DUUUM!!!DUUUAR!!!Guncangan besar dari benturan tinju milik Arya Santanu di pedang milik Brahma Angkara menciptakan gelombang kejut yang menggulung udara sekitar dan hampir membuat obor-obor itu mati karena hempasan angin yang kuat. Arya Santanu terkejut ketika serangannya ditahan dengan begitu mudah oleh Brahma Angkara. Bahkan dengan cepat, Brahma Angkara bisa bergerak cepat dengan kekuatan petir miliknya ke arah belakang Arya Santanu. Ia langsung menarik kerah zirah iblis api di bagian punggung dan melempar tubuh Arya Santanu ke arah pintu masuk. BRAK!!!Satu kali lemparan mampu membuat Arya Santanu terlempar sangat cepat. "A–apa?! Ia bisa menangkisnya?" Arya Santanu terkejut."Pedang itu adalah pusaka dewa Agni. Berhati-hatilah." Asura berbisik di hati Arya Santanu."Kalau begitu, mari kita tingkatkan permainannya!" Arya Santanu kembali menyerang. Ia mengayunkan Toya api dengan begitu cepat ke arah Brahma Angkara.Arya Santanu memainkan dengan lincah gerakan Toya api hingga men
Kilatan cahaya berbentuk energi yang melesak cepat mengagetkan Brahma Angkara. Ia tersentak ketika energi itu menembus pundak bagian kanan. PIUH!!!Tembakan energi putih tersebut tidak bisa dihindari oleh pendekar lima pilar itu. Darah yang keluar dan hendak jatuh ke lantai terhenti sejenak oleh cepatnya perpindahan tempat Aji Sangkala yang menguasai tubuh milik Arya Santanu. Ketika darah itu telah berada di lantai, Aji Sangkala Tah berada di belakang Brahma Angkara."Cepat sekali!" Brahma Angkara terkejut. Ia terbelalak.JLEB!!!Tangan kanan Aji Sangkala yang telah diselimuti oleh petir berwarna putih keperakan melesak lurus menembus punggung Brahma Angkara hingga tembus ke bagian dada. "A–apa?" Brahma Angkara tidak bisa menghindar. "K–Kau…." Brahma Angkara baru menyadari siapa lawannya.Tubuh dari pendekar lima pilar tersebut tiba-tiba menggeliat dan muncul gelembung-gelembung di kulitnya seperti melepuh. Perlahan-lahan gelembung itu membesar dan pecah berubah menjadi ledakan api
Pedang Agnesura meleleh menjadi kobaran api padat yang membentuk sebuah bentuk pedang. Jubah dari Brahma Angkara pun telah berubah menjadi jubah api Agneyasa. Rambut dan alis dari Brahma Angkara pun telah menjadi kobaran api yang membara. Kedua matanya terlihat menatap tajam Aji Sangkala dengan warna merah tua."Aku bisa bertarung denganmu." Asura mengkhawatirkan diri temannya."Tidak perlu. Bila kau telah mendapatkan semua kekuatanmu, aku akan kembali dan kita akan bertarung bersama lagi. Namun kali ini, biarkan aku mengajari para iblis dan manusia yang bersekutu dengannya. Mereka harus tahu siapa lawan mereka dan apa yang menunggu mereka di depan nanti. Aku akan bangkit lagi di dunia ini sebagai Arya Santanu. Dan aku tidak akan segan meluluhlantakkan singgasana Aji Kala Karna." Aji Sangkala berdiri dan bersiap untuk menyerang."Kau dan aku memang sama-sama keras kepala. Aku meminta maaf karena belum bisa ikut serta berjuang denganmu. Dan… aku minta maaf karena kejadian seratus tahun
Aji Sangkala tidak langsung menghilang sepenuhnya. Ia menemui Ki Janggan Nayantaka yang berada di luar kastil. Senyumannya membuka mata Ki Janggan Nayantaka mengenai pengorbanan yang begitu besar. Aji Sangkala adalah manusia yang ditakdirkan mati di perang seratus tahun yang lalu, namun ia juga ditakdirkan untuk kembali dan diberi kesempatan untuk menuntaskan apa yang belum selesai."Seandainya Asura dan Arya Santanu tahu siapa kau yang sebenarnya, mungkin mereka akan lebih menghormatimu." Aji Sangkala menatap lembut Petapa tua itu."Aku menjadi sosok ini karena sudah keharusan. Memang terlihat membuang-buang waktu, bila aku mau, aku bisa mengakhiri semuanya dengan cepat, namun aku tidak akan melakukannya. Karena aku masih percaya dengan dirimu dan Asura." Ki Janggan Nayantaka tersenyum."Tolong jaga mereka berdua hingga aku kembali. Ki Janggan Nayantaka, kau tahu cara untuk membangkitkanku lagi, bukan?" Aji Sangkala langsung menodong caranya."Kita harus urus masalah di sini dahulu.
Gelombang air yang menggulung sudah kembali tenang. Perlahan air itu turun dan menghilang setelah keluar melalui lubang-lubang pembuangan di sekitar sudut kanan dan kiri aula besar. Asura yang berubah menjadi seekor burung dan terbang ke arah pintu besi terlihat terkapar dengan perut terisi oleh air. Ia tergeletak tidak berdaya seperti seekor burung mati. "To–tolong… aku kembung…." Asura merasa perutnya penuh dengan air. Dewi Sari Kencana berhasil membuat kubah es pelindung untuk melindungi dirinya dan Arya Santanu. Bila ia terlibat sedikit saja, keduanya mungkin akan tenggelam dan tersapu gelombang besar itu. "Kau tidak apa-apa?" Dewi Sari Kencana terengah-engah. Tekanan gelombang besar itu membuat dirinya harus mengerahkan energi ekstra untuk memperkuat kubah pelindungnya."Em… aku baik-baik saja. Kau sendiri bagaimana?" Arya Santanu menatap wanita yang tengah berlutut menopang tubuhnya yang terlihat lemas dengan pedangnya."Aku baik
"Hah?!" Larasati berteriak.Ia tidak bisa mendengar ucapan pria itu. Jarak di antara keduanya begitu jauh. "Aku bilang, selamat datang di altar pilar udara!" Jaka Bamantara berteriak."Maaf, aku belum bisa mendengarnya dengan baik! Bisa ucapkan lagi, tapi kali ini tolong lebih lantang!" Larasati kembali berteriak."Apa kau tuli?! Aku bilang, selamat datang! Ah, terserahlah!" Jaka Bamantara makan menjadi jengkel. Larasati yang merasa tidak enak, akhirnya menghampiri pria asing itu. Ia berjalan ke arahnya sambil melihat ukiran putih di setiap dinding dan pilar. "Maaf, tadi kau ngomong apa?" Larasati bertanya lagi."Lupakan! Aku sudah tidak ingin mengulang momen itu." Jaka Bamantara terlihat kesal."Oh, begitu. Hehehe… boleh tahu namanya?" Larasati sangat santai dalam bertanya, padahal yang ada di depannya adalah seorang musuh."Jaka Bamantara! Namamu siapa?!" Jaka Bamantara menjawabnya dengan ketus.
Dengan cepat tombak petir merah menusuk dada Jaka Bamantara hingga menembus ke bagian punggungnya. Dewi Sari Kencana langsung mengayunkan pedang teratai es dan menebas kepalanya. Larasati mundur dan mengerahkan seluruh kelopak bunga cempaka putih untuk menyayat dan memotong tubuh Jaka Bamantara menjadi beberapa bagian.Mereka bertiga berhasil menghentikan pendekar lima pilar. Sang Pilar udara akhirnya tewas dalam keadaan mengenaskan. Pusaran angin yang semula bertiup sangat kencang pun menghilang. "Akhirnya selesai juga." Arya Santanu tersenyum dan menoleh ke arah dia wanita di sampingnya."Tinggal tersisa dua lagi, kita harus bergegas." Dewi Sari Kencana ingin memasukkan pedangnya ke sarung.Tiba-tiba sebuah serangan udara menggores wajahnya. Arya Santanu dan Larasati terkejut, mereka menoleh ke arah altar dan melihat Jaka Bamantara sedang duduk bersila. "Apa?! Ba–bagaimana mungkin?!" Arya Santanu terbelalak. Ia merasa tidak percaya.
Tubuh Dewi Sari Kencana yang tertusuk dan terluka langsung tergeletak di depan Ki Janggan Nayantaka. Kakek tua itu menggunakan teknik berpindah tempat miliknya. Asura juga membawa tubuh Larasati yang tergolek lemas akibat serangan puluhan jarum udara. Keduanya segera ditangani oleh Ki Janggan Nayantaka."Asura, bantu aku dengan energi alam milikmu. Kita harus menutup lukanya." Ki Janggan Nayantaka memohon."Apa? Kukira kau bisa sendiri. Tapi kumohon cepat, aku harus kembali dan membantu Arya Santanu." Asura harus bersabar untuk kembali ke dalam kastil. Ia berharap bila temannya tidak kenapa-kenapa."Aku mengerti. Lebih baik kita lakukan sekarang, aku takut mereka berdua kehabisan darah." Tangan Ki Janggan Nayantaka menyentuh dia kepala wanita itu. Energi murni dari alam berwarna putih terang menyinari kedua tubuh wanita itu. Asura membantu Petapa tua dengan ikut mengalirkan energi miliknya yang berwarna merah tua. Dua teknik pemulihan diri dilaku