Sebagai sesama perempuan, tentu Maulida dapat ikut merasakan apa yang temannya itu sedang rasakan detik ini. Tak ayal itu membuat matanya ikut berair, Maulida terus menepuk-nepuk punggung Aira dengan lembut."Yang kuat. Kamu hebat, Aira. Aku saja belum tentu bisa sepertimu. Kamu sangat hebat!" ucap Maulida dengan serak menahan isakan. Aira masih terus menangis, dan Maulida terus menghiburnya. "Aira, setiap rasa sakit yang dapat kamu sembunyikan dari suamimu akan berganti dengan pahala yang tak ternilai. Kamu akan mendapatkan derajat yang tinggi jika kamu mampu menata hati dan berlapang dada. Alan itu suami yang baik, aku yakin dia akan menjadi penengah yang baik untuk kalian." Aira melepaskan pelukan, isakannya mulai mereda. Ia pun menampilkan senyuman yang malah membuat siapapun yang melihatnya menjadi ikut sakit hati."Aku pasti kuat, Nda. Aku sudah memutuskan, aku tidak akan menyerah. Tetapi tak mudah mengabaikan rasa sakit yang mendera." Maulida tersenyum, ia membantu membenarkan
"Cilla tidur bersamaku, ya, Yul?" tanya Aira pada Yulia. Kini mereka baru selesai menunaikan shalat isya berjamaah dengan Maulida. Sedangkan Alan, memilih shalat ke mesjid. "Tidak usah, Mbak," jawabnya dengan sungkan."Tidak apa-apa, biar Cilla malam ini tidur denganku. Aku ingin merasakan menjadi ibu di malam hari. Waktu itu kan aku sudah merasakan pada siang hari," jawab Aira disertai cengiran khasnya. Lagi-lagi itu yang Aira jadikan alasan. Jika sudah begitu, bagaimana Yulia bisa menolak? Toh, kini Cilla bukan hanya anaknya, kan?"Tapi ... nanti Mbak kerepotan, loh." "Enggak, Yul. Malah aku bakalan senang kalau kamu izinkan. Ya, boleh, ya?" Aira menampilkan wajah memelas, membuat Yulia menelan ludah. "B-baiklah." "Asyik, makasih, Yul. Aku janji bakalan jadi ibu yang baik buat Cilla." Yulia menanggapi dengan senyuman kikuk. Ia bukan anak kecil yang tak mengerti maksud terselubung dibalik permintaan Aira itu. Tapi ia benar-benar tak habis fikir, bagaimana bisa ada istri yang sa
Merasa tak kuat lagi, Yulia pun bangkit dengan cepat dan mengatur deru nafasnya yang sempat memburu. Ia takut, ia cemas, ia juga tak berani melakukannya. Alan hanya milik Aira, itu tekad di hatinya."Mas!" Yulia membalikkan badan, menatap Alan yang kini sudah menjadi suaminya itu dengan tatapan datar. "Jangan!" Satu kata itu berhasil membuat Alan heran. Ia menatap istri mudanya itu dengan penuh tanya. "Jangan lakukan ini. Saya ... Saya tahu Mas sangat mencintai Mbak Aira. Saya juga sudah sangat berdosa padanya. Saya tidak mau menambah lukanya."Alan masih membisu, ia berusaha mencerna apa yang dikatakan Yulia dan mencari kesungguhan dalam sorot matanya."Saya sudah sangat berterima kasih dengan Mas Alan menikahi saya. Menanggung semua kebutuhan saya dan Cilla, dan menganggap kami yang sebatang kara ini sebagai bagian dari keluarga Mas Alan. Sungguh, seperti ini pun saya sudah terlalu benyak berhutang dan sekaligus berdosa pada kalian. Saya hanya ingin hidup nyaman dan normal seperti
Pagi hari telah tiba. Setelah melakukan sarapan bersama, semua orang pun beralih melakukan aktifitas masing-masing. Maulida langsung pamit karena ia tak bisa lama-lama meninggalkan Uminya. Sedangkan Alan langsung berangkat ke kantor. "Mbak, saya saja yang nyuci," ucap Yulia saat Aira mengangkut pakaian-pakaian kotor ke belakang.Aira yang hendak menjawab malah terpaku menatap Yulia. Rambut wanita itu terlihat kering, tak terlihat tanda-tanda orang telah keramas. "Yul, apa kamu ... emm ... semalam ... " Aira bingung bagaimana cara menanyakannya. Tentu saja ia segan. Tetapi, ternyata Yulia sudah mengerti apa yang dimaksud Aira. Ia langsung memegang rambutnya. Lalu terlihat berfikir keras untuk membuat sebuah alasan."Ooh ... Ini ... Sudah kering, Mbak." Sebisa mungkin Yulia mengatakannya dengan hati-hati. Ia serba salah. Takut menyakiti hati Aira, tetapi ternyata wanita itu juga yang malah bertanya. Dengan terpaksa Yulia bersikap seolah memang telah terjadi sesuatu semalam. Walau seben
"Saya masih banyak pekerjaan, Bu. Saya harus menyapu halaman. Mbak Aira yang nyuruh saya." "Lalu? Kamu mau protes, iya?" Vina tersenyum sinis. Lalu berteriak. "Airaaa ... Aira ..." Aira keluar kamar, ia pun mendatangi suara keributan di ruang tamu dengan kebingungan."Ibu? Kenapa berteriak?" tanyanya dengan kening berkerut. Ia memandang Yulia dan Vina bergantian."Lihat wanita sok polos ini! Ternyata apa yang Ibu curigai selama ini itu benar, Aira. Wanita ini tak sepolos penampilannya. Dia ingin enak-enak saja di rumah ini. Dia ingin seperti nyonya. Dia ingin menguasai rumah ini." Aira semakin mengernyit, ia memandang Yulia yang tanpa ekspresi itu. "Ada apa sebenarnya, Bu?" tanya Aira."Ibu menyuruhnya membersihkan kamar yang akan Ibu tempati. Tetapi dia menolak. Sepertinya dia sudah mulai besar kepala dengan menjadi bagian dari keluarga ini." "Yuli, kamu jangan seperti itu, ini juga ibu kamu. Kamu bersihkan kamarnya, ya, sekarang?" ucap Aira semakin membuat Yulia menyangka adanya
Setiap hari, baik Yulia maupun Aira sama-sama kompak mengurusi segala keperluan rumah maupun lainnya. Aira selalu membantu Yulia, dan Yulia pun selalu membantu pekerjaan Aira. Mereka memang sangat cocok. Jika saja tidak ada Vina di antara mereka. "Awas, bersihinnya yang bener. Jangan sampai masih kotor." Vina mengawasi Yulia yang sedang mengepel lantai, wanita paruh baya itu terus saja mengoceh. Namun, dengan sabar Yulia menurut saja tanpa mengatakan sepatah kata pun. Hal ini jadi pemandangan yang biasa semenjak kedatangan Vina. Alan selalu merasa kasihan, ia juga sudah berusaha menjelaskan pada Vina bahwa Yulia tak seperti yang ia kira. Tetapi, Vina tak ingin mendengar. Baginya, Yulia adalah wanita licik yang berniat menguasai Alan dan semua hartanya. Ia terus menyangka kalau semua kebaikan Yulia yang terlihat oleh semua orang itu tidak tulus."Ibu, sudah dong. Selama ini Yulia selalu mengerjakan semuanya dengan baik. Tidak perlu terus diperingatkan seperti itu." Aira yang sedang me
"A-apa maksud Mas?" "Jawab saja. Apa kamu selama ini menganggap Mas suami kamu?" Yulia membuang muka, dia menyelipkan rambut yang sebagian menghalangi wajahnya. Yulia bingung dengan sikap Alan yang tiba-tiba saja berubah."Jawab, Yulia." Alan memegang kedua bahu wanita itu, membuat mereka saling menatap. Yulia terkejut dengan sikap Alan. Ia yang masih tak mengerti apa maksud suaminya itu menatap kedua mata hitam Alan dengan penuh tanya. Melihat sorot kebingungan dari kedua mata Yulia, Alan melepaskan pegangannya dan menghembuskan nafas dengan kasar. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri yang tak bisa mengendalikan emosi. Yulia masih terus menatap Alan dengan penuh tanya, namun ia tak berani bertanya lebih. "Sudah, lupakan saja. Bagaimana kata dokter tadi?" Yulia mengerjapkan matanya berkali-kali, lalu memalingkan wajahnya. "Cilla baik-baik saja. Kata dokter hanya demam biasa." "Apa kata Mas juga. Cilla tidak akan kenapa-napa. Kita pulang saja, yuk? Nanti Aira akan membantu kamu
Esok harinya, Yulia tak bisa melakukan pekerjaan rumah seeprti biasa karena Cilla yang masih terus rewel. Ia tidak mau di turunkan dari gendongan. Jadi, Aira lah yang melakukan semuanya. Dari mulai membuat sarapan, sampai membereskan rumah. "Kamu kok sibuk sendiri, Ra? Mana pelakor itu?" tanya Vina yang baru memasuki ruang makan.Aira yang sedang menata sarapan di meja menoleh sejenak. "Siapa maksud Ibu?" tanyanya. Walau Aira sudah mengerti maksud Vina, tetapi ia tak menyukai sebutan yang Vina sematkan pada adik madunya itu."Siapa lagi kalau bukan Yulia?"Aira menghela nafas. Baru saja ia hendak menjawab ucapan Vina, Alan datang dan menyelanya."Yulia mana, Dek?" tanya Alan setelah celingukan. "Itu, Yulia sibuk, Mas. Cilla tidak mau ditinggal. Maunya digendong terus." "Masih panas?""Tadi udah mendingan, sih, Mas. Tapi mungkin tinggal rewelnya aja." Alan pun mengangguk mengerti. "Nanti kamu bantu dia, ya?" ucap Alan. "Aduh Alan, kamu ini kenapa sih terus ngerepotin Aira? Biarin
"Mbak, aku tahu kamu akan cepat menemukan surat ini." Satu garis pertama membuat Aira langsung mengerutkan kening. "Yulia?" gumamnya lalu kembali membaca bait selanjutnya dengan tak sabar. "Terima kasih untuk semua yang sudah kalian berikan untukku. Pelajaran hidup, dan ilmu-ilmu yang sebelumnya tak aku dapatkan dari kedua orang tuaku. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian dengan setimpal. Aamiiin.Mbak, bukan maksudku untuk merusak hari bahagiamu. Tapi aku takut, aku terlalu takut untuk terus berada di antara kalian, orang-orang yang aku sayangi. Aku merasa tak pantas berada di antara kalian dan mendapatkan cinta kalian. Mbak, aku titip Cilla, ya? Aku percaya kalian akan menyayangi dan menjaganya dengan baik. Jika suatu saat dia bertanya tentangku, kasih tahu padanya kalau aku sudah tiada. Aku merasa tidak sanggup untuk terus bersama kalian. Sejak kehadiranku kalian sudah mengalami banyak sekali masalah dan musibah. Kehidupan kalian yang damai seolah terenggut dengan kedatang
"Tenang wahai ibu-ibu, jangan ikut-ikutan cemas dan takut suami akan berpoligami hanya karena ada salah satu tetangga kita yang berhasil melakukannya. Itu hak masing-masing, dan ibu-ibu sekalian juga tidak punya hak mengurusi hidup Yulia, maupun hidup Aira dan mas Alan. Coba pikirkan, apakah mereka benar-benar merugikan kalian dengan nyata? Kalau hanya suami jadi bercanda dan menggoda ibu masalah poligami itu hanya hal wajar. Tapi sisi ketakutan ibunya lah yang terlalu berlebihan. Saya contonya, saya suka melihat keluarga Mas Alan, Aira, dan Yulia hidup dengan tenang dan damai. Bisa saja saya menggoda istri saya masalah itu, tetapi bukan berarti saya memang benar-benar serius ingin menikah lagi. Saya tidak punya niatan malah, tapi bukan berarti saya tidak bisa bercanda."Ibu-ibu semua mulai diam dan memikirkan perkataan pak RT. "Tapi Pak RT bisa jamin, gak, kalau suami kita benar-benar hanya bercanda?" tanya Bu Jiya."Insya Allah. Kalau ada suami yang bersungguh-sungguh ingin berpoli
Setiap hari ada saja yang membuat hari-hari Yulia begitu sibuk. Bagaikan ingin membuatnya kapok dan menyerah, Vina terus menuntut banyak hal dan marah-marah pada Yulia. Sebenarnya bukan balas dendam, hanya saja dia ingin lebih dalam mengetahui kasih sayang Yulia terhadapnya. Apakah Yulia benar-benar tulus merawatnya selama ini? Ya, walaupun hatinya sendiri sudah merasakannya, tetap saja Vina terlalu enggan dan angkuh untuk berbaik hati begitu saja pada menantu yang tak diharapkannya itu. "Ada yang Ibu inginkan lagi?" tanya Yulia dengan lembut setelah mengganti celana Vina. "Tidak ada," ucap Vina. Yulia tersenyum menatap Vina yang masih tak sudi menatap wajahnya. "Baiklah," gumamnya dengan pelan dan langsung beringsut dari tepi ranjang. Vina tak yakin, tapi dia merasa melihat setitik bening yang bercahaya di sudut mata Yulia sebelum Yulia memalingkan wajahnya dan keluar dari kamar. Vina merasa tak enak. Dia memaksakan diri untuk turun dari tempat tidur. Tetapi dia malah terjatuh
"Yulia ... " Vina berkata lirih dengan wajah yang memerah kala menantunya datang menyimpan sarapan pagi. "Iya, Bu?" Yulia menghentikan langkah kakinya yang hendak keluar kamar dan kembali menoleh ke belakang. Vina tak menjawab, bahkan ia tak berani menatap kedua mata Yulia. Tangannya cukup kuat meremas seprai hingga membuat Yulia mulai cemas. "Ibu, ada apa?" tanya Yulia setelah mendekat. Vina tak menjawab, keringat mulai bermunculan memenuhi wajah rentanya. "Ibu sakit? Ibu kenapa?" "Ibu ... Ibu pup." Yulia langsung terkejut mendengar ucapan Vina yang hampir tak tertangkap indera pendengarannya itu. Namun, Yulia berusaha mengerti dan tak ingin semakin menekan mertuanya. Tanpa basa basi lagi Yulia membantu Vina untuk membersihkan diri. Wajah Vina benar-benar memerah. Tubuhnya gemetar menahan rasa malu. Bahkan, ingin sekali rasanya dia menjerit menangisi nasibnya yang sungguh lemah ini. Membuang hajat saja harus dibantu orang lain, apalagi orang yang direpotkan itu adalah Yulia,
Esok harinya, Aira yang sudah cukup membaik pun bersiap ke luar rumah. "Mau ke mana, Ra?" tanya Vina saat Aira berjalan mendekati pintu depan. "Em, mau ke toko, Bu." "Oh, iya. Kamu sudah lama ya tidak datang ke toko. Kalau begitu Ibu mau ikut."Aira menggigit bibirnya sendiri. "Mau ikut? Tumben sekali, Bu?" "Iya. Kali saja Ibu menemukan daster yang cocok untuk Ibu."Aira tersenyum kaku. Dan ia pun akhirnya harus benar-benar pergi ke toko, walaupun tujuannya semula bukanlah tempat tersebut. Hingga siang hari Aira masih berada di toko sambil menunggu Vina puas memilih-milih barang yang dia inginkan. "Ra, kalau kebanyakan kamu nanti minta uang bayarnya sama Alan saja, ya?" Aira tersenyum kecil. "Iya, Ibu.""Ah, Ibu sudah puas rasanya. Sudah banyak yang Ibu pilih," ucap Vina dengan terkekeh. "Oh, Ibu mau pulang? Tapi Aira belum beres, Bu. Apa Ibu tidak keberatan pulang sendiri?" Vina memperhatikan Aira beberapa saat membuat menantunya tersenyum kikuk. "Memangnya kamu sedang apa?
"Ibu sudah, Bu!" "Ibu, sudah! Kasihan Yulia!" Aira dan Alan tak menyerah. Mereka terus berusaha menjauhkan Yulia dari Vina. Tak mereka pedulikan kerumunan tetangga yang sudah memenuhi halaman rumah mereka dengan berbagai tatapan yang berbeda. "Pembawa sial! Pergi kamu dari hidup putraku!" Vina menyempatkan menendang Yulia saat Alan berhasil menariknya. Alan langsung menyembunyikan Yulia di belakang tubuhnya. Sedangkan Vina di pegangi Aira. "Bu, sudah, Bu. Aira masih lemas." Vina menoleh pada Aira dan menghembuskan nafas dengan kasar. "Awas saja kalau wanita ini masih ada di rumah ini! Pelakor sialan! Pergi kamu dari sini!" Vina menghentakkan kakinya dan kemudian meninggalkan mereka bertiga ke dalam rumah. Yulia terus menangis dengan tersedu. Aira membenarkan jilbabnya yang berantakan akibat ulah Vina. "Ayo masuk, Yul." Aira dan Alan menuntun Yulia dan menutup pintu depan, membuat semua yang menonton kejadian itu kecewa. "Ada apa sih, sebenarnya?" tanya salah satu tetangga."I
"Mas, kamu seharusnya tidak bersikap seperti itu pada Ibu," ucap Yulia dengan masih menangis. "Ya terus harus bagaimana? Mas tidak bisa terus membiarkan Ibu memperlakukanmu dengan sesuka hatinya.""Ya tapi tidak dengan bertengkar.""Lalu harus dengan cara bagaimana lagi, Dik? Mas sudah berkali-kali berusaha membuatnya sadar dengan cara yang lembut. Tetapi Ibu sama sekali tidak mendengarkan Mas. Mas sudah tidak bisa menerima semua perilaku buruknya sama kamu. Mas juga punya tanggung jawab padamu, Mas harus menjaga kamu dari segala kedzaliman. Mas tidak bisa terus membiarkan kamu diperlakukan buruk, walaupun itu oleh ibu Mas sendiri."Yulia mengusap air matanya lalu duduk di atas kursi. Tubuhnya masih bergetar, walaupun tak ada suara isakan yang terdengar. Alan mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia berjalan mondar mandir beberapa saat lalu kemudian berlutut di hadapan Yulia. "Maafkan Mas, Dik. Tapi Mas tidak bisa menemukan cara lain untuk menghentikan Ibu.""Setelah ini pasti Ibu a
"Kamu di sini saja. Jangan pulang-pulang segala, biar gk ribet."Yulia dan Alan saling pandang. Dalam hati, Alan merasa keberatan dengan usul Vina. Karena pasti Yulia menjadi bulan-bulanan dan dipaksa harus terus bekerja untuk menggantikan Aira. Bukan masalah bekerjanya, tetapi Vina sering kali tak berperikemanusiaan memperlakukan Yulia. "Bu ....""Baiklah, Bu. Yulia akan tinggal di sini."Alan langsung menoleh. Menatap Yulia yang terlihat begitu santai menatap Vina. Seolah dia tak keberatan diperlakukan tak adil oleh mertuanya itu. "Bagus. Selain harus mengerjakan seluruh pekerjaan, kamu juga harus menjaga Aira. Jangan sampai Aira telat makan, telat minum susu, atau melakukan pekerjaan apapun. Mengerti?" "Insya Allah, Bu."Vina melenggang pergi dengan sinis. Setelah Vina sudah tak terlihat lagi, Alan segera menarik Yulia hingga menghadap padanya. "Jangan terlalu menuruti Ibu, Dik.""Lalu aku harus bagaimana, Mas?""Kamu bisa menolak. Itu hakmu. Lagi pula Mas bisa menyewa seseoran
"Bagaimana keadaan kamu sekarang, Ra?" tanya Vina begitu masuk ke kamar Aira. "Masih sama, Bu. Kenapa ya?" ucap Aira dengan berbalut selimut. "Ah, itu meriang Biasa. Tetangga kita juga banyak yang sakit. Mungkin efek pergantian cuaca. Ini, ibu bawakan susu dan obat. Alan mana?" "Mas Alan ke kantor, Bu."Vina langsung menghentikan gerakan tangannya yang sedang menata obat dan susu di atas meja. "Kenapa dia berangkat kerja? Padahal kamu sedang sakit seperti ini?"Aira hendak menjawab. Tetapi Vina langsung menyela. "Kalau saja Yulia yang ada di posisi kamu saat ini, pasti dia sudah heboh dan seharian menungguinya di kamar.""Ibu ... Tidak seperti itu.""Tidak bagaimana? Sudahlah, Aira! Ibu sudah bosan mendebatkan wanita itu. Tidak dengan Alan ataupun kamu. Kalian sudah sama-sama berubah sejak kedatangan wanita itu. Apa kamu menyadari itu? Kamu dan Alan jadi sering beradu mulut dengan ibu karena dia. Dan kalian lebih memihaknya dari pada ibu. Ibu sangat kecewa dengan kenyataan itu."A