“Kakang Banteng Kulo telah mengadu domba Nyai Sakti guluku dengan pendekal lain. Aku tidak akan maafkan. Kenapa Kakang Banteng lakukan itu?” tandas Ardo Kenconowoto mengungkapkan alasan tagihan satu tangan dan satu kaki pada Bangteng Kuro.“Kau mau tahu, Cadel? Kau mau tahu?” tanya Banteng Kuro dengan mata mendelik-delik kepada Ardo.“Iya, aku mau tahu, Kakang. Supaya aku tidak jadi olang pemasalan. Eh, maksudku olang penasalan,” kata Ardo yang terdengar lucu, tapi tidak membuat ketiga pendekar itu tertawa, tersenyum saja tidak. Padahal itu lucu.“Wanita iblis itu telah membunuh mantan kekasihku!” ungkap Banteng Kuro dengan berteriak, padahal Ardo tidak jauh.“Siapa mantan kekasihmu?” tanya Sabit Kepanjangan kepada rekannya itu.Galang-Galang juga menengok memandang kepada Banteng Kuro yang berdiri di tengah.“Kalian juga mau tahu?” tanya Banteng Kuro sambil menengok ke kanan dan ke kiri, kepada kedua temannya yang tidak satu bapak dan satu ibu.“Jelas kami sangat ingin tahu. Jangan s
Setelah meninggalkan Desa Alot Urat, Ardo Kenconowoto harus mengantar Cabur Sekti berobat ke Lembah Jepit. Ujung-ujungnya, Ardo membalsemi potongan tangan dan kaki Banteng Kuro di kediaman Tabib Juku Getir.Uni Priwangi mau tidak mau harus berpisah dengan Ardo karena akan pulang lebih dulu ke kediaman gurunya, Iblis Jelita. Meski Uni Priwangi sangat berat hati berpisah dengan Ardo, tetapi dia pun sangat tidak ingin bertemu dengan Iblis Jelita. Dia tidak mau membuat urusan dengan pendekar wanita sakti itu.Kepulangan Uni Priwangi jelas membuat Semuri senang.“Hah! Murid Tiga Iblis?” kejut Tabib Juku Getir saat Semuri memberi tahunya tentang Ardo. “Lebih baik kau jangan jatuh hati kepadanya. Aku tidak bisa menahan diri untuk curiga.”“Hatiku bisa hancur jika aku batal jatuh hati kepada Ardo, Kek,” kata Semuri merengut.“Jika Iblis Jelita tahu kau jatuh hati kepada Ardo, aku takut kau akan dibunuh oleh wanita itu. Apakah kau tidak tahu, Iblis Jelita itu sangat terkenal sebagai wanita pem
Drap drap drap!Iblis Jelita yang sedang tidur terbangun mendengar suara langkah kuda di pinggir sungai.Memang, indera Iblis Jelita sangat peka terhadap suara-suara di sekitar rumahnya. Dia bahkan bisa terbangun oleh hanya suara ikan melongok di permukaan air sungai, sampai-sampai dia jarang bisa tidur nyenyak. Itu sudah menjadi gaya hidupnya tanpa mengganggu kesehatannya.Iblis Jelita sangat bisa membedakan antara suara binatang serupa kecoa atau cecak dengan suara pergerakan manusia.Suara kaki kuda jelas menunjukkan ada orang yang datang. Sulit dipercaya jika ada kuda yang datang tapi menunggangi orang atau tanpa ditunggangi.Ehehehek!Setelah suara kaki kuda berhenti, terdengar suara ringkikan kuda.“Oh, Surami,” ucap wanita cantik itu lirih saat mengenali suara ringkikan kuda miliknya, yang ternyata bernama Surami. Sepertinya kuda milik Iblis Jelita bergender betina dan jomblo.Iblis Jelita yang jelita, meski baru bangun dari tidur, tersenyum. Itu karena dengan pulangnya Surami,
Mendengar Ardo Kencowoto menceritakan tentang Aninda Maya, Semuri, Kenanga dan Uni Priwangi, hati Iblis Jelita jadi terbakar api cemburu. Namun, api itu tidak sampai membakar keluar atau menimbulkan asap tanda adanya yang terbakar.Iblis Jelita memendam api cemburunya dengan sikap ketenangan, tapi rasa cemburu itu tergambar dari perubahan raut wajahnya. Namun, Ardo tidak melihat itu karena mereka berdua sama-sama memandang ke arah yang sama, yaitu ke arah kegelapan hulu sungai.“Yang mana lebih cantik, keempat gadis itu atau aku?” tanya Iblis Jelita tanpa mengalihkan pandangannya dari kegelapan.“Ya jelas, Nyai Sakti lebih cantik. Maafkan aku, Nyai Sakti, jika aku suka belpikil aneh-aneh tentang Nyai Sakti,” ucap Ardo seraya tersenyum sendiri kepada malam.Ungkapan hati Ardo itu ternyata bisa menggerakkan wajah Iblis Jelita untuk menengok memandang Ardo. Dipandangi seperti itu, Ardo jadi malu dan tersenyum lebar.“Hal aneh apa yang kau hayalkan denganku, Ardo?” tanya Iblis Jelita bena
Iblis Jelita membiarkan ketiga perwira itu saling berdiskusi. Dia hanya berdiri memandang, hitung-hitung tebar pesona seperti boneka baju di etalase butik.“Nisanak!” panggil Arjunatama Cula Garang pada akhirnya.Iblis Jelita bergeming.“Siapa kau sebenarnya?” tanya Cula Garang.“Siapa yang kalian cari? Jika kalian mencari penghuni rumah ini, maka akulah orangnya. Jika kalian mencari orang lain, siapa namanya?” tanya balik Iblis Jelita.“Kami mencari Iblis Jelita!” seru Cula Garang dari seberang.“Akulah orangnya!” seru Iblis Jelita pula.“Kau jangan membohongi orang Istana, Nisanak!” tukas Cula Garang. “Meski kami belum pernah bertemu dengan Iblis Jelita, tapi kami dapat memperkirakan usianya.”“Kalian belum pernah bertemu, tapi bisa seyakin itu. Jika kalian tidak percaya, lebih baik pulanglah. Kalian tidak akan menemui Iblis Jelita di tempat lain jika kalian menyangkalku,” kata Iblis Jelita.“Sudah, kita tangkap atau bunuh saja wanita itu, Cula Garang. Dia sudah mengaku,” kata Ubar
“Siapa yang ingin menuju ke kematiannya?” tanya Iblis Jelita kepada dua arjunatama yang masih tertawa karena melihat nasib apes Ubar Ubaran yang hanyut terbawa arus sungai. Pertanyaan itu seketika menghentikan tawa kedua arjunatama. Cula Garang dan Gading Margin sejenak terdiam memandang kepada Iblis Jelita yang berdiri di ujung titian tali tambang. Sebenarnya Cula Garang dan Gading Margin sedang berpikir cara menghadapi Iblis Jelita. Jika Iblis Jelita berada satu pijakan tanah dengan mereka, tidak perlu berpikir lagi, bisa langsung sikat. “Putuskan tali itu!” perintah Cula Garang kepada prajurit pasukannya. Dua prajurit segera cabut pedang dan berlari ke ujung titian untuk menebas ujung tambang yang ada di darat. Mereka bersemangat dengan harapan nanti dapat “bonus keberanian”. Set set! Des des! “Akk! Akh!” Namun, dua butir sinar hitam lebih cepat mengenai tubuh kedua prajurit itu sebelum mereka menebas tali titian. Kedua prajurit itu terkena energi Sentilan Dewi Hitam tingka
Akar Sejara dan Sambar Anuk berkuda menyusuri jalan yang tidak jauh dari Sungai Ukirati, yang katanya menjadi tempat kediaman Iblis Jelita, pembunuh ibu mereka. Namun, mereka tidak tahu di mana tepatnya posisi rumah pendekar wanita sakti itu.Sekedar informasi bahwa Akar Sejara menyandang pedang hitam-putih yang memiliki nama Pedang Gelap. Sedangkan Sambar Anuk membawa pedang warna putih-perak yang bernama Pedang Terang Buta, bukan Pedang Terang Bulan.Akar Sejara yang tidak berbaju memiliki badan yang kekar berotot. Sambar Anuk tidak berbaju juga, tetapi dia mengenakan kain selempangan warna perak. Jari-jari tangan kanan mereka ada warna emas yang menempel di kulitnya.Mereka berdua berpisah dengan kedua saudaranya yang bernama Rawa Kujang dan Teguk Permana. Adik dan kakak mereka itu sedang berada di Gampartiga, ibu kota Kadipaten Dadariwak.Di saat mereka sedang berkuda pelan sambil mencari-cari keberadaan rumah di sekitar sungai, tiba-tiba mereka melihat ada satu dua mayat yang han
“Kakang, kenapa kau tidak terus terang bahwa kita mencari Iblis Jelita?” tanya Akar Sejara agak berteriak karena mereka sedang berkuda yang berlari. “Menurutmu, apakah kita sanggup membunuh lebih seratus prajurit dalam sekali pertarungan?” tanya Sambar Anuk. “Tidak,” jawab Akar Sejara. “Tapi aku yakin itu bukan Iblis Jelita.” “Kau berubah pikiran?” tanya Sambar Anuk. “Jangan-jangan kau jatuh hati kepada gadis itu, Adik.” “Kakang juga pasti jatuh hati. Tadi Kakang menggodanya!” tukas Akar Sejara. “Aku tiba-tiba berpikir. Mungkin saja itu putri dari Iblis Jelita.” Sambil menunggang kudanya, Sambar Anuk manggut-manggut tanda menerima dugaan adiknya itu. “Jika putrinya saja semengerikan itu, ibunya pasti lebih ganas,” kata Sambar Anuk. “Tapi kita harus membicarakan ini kepada Kakang Teguk Permana.” Keduanya terus berkuda dengan tenggelam di dalam pikiran masing-masing di saat keduanya tidak saling bercakap. Namun, meski tidak saling mencontek, tetapi ada satu perkara yang sama di da