Akar Sejara dan Sambar Anuk berkuda menyusuri jalan yang tidak jauh dari Sungai Ukirati, yang katanya menjadi tempat kediaman Iblis Jelita, pembunuh ibu mereka. Namun, mereka tidak tahu di mana tepatnya posisi rumah pendekar wanita sakti itu.Sekedar informasi bahwa Akar Sejara menyandang pedang hitam-putih yang memiliki nama Pedang Gelap. Sedangkan Sambar Anuk membawa pedang warna putih-perak yang bernama Pedang Terang Buta, bukan Pedang Terang Bulan.Akar Sejara yang tidak berbaju memiliki badan yang kekar berotot. Sambar Anuk tidak berbaju juga, tetapi dia mengenakan kain selempangan warna perak. Jari-jari tangan kanan mereka ada warna emas yang menempel di kulitnya.Mereka berdua berpisah dengan kedua saudaranya yang bernama Rawa Kujang dan Teguk Permana. Adik dan kakak mereka itu sedang berada di Gampartiga, ibu kota Kadipaten Dadariwak.Di saat mereka sedang berkuda pelan sambil mencari-cari keberadaan rumah di sekitar sungai, tiba-tiba mereka melihat ada satu dua mayat yang han
“Kakang, kenapa kau tidak terus terang bahwa kita mencari Iblis Jelita?” tanya Akar Sejara agak berteriak karena mereka sedang berkuda yang berlari. “Menurutmu, apakah kita sanggup membunuh lebih seratus prajurit dalam sekali pertarungan?” tanya Sambar Anuk. “Tidak,” jawab Akar Sejara. “Tapi aku yakin itu bukan Iblis Jelita.” “Kau berubah pikiran?” tanya Sambar Anuk. “Jangan-jangan kau jatuh hati kepada gadis itu, Adik.” “Kakang juga pasti jatuh hati. Tadi Kakang menggodanya!” tukas Akar Sejara. “Aku tiba-tiba berpikir. Mungkin saja itu putri dari Iblis Jelita.” Sambil menunggang kudanya, Sambar Anuk manggut-manggut tanda menerima dugaan adiknya itu. “Jika putrinya saja semengerikan itu, ibunya pasti lebih ganas,” kata Sambar Anuk. “Tapi kita harus membicarakan ini kepada Kakang Teguk Permana.” Keduanya terus berkuda dengan tenggelam di dalam pikiran masing-masing di saat keduanya tidak saling bercakap. Namun, meski tidak saling mencontek, tetapi ada satu perkara yang sama di da
Ardo Kencowoto memilih langsung menuju ke Tebing Pahat, sesuai perintah sang guru.Pada hari yang cerah itu sepertinya Ardo sedang ketiban untung, pasalnya dia tidak menemukan aral dan rintangan yang menghambat perjalanan.Ketika ada godaan pendekar-pendekar wanita yang berpapasan dengannya, dia abaikan dan bersikap sombong. Ketika ada petani yang terperosok roda pedatinya di jembatan kayu, dia tidak berhenti membantu dan bersikap masa bodo. Ketika serombongan prajurit kadipaten yang berpatroli, dia lewati begitu saja dan tidak patuh karena sempat dihadang.Ketika lewat di dekat Desa Guling tempat tinggal dua gadis cantik yang menaksirnya, Ardo memilih tidak mampir ke desa tersebut. Dia langsung menuju ke Tebing Pahat.Keberuntungan masih milik Ardo karena dia dengan mudah menemukan Iblis Satu Kaki yang sedang memahat dinding batu membuat saluran air, agar nanti di musim penghujan air bisa ditampung. Istilah kerennya adalah memanen air hujan. Seperti kata pepatah “sedia payung sebelum
Rinta Kemiri menggendong bakul keluar dari pasar. Bakulnya berisi dengan buah jengkol. Jangan salah paham, Rinta Kemiri bukan pedagang jengkol.Rinta Kemiri penjual ikan pagi, menggantikan ibunya di hari itu. Ikan dagangan Rinta Kemiri sudah habis terjual. Rinta hari ini punya rencana untuk memasak semur jengkol. Jadi dia membeli jengkol setelah dagangannya habis.Drap drap drap…!Di saat Rinta Kemiri sedang berjalan seorang diri, tiba-tiba terdengar suara lari beberapa ekor kuda yang sangat cepat dari arah belakang. Rinta yang terkejut cepat menengok ke belakang.“Aaak!” jerit Rinta Kemiri lebih terkejut.Gadis cantik itu melihat tiga ekor kuda yang berlari kencang sudah dekat dan hendak menabraknya. Dia cepat melempar tubuhnya ke samping dan jatuh cukup keras di tanah, bukan jatuh di dalam pelukan seorang pangeran.“Aaak!” rintih Rinta Kemiri kesakitan.“Hahaha…!” tawa ketiga orang penunggang kuda tersebut sambil berlalu memandangi adik Ardo Kenconowoto itu.Ketiga orang itu tidak l
Teguk Permana, Sambar Anuk, Akar Sejara dan Rawa Kujang kini berdiri berhadapan dengan Anoman, Gugusan dan Kuncung yang ketiganya duduk pongah di atas kudanya. Posisi Teguk Permana dan ketiga adiknya dalam kepungan puluhan prajurit di halaman penginapan. “Jatuhkan senjata kalian!” perintah Anoman galak melotot. “Kami tidak akan melepas senjata kami!” tolak Teguk Permana tak gentar. “Aku perintahkan, jatuhkan senjata kalian! Jika tidak, pasukanku akan menangkap kalian dengan paksa!" teriak Anoman lagi lebih keras. “Tetap tidak. Lakukan saja jika ingin merasakan akibatnya!” seru Teguk Permana menantang. “Pasukaaan, tangkap mereka!” teriak Anoman memberi perintah. “Seraaang!” teriak Kadet Bek kepada para anak buahnya. Serentak pasukan berseragam hijau-hijau maju dengan tombak terulur dan tameng siap menangkis. “Rawa Kujang, beri Algojo Pertama!” perintah Teguk Permana. Sing! “Huaaarrkk!” Perintah Teguk Permana membuat Rawa Kujang langsung mencabut pedang ungunya. Ketika pedang
“Maafkan kelakuan putraku. Dia memang nakal dan nakalnya itu sampai besar,” ucap Adipati Banting Akar kepada keempat putra mendiang Nyai Wetong yang dia undang datang ke kediamannya.Awalnya, Codet Maut pulang melapor kepada Adipati Banting Arak tentang keberadaan keempat putra mendiang Nyai Wetong. Mengetahui itu, Adipati berinisiatif mengundang keempatnya, tentunya dengan jamuan.Pada pertemuan itu, tanpa sungkan Adipati Banting Arak meminta maaf atas kesalahan Anoman dan dua rekannya. Permintaan maaf itu membuat Teguk Permana dan ketiga adiknya agak terkejut. Mereka tidak menyangka bahwa seorang adipati sudi merendah diri kepada mereka yang jauh lebih muda.“Aku mendapat laporan dari Codet Maut bahwa kalian mencari Iblis Jelita. Apakah ini terkait dengan dendam Keturunan Darah Emas?” tanya Adipati Banting Arak.“Benar, Gusti. Kami adalah keempat putra Pendekar Tabur Bunga dan Nyai Wetong,” jawab Teguk Permana.“Jadi kalian mencari Iblis Jelita untuk membalas dendam atas kematian ib
Dengan menggunakan obor, Ardo Kenconowoto menyisir setiap sudut gelap bangunan usang yang ada di sisi belakang bangunan tiga lantai.Dia berusaha seteliti mungkin dalam mencari. Sejengkal demi sejengkal dia lihat dengan mendekatkan cahaya obornya agar bisa terlihat jelas. Menemukan kitab batu adalah perkara yang sangat penting. Jadi, bagian-bagian kecil dari bangunan itu harus dipastikan tidak luput dari pemeriksaan.Bangunan itu memiliki lantai batu yang sudah berlumut dan lembab. Itu karena genteng bangunannya sudah banyak yang bocor.Kedetailan cara pencarian Ardo membuatnya lama. Malam pun semakin larut. Namun, waktu tidak memengaruhi Ardo. Dia benar-benar sabar. Pendidikan selama dilatih oleh Iblis Jelita mengajarkan dirinya menjadi orang yang bisa sabar.Namun, setelah tengah malam, Ardo menyadari sesuatu yang berbeda dari apa yang telah dia temukan selama pencarian. Hal yang berbeda adalah semua lantai di ruangan dalam bangunan yang cukup luas itu berbahan batu, kecuali satu
Ternyata benda yang menyala hijau itu adalah sebuah benda tipis yang agak asing, tetapi memiliki lima lubang seperti lubang-lubang untuk memasukkan lima jari tangan. Intinya, itu seperti sesuatu yang dipasang di tangan. Kata enaknya adalah sarung tangan.Ardo Kenconowoto lalu membungkuk dan mengulurkan tangan kirinya untuk menyentuh benda yang setipis kulit bawang.Zerzz!Ardo terkejut, tapi tidak menjerit seperti banci kaleng, ketika jarinya yang menyentuh benda itu tersengat aliran listrik sinar hijau. Sontak Ardo menarik tangannya. Namun setelah itu, Ardo menyadari bahwa sengatan sinar listrik hijau itu hanya seperti rasa kesemutan.Ardo kemudian memutuskan untuk memungut langsung benda itu.Zerzzz!Listrik sinar hijau kembali menjalari tangan Ardo. Rasanya tangan itu seperti ditumpuki oleh umat semut, tapi tanpa menggigit. Karena hanya membuat tidak nyaman, Ardo mau melihat lebih jelas benda itu.“Ini pasti benda yang menyerangku,” batin Ardo sambil mengamati benda yang terus meng