Para murid padepokan Merak Putih sudah berkumpul membentuk lingkaran, disusul para tabib yang juga membentuk lingkaran di belakang mereka. Tarusbawa dan Limbur Kancana terbaring di tengah-tengah lingkaran.“Untuk melakukan jurus Tenaga Bintang, kita harus mengarahkan kedua tangan kita ke depan dan memusatkan seluruh pikiran dan kekuatan kita untuk membagi kekuatan kita pada orang yang akan menerimanya. Selain kekuatan, keberhasilan jurus ini akan sangat ditentukan dengan ketenangan dan pengendalian kekuatan kita,” ujar Barma.“Untuk bisa menggunakan jurus ini dengan baik, kita seharusnya melalui pelatihan cukup panjang untuk bisa mengendalikan kekuatan dan ketenangan kita. Hanya saja, kita tidak memiliki waktu untuk melakukannya sekarang,” sambung Sekar Sari yang kemudian memberi anggukan pada Indra untuk segera memulai jurus. “Apa kalian semua mengerti?” tanya Indra.Satu per satu murid dan tabib mulai mengangguk, menoleh satu sama lain.“Baiklah, kita akan memulai jurus ini sekar
“Apa yang harus aku lakukan?”Di tengah para siluman yang siap menyerangnya, Jaka mengalirkan tenaga dalamnya ke arah kain merah. Tubuhnya seketika terisap ke dalam kain. Di saat yang sama, Sekar Sari, Indra, Meswara, dan Arya nyaris tidak sadarkan diri.Jaka melesat ke dalam. Ia terdiam saat melihat Tarusbawa dan Limbur Kancana diselimuti cahaya putih yang berasal dari tangan Sekar Sari, Indra, Meswara, dan Arya. Menatap ke sekeliling, ia mendapati para murid padepokan dan para tabib sudah terbaring tak sadarkan diri.Jaka menoleh ke atas. “Lubang sudah sepenuhnya tertutup.”“Aku tidak tahu apa yang sedang mereka lakukan, tapi sepertinya aku harus membantu mereka.” Jaka mengulurkan kedua tangan, mengalirkan kekuatan. Bersamaan dengan Sekar Sari dan Indra yang nyaris tumbang ke belakang, Jaka mendaratkan tangan di punggung mereka. “Bertahanlah.”Sekar Sari dan Indra seketika menoleh, kembali memaksakan diri untuk duduk tegak. Keduanya merasakan kekuatan mereka kembali bertambah.Indra
Dua Jurig Lolong tiba-tiba meraung ketika dua harimau Limbur Kancana menyerang ke arah mereka. Jaka dan kesepuluh tiruan Limbur Kancana segera melesat ke atas. Para siluman hitam yang melihat hal itu seketika melompat.Jaka memutar tubuh seraya melayangkan ayunan pedang secepat mungkin. Beberapa siluman berhasil terlempar, sedang sebagian justru bertahan dan terus kembali menyerang hingga ada yang berhasil menggigit tangan dan kakinya.Jaka mengentak udara sekuat mungkin, melesat ke atas dengan pedang yang tertuju ke atas. Saat tubuhnya memutar, sebuah cahaya tiba-tiba muncul dari ujung pedangnya. Cahaya itu terbang ke atas, berhamburan menjadi titik-titik kecil, kemudian berubah bentuk menjadi puluhan pedang yang akhirnya melesat ke arah para siluman hitam.Jaka menendang satu siluman hitam yang menggigit kakinya, disusul melayangkan ayunan pedang pada leher siluman yang mengigit lengan kirinya. Kedua siluman itu berhasil lepas dari tubuhnya meski sempat melawa
Limbur Kancana memanggil kendi pengisap, melompat ke atas medan pertarungan para pendekar dengan para pendekar golongan hitam dan para siluman. Ia melesatkan serangan jarak jauh untuk memundurkan para pendekar golongan hitam dan para siluman, lalu mendarat di depan para pendekar golongan putih.“Pendekar Hitam,” ujar Wirayuda dan para petinggi golongan putih yang lain.Para pendekar tampak bersuka cita dengan kembali Limbur Kancana.“Syukurlah kau masih selamat. Kami sangat mengkhawatirkan keadaanmu.”“Aku akan menjelaskan semuanya nanti pada kalian. Sekarang, bantu aku untuk menangkap para pendekar golongan hitam dan siluman hitam ke dalam kendi.”Limbur Kancana bersiap dengan kendi. Para pendekar dengan cepat berbaris ke samping dan belakang, saling memegang pundak teman di depan.Limbur Kancana membuka tutup kendi. Dalam sekejap, para pendekar golongan hitam dan para siluman yang akan menyerang seketika terisap. Siluman dan para pendekar yang berada di tengah dan belakang berusaha
Para pendekar golongan putih terus bergerak ke Jaya Tonggoh. Sementara itu, para pendekar golongan hitam dibuat kocar-kacir. Para siluman hitam masih menghadang di jalan meski tidak melakukan perlawanan. Mereka tidak bisa mendekat karena melihat kendi yang dipegang Limbur Kancana.Nyi Genit, kelima anggota Cakar Setan, Wintara, Nilasari, Munding Hideung, Bangkong Bodas, dan Simeut Koneng berjajar di depan di mana Wira dan Danuseka dan para siluman hitam berada di belakang mereka.Dari arah sisi utara Jaya Tonggoh, para pendekar golongan hitam berhamburan, disusul para siluman hitam yang memekik kencang.“Dasar makhluk-makhluk lemah!” Nyi Genit tampak geram melihat para pendekar golongan hitam berlarian ke arahnya.Nyi Genit memejamkan mata sesaat, melihat melalui pandangan para siluman hitam. “Pendekar bernama Limbur Kancana itu sudah kembali. Dia menggunakan kendi pengisap untuk mengisap para pendekar dan para siluman.”“Para pendekar itu sepertinya hendak menyetor nyawa mereka sendi
“Kalahkan mereka!” teriak Wirayuda.Pertarungan antara golongan putih dan golongan hitam akhirnya pecah. Wirayuda, Ekawira, Galisaka, Jatiraga, Kolot Raga, Baktijaya dan Tapasena melesat ke depan, diikuti oleh para pendekar. Suara teriakan, gertakkan gigi, tanah yang dipijak, debu yang berterbangan dan senjata yang saling beradu terdengar dari mana-mana.Nyi Genit melompat ke salah satu Jurig Lolong, mengawasi pertempuran dari ketinggian. Ia tersenyum saat melihat para siluman bawahannya membantai para pendekar hingga berjatuhan ke tanah. Meski begitu, para pendekar kembali bangkit dan menyerang.Nyi Genit tertawa. “Para pendekar bodoh itu tidak akan bertahan lama. Mereka bisa bertarung karena dorongan dalam jiwa mereka. Setelah dorongan itu menghilang dan mereka melihat dengan jelas kematian teman-teman mereka, mereka akan—”Nyi Genit terkejut ketika menyadari serangan ratusan panah putih yang tertuju padanya. Ia segera mengibaskan selendang untuk menahan serangan tersebut. Akan teta
Angin berembus kencang dari arah Jaya Tonggoh, disusul guncangan kuat ke sekeliling. Perjalanan Galih Jaya, Dharma, Malawati dan para pendekar muda lainnya terhenti karena pepohonan berguncang kuat hingga ranting berjatuhan dan daun berguguran.Asap tebal tampak mengelilingi Jaya Tonggoh dari kejauhan. Kawanan burung dan hewan lain berlari menjauh ke hutan lebih dalam. Untuk sementara waktu, para pendekar terdiam dengan tatapan tertuju ke arah Jaya Tonggoh.“Pertarungan kembali terjadi,” ujar Galih Jaya dengan wajah cemas, mengepal tangan erat-erat. Saat menoleh pada rekan-rekannya, ia melihat raut khawatir dan ketakutan. “Kita harus melanjutkan kembali perjalanan, Galih Jaya.” Dharma menyentuh bahu Galih Jaya. “Aku tidak bermaksud buruk dan meremehkan perjuangan para pendekar yang sedang bertarung di Jaya Tonggoh. Hanya saja, kita harus bisa memikirkan keadaan terburuk dari pertarungan yang sekarang terjadi.”Galih Jaya menarik napas panjang, menatap satu per satu pendekar yang sud
“Benar.” Ajisoka menoleh ke arah Jaya Tonggoh sesaat. “Setelah kami semua pulih dan mendengar penjelasan dari para pendekar yang menjaga kami, kami semua memutuskan untuk pergi ke Jaya Tonggoh untuk ikut dalam pertarungan.”“Kami tidak ingin menjadi beban terus-menerus. Selama kami tidak sadarkan diri, sudah banyak hal yang terjadi, termasuk korban yang terus berjatuhan,” ujar Amarsa.“Syukurlah, kau berhasil selamat, Malawati.” Gendis memeluk Malawati erat. “Kami akan membayar waktu isitrahat kami dengan bergabung dalam pertarungan.”“Sayangnya keadaan tidak menguntung bagi kita,” ujar Dharma, “para pertinggi golongan putih justru memerintahkan kami untuk menjauhkan diri dari pertarungan.”Ajisoka, Amarsa, Gendis, dan para pendekar yang menjadi korban Wintara dan Nilasari saling berpandangan satu sama lain.“Pasukan pendekar golongan hitam berhasil memukul mundur pasukan pendekar golongan putih hingga ke sisi Jaya Tonggoh. Dilihat dari berbagai sisi, para pendekar golongan putih suda