "Iya, Mas. Aku juga selesai sebentar lagi."Alan pun beralih ke kamar Yulia. Benar saja dugaannya, Yulia bahkan belum bersiap-siap. Ia masih merias Cilla dengan sedemikian rupa. Ia sudah memakaikan bondu lucu berwarna pink, tetapi kemudian ia membukanya lagi dan memakaikan kerudung bayi padanya. Yulia menatap Cilla sejenak sambil menopang dagu, lal
Setelah bersalaman pada kedua mempelai, Alan dan semua keluarganya berbaur dengan para tamu undangan. Alan memilih berkumpul dengan para laki-laki, kebetulan memang ada yang ia kenal di sana. Apalagi Aira, ia sangat bahagia karena ada banyak temannya semasa mondok yang juga ikut hadir di sana. "Airaa ... Apa kabar?" tanya Sofi dengan antusias."Alhamdulillah baik, Sof. Kamu bagaimana?""Aku juga baik. Kamu ke sini dengan siapa?" "Dengan keluargaku." "Oh, iya, kah? Di mana mereka?" tanya Sofi dengan celingukan"Itu suamiku." Aira menunjuk Alan yang sedang mengobrol dengan kenalannya. "Dan yang sedang duduk itu, Ibu mertuaku. Dan yang di sampingnya itu adikku." "Apa? Adik? Sejak kapan kamu punya adik?" tanya Sofi dengan penasaran."Emmm, dia ... Adik maduku.""Apa? Adik madu? Kamu ... Di madu, Ra?" "Iya." "Sejak kapan? Ya ampun, bagaimana ceritanya?" Aira menghela nafas. Ia sudah menduga kalau hal ini akan terjadi. Tetapi, ditutupi juga percuma."Ceritanya panjang, Sof. Kalau ak
"Dia istriku juga, Heri."Heri langsung terperanjat hingga hampir terjatuh dari kursinya. Bahkan, peristiwa itu berhasil menarik perhatian beberapa tamu yang ada di dekat mereka."Her, h-hati-hati." Alan membantu Heri duduk kembali. Heri mengusap dadanya karena terkejut. Entah terkejut karena hampir terjatuh, atau terkejut karena mendengar ucapan Alan."Serius, lu? Sejak kapan? Dan ... Kok bisa?" Heri memberondong pertanyaan, hingga membuat Alan bingung harus lebih dulu menjawab yang mana. "Gue serius. Sejak sekitar dua bulan yang lalu. Dan ... Itu memang kebenarannya, Bro!" Heri menghembuskan nafas dengan lesu. "Aahh, Alan ... Alan. Yang udah dapet mah udah dong, biar yang belum-belum kaya gue ini yang giliran punya pasangan. Eh, lu serakah banget pengen dua. Cantik-cantik lagi."Alan terkekeh mendengar curhatan Heri. "Gue juga gak nyangka, Her! Gue gak ada niatan buat nikah lagi sama sekali. Tapi kalau Allah memang sudah menentukan, bagaimana lagi?" Heri menepuk pundak Alan. "T
"Abi selalu bilang kalau Bibi sudah punya keluarga sendiri. Jadi kita tidak boleh mengganggu Bibi." Raisa terus bercerita. Lagi-lagi Aira melirik Hanafi, dan pria itu terlihat sedang menahan malu. Wajahnya bersemu merah, dan ia pun tak berani menghadap pada Aira. Ia terus mondar mandir dengan gelisah dan akhirnya berdiri di tepi balkon, kedua tangannya berpegangan pada pagar pembatas."Kalian tidak usah khawatir, selama kalian ada di sini, Bibi akan sering menemui kalian."Rais dan Raisa terlihat sangat senang. "Benarkah? Tapi ... Bukankah Bibi sudah punya keluarga sendiri?" tanya Raisa.Aira tersenyum. "Iya. Tetapi, Bibi tidak keberatan main sama kalian. Bibi juga tidak akan kerepotan. Nanti di sana ada adik Cilla, kalian bisa main dengannya.""Wah, benarkah? Yeyey ... Aku punya adik. Yeyey," ucap Raisa dan Rais dengan gembira. Aira tertawa sambil mengangkat kedua alisnya mendengar Raisa langsung menyebut Cilla sebagai adiknya. Ya, mungkin mereka sudah menganggap Aira ibu mereka. K
"kamu hebat, Sayang. Ibu memang pernah mendengar kisah-kisah wanita shalihah yang sangat lapang dada dengan poligami. Tetapi kini Ibu menyaksikannya sendiri. Dan itu terjadi pada menantu ibu sendiri. Ibu ... Ibu sangat kasihan sama kamu. Tapi kamu sendiri yang menggali lubang penderitaanmu."Aira menggeleng lemah. "Ibu jangan berfikiran seperti itu. Aku tidak menderita. Aku bahagia, Mas Alan tetap menjadi suamiku dan akan terus mencintaiku. Mas Alan segalanya bagiku, dengannya aku akan terus bahagia walau bagaimanapun keadaannya.""Yah. Ibu mengerti. Sekarang kita makan saja, ya? Biarkan Alan dan Yulia nanti makan sendiri. Ibu sudah lapar."Aira mengangguk. Mereka pun makan di sore hari berdua. Sedangkan di dalam kamar, Alan mengerjapkan matanya. Ia terbangun karena merasa keram dan susah menggerakkan tubuhnya. Alan memicingkan matanya ke samping, seorang wanita sedang terlelap juga sambil mendekap tubuhnya begitu erat. Alan mengucek matanya yang sedikit mengabur, lalu ia menyibakkan
Aira mengerucutkan bibirnya. "Kamu ini bicara apa sih, Mas? Buat apa juga aku dekat-dekat dengan ayah mereka?" tanyanya dengan melipat kedua tangan di dada. "Ya bisa saja, kan, dia yang memanfaatkan situasi? Dulu kan dia sempat mengutarakan perasannya sama kamu, Dek.""Ya tapi itu dulu, Mas. Sekarang kan sudah jelas aku istri kamu. Mana mungkin juga Bang Han punya fikiran seperti itu? Dia bukan pria aneh atau pria kurang waras, Mas.""Iya, iya. Mas kasih izin kamu juga pasti sangat rindu, kan, sama anak-anak itu?" Aira tersenyum dengan tulus. "Sangat, Mas. Apalagi saat mengetahui mereka masih begitu mengingat apa yang selalu aku lakukan untuk mereka dulu. Aku bahkan sampai tidak bisa menahan tangisku detik itu juga. Aku sangat menyayngkan, kenapa Bang Han sampai sekarang tidak menikah juga? Apa dia tidak mengerti kalau sosok seorang ibu itu sangat mereka butuhkan? Jika saja Bang Han menikah lagi, pasti mereka tidak akan terus-terusan mengingat aku, kan, Mas?" Alan menatap Aira deng