Para tabib tampak sibuk mondar-mandir di sekeliling para pendekar. Sebagian berusaha mengobati mereka, sebagian yang lain hilir mudik mengambil ramuan obat.Galih Jaya, Dharma, Malawati dan pendekar lain tampak sibuk mempersiapkan seluruh persiapan untuk menghadapi kemungkinan penyerangan yang dilakukan Wintara dan Nilasari. Para penjaga tampak sudah bersiap siaga di setiap sudut perbatasan.Limbur Kancana masih duduk di atas gua. Ia melihat keadaan sekeliling hutan dengan bantuan penglihatan para tiruannya. Para tiruan itu sudah diselimuti penawar racun kalong setan yang tersisa sehingga akan bisa bertahan lebih lama jika terkena racun kalong setan.Limbur Kancana bertukar tempat dengan tiruannya yang berada di luar kubah yang melindungi sekeliling gua. Ia melompat tinggi ke atas kubah, lalu membuka kendi berisi penawar racun kalong setan yang diberikan Sekar Sari. Asap putih seketika muncul, lantas menyelimuti sekeliling kubah. Kubah tiba-tiba muncul ke permukaan. Lapisannya tampak
Limbur Kancana menoleh ke samping kiri dan kanan ketika melihat dua bayangan bergerak cepat mengelilingi kubah pelindung.“Bagaimana jika mereka berhasil menembus pertahanan kubah pelindung di saat para pendekar belum sadarkan diri dan para tabib yang belum berhasil menyempurnakan penawar racun kalong setan?” tanya Malawati dengan wajah gelisah, “itu pasti akan menjadi keadaan yang sangat buruk. Dengan kekuatan kita sekarang akan sangat sulit untuk menghadapi mereka.”Limbur Kancana memanggil tiga kendi. “Ambillah kendi-kendi ini.”Galih Jaya, Dharma dan Malawati saling menoleh satu sama lain, kemudian mulai mengambil masing-masing satu kendi.“Kalian bisa memasukkan para pendekar, para tabib atau musuh sekalipun ke dalam kendi untuk menyelamatkan mereka atau menangkap mereka. Pergunakan kendi-kendi itu dengan sebaik mungkin. Kendi-kendi itu memang memiliki kekuatan yang luar biasa, tetapi seperti senjata lain, kendi-kendi itu juga memiliki batasan.”“Kami mengerti,” sahut Galih Jaya,
Semua anggota Cakar Setan bergegas meninggalkan danau siluman. Mereka berlari di atas permukaan air, melompati satu per satu puncak pohon dengan cepat. “Akulah yang akan membunuh Tarusbawa dan menyerahkan kepalanya pada Gusti Totok Surya,” ujar Wulung di tengah tangannya yang melemparkan cambuk dan menarik tubuhnya, “jangan menghalangiku atau kalian akan tersiksa di tanganku.” “Teruslah bermimpi, Wulung.” Argaseni melesatkan tongkat ularnya ke arah depan, menarik dirinya secepat mungkin. “Kau tidak akan bisa menyentuhnya selama masih ada aku.” “Orang-orang bodoh seperti kalian hanya bicara tanpa bukti!” Brajawesi mendengkus seperti kerbau. Kapak merahnya menarik dirinya ke arah perbatasan kubah. “Akulah yang akan membunuh Tarusbawa dengan kapak merahku.” Bangasera menatap tajam Wulung, Argaseni dan Brajawesi yang bergerak di depannya. “Kalian boleh menghajar Tarusbawa sampai sekarat, tapi akulah yang akan membunuhnya dan menyerahkan kepalanya pada Gusti Totok Surya. Tarusbawa, kau
Danuseka meringis kesakitan, kembali bangkit dan mendekat ke arah Kartasura. “Aku yakin para pendekar golongan putih tidak akan membunuh Wira, Kartasura. Mereka pasti menyekapnya untuk mencari tahu mengenaimu.”Kartasura melemparkan sebuah kendi pada Danuseka. “Kendi itu berisi air danau siluman yang bisa menyembuhkan luka ringan dan sedang dengan cepat. Kau harus menyembuhkan dirimu sebelum kita pergi menuju markas para pendekar golongan putih untuk mencari Wira.”Danuseka membuka kendi yang diberikan Kartasura. Ia menarik air yang berada di dalamnya, kemudian mengarahkannya pada luka di dada dan tubuhnya.Kartasura kembali memejamkan mata untuk mengetahui keadaan anggota Cakar Setan yang lain. Ia melihat keempat pendekar itu tengah bergerak melintasi hutan. Sebuah kubah pelindung berukuran besar muali terlihat di mana beberapa pendekar tampak tengah berjaga. “Mereka sudah hampir sampai di markas para pendekar golongan putih.”Danuseka selesai memulihkan diri, kembali menutup kendi.
Sementara itu, Nyi Genit masih berada di sekitar danau siluman, mengawasi keadaan danau untuk sementara waktu. “Aku harus memulihkan diri untuk mengembalikan kekuatanku. Aku yakin pertarungan sebentar lagi akan dimulai.”Siluman wanita itu berjalan ke tengah danau dengan kedua tangan menyatu di depan dada. Sebuah semburan air mendadak muncul hingga terlihat dari kejauhan.Nyi Genit duduk bersila di tempat munculnya semburan air tersebut. Saat matanya tertutup, selendang kuningnya segera membentuk kuncup bunga yang menutupi seluruh tubuhnya. Air danau mendadak bergolak dan meletup-meletup.Penglihatan Nyi Genit mengelana ke sekeliling hutan. Begitu mendapati kubah yang mengurung Tarusbawa menghilang, ia segera membuka mata. “Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin kubah itu hancur?”Selendang kembali seperti semula ketika Nyi Genit berdiri. Amarah terlihat jelas di wajahnya. Bersamaan dengan kepalan tangan yang menguat, angin mendadak berembus kencang dan air tiba-tiba meletup-letup.“Taru
“Ah!” Nyi Genit memekik tajam hingga mencipta angin kuat yang langsung menyebar ke sekeliling. Ia melemparkan serangan secara asal hingga beberapa pohon bertumbangan dan tanah berlubang. Wajahnya memerah karena dikuasai amarah. Ia benar-benar sudah dipecundangi dan dihina oleh Sekar Sari.“Aku terlalu meremehkan gadis berselendang merah itu!” Nyi Genit mengepalkan tangan kuat-kuat. Ia menutup satu mata dengan satu tangan, mengawasi keadaan hutan melalui penglihatan siluman yang baru saja dikirimkannya.“Aku pasti akan membunuhmu!” Nyi Genit melempar dua bagian selendangnya ke depan, lalu menarik diri melewati tanah lapang dan pepohonan. Dalam satu kedipan mata, ia sudah berada di perbatasan hutan siluman. Dari tempatnya saat ini, ia bisa merasakan bau beberapa siluman dan bau para pendekar.“Bau gadis berselendang merah itu menghilang di sekitar sini. Bagaimana caranya dia keluar dari hutan siluman ini tanpa meninggalkan bau?”Nyi Genit mengentak kedua kaki kuat-kuat di puncak pohon.
Serangan dari pasukan katak dan pasukan belalang yang dikerahkan oleh Bangkong Bodas dan Simeut Koneng terus berlangsung. Meski beragam serangan sudah dilancarkan, kubah pelindung nyatanya masih berdiri kokoh berdiri.“Kubah sialan itu benar-benar kokoh,” gerutu Bangkong Bodas, “kemungkinan besar kbah itu dilindungi oleh penawar racun kalong setan yang kuat. Tapi itu terdengar tidak mungkin karena penawar racun kalong setan itu hanya dimiliki oleh Nyi Genit seorang, kecuali jika para pendekar itu berhasil membuatnya.”“Itu tidak mungkin, Bangkong Bodas.” Simet Koneng menoleh sesaat. “Para tabib tidak mungkin bisa membuat penawar racun kalong setan.”“Lalu kenapa kubah sialan ini begitu kokoh?” Bangkong Bodas mendengkus kesal. “Pendekar Hitam sama sekali tidak terpengaruh dengan racun kalong setan yang menyelimuti tubuh kita, begitupun dengan kubah ini.”“Dibandingkan memikirkan hal itu, kenapa kita terus berusaha menghancurkan kubah ini. Sekuat apa pun benteng atau kubah pelindung, pa
Galih Jaya, Dharma, Malawati dan seluruh pendekar yang awalnya berjaga di luar begerak ke dalam gua dengan cepat. Mereka berlari melewati lorong panjang. Getaran kuat masih terasa hingga ke dalam gua, ditambah tanah yang berguncang hingga beberapa pendekar terjatuh.Suasana di luar gua hanya diisi oleh beberapa tiruan Limbur Kancana yang berjaga. Lima tiruan tiba-tiba berubah menjadi harimau putih yang ikut memasuki gua.“Ada lima harimau putih yang mengejar kita!” teriak seorang pendekar yang berada di barisan belakang. Ia menarik pedang dan bersiap untuk menyerang.Galih Jaya melemparkan sebuah batu ke pedang pendekar itu hingga nyaris terjatuh. “Tenanglah. Harimau itu adalah kekuatan dari Pendekar Hitam. Harimau-harimau itu akan membantu kita. Teruskan perjalanan.”Para pendekar terus berlari melewati lorong demi lorong dengan diikuti oleh kelima harimau. Di saat yang sama, Ganawirya, Sekar Sari dan para tabib masih berkutat dengan penawar racun kalong setan yang dibuat mereka.Get