Esok harinya, Yulia tak bisa melakukan pekerjaan rumah seeprti biasa karena Cilla yang masih terus rewel. Ia tidak mau di turunkan dari gendongan. Jadi, Aira lah yang melakukan semuanya. Dari mulai membuat sarapan, sampai membereskan rumah. "Kamu kok sibuk sendiri, Ra? Mana pelakor itu?" tanya Vina yang baru memasuki ruang makan.Aira yang sedang menata sarapan di meja menoleh sejenak. "Siapa maksud Ibu?" tanyanya. Walau Aira sudah mengerti maksud Vina, tetapi ia tak menyukai sebutan yang Vina sematkan pada adik madunya itu."Siapa lagi kalau bukan Yulia?"Aira menghela nafas. Baru saja ia hendak menjawab ucapan Vina, Alan datang dan menyelanya."Yulia mana, Dek?" tanya Alan setelah celingukan. "Itu, Yulia sibuk, Mas. Cilla tidak mau ditinggal. Maunya digendong terus." "Masih panas?""Tadi udah mendingan, sih, Mas. Tapi mungkin tinggal rewelnya aja." Alan pun mengangguk mengerti. "Nanti kamu bantu dia, ya?" ucap Alan. "Aduh Alan, kamu ini kenapa sih terus ngerepotin Aira? Biarin
Mengingat pesan Alan, Yulia yang melihat Cilla masih tertidur dengan nyenyak pun mengambil posisi berniat untuk memejamkan matanya walau sedetik. Ia merasa lelah, dan kepalanya sedikit sakit. Mungkin ia memang kurang tidur dan kurang makan juga."Yuliiaaa ... Yuliaaaa ...."Baru saja Yulia menutup mata, suara lengkingan Vina membuatnya bangun. Yulia menepuk-nepuk tubuh Cilla yang sedikit menggeliat mendengar teriakan Vina. Takut Vina berteriak kembali, ia pun segera ke luar dari kamar untuk mendatanginya."Iya, Bu?" tanyanya dengan lesu."Kamu kok jam segini masih, iihh ... Gak bisa ngurus diri sekali. Rambut acak-acakan, wajah juga kusam sekali. Mana mungkin Alan bisa suka sama kamu?" ucapnya membuat Yulia memegangi rambutnya. "Heh! Kamu ngapain aja, sih, di kamar? Ini sudah siang. Ayo kerja."Yulia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Semuanya terlihat sudah bersih. "Kerja apa, Bu?" tanyanya."Malah nanya, lagi. Cepat setrikain baju-baju yang sudah menumpuk di ruang gosok." Yuli
"Dasar wanita gak becus! Pelakor!" Yulia hanya diam menunduk. Lagi-lagi gelar itu yang Vina gunakan untuk menyebutnya. "Heran saya sama nasib baik kamu. Kamu gak cantik, gak seksi, gak pintar, dan gak becus apa-apa. Tapi berhasil menjerat Alan untuk menikahimu. Atau mungkin benar, palkor itu gak perlu cantik. Yang penting punya otak licik kaya kamu!" Yulia tetap diam membisu. Hanya Cilla yang mulai merengek dan menarik-narik rambut Yulia. Mungkin bayi itu ikut merasakan apa yang sedang terjadi pada ibunya.Aira langsung meraih Cilla dari pangkuan Yulia. Aira menggendong Cilla. Dan Vina tak melarangnya. "Sudahlah, Bu. Jangan berlebihan seperti itu." "Ya gak bisa. Kesalahan sedikit di maafkan nanti ke depannya dia bakalan membuat masalah yang lebih besar lagi. Hah! Kamu bikin saya naik darah terus, Yulia. Gak ada gunanya kamu nampung wanita ini, Aira."Vina langsung melenggang pergi setelah menggebrak pintu. "Ya Allah, Ibu ... " lirih Aira sambil terus menggendong Cilla."Yul, kam
"Ya. Karena Mas tak bisa membiarkannya," ucap Alan berhasil membuat Aira merubah raut wajahnya."Izinmu memang penting bagi Mas. Tapi Mas juga tidak akan diam saja karena kau tak mengizinkan. Bagaimana, ya, rasanya Mas tidak bisa meninggalkan Yulia, Dek, walau tidak ada perasaan spesial apapun terhadapnya. Mas merasa tak berdaya di hadapannya, Mas merasa tidak bisa menghindarinya. Entahlah, Mas juga bingung."Aira tersenyum kecut. Hatinya merasa sedikit tercubit mendengar pengakuan Alan."Jadi Mas minta, tolong kamu berjanji untuk selalu berada di sisi Mas selamanya, membantu meringankan beban Mas, dan selalu akur dengan Yulia. Mas tidak akan bisa memilih antara kamu dan Yulia jika saja suatu saat kamu mendesak Mas untuk memilih. Kamu sangat Mas cintai. Tetapi Yulia, Mas merasa mempunyai tanggung jawab yang besar terhadapnya. Tetaplah akur, walau apapun yang terjadi. Kita sudah terlanjur terjun ke dalam tantangan ini, dan Mas tidak mau kamu, ataupun Yulia menyerah dalam menjalani semu
"Ya ampun! Jam segini belum bangun!" pekik Vina."Heh! Bangun!"Yulia yang sebenarnya tidak tidur pun membuka matanya, ia bangkit dari kasur dan menoleh dengan malas. "Ada apa, Bu?" tanyanya."Ada apa, ada apa. Ini sudah siang, Yuli! Bangaun, kamu! Beresin rumah!" ucap Vina dengan jengkel."Kan ada Mbak Aira?" tanya Yulia dengan ketus. Vina langsung berkacak pinggang mendapatkan sikap acuh Yulia. Aira sendiri melongo tak percaya, kenapa Yulia tiba-tiba seperti ini?"Aira, Aira. Kamu yang harus gerak sekarang. Aira sudah buatin sarapan, menyapu, dan mencuci piring. Lah, kamu? Malah tiduuur aja kerjaannya." Yulia menggaruk lehernya. Ia sama sekali tak menggubris cerocosan Vina. Vina yang merasa tak dihormati dengan sikap Yulia itu langsung naik pitam. Ia menarik tangan Yulia ke luar kamar, sedangkan Aira tercengang dan mengikuti keduanya. Vina membawa Yulia ke kamar mandi."Tuh! Cuci sekarang," ucap Vina sambil menunjuk keranjang yang penuh dengan baju kotor miliknya, Aira, dan Alan
"Aku tidak tau, Bu. Tapi aku rasa Mas Alan tidak akan pernah mau meninggalkannya.""Kenapa tidak mau?" "Karena ... Aku merasa Mas Alan sudah mulai menyukai Yulia." "Apa yang kamu katakan? Ah! Terserahlah anak itu mau suka mau cinta sama si Yulia itu, Ibu tetap tidak mau merestuinya. Ibu tidak peduli! Aira ... Andai dulu kamu tak mengizinkan Alan atau kamu pergi saja dari Alan dan cari kebahagiaanmu sendiri. Kamu tidak akan bahagia berbagi suami dengan wanita licik seperti Yulia, Ra. Dia akan berusaha keras untuk untung sendiri. Dia akan ingin menguasai Alan dan hartanya seorang diri. Kamu juga berhak bahagia, dan Ibu pun tidak akan membiarkanmu hidup menderita dengan anak Ibu.""Jadi Ibu tetap akan membiarkan Mas Alan bersama Yulia walau Ibu tidak menyukainya?" Vina membenarkan posisi duduknya walau sedikit meringis. "Ah, itu resikonya sendiri. Biarkan dia menderita dan emnyesal karena telah menyia-nyiakan wanita sesempurna kamu hanya demi pelakor kurang ajar itu!" Aira kembali me
"Ada apa, Dek?" tanya Alan yang sudah mendekat. Aira semakin salah tingkah. Ia berusaha menyembunyikan mata sembabnya dari sang suami."Gak ada. Gak ada apa-apa, Mas. Kamu ... Kok sudah pulang?" "Iya. Semuanya selesai lebih cepat dari perkiraan. Ada apa sebenarnya, Dek? Kamu kenapa?" tanya Alan sambil membingkai wajah Aira. Ia mengamati wajah itu yang terlihat baru saja menangis. "Dek, bicara sama Mas. Ada apa ini?" Aira kebingungan. Ia tak tau harus berbicara dari mana. Aira memberanikan diri menatap suaminya, namun akhirnya ia tak tahan dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Alan."Maas ... Maafkan aku," ucap Aira sambil menangis sesenggukan dalam dekapan Alan.Alan masih diam, perasaannya mulai tak enak. Ia berusaha memikirkan kemungkinan apa yang telah terjadi selama ia tak di rumah. Alan yang merasa lelah tiba-tiba disambut dengan tangisan sang istri begitu pulang. Padahal, keadaan baik-baik saja saat ia tinggalkan kemarin."Ayo, ayo kita ke kamar." Alan membawa Aira yang masi
Alan tersenyum gemas melihat reaksi Yulia. Dia sampai menutupkan mulut Yulia yang menganga dengan tangannya sambil terkekeh geli. Yulia langsung megerjap dan gelagapan. "Ibu Vina itu ibu kandung Mas. Sedangkan ibunya Aira tinggal di luar provinsi. Bukan di kota ini. Jadi, sudah jelas kalau di sini kamu sudah salah faham." Yulia menunduk, ia menggaruk kepalanya sambil melamun. "Tapi ... Bu Vina dekat sekali dengan Mbak Aira.""Ya, kamu benar. Siapapun juga pasti mengira kalau Aira lah anak Ibu, bukannya Mas. Ibu memang sangat menyayangi Aira dari pertama dia menjadi menantunya. Ibu sudah menganggap Aira anaknya sendiri. Bukan menantunya."Yulia tak berani berkata-kata lagi. Sungguh, ia sungguh malu sekali dengan suaminya. Ia sudah salah sangka selama ini. Dan ... Ia juga sudah bertindak kasar pada Vina. Yulia sampai meringis mengingat kejadian kemarin. Di mana dia benar-benar marah dan menunjukkan sisi buruknya. Melihat Yulia yang terus menunduk membuat Alan ingin menghiburnya. Ia p
"Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli
Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh
"Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,
Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?
"Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I
"Mas, kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu pada Ibu," ucap Yulia dengan masih menangis. "Ya terus harus bagaimana? Mas tidak bisa terus membiarkan Ibu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya.""Ya tapi tidak dengan bertengkar.""Lalu harus dengan cara bagaimana lagi, Dik? Mas sudah berkali-kali berusaha membuatnya sadar dengan cara yang lembut. Tetapi Ibu sama sekali tidak mendengarkan Mas. Mas sudah tidak bisa menerima semua perilaku buruknya sama kamu. Mas juga punya tanggung jawab padamu, Mas harus menjaga kamu dari segala kedzaliman. Mas tidak bisa terus membiarkan kamu diperlakukan buruk, walaupun itu oleh ibu Mas sendiri."Yulia mengusap air matanya lalu duduk di atas kursi. Tubuhnya masih bergetar, walaupun tak ada suara isakan yang terdengar. Alan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia berjalan mondar mandir beberapa saat lalu kemudian berlutut di hadapan Yulia. "Maafkan Mas, Dik. Tapi Mas tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan Ibu.""Setelah ini pasti Ibu a
"Kamu di sini saja. Jangan pulang-pulang segala, biar gk ribet."Yulia dan Alan saling pandang. Dalam hati, Alan merasa keberatan dengan usul Vina. Karena pasti Yulia menjadi bulan-bulanan dan dipaksa harus terus bekerja untuk menggantikan Aira. Bukan masalah bekerjanya, tetapi Vina sering kali tak berperikemanusiaan memperlakukan Yulia. "Bu ....""Baiklah, Bu. Yulia akan tinggal di sini."Alan langsung menoleh. Menatap Yulia yang terlihat begitu santai menatap Vina. Seolah dia tak keberatan diperlakukan tak adil oleh mertuanya itu. "Bagus. Selain harus mengerjakan seluruh pekerjaan, kamu juga harus menjaga Aira. Jangan sampai Aira telat makan, telat minum susu, atau melakukan pekerjaan apapun. Mengerti?" "Insya Allah, Bu."Vina melenggang pergi dengan sinis. Setelah Vina sudah tak terlihat lagi, Alan segera menarik Yulia hingga menghadap padanya. "Jangan terlalu menuruti Ibu, Dik.""Lalu aku harus bagaimana, Mas?""Kamu bisa menolak. Itu hakmu. Lagi pula Mas bisa menyewa seseoran
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Ra?" tanya Vina begitu masuk ke kamar Aira. "Masih sama, Bu. Kenapa ya?" ucap Aira dengan berbalut selimut. "Ah, itu meriang Biasa. Tetangga kita juga banyak yang sakit. Mungkin efek pergantian cuaca. Ini, ibu bawakan susu dan obat. Alan mana?" "Mas Alan ke kantor, Bu."Vina langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata obat dan susu di atas meja. "Kenapa dia berangkat kerja? Padahal kamu sedang sakit seperti ini?"Aira hendak menjawab. Tetapi Vina langsung menyela. "Kalau saja Yulia yang ada di posisi kamu saat ini, pasti dia sudah heboh dan seharian menungguinya di kamar.""Ibu ... Tidak seperti itu.""Tidak bagaimana? Sudahlah, Aira! Ibu sudah bosan mendebatkan wanita itu. Tidak dengan Alan ataupun kamu. Kalian sudah sama-sama berubah sejak kedatangan wanita itu. Apa kamu menyadari itu? Kamu dan Alan jadi sering beradu mulut dengan ibu karena dia. Dan kalian lebih memihaknya dari pada ibu. Ibu sangat kecewa dengan kenyataan itu."A