Pendekar Nusantara menggabungkan kekuatan demi bisa menangkal serangan pendekar Tiongkok dan Negeri Sakura, mereka yang awalnya berseteru, terpaksa bersatu demi melindungi keutuhan Nusantara.
Peperangan itu berlangsung 10 hari 10 malam, dan di masa depan, Nusantara akan terus berselisih dengan orang-orang Tiongkok yang mengatasnamakan mereka sebagai Serikat Zhang Ze.
Nusantara melawan Serikat Zhang Ze.
Nusantara melawan Negeri Sakura.
Nusantara melawan pendekar aliran hitam seluruh dunia.
Takdir ini sudah digariskan oleh Dewata sampai era kehancuran bumi tiba, puncaknya saat pendekar terkuat Nusantara saat ini, sedang dikepung oleh ratusan pendekar dari serikat.
“Menyerahlah, Bhagawad Gita, kau tidak memiliki harapan lagi untuk hidup. Tanah ini akan menjadi saksi bisu kematianmu!” Teriak seorang lelaki dengan ikat kepala merah.
“Bhagawad Gita, kekuatanmu tidak akan bisa menandingi kami yang berjumlah lebih dari seratus orang. Kami semua adalah pendekar tingkat naga. Kau memang yang terkuat di era ini, tapi sekarang eramu harus digantikan dengan generasi baru,” sahut lelaki berambut putih dan ikat kepala putih.
“Kami akan membiarkanmu hidup apabila kau menyerahkan empat mustika legendaris itu!”
Era kehancuran bumi telah tiba. Era dimana seluruh pendekar berbondong-bondong untuk menjadi yang terkuat lalu menduduki tahta sebagai raja pendekar. Mereka memperebutkan satu hal, kekuatan empat mustika yang sangat dahsyat.
Era kehancuran akan terjadi setiap 400 tahun sekali dan akan ada seseorang yang nantinya terpilih menjadi penyelamat bumi serta mewarisi empat mustika legendaris Bhagawad Gita.
“Tidak!” Bentak Bhagawad Gita sangat lantang. “Empat mustika ini adalah sumber kehancuran dan peperangan. Kalian bukan anak dalam ramalan yang tertulis di kitab Sabdo Wasesa. Kalian tidak berhak memiliki keempat-empatnya!”
Ratusan pendekar yang sudah mengerumuni Bhagawad Gita tertawa keras. Mereka tidak menyangka kalau pendekar legendaris itu akan menolak memberikan empat mustikanya.
Salah satu pendekar muda yang disegani kawan maupun lawan, melangkah maju dan memberi tawaran kepada Bhagawad Gita.
“Pikirkan baik-baik, Kisanak! Ini mungkin kesempatan terakhir yang akan kami berikan. Kau akan tetap menjadi yang terkuat di era ini. Tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkanmu jika bertanding satu lawan satu. Tapi, jika kau berkenan untuk memberikan empat mustika itu, Serikat Zhang Ze akan dengan senang hati menerimamu sebagai anggota, bahkan menjadikanmu sebagai wakil ketua.”
Bhagawad Gita hanya bisa memandang sinis orang-orang yang sedang menguruminya. Dia sadar jika penawaran itu hanya akal-akalan semata. Pasti terjadi pertempuran hebat dan banyak nyawa melayang akibat perebutan empat mustika ini jika tidak diberikan pada orang yang tepat.
“Walaupun taruhannya nyawa, aku tidak sudi memberikan empat mustika ini kepada kalian!”
Suara Bhagawad Gita menggelegar hingga membuat kilat kembali bersahutan dan menyambar tanah-tanah tandus di belakangnya.
“Jangankan empat, satu mustika saja akan kujaga dengan segenap jiwa dan ragaku. Sampai nyawaku ini hilang, aku tidak sudi memberikan Mustika Merah Pedang Naga ini kepada tangan-tangan kotor kalian. Camkan itu wahai para pendekar serakah!”
Bhagawad Gita berdiri dan menggenggam mustika merah, yang terkuat di antara empat mustika. Muncul pendar merah dari dalam tangan Bhagawad Gita hingga pendar itu membentuk pedang berlapiskan api hitam.
“Pedang ini hanya akan menjadi sumber kehancuran jika jatuh ke tangan manusia seperti kalian. Persetan dengan alasan perdamaian! Cuih... alasan sampah!"
Bhagawad Gita berucap dengan sorotan mata merah menyala, tidak takut sedikitpun pada ratusan pendekar tingkat naga yang akan membunuhnya. Meskipun tahu kemungkinan menangnya hanya sedikit, tapi ia sudah berjanji pada Dewata untuk tetap menjaga empat mustika legendaris ini.
Janji tetaplah janji. Seorang pendekar sejati harus menepati janjinya walau harus mempertaruhkan nyawa.
Seperti itulah sumpah para pendekar.
“Kau sombong sekali, Bhagawad Gita... jangan terlalu jumawa seperti kau bisa mengalahkan kami semua!" pendekar berambut putih maju selangkah.
“Kami tahu kau adalah yang terkuat di era ini. Kami juga tahu hanya kau yang bisa mengendalikan kekuatan empat mustika. Tenaga dalam yang ada di tubuhmu tidak bisa ditandingi siapapun. Tapi ingatlah, kau tidak mungkin bisa bertarung dengan kondisi tubuh penuh darah dan penuh luka sayatan pedang,” tambah pendekar yang paling muda.
Bhagawad Gita tidak menghiraukan ucapan mereka dan mempersiapkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulai serangan terakhir.
Empat mustika yang ada di dalam kantongnya mulai bergetar hebat dan terlempar ke atas tanah.
Dalam hati, ia berkomunikasi dengan roh penunggu keempat mustika dan menitipkan sebuah pesan.
“Inilah perjumpaan terakhir kita,” ucap Bhagawad Gita, memberi salam pada empat mustika yang telah menemaninya puluhan tahun.
“Hanya mustika merah yang berhak memilih tuannya sendiri. Sedangkan mustika putih, emas, dan cokelat akan kusembunyikan di suatu tempat. Siapapun yang menemukan kalian bertiga, dia lah yang akan menjadi tuan kalian!"
Setelah mengucapkan salam perpisahan, Bhagawad Gita berteriak hebat karena tenaganya diserap habis oleh empat mustika. Dia menatap tajam ke arah ratusan pendekar yang sudah mengerubunginya.
“Kalau kalian menginginkan empat pusaka legendaris ini, ambillah! Tapi langkahi dulu mayatku.”
Bhagawad Gita menggenggam mustika merah yang bentuknya berubah menjadi sebuah pedang. Pedang Naga Api Sulong, pusaka terkuat sepanjang masa.
Puluhan pendekar yang mengetahui seberapa mengerikannya Pedang Naga milik Bhagawad Gita, mundur beberapa langkah karena tidak ingin mati dalam peperangan ini.
Pedang Naga diayunkan, menimbulkan gelombang angin dahsyat berbentuk bumerang yang ukurannya sangat besar. Bhagawad Gita langsung menunduk karena energinya banyak terkuras untuk satu serangan.
Gelombang angin itu mengayun cepat mengincar pendekar ikat kepala merah dan putih. Keduanya reflek menggunakan ilmu meringankan tubuh, namun kecepatan mereka tidak bisa menandingi serangan dahsyat Pedang Naga. Seketika tubuh kedua pendekar itu terbelah.
Sungguh mengagumkan kekuatan dari mustika merah terkuat Pedang Naga!
Pendekar yang lain berteriak sangat kencang begitu tahu dua petinggi Serikat Zhang Ze berhasil dibunuh Bhagawad Gita.
Mereka kompak menyerang Bhagawad Gita. Ribuan panah kanuragan hingga pukulan tak kasat mata diluncurkan. Debu pekat bertebaran di udara, membutakan pandangan semua pendekar yang sedang bertarung. Bhagawad Gita menarik badannya mundur dan berhasil menghindari serangan musuh.
Hueekk!
Darah merah segar keluar dari mulut Bhagawad Gita. Tenaganya terkuras habis. Matanya perlahan rabun karena efek samping dari kekuatan dahsyat Pedang Naga Api Sulong. Terlebih, Bhagawad Gita sudah membagi energinya pada tiga mustika lain selain mustika merah.
Semua anggota Serikat Zhang Ze tahu seberapa mengerikannya kekuatan mustika legendaris. Konon kekuatan satu mustika legendaris bisa menghancurkan sebuah kota sebelum mata berkedip.
“Hati-hati, Kisanak! Dia memasang kuda-kuda menyerang, bersiap mengeluarkan jurus pamungkas terakhirnya! Tahan sebentar karena aliran energi di tubuhnya sudah mulai menghilang. Dia semakin lemah dan kita akan memenangkan pertempuran ini!”
Semua yang mendengar intruksi Xiu Fo langsung mengerti dan memasang kuda-kuda bertahan. Di depan mereka, Bhagawad Gita sedang terlihat berbicara dengan roh Gatra, gagak hitam raksasa penghuni Mustika Merah Pedang Naga.
“Puluhan tahun lamanya menunggu, akhirnya kau menggunakan jurus itu. Sudah lama sekali tidak ada orang yang berani menggunakan Pedang Naga kecuali dirimu,” kata Gatra.
“Entahlah, Gatra, aku sudah mencium bau-bau kematian. Kelak jika aku mati, tuntunlah ketiga sahabatmu mencari tuan yang pantas sebagai penerusku.”
“Hahaha... tidak kusangka, setelah 46 tahun berlalu, ternyata tuanku jadi selemah ini. Apakah ketebalan jenggot mempengaruhi kekuatanmu?”
"Gagak paruh ayam, diam kau!"
"Jenggotmu tidak lebih bagus dari pada jenggot kambing!" ledek Gatra yang sama menyebalkannya dengan Bhagawad Gita.
“Diamlah dan bantu aku!” Bentak Bhagawad Gita sedikit emosi.
Roh pemilik Pedang Naga bernama Gatra ini memang agak menjengkelkan. Disaat orang serius, dia malah berbicara seenak hati.
“Baiklah, aku akan membantumu. Aku tidak perlu menjelaskan resikonya lagi padamu. Setelah kau menggunakannya, aku akan tertidur lama dan kekuatanmu harus musnah karena Pedang Nagaku menghendaki nyawa untuk jurus terlarang itu.”
“Tidak masalah, selama pedangmu ini tidak jatuh ke tangan orang yang salah.”
Dua detik setelah Bhagawad Gita menyetujui tawaran Gatra, seberkas cahaya merah dari langit turun. Cahaya itu menggumpal di udara, lalu turun menyelimuti Pedang Naga. Ketiga mustika lain berbaris sejajar di depan Bhagawad Gita. Sang legenda paham apa yang harus dilakukan. Dia membungkuk, memberi salam perpisahan pada mereka seraya menyampaikan pesan terakhir sebelum kematiannya tiba.
“Kelak saat anak dalam ramalan itu lahir, bimbinglah dia agar tidak terjerumus dalam jurang kegelapan! Dia yang akan meneruskan titah perjuanganku. Pertanda kelahirannya, adalah ketika langit terbelah dan muncul api berbentuk naga dari belahannya.”
Ratusan pendekar masih berdiri dengan kuda-kuda terpasang. Mereka saling berbisik, saling tanya mengenai jurus yang akan dikeluarkan Bhagawad Gita. Mereka mundur begitu merasakan aura kematian yang begitu dahsyat dari tubuh Bhagawad Gita. Mereka tidak pernah merasakan kekuatan yang mahadahsyat seperti ini sebelumnya.
Usai mengucap pesan terakhir pada tiga mustika lainnya, Bhagawad Gita menghempaskan sebuah serangan dahsyat yang membuat bumi dan langit berguncang. Ratusan petir menghujam bumi. Mereka menyambar satu sama lain. Langit murka dengan kegilaannya; terbelah menjadi dua untuk beberapa saat.
Bumi tidak mau kalah dengan langit. Dia memanggil lima puting beliung sangat kencang, menghempaskan semua anggota Serikat Zhang Ze. Perisai energi dibentuk, tapi energinya tidak bisa membendung efek samping kemarahan Bhagawad Gita.
Kedahsyatan itu berakhir saat cahaya kemerahan muncul dari dalam tanah. Cahaya itu terus membesar hingga terasa panas seperti terbakar. Ada sesosok naga yang muncul dari belahan langit. Naga itu meraung sangat keras hingga membuat bumi berguncang.
Blam!
Pemusnahan massal terjadi. Masing-masing dari empat mustika terpental jauh. Ledakan itu membuat tubuh Bhagawad Gita hancur berkeping-keping bebarengan dengan hancurnya ratusan pendekar dari Serikat Zhang Ze.
Selamat Datang di lapak sederhana saya. Semoga kalian suka. Saran dan kritik dipersilakan demi kepuasan kalian semua. Selamat membaca!
Empat ratus tahun berlalu. Bumi dan langit masih menunggu sosok anak dalam ramalan yang kelak hadir menyelamatkan dunia ini dari kehancuran. Saat asyikbercanda gurau, tiba-tiba Roh Gatra datang menghampiri mereka. “Anak itu sebentar lagi lahir,” kata Gatra. “Ini mungkin hanya firasat, tapi aku yakin anak itu akan hadir di dunia ini.” Bumi pamit pada langit karena ingin memantau aktivitas semua manusia. Dari semua itu, ada satu hal yang menarik perhatian. Pandangan bumi tiba-tiba terpusat pada sebuah desa kecil bernama Buncitan. Beberapa warga berkumpul di balai desa. Wajah mereka semakin tirus dan perut mereka perlahan mengecil. Kasus kelaparan melanda kampung kecil ini. Masyarakat memiliki penyakit yang sama, busung lapar dan kurang gizi. Setidaknya dalam dua tahun terakhir, banyak warga yang memilih pergi dari kampung. Tidak sedikit juga yang pulang ke kampung halaman mereka -alam baka, menemui Dewata karena tidak kuat menahan kemiskinan yang
“Serahkan pemuda itu atau kalian semua akan kubunuh!”Wusasena, ketua perguruan Elang Hitam, datang membawa ratusan pasukannya. Semuanya merupakan pendekar tingkat langit dan memiliki kanuragan melebihi manusia pada umumnya.Kepala desa keluar dan berteriak lebih keras lagi. “Asokaadalah anak emas kami. Kami tidak akan menyerahkannya begitu saja.”“Jangan gegabah! Kami bisa membunuh kalian dalam hitungan menit. Jika kalian tidak mau memberikannya, kami akan menggunakan cara kekerasan untuk mendapatkannya!”“Kami akan melindungi Asokawalau harus mempertaruhkan nyawa kami!”“Serang desa itu!” Wusasena memerintah murid-muridnya bergerak memborbardir desa.Puluhan pendekar bergerak. Mereka membawa senjata masing-masing. Tombak, pedang, dan golok sudah disiapkan jauh-jauh hari untuk penyerangan itu.Beberapa turun, tapi sebagian besar tetap menunggu di atas. Mereka ada
“Sekarang musim hujan ya, Pak? Asokaingin hujan-hujan, tapi Asokaharus pergi dari sini. Asokasedih harus pisah sama Bapak saat hujan seperti ini.”Yang di atas memanglah hujan, tapi bukan hujan biasa. Ratusan anak panah melesat bagai air hujan. Darmono yang mengetahui hal tersebut, langsung melingkarkan tubuhnya ke tubuh anaknya.Crat!Darah mengucur begitu sebuah anak panah menusuk punggung Darmono hingga tembus sampai ke perut. Ada cairan hijau di ujung panah, menandakan panah ini sudah dilumuri racun mematikan.“Pergilah temui ibumu!” kata Darmono, suaranya semakin lemah. “Bapak sudah tidak kuat lagi. Hanya ini yang bisa Bapak lakukan untuk melindungimu. Pengorbanan Bapak jangan kau sia-siakan, Asoka!”“Tapi Bapak dulu pernah bilang ingin melihatku jadi pendekar sejati. Kenapa Bapak malah melukai diri seperti ini?”“Nak, dengarkan Bapak! Kamu harus pergi sekarang. Tem
Fajar menyongsong. Hujan turun dengan derasnya. Air hujan menyapu bersih darah yang berserakan di desa Buncitan, mengalirkannya lewat parit misterius di dekat pohon beringin.Asokaterbangun saat genangan air mengelilingi tubuhnya. Dia membuka mulutnya lebar-lebar demi bisa mengais serpihan air hujan. Kepalanya terlampau pening. Tubuhnya terbaring di sebuah kubangan yang airnya berwarna cokelat kemerahan.“Di mana ini?” tanyanya kebingungan.“Apa aku sudah mati? Apa sudah waktuku menyusul bapak dan ibu ke alam baka? Jika memang begitu, aku bisa bersyukur. Aku mati tanpa rasa sakit. Tulang-tulangku juga tidak ada yang bermasalah.”“Tapi sebentar, ini bukan mimpi, ini nyata! Apa yang terjadi denganku?”Bingung membuat Asokamengedarkan pandangan ke sekeliling. Hutan belantara. Tidak ada rumah ataupun jejak kaki yang nampak. Asokasadar dia masih hidup walau badannya penuh dengan luka. Saat menoleh ke
Asoka berteriak kesakitan. Pedang kecil yang dibawa si kakek berhasil melukai leher Asoka. Darah keluar dari leher Asoka, mengalir lumayan deras. Jika terus dibiarkan, Asoka bisa mati kehabisan darah."Sialan kau!" Asoka menendang Ki Seno Aji dan berlari menyusuri hutan.Ki Seno hanya tersenyum. Dia sengaja membuat goresan di leher Asoka meskipun tidak terlalu dalam. Untuk sementara waktu, Ki Seno membiarkan Asoka melarikan diri ke dalam hutan.Asoka kecil sering dididik agar tidak takut pada siapapun. Manusia sama-sama makan nasi dan minum air. Darmono bahkan melarang Asoka sujud pada siapapun, kecuali pada orang tua dan guru yang mengajarkan ilmu. Sebesar apapun kekuatan yang dimiliki manusia, itu semua tak lepas dari kehendak Dewata.Asoka tahu yang menolongnya adalah Ki Seno Aji, pendekar terkuat yang namanya terkenal di seluruh daratan Jawa, bahkan seluruh dunia. Tapi ketika dia merasa terancam, dia berhak untuk melawan tanpa takut mati sedikitpun.
Bersama Ki Seno Aji, Asoka menghabiskan waktunya hingga dia berhasil mencapai tingkat pendekar bumi awal. Sejauh ini tidak ada latihan fisik yang diajarkan Ki Seno Aji.Asoka hanya disuruh mencari kayu bakar di hutan, berburu hewan dengan panah dan tombak, serta memanjat pohon-pohon tinggi untuk mengasah kekuatan tangan dan kakinya. Kadang Asoka bertanya pada dirinya sendiri, kenapa dia mau disuruh-suruh seperti ini. Bahkan Asoka diperlakukan seperti pembantu, sedangkan Ki Seno hanya duduk menunggu di gubuk.Memasak, berburu, mencari buah, bahkan menimba dua gentong besar air di sungai yang letaknya sangat jauh dari gubuk, semua dilakukan Asoka.Hingga suatu hari, Asoka bertanya pada Ki Seno."Apa ini yang disebut latihan, Kek? Aku harus melakukan pekerjaan seperti pembantu?""Sepertinya tulangmu bertambah kuat," lirih Ki Seno, tidak menghiraukan pertanyaan Asoka. Ki Seno mengajak Asoka duduk, menikmati kopi panas di bawah mentari senja. "Sudah tig
Asoka menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan sakit yang amat menyiksa di punggungnya. Keringat mengucur dari pori-pori Asoka, mengalir membersihkan darah di sobekan bibirnya. Panasnya semakin terasa kala air sungai makin mendidih.Panas luar akibat uap air sungai, panas di dalam akibat energi yang dialirkan dari telapak tangan Ki Seno.Ingin rasanya Asoka menyerah menghadapi penderitaan ini, tapi ingatannya kembali memutar pembantaian beberapa minggu lalu. Seketika ucapan bapaknya terngiang di telinganya."Asoka janji memenuhi cita-cita Bapak. Asoka akan jadi pendekar sejati!"Pemindahan energi serta pembenahan detak nadi selesai dilakukan. Ki Seno lemas tak berdaya. Tubuhnya sempoyongan, lalu ambruk begitu saja.Menjelang sore, Ki Seno sadar dan melihat Asoka duduk di atas batu besar tadi. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Ki Seno."Aku tidak memikirkan apa-apa, Kek, hanya menunggumu siuman. Di sebelah goa ada ikan bakar untuk Kakek, aku tadi m
Semakin lama Asoka memandangi batu itu, nyala cahayanya semakin membesar. Asoka tidak kuat menatapnya terlalu lama. Dia khawatir cahaya itu bisa membutakan kedua matanya.Asoka menggeliat dan pergi ke sungai untuk membersihkan tubuhnya. Dia menguap lebar karena tadi malam tidak bisa tidur. Sambil bersiul kecil, dia masuk ke goa untuk mengambil kayu yang biasa dia gunakan menombak ikan.Lumayan lama Asoka menunggui ikan di sungai, sampai dia bosan dan tertidur. Nampaknya tidak ada ikan yang selamat akibat ledakan energi yang terjadi semalam.Asoka membangunkan Ki Seno, minta diajari ilmu meringankan tubuh."Untuk apa?" tanya Ki Seno singkat."Aku ingin pergi ke atas mencari buah-buahan yang bisa kita makan."Ki Seno mengajari Asoka ilmu meringankan tubuh."Untuk pemula sepertimu, kau harus bisa memusatkan energi di bagian paha dan punggung. Letakkan kedua tanganmu di atas lutut, pastikan telapak tanganmu terbuka. Tegakkan punggung dan
Kakek pertapa emosi dan menendang bokong Asoka. “Akhlakmu mbok yo dijaga! Kau ini sedang ada di rumah orang. Minimal, kau buang itu sampah pada tempatnya!”“Ma-maaf, Kek,” lirih Asoka sambil menundukkan kepala.“Maaf gundulmu! Cepat angkut semua kulit pisang itu dan buang di tempat sampah!”“Ta-tapi, Kek...”“Tidak ada tapi... cepat angkut semuanya! Aku tidak ingin melihat ladang yang selama ini kurawat jadi kotor karena kulit pisangmu!”Asoka memungut semuanya dengan wajah manyun. Moncong bibirnya tak kunjung tersenyum karena kesal dengan perilaku sang kakek.Usai mengumpulkan semua kulit pisang yang berserakan, Asoka membersihkan kotoran pisang yang menempel di sana. Dia ambil pasir dan menutup sisa-sisa pisang yang menempel di tanah. Setelah selesai, barulah Asoka kembali ke tempat si kakek.“Sudah, tunggu apa lagi? Cepat buang kulit pisang itu!”“
“Setan gendeng!” teriak Asoka setelah berguling menghindar. “Nggak usah sok bohongi aku! Tuyul, tuyul, mana ada tuyul dewasa! Lihat... bohong malah bikin gigimu panjang tau!”“Manusia gemblung! Takkan kubiarkan kau lolos dari sini hidup-hidup!”“Woi Genderuwo,” teriak seorang wanita cantik dari belakang, “dia itu mangsaku. Jangan mengaku-ngaku itu mangsamu!”Semua lelembut yang mengejar Asoka terdiam sejenak setelah mendengar suara Lara. Mereka sadar akan kedudukan Lara dan mempersilakan perempuan itu untuk berlari lebih dulu.Lara adalah dayang pribadi sang putri raja. Dia memiliki kelebihan dan kedudukan lebih dari pada semua lelembut yang hidup di perdesaan seperti ini. Bahkan, raja Abiyasa selalu memberikan desa ini bantuan karena Lara.Sama halnya dengan manusia, jin pun memiliki kerajaannya sendiri. Mereka punya pemimpin, selir, anak, dan rakyat. Daerah mereka juga sama dengan manusi
Tidak lama setelah itu, Lara masuk dengan wajah perempuan cantik. Asoka tidak tahu kalau Lara sebenarnya seorang lampir yang menyamar.“Bagaimana makanannya? Enak, kan?” tanya Lara dengan senyum mengembang tipis. Dia duduk di samping Asoka dan merangkul pinggangnya.Asoka bergidik. Baru kali ini dia berada sedekat itu dengan seorang cewek cantik. Tak ayal, tubuhnya kembali bergetar hebat.Gatra kembali mimisan hebat. Kali ini bahkan sampai muntah darah. “Bocah setan!” teriaknya, lalu pingsan karena tidak kuat menahan godaan Lara.“Ahh, jangan begitu, Nyi. Nyi Lara kan sudah punya sua-”“Panggil aku Lara,” bentak Lara dengan mata sedikit melotot.“Ba-baik, Lara. Tapi tolong singkirkan tanganmu karena aku tidak ingin membuat keributan di sini.” Asoka menurunkan tangan Lara perlahan.“Aku masih mencium bau darah di sini... jangan katakan kau tidak memakannya tadi siang!&rd
Asoka tidak menaruh curiga sedikitpun. Dia hanya mengangguk dan mengiyakan permintaan perempuan cantik di depannya. Gatra yang sadar, tidak bisa berbuat banyak.Dari sini kita tahu bahwa ingatan Gatra masih utuh. Hanya ingatan Asoka yang dihapus oleh penduduk Alas Lali Jiwo.Gatra curiga kalau Danang dan Ganang lah pelakunya. Itu terjadi saat tubuh Asoka tidak kuat menahan energi saat perpindahan dimensi dari hutan Arjuno menuju Alas Lali Jiwo.Alas Lali Jiwo, berarti hutan lupa diri. Sesuai dengan namanya, setiap orang yang sudah masuk ke dalam alas ini pasti akan mengalami kejadian seperti Asoka. Arka pun mengalami hal yang sama saat dia terjebak di sini.“I-ini apa, Nyi?” tanya Asoka lirih. Dia sedikit takut karena tidak kenal siapa perempuan di depannya.“Kau bisa panggil aku Lara... di dalam sana ada nasi dan ikan bakar yang sudah dibumbui sambal merah.”Asoka terlihat bersemangat. Setelah sekian lama dia tidak m
Beberapa menit kemudian, ada derapan kaki yang sangat cepat dari bawah gunung. Suaranya tidak terlalu kentara, tapi Gatra bisa merasakan suara itu. Dia kembali masuk ke tubuh Asoka dan memberitahu kalau ada bahaya yang datang.“Awas, ada sesuatu besar yang datang dari belakang. Dua benda, atau orang, entahlah.”Asoka diam sejenak. Dia mulai merasakan ada derapan kaki. Gandaru masih terus berjalan karena merasa Asoka berjalan mengikutinya.“Tolong, Tuan Musang!”Asoka berteriak ketika dua siluman kera membawanya. Mereka bergelantung ke arah Timur, ke arah sumber suara gamelan tadi berbunyi.Saat Asoka diculik, Gatra tiba-tiba terkunci dalam tubuh Asoka dan tidak bisa keluar. Bahkan untuk berbicara saja sangat sulit.“Ada apa ini!” Gatra berontak setelah dua besi kemerahan menghantam sayapnya.Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan Asoka.Posisi Gandaru berada jauh di belakang Danang da
Sebelum kelima bola itu mendarat, mustika merah dalam pedang raksasa kecil Asoka mengeluarkan cahaya. Pancarannya sangat hebat dan Asoka sampai-sampai menutup matanya. Tak lama, mustika merah sudah ada dalam genggaman Gatra yang masih dalam bentuk manusianya.“Guru, awas!” teriak Asoka sangat keras. Tubuhnya sudah dilapisi oleh perisai energi merah milik Gatra.Bluar!Sebuah ledakan sangat besar terjadi. Asap membumbung dan debu-debu bertebaran di mana-mana. Anak buah Gandaru terpental jauh hingga puluhan tombak. Ganang dan Ganang pun sama, mereka mencoba menahan ledakan itu, namun gagal.“Uhuk... gu-guru, uhuk...”Asoka merasakan kakinya seperti tertimpa batu raksasa. Sakit sekali. Hanya rasa tanpa luka fisik. Tapi hal tersebut cukup membuat Asoka mendesis tak henti-henti.Ledakan tersebut membuat pepohonan yang ada dalam jarak lima tombak di sekitar Gatra tumbang. Hutan tersebut menjadi gundul. Potongan batang pohon
Para siluman anak buah Gandaru menahan tekanan tersebut. Beberapa dari mereka tumbang akibat tidak kuat menahannya. Sementara Ganang, dia menahannya dengan palu godam yang sama seperti milik kakaknya.“Sakit,” lirih Asoka saat badannya terdorong ke tanah.Gravitasi yang ditimbulkan sangatlah kuat. Selama hampir satu menit, dua siluman itu terus beradu. Hanya mereka berdua yang masih berdiri kokoh. Yang lainnya sudah dalam posisi bungkuk, duduk, dan bahkan ada yang pingsan.“Soka, kau bisa mendengar suaraku,” lirih Gatra dalam tubuh Asoka.“Benarkah itu kau, Guru?” Tanya Asoka kembali.“Entah aku harus senang atau sedih. Tapi tekanan energi ini merusak segel yang beberapa hari lalu dibentuk oleh si pertapa jenggot abu-abu.”“Maksudmu pertapa yang aku temui di gunung Welirang?”“Benar, Soka. Dia lah yang menyegelku dan membuatku tidak bisa membagi kekuatan denganmu. Aku s
Gandaru mundur beberapa langkah. Dia mengambil jarak dari Ganang dan Danang. Tak lama, ujung dua ekornya mengeluarkan sinar merah seperti bola api.Puma merasa kalau tindakan rajanya terlalu gegabah. Jika Gandaru terpaksa melakukannya, maka hutan Arjuna yang merupakan rumah mereka akan terbakar.Melihat hal tersebut, jiwa pendekar Asoka bangkit. Dia ingin mendamaikan konflik antar dua lelembut dari dua tempat berbeda. Akan sangat beresiko memang, tapi Asoka harus melindungi keserasian hutan.Pemuda itu terlambat. Bola api di ujung ekor Gandaru sudah terlempar cepat ke arah Danang dan Ganang. Dua siluman kera Alas Lali Jiwo itu mengayunkan palu godamnya dan melemparkan bola api tadi ke atas.Seketika ledakan terjadi. Ada batuan panas yang membakar setiap yang dilaluinya. Asoka meloncat-loncat untuk menghindari batu panas tersebut. Dia pun tak sadar kalau para siluman yang sedang berseteru memandanginya dari jauh.“Ups, maaf. Aku hanya ingin me
Asoka sudah berlari lebih dulu. Saking takutnya, dia tidak sengaja mengeluarkan ilmu meringankan tubuh. Karena itulah, beberapa penghuni hutan yang lain penasaran dan malah mengejar Asoka.Pemuda itu kini dikejar oleh belasan siluman penghuni hutan. Dua di antaranya adalah Danang dan Ganang. Karena para siluman merasa asing dengan keberadaan keduanya, terjadilah perdebatan sengit.“Bocah itu milik kami. Kau tidak berhak untuk menangkapnya!” Siluman musang ekor dua membentak Danang. “Suruh kembaranmu turun atau kami akan membunuhmu di sini!”Asoka mendengar bentakan keras. Bentakan tersebut membangunkan Gatra. Sang gagak terkejut dan sadar adanya tabrakan energi hitam yang cukup kuat. Nampaknya dua monyet kembar tadi setara dengan seorang pendekar tingkat langit.Karena penasaran, Asoka tidak langsung kabur. Dia menekan kuat-kuat tenaganya agar tidak terdeteksi oleh penghuni hutan yang lain.Saat perdebatan sengit terjadi, As