Penerapan Aura Pancasona tergolong berhasil. Murid-murid Padepokan Ajisaka tidak ada yang terluka walau harus bertarung sampai titik darah penghabisan. Hal itu berdampak sampai saat ini, terutama saat Asoka semakin dekat dari aula perguruan.
Tubuh pemuda itu mulai terasa ringan, aliran energinya seolah bergerak mengikuti aliran aura yang masuk ke tubuhnya. “Aura ini ... sepertinya tidak asing.”
Pernah suatu hari Asoka merasakan aura ini saat menjadi murid di Perguruan Kabut Butana.
Waktu itu ada penyusup yang nekat masuk melalui kabut tebal hutan hingga berhasil mencapai garis tepi gerbang perguruan. Dia mengalami luka parah.
Pasalnya, lokasi Perguruan Kabut Butana berada di puncak gunung yang tertutup kabut putih tebal serta asap beracun pekat.
Hanya pendekar dengan daya tahan tubuh tinggi yang bisa menahan efek samping asap beracun gunung itu. Dan ketika Ki Langkir membawanya masuk ke perguruan, aura putih tiba-tiba terasa. Aura yang
Asoka terkejut bukan main. Dia tidak menyangka Barok akan menodongnya dengan bola-bola api. Niatnya datang adalah menjemput Barok agar pria itu bisa segera menyembuhkan Fahma, namun Barok salah memahami maksud kedatangan Asoka.“Ti-tidak. Aku tidak mencari kekerasan. Tolong bantu adikku, aku butuh seseorang bernama Barok.” Asoka memohon, tapi nada suaranya masih tergolong tinggi.“Aku Barok, kau siapa? Ada urusan apa mencariku?” Barok membalas agak kasar, tapi sebisa mungkin Asoka memperhalus ucapannya agar Barok tidak semakin kesal.“Orang di sana memintaku untuk mencari seseorang bernama Barok.”“Aku sudah lemah, kakiku luka karena nekat loncat dari ketinggian air terjun. Jika kau berkenan membantuku, segera bawa aku ke padepokan. Aku tahu bagaimana cara menyembuhkan adikmu Fahma.”Barok meringkuk di punggung Asoka.Keduanya langsung menghilang hanya hitungan detik. Asoka tidak peduli walau h
Aula padepokan adalah tempat paling sakral yang ada di sekitaran gunung. Tidak ada yang boleh menumpahkan sedikitpun darah, walau setetes.Dulu sebelum babat alas dilakukan beberapa pendekar sakti melakukan pertapaan lumayan lama. Butuh mediasi belasan tahun agar mereka bisa kompromi dengan siluman penghuni Hutan Babel, terutama dengan rajanya.Ada sebuah petak kecil yang selalu dihindari oleh para warga, lebih-lebih pendekar yang ingin mendaki puncak Welirang.Petak itu pernah menjadi pusat kerajaan jin Hutan Babel jauh sebelum pertapaan dimulai. Sang raja tidak ingin ada darah tumpah di area kekuasaannya.Bagi bangsa jin, darah sama seperti makanan paling lezat. Hal itu bisa menimbulkan sengketa antara para petinggi istana jin dan para pemangku kekuasaan. Mereka pasti berebut, bahkan tak segan membunuh satu sama lain.Sampai saat ini tradisi anti darah masih melekat di kalangan warga yang tinggal di kaki Gunung Welirang.Mereka sempat terk
Kusuma beberapa kali tidak sadarkan diri, bahkan sempat hidup di alam lain dan bertemu bapaknya. Namun tak berselang lama, dia hidup lagi, dan kembali disiksa dengan perlakuan yang jauh lebih kejam.Kejadian itu terus berulang sampai tiga kali.Setelah bangkit dari kematian ketiganya, Kusuma dinyatakan lolos dengan tanda, terbukanya gerbang misterius menuju puncak.Menurut beberapa pengakuan pewaris mustika merah, gerbang itu tempatnya tidak pernah menetap.Di masa Bhagawad Gita misalnya, gerbang itu terletak di bawah tempatnya berpijak. Di masa Ki Damardjati ada di tengah belahan batang pohon beringin. Sementara di masa Ki Seno Aji, gerbang itu malah ada di kaki bukit yang mana tempat itu menjadi tempat berlangsungnya ujian pertama.Kusuma masuk ke gerbang yang muncul setelah batu raksasa di hadapannya terbelah. Dia masuk, lalu tidak sadarkan diri. Ketika membuka mata, pemuda tanggung itu melihat sosok putih bercahaya.“Kau tidak bisa
Barok sadar, ada kemungkinan Raden Kusuma terkena karma yang selama ini tidak boleh dilanggar, tapi kemungkinannya sangat kecil. Barok sempat ragu. Pasalnya, tumpahan darah lima anggota sekte tidak satu pun menetes di lantai aula padepokan.Apa karma itu hanya menimpa mereka yang menumpahkan darah di aula, atau menumpahkan darah di seluruh petak istana jin? Entahlah.Tidak ada harapan hidup lagi, Barok lebih memilih mati dari pada harus menyaksikan kematian Raden Kusuma. Dia tidak menginginkan hal tersebut.Di satu sisi, dia harus terus menghindar tanpa membalas serangan Asoka agar pemuda itu tidak makin murka dan menghancurkan padepokan. Di sisi lain, Barok pesimis Raden Kusuma bisa diselamatkan.“Sembuhkan adikku atau kau akan mati!” suara Asoka menggema ke seluruh tebing di kiri-kanan padepokan.Barok mengangguk. “Ba-baik, akan kuusahakan. Tapi tolong, biarkan aku melihat kondisi Raden Kusuma lebih dulu. Hanya dengan izinnya, b
Gatra datang membawa sepucuk kertas yang dia temukan di sekitaran gerbang.Dalam kertas itu tertulis bahwa Ki Seno Aji memberi mandat pada Kusuma untuk menguji seberapa kuat Asoka menghadapi ujian yang akan menimpanya saat membawa Fahma ke puncak gunung.Ujiannya sangat beragam, mulai dari ujian fisik, batin, hingga ujian mental seperti yang baru saja terjadi.Entah bagaimana Ki Seno tahu apa yang terjadi di masa yang akan datang, tapi semua kejadian yang tertulis dalam surat benar-benar terjadi, termasuk tragedi diserangnya padepokan, juga insiden terlukanya Kusuma.Asoka membaca surat itu, lantas menghadap ke arah Barok.“Kenapa kau tidak bilang dari tadi! Jika tahu seperti ini, aku tidak akan memarahimu, tidak akan memukulmu, tidak pula mengancam kelangsungan padepokan ini!” Asoka membentak semakin kasar. Api kehitaman di tangannya perlahan memudar.Ctang!Kepala Asoka kejatuhan sesuatu dan benjol di bagian belakang.
Asoka bingung bukan main. Bingkisan apa? Selama ini dia hanya membawa barang-barang yang hanya dibungkus dengan kain lebar. Tidak ada bingkisan di sana. Dia tidak ingat apapun kecuali pertarungan dan pertarungan.Tiga kali pertanyaan dicecar, Asoka tetap menjawab dengan gelengan kepala.“Bingkisan apa, Paman? Tolong jelaskan padaku!” Pinta Asoka yang wajahnya ikut ragu.“Langkir Pamanang...”Setelah menyebut nama itu, Asoka baru ingat jika Ki Langkir Pamanang menitipkan satu bingkisan kecil yang hanya boleh digunakan ketika keadaan sedang sangat darurat. Bingkisan itu dia letakkan di celana bagian kiri.Asoka coba meraba celananya, tapi naas, bingkisan itu sudah tidak ada lagi di saku Asoka. “Ada apa dengan bingkisan itu, Paman?” tanya Asoka gelagapan, dia tidak tahu di mana jatuhnya bingkisan yang diberikan Ki Langkir Pamanang.“Waktumu sepuluh menit sebelum Barok dan Fahma mati bersamaan karena ber
Cakar macan putih mengakibatkan Asoka limbung, pemuda itu bersandar di dekat pohon arsit agak jauh dari bingkisan kebiruan itu. Gatra berhasil mengambil bingkisan misterius milik Ki Langkir, tapi dia melemparnya ke arah Asoka, membuat belasan siluman di sana marah besar.Dipimpin siluman salamander merah, mereka membuat bulatan guna mengepung Asoka, tatapan mereka sangat lapar.Bingkisan biru kecil milik Ki Langkir sudah berada di tangannya, tapi bagaimana cara untuk melawan belasan siluman ini?Asoka sangat bingung. Dia ingin marah pada Gatra, tapi tidak bisa. Gatra sudah membantunya mengambil bingkisan itu. Tapi karena pengambilan tadi, belasan siluman jadi makin marah dan siap menerkam Asoka dengan seluruh senjata mereka.“Guru, apa ini sudah masuk dalam kategori terdesak?” tanya pemuda berkuncir.“Belum... kau haris mati dulu baru bisa disebut terdesak.” Gatra menjawab apa adanya, dia lantas tertawa dan pergi meninggalka
“Akhirnya Kakang sadar, seharian penuh aku menunggui Kakang Soka ... aku sungguh bahagia. Kakang tidak tahu aku menangis seorang diri, semua murid padepokan melihatku, tapi aku tidak peduli.” Terdengar suara teriakan yang membuat Asoka membuka mata.Murid-murid padepokan Ajisaka sudah berkumpul melingkar di tengah aula padepokan.Barok, Raden Kusuma, dan Fahma duduk tepat di samping Asoka, mata gadis itu berkaca-kaca. Dia sangat senang kakaknya bisa siuman.“A-apa yang terjadi? Kenapa punggungku begitu sakit? Argh...” Asoka mendesis pelan.Dia tidak bisa duduk normal. Berulang kali dia bertanya pada Barok dan Raden Kusuma tentang apa yang terjadi, tapi mereka tidak tahu apa-apa.Efek racun itu tidak hanya melukai bagian dalam tubuh Asoka, melainkan juga berimbas pada ingatannya.“Jangan banyak bergerak dulu, Soka!” Raden Kusuma menjulurkan tangan lalu menahan tubuh Asoka agar pemuda itu tidak memaksakan di
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As