Gatra datang membawa sepucuk kertas yang dia temukan di sekitaran gerbang.
Dalam kertas itu tertulis bahwa Ki Seno Aji memberi mandat pada Kusuma untuk menguji seberapa kuat Asoka menghadapi ujian yang akan menimpanya saat membawa Fahma ke puncak gunung.
Ujiannya sangat beragam, mulai dari ujian fisik, batin, hingga ujian mental seperti yang baru saja terjadi.
Entah bagaimana Ki Seno tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang, tapi semua kejadian yang tertulis dalam surat benar-benar terjadi, termasuk tragedi diserangnya padepokan, juga insiden terlukanya Kusuma.
Asoka membaca surat itu, lantas menghadap ke arah Barok.
“Kenapa kau tidak bilang dari tadi! Jika tahu seperti ini, aku tidak akan memarahimu, tidak akan memukulmu, tidak pula mengancam kelangsungan padepokan ini!” Asoka membentak semakin kasar. Api kehitaman di tangannya perlahan memudar.
Ctang!
Kepala Asoka kejatuhan sesuatu dan benjol di bagian belakang.
Asoka bingung bukan main. Bingkisan apa? Selama ini dia hanya membawa barang-barang yang hanya dibungkus dengan kain lebar. Tidak ada bingkisan di sana. Dia tidak ingat apapun kecuali pertarungan dan pertarungan.Tiga kali pertanyaan dicecar, Asoka tetap menjawab dengan gelengan kepala.“Bingkisan apa, Paman? Tolong jelaskan padaku!” Pinta Asoka yang wajahnya ikut ragu.“Langkir Pamanang...”Setelah menyebut nama itu, Asoka baru ingat jika Ki Langkir Pamanang menitipkan satu bingkisan kecil yang hanya boleh digunakan ketika keadaan sedang sangat darurat. Bingkisan itu dia letakkan di celana bagian kiri.Asoka coba meraba celananya, tapi naas, bingkisan itu sudah tidak ada lagi di saku Asoka. “Ada apa dengan bingkisan itu, Paman?” tanya Asoka gelagapan, dia tidak tahu di mana jatuhnya bingkisan yang diberikan Ki Langkir Pamanang.“Waktumu sepuluh menit sebelum Barok dan Fahma mati bersamaan karena ber
Cakar macan putih mengakibatkan Asoka limbung, pemuda itu bersandar di dekat pohon arsit agak jauh dari bingkisan kebiruan itu. Gatra berhasil mengambil bingkisan misterius milik Ki Langkir, tapi dia melemparnya ke arah Asoka, membuat belasan siluman di sana marah besar.Dipimpin siluman salamander merah, mereka membuat bulatan guna mengepung Asoka, tatapan mereka sangat lapar.Bingkisan biru kecil milik Ki Langkir sudah berada di tangannya, tapi bagaimana cara untuk melawan belasan siluman ini?Asoka sangat bingung. Dia ingin marah pada Gatra, tapi tidak bisa. Gatra sudah membantunya mengambil bingkisan itu. Tapi karena pengambilan tadi, belasan siluman jadi makin marah dan siap menerkam Asoka dengan seluruh senjata mereka.“Guru, apa ini sudah masuk dalam kategori terdesak?” tanya pemuda berkuncir.“Belum... kau haris mati dulu baru bisa disebut terdesak.” Gatra menjawab apa adanya, dia lantas tertawa dan pergi meninggalka
“Akhirnya Kakang sadar, seharian penuh aku menunggui Kakang Soka ... aku sungguh bahagia. Kakang tidak tahu aku menangis seorang diri, semua murid padepokan melihatku, tapi aku tidak peduli.” Terdengar suara teriakan yang membuat Asoka membuka mata.Murid-murid padepokan Ajisaka sudah berkumpul melingkar di tengah aula padepokan.Barok, Raden Kusuma, dan Fahma duduk tepat di samping Asoka, mata gadis itu berkaca-kaca. Dia sangat senang kakaknya bisa siuman.“A-apa yang terjadi? Kenapa punggungku begitu sakit? Argh...” Asoka mendesis pelan.Dia tidak bisa duduk normal. Berulang kali dia bertanya pada Barok dan Raden Kusuma tentang apa yang terjadi, tapi mereka tidak tahu apa-apa.Efek racun itu tidak hanya melukai bagian dalam tubuh Asoka, melainkan juga berimbas pada ingatannya.“Jangan banyak bergerak dulu, Soka!” Raden Kusuma menjulurkan tangan lalu menahan tubuh Asoka agar pemuda itu tidak memaksakan di
Raden Kusuma menceritakan bahwa dulu sebelum terjadinya perang besar antara Nusantara melawan Serikat Zhang Ze, ada seorang peternak merpati yang disegani di seluruh dunia karena kepiawaiannya meracik pakan dan memadukan antara satu jenis dengan jenis lain.Waktu itu Nusantara sedang membutuhkan merpati tangguh khusus mengirim pesan untuk telik sandi yang sedang menjalankan tugas di negeri seberang.Bertepatan juga sang peternak merpati sedang singgah di Nusantara untuk sekedar temu sapa dengan rekan perdangannya, juga mengunjungi beberapa hutan siluman yang mana di dalamnya terdapat tanaman langka seperti serbuk anggrek ungu dan matahari merah.Memang kesannya jahat, tapi Nusantara tidak punya jalan lain untuk mencuri resep pakan dan persilangan merpati si peternak.Kastil Menara Cakra dipenuhi beberapa petinggi Ikatan Pendekar Nusantara, termasuk Ki Seno, Pangeran Kamandanu, dan Yung Chen yang kala itu masih berusia dua puluh tahunan.Mereka semu
Prabu Wusanggeni melihat dua orang lelaki membawa sabit lari dari kejauhan. Dia segera membuka portal ilusi dan menyelamatkan teman-temannya yang loncat dari lantai lima.“Syukurlah kita selamat. Hampir saja kita ketahuan pihak penginapan, bisa tercemar nama perguruan.” Seorang pemuda mengusap peluh yang sudah memenuhi jidatnya.“Tidak hanya perguruan kita yang tercemar, berita ini akan menjelek-jelekkan nama Ikatan Pendekar Nusantara. Kondisi darurat tidak bisa membenarkan kejahatan semacam ini. Harusnya kita menolak, tapi aku tidak bisa.”“Kau benar, kejatahatan ... selamanya tidak bisa dibenarkan.”Prabu Wusanggeni menenangkan tiga temannya yang berdebat. Dia segera memimpin delapan orang itu pergi ke tempat persembunyian yang ada di peta.Mereka menyandera si peternak sampai dia mau menunjukkan resep pakan dan persilangan itu.Plak!Plak!Dua tamparan berhasil membangunkan peternak merpat
“Jadi merpati itu bukan merpati sembarangan, Guru?” Barok coba memastikan hal yang masih menghantui pikirannya.“Lebih tepatnya merpati langka ... walaupun kau berhasil mendapatkan resep pakan dan persilangan dari si peternak, presentasi gagalnya masih sangat tinggi. Ki Seno termasuk orang yang beruntung karena berhasil menetaskan dua telur merpati itu tanpa kecacatan apapun.”Asoka datang tepat saat mereka semua selesai membahas cerita merpati percik api, dia mengeluh punggungnya sakit. Efek racun itu belum sepenuhnya hilang dan Asoka harus istirahat satu malam lagi sebelum berangkat menuju puncak gunung.Dua hari lamanya Asoka hanya berbaring di atas ranjang. Sesekali dia melihat proses latihan murid-murid padepokan, memberi nasehat pada mereka, hingga turun tangan langsung memberi arahan jika ada gerakan yang menurutnya kurang akurat.Fahma yang sudah benar-benar pulih, menyuapi kakaknya dengan sangat telaten. Dia juga yang mera
Mengetahui ada cahaya putih yang terpancar dari saku celana Asoka, murid-murid meneriaki Raden Kusuma dari kejauhan.“Dia berbahaya, Guru!”“Cahaya putih itu bisa membunuhmu jika kau tidak berhati-hati!”“Guru, kami mohon jangan nekat mendekati cahaya itu ... kami masih butuh bimbinganmu. Kami masih jauh dari kata hebat.”Raden Kusuma hanya tersenyum dari kejauhan. Dia tahu, cahaya putih itu tidak berbahaya.Tangannya menggapai saku belakang celana Asoka, lantas menggenggam batu kecil itu hingga cahaya putihnya redup.Berjalan menuju aula padepokan, Raden Kusuma mendekatkan mustika itu ke tangan Barok yang sedang melakukan jurus penyembuhan.“Gunakan jurus Tapak Teratai Putih untuk menyembuhkan gadis itu. Fahma di ambang batas kematian. Urusan Asoka, kau tidak perlu memikirkannya. Dia hanya pingsan karena racun yang dia dapat saat bertarung melawan siluman macan putih.”“Gur
Hampir satu jam Raden Kusuma bercerita tentang hal-hal unik yang berkaitan dengan Ki Langkir Pamanang dan Ki Seno Aji, terutama tentang mustika merah yang ditanam dalam diri Asoka.“Kau pasti penasaran kenapa aku bisa tahu kalau kau punya mustika merah?” Tanya Raden Kusuma sambil tertawa pelan.“Mmm, tidak. Kenapa aku harus penasaran?” tanya Asoka polos.Cpak!“Bodoh, jawab saja iya! Kau ... selalu saja membuat orang kesal!” Gatra tiba-tiba keluar dan memukul kepala Asoka.Raden Kusuma yang memiliki mata batin, seketika tertawa keras melihat Gatra emosi sebab perilaku Asoka. Murid-murid lain yang tidak memiliki mata batin, melongo penasaran. Apa yang menyebabkan pemuda itu merintih? Kenapa juga Raden Kusuma tertawa?Pendiri padepokan memilih diam dan tidak memberitahu murid-murid lain tentang roh mustika yang bersarang di dalam tubuh Asoka.Desas-desus masih terdengar nyaring di sekitar lingkar dudu
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As