Pedang mirabilis meliuk-liuk menghantam beberapa prajurit bersenjata tombak. Prajurit bertumbangan laksana pohon roboh, tak berdaya menghadapi amukan pedang. Mereka datang untuk mengantarkan nyawa. Permainan pedang Banga sulit ditandingi. Sekali tebas, tombak dan samurai berjatuhan terpotong dua. "Kalian hanyalah martir yang tidak berguna bagiku!" kata Banga masygul. "Sebanyak apa kalian mendatangiku sebanyak itu nyawa tercecer!" "Kesombonganmu akan menghancurkan dirimu sendiri, anak muda!" gertak komandan prajurit. "Kau takkan bisa menantang istana dengan tanganmu sendiri!" "Bagi cecunguk menumbangkan ratu durjana adalah sebuah kemustahilan! Bagiku hanyalah sebuah jalan yang sedang kulewati!" Prajurit mengepung dengan gagah berani, meski kawan mereka bertumbangan. Lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan nyali, begitu prinsip mereka. Naifnya mereka bukan membela kebenaran dan keadilan, mereka diperalat untuk mempertahankan kekuasaan ratu tak berhati. Banga sudah
Ksatria yang menyamar jadi petani itu bernama Abimanyu, klan Adikara yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian. Ia sulit melawan ribuan prajurit dan tokoh sakti yang membumihanguskan perumahan klan Adikara. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik jelita bernama Mihira, dan perempuan yang pernah ditolong Banga bernama Sekar. "Aku kira Banga tidak butuh bantuan," kata Abimanyu. "Aku bangga klan Adikara mempunyai ksatria gagah berani, selain cendekia dengan pena yang tajam." "Banga cocok sekali menjadi pemimpin pergerakan untuk menuntut balas kematian klan Adikara," ujar Mihira. "Ada beberapa saudagar besar klan Adikara bermukim di Han Barat, mereka siap memberi bantuan finansial untuk pergerakan." "Banga ingin berjuang sendiri," ucap Sekar. "Aku sudah menawarkan diri menjadi budaknya, namun ia menolak dengan pertimbangan keselamatan diriku." Banga tidak boleh melawan seorang sendiri, batin Mihira kelu. Bukan dirinya saja yang murka, semua anggota klan yang tersisa me
"Banga!" Banga berhenti melangkah saat suara merdu yang tidak asing di telinga memanggilnya. Ada sinar kebahagiaan di mata Banga melihat seorang gadis cantik jelita berlari menghampiri. Gadis itu ternyata selamat dari pembantaian. Mihira adalah teman bermainnya sewaktu kecil. Menjelang remaja ia menimba ilmu di Han Barat. Sekarang ia pulang dan menemukan keluarganya sudah tewas, menyedihkan sekali. Orang tua Banga dan Mihira adalah bangsawan terkemuka di klan Adikara. Mereka terkenal sebagai saudagar dermawan dan menentang sistem perbudakan. "Aku senang melihatmu semakin cantik," puji Banga. "Seharusnya kau tidak pulang demi keselamatan dirimu." "Aku tidak langsung pulang setelah lulus kejuruan. Aku belajar ilmu bela diri di pegunungan Kunlun untuk menuntut balas atas pemusnahan klan Adikara." Mata bening kebiru-biruan itu berkobar dibakar dendam, sebagaimana anggota klan yang ditemui Banga sebelumnya, mereka pulang untuk menuntut balas. Mereka kebanyakan belajar ilmu
Mihira memandang sedih. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar jawaban yang membuat kemarau hatinya. Padahal ia ingin melaksanakan amanah terakhir orang tuanya. Perkawinan bukan duri untuk perjuangan. Menggulingkan Ratu Nayaka butuh kekuatan besar. Mustahil berjuang sendiri. Hanya mengantarkan nyawa pada tiang gantungan. "Aku tahu di antara kita tidak ada cinta," kata Mihira kelu. "Sejak kecil di hati kita hanya ada rasa persahabatan. Aku berusaha menyingkirkan rasa itu untuk menghibur orang tuaku di alam langgeng." "Aku bukan menolak perjodohan kita," elak Banga tidak enak. "Aku menghormati perjanjian orang tua kita. Namun mengertilah, pedang mirabilis menuntut aku untuk menjadi ksatria perang." "Tiada larangan bagi ksatria perang untuk berumah tangga. Bukankah semakin banyak istri semakin menunjukkan kebesaran namamu?" Istri adalah lambang kebesaran pada abad pertengahan. Semakin banyak istri semakin tinggi derajat suami. Kebesaran nama lelaki dilihat dari berapa
Mihira terkejut. "Bagaimana kau menyebut mereka pengkhianat? Mereka sudah bersamaku sejak di Han Barat." Mihira menganggap Banga sudah gelap mata dibutakan dendam. Ia menjatuhkan hukuman mati secara serampangan. Sepasang pengantin baru itu maniak bercinta. Mereka akan bertempur di mana pun jika muncul hasrat. Kebiasaan di Han Barat terbawa pulang ke Salakanagara. Mereka bahkan berbuat di semak-semak tanpa peduli situasi. Mereka jatuh sakit jika hasrat tak tersalurkan. "Menurut tabib Han Barat, mereka memiliki kelainan. Sebagian anak muda di perkotaan mengalami gejala serupa." Banga tersenyum dingin. "Jangan meyakinkan diriku dengan mencatut tabib asing. Mereka bukan klan Adikara. Kau sudah tertipu." "Mereka tinggal di perkotaan," sanggah Mihira. "Jadi kau tidak mengenal mereka." "Aku sangat mengenal budaya klan Adikara, meski tidak mengenal orangnya. Anak muda klan Adikara tidak pernah memanggil tuan kepada pemuda seusia." Mihira terdiam. Ia tidak memperhatikan sampai
Banga memutuskan untuk tinggal beberapa waktu di kampung ini. Ia memperkirakan prajurit kerajaan akan mengobrak-abrik rumah penduduk jika menemukan para petani muda itu sudah melarikan diri. Adipati terlalu menganggap enteng. Ia hanya mengirimkan pasukan reguler dan komandan peleton berkemampuan standar untuk menangkap dirinya. Kampung ini berbatasan dengan kota kadipaten. Tidak banyak prajurit ditempatkan di kedukuhan, juga tokoh silat beberapa saja, kebanyakan pendekar bayaran. "Aku pergi ke rumah kepala kampung lebih dahulu," kata Banga. "Aku kira ia sudah mendapat kabar tentang peristiwa di perbatasan ini." Banga tidak meminta Abimanyu untuk kembali jika kampung ini berhasil ditaklukkan. Ia ingin menyerahkan kepada tokoh kampung untuk mengelolanya. Berani menentang kehendaknya, berarti siap menjadi korban pedang kalkolitik. Mereka mesti diancam agar berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka sudah saatnya bangkit untuk merobohkan tirani. Hidup dalam ketakutan tak
Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi?" "Penguasa langit menginginkan kita merubah nasib sendiri." Orang-orang riuh
Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah kepala kampung. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka menjadi pecundang. "Kalian bodoh semua!" maki kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita semalam saja menginap di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Kau tidak malu masih memikirkan keselamatan hidupmu padahal sudah bau tanah? Sementara merek
Banga tidak bermaksud menyindir mereka, namun kakek bongkok mendadak berubah pikiran. Ia keluar dari antrian, matanya memandang nanar ke arah penduduk yang berduyun-duyun masuk ke halaman rumah kepala kampung. Mereka adalah tetangga yang setiap hari minum kopi di kedainya, dan paling gigih mengkritik kepala kampung, Hari ini mereka menjadi pecundang. "Kalian bodoh semua!" maki kakek bongkok. "Untuk apa minta perlindungan pada kepala kampung yang menginginkan kematian kalian?" "Kau kesurupan apa, Ki Lontong?" tanya kakek sebaya. "Kau sering ceramah bahwa kita perlu bertahan hidup untuk membantu perjuangan. Kita semalam saja menginap di rumah kepala kampung, setelah itu mengalir lagi sumpah serapah untuknya." Ki Lontong mengetukkan tongkat ke tanah sehingga debu beterbangan dan hinggap di kakinya. Ia mendelik marah, seakan hatinya sudah tersinari cahaya perjuangan anak cucunya. "Kau tidak malu masih memikirkan keselamatan hidupmu padahal sudah bau tanah? Sementara merek
Sebuah rumah megah dan besar dengan halaman luas dikelilingi pagar tinggi. Di pintu gerbang dua orang penjaga berwajah sangar sibuk memungut biaya untuk masuk ke rumah itu. Penduduk antri panjang. Dewasa, remaja, anak-anak, berdesak-desakan ingin segera masuk dengan wajah berpeluh. Maklumat untuk berlindung di rumah kepala kampung membuat mereka rela antri dalam panggangan matahari. Mereka tidak berani tinggal di rumah karena akan menjadi target pasukan kotaraja. "Kapan kepala kampung berbuat kebaikan untuk rakyatnya?" gerutu seorang bapak yang antri paling belakang. "Minta perlindungan saja dipungut biaya. Aku curiga ia bekerja sama dengan pasukan kotaraja." "Bukankah kongkalingkong sudah membudaya? Aku berharap ksatria perang datang untuk menumpas kesewenang-wenangan." "Kemunculan ksatria perang hanyalah mimpi di zaman kita." "Perbuatan mereka sudah melampaui batas. Menunggu sampai kapan lagi?" "Penguasa langit menginginkan kita merubah nasib sendiri." Orang-orang riuh
Banga memutuskan untuk tinggal beberapa waktu di kampung ini. Ia memperkirakan prajurit kerajaan akan mengobrak-abrik rumah penduduk jika menemukan para petani muda itu sudah melarikan diri. Adipati terlalu menganggap enteng. Ia hanya mengirimkan pasukan reguler dan komandan peleton berkemampuan standar untuk menangkap dirinya. Kampung ini berbatasan dengan kota kadipaten. Tidak banyak prajurit ditempatkan di kedukuhan, juga tokoh silat beberapa saja, kebanyakan pendekar bayaran. "Aku pergi ke rumah kepala kampung lebih dahulu," kata Banga. "Aku kira ia sudah mendapat kabar tentang peristiwa di perbatasan ini." Banga tidak meminta Abimanyu untuk kembali jika kampung ini berhasil ditaklukkan. Ia ingin menyerahkan kepada tokoh kampung untuk mengelolanya. Berani menentang kehendaknya, berarti siap menjadi korban pedang kalkolitik. Mereka mesti diancam agar berani menegakkan kebenaran dan keadilan. Mereka sudah saatnya bangkit untuk merobohkan tirani. Hidup dalam ketakutan tak
Mihira terkejut. "Bagaimana kau menyebut mereka pengkhianat? Mereka sudah bersamaku sejak di Han Barat." Mihira menganggap Banga sudah gelap mata dibutakan dendam. Ia menjatuhkan hukuman mati secara serampangan. Sepasang pengantin baru itu maniak bercinta. Mereka akan bertempur di mana pun jika muncul hasrat. Kebiasaan di Han Barat terbawa pulang ke Salakanagara. Mereka bahkan berbuat di semak-semak tanpa peduli situasi. Mereka jatuh sakit jika hasrat tak tersalurkan. "Menurut tabib Han Barat, mereka memiliki kelainan. Sebagian anak muda di perkotaan mengalami gejala serupa." Banga tersenyum dingin. "Jangan meyakinkan diriku dengan mencatut tabib asing. Mereka bukan klan Adikara. Kau sudah tertipu." "Mereka tinggal di perkotaan," sanggah Mihira. "Jadi kau tidak mengenal mereka." "Aku sangat mengenal budaya klan Adikara, meski tidak mengenal orangnya. Anak muda klan Adikara tidak pernah memanggil tuan kepada pemuda seusia." Mihira terdiam. Ia tidak memperhatikan sampai
Mihira memandang sedih. Ia sama sekali tak menyangka akan mendengar jawaban yang membuat kemarau hatinya. Padahal ia ingin melaksanakan amanah terakhir orang tuanya. Perkawinan bukan duri untuk perjuangan. Menggulingkan Ratu Nayaka butuh kekuatan besar. Mustahil berjuang sendiri. Hanya mengantarkan nyawa pada tiang gantungan. "Aku tahu di antara kita tidak ada cinta," kata Mihira kelu. "Sejak kecil di hati kita hanya ada rasa persahabatan. Aku berusaha menyingkirkan rasa itu untuk menghibur orang tuaku di alam langgeng." "Aku bukan menolak perjodohan kita," elak Banga tidak enak. "Aku menghormati perjanjian orang tua kita. Namun mengertilah, pedang mirabilis menuntut aku untuk menjadi ksatria perang." "Tiada larangan bagi ksatria perang untuk berumah tangga. Bukankah semakin banyak istri semakin menunjukkan kebesaran namamu?" Istri adalah lambang kebesaran pada abad pertengahan. Semakin banyak istri semakin tinggi derajat suami. Kebesaran nama lelaki dilihat dari berapa
"Banga!" Banga berhenti melangkah saat suara merdu yang tidak asing di telinga memanggilnya. Ada sinar kebahagiaan di mata Banga melihat seorang gadis cantik jelita berlari menghampiri. Gadis itu ternyata selamat dari pembantaian. Mihira adalah teman bermainnya sewaktu kecil. Menjelang remaja ia menimba ilmu di Han Barat. Sekarang ia pulang dan menemukan keluarganya sudah tewas, menyedihkan sekali. Orang tua Banga dan Mihira adalah bangsawan terkemuka di klan Adikara. Mereka terkenal sebagai saudagar dermawan dan menentang sistem perbudakan. "Aku senang melihatmu semakin cantik," puji Banga. "Seharusnya kau tidak pulang demi keselamatan dirimu." "Aku tidak langsung pulang setelah lulus kejuruan. Aku belajar ilmu bela diri di pegunungan Kunlun untuk menuntut balas atas pemusnahan klan Adikara." Mata bening kebiru-biruan itu berkobar dibakar dendam, sebagaimana anggota klan yang ditemui Banga sebelumnya, mereka pulang untuk menuntut balas. Mereka kebanyakan belajar ilmu
Ksatria yang menyamar jadi petani itu bernama Abimanyu, klan Adikara yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian. Ia sulit melawan ribuan prajurit dan tokoh sakti yang membumihanguskan perumahan klan Adikara. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik jelita bernama Mihira, dan perempuan yang pernah ditolong Banga bernama Sekar. "Aku kira Banga tidak butuh bantuan," kata Abimanyu. "Aku bangga klan Adikara mempunyai ksatria gagah berani, selain cendekia dengan pena yang tajam." "Banga cocok sekali menjadi pemimpin pergerakan untuk menuntut balas kematian klan Adikara," ujar Mihira. "Ada beberapa saudagar besar klan Adikara bermukim di Han Barat, mereka siap memberi bantuan finansial untuk pergerakan." "Banga ingin berjuang sendiri," ucap Sekar. "Aku sudah menawarkan diri menjadi budaknya, namun ia menolak dengan pertimbangan keselamatan diriku." Banga tidak boleh melawan seorang sendiri, batin Mihira kelu. Bukan dirinya saja yang murka, semua anggota klan yang tersisa me
Pedang mirabilis meliuk-liuk menghantam beberapa prajurit bersenjata tombak. Prajurit bertumbangan laksana pohon roboh, tak berdaya menghadapi amukan pedang. Mereka datang untuk mengantarkan nyawa. Permainan pedang Banga sulit ditandingi. Sekali tebas, tombak dan samurai berjatuhan terpotong dua. "Kalian hanyalah martir yang tidak berguna bagiku!" kata Banga masygul. "Sebanyak apa kalian mendatangiku sebanyak itu nyawa tercecer!" "Kesombonganmu akan menghancurkan dirimu sendiri, anak muda!" gertak komandan prajurit. "Kau takkan bisa menantang istana dengan tanganmu sendiri!" "Bagi cecunguk menumbangkan ratu durjana adalah sebuah kemustahilan! Bagiku hanyalah sebuah jalan yang sedang kulewati!" Prajurit mengepung dengan gagah berani, meski kawan mereka bertumbangan. Lebih baik kehilangan nyawa daripada kehilangan nyali, begitu prinsip mereka. Naifnya mereka bukan membela kebenaran dan keadilan, mereka diperalat untuk mempertahankan kekuasaan ratu tak berhati. Banga sudah
Pendekar berkumis baplang melarikan diri, ia merasa tertipu karena ksatria yang dihadapi bukan pemberontak sebagaimana yang diceritakan kepala kampung. Ksatria yang dihadapi adalah ksatria terluka karena klannya dimusnahkan secara keji. Ia mengamuk laksana macan terluka dengan energi dendam yang dimiliki. Kemarahannya sulit dihentikan, selain menghirup darah untuk mengobati luka yang diderita. Ia tidak ingin mati konyol. "Mustahil bagi kaki tangan kepala kampung lolos dari pedang mirabilis," kata Banga sambil berjumpalitan di udara dan mendarat di hadapan pendekar itu. "Kau harus menyusul kawan-kawanmu." Banga membabatkan pedang, pendekar berkumis baplang berusaha menangkis dengan golok, golok patah dua, tebasan pedang merobek dada. Pendekar berkumis baplang tumbang dengan golok buntung di tangan. Banga pergi meninggalkan tempat itu dengan dingin. Amarah dan dendam telah membekukan hatinya. "Ada lagi yang mencari mati," geram Banga. "Padahal mereka bisa menikmati hidup le