Sudah hampir sebulan lebih Radin bermeditasi di atas batu, dia belum merasakan sama sekali kehadiran Prana, Malahan, dia selalu diperlihatkan sesuatu yang teramat aneh dan tidak masuk akal ketika dia berada di alam bawah sadar. Mulai dari memori entah siapa, suatu kerajaan yang hancur terbakar, bahkan melihat sosok manusia yang dapat berlevitasi sambil membawa tongkat. Mimpi-mimpi itu seperti terasa nyata.
Dia membuka mata, entah secara kebetulan atau bagaimana, mendapati Kinanti yang berada di sana, memetik tumbuhan indah berwarna kebiruan. Pakaian yang dikenakan wanita itu kini terbalut sempurna, memancarkan kesucian yang terawat dengan baik tanpa ada sedikit pun kotoran yang menempel. Rambut yang diikat konde itu merupakan hal baru untuk Radin, selama dia berada di rumah Guru Janardana, tak sesekali dia melihat Kinanti memodel rambutnya seperti itu.Radin turun dari batu besar sontak membuat Kinanti berbalik, memperhatikan Radin yang melangkah mendekat tanpa alas kaki. Laki-laki itu bertanya, "Kenapa Mbak berada di sini disaat hari yang masih terik sekali?"Kinanti sekilas menoleh ke tumbuhan tersebut lalu membalas, "Oh, kebetulan aku menemukan bunga ini yang berkhasiat tinggi untuk ramuan herbal,""Benarkah?" Radin sedikit tidak mempercayai, maksudnya, selama ini bunga itu ada di sana dan baru kali ini Kinanti memetiknya. "Kenapa tidak dari dulu Mbak ambil?""Aku baru tahu hal ini dari Guru Janardana," tutur perempuan tersebut sambil memasukkan tanaman ke dalam tas rotan. "Kata Guru, tumbuhan ini memiliki kekuatan alam yang dapat meningkatkan Prana di dalam tubuh."Radin terbelalak seketika, terkejut bukan main. "Benarkah itu? Biarkan aku yang memakannya!"Cepat-cepat Kinanti menarik tas rotannya supaya tidak diserbu oleh Radin, dengan ekspresi masam, dia mendengus sambil berceletuk, "Kau tak mendengarkan, Radin. Bunga ini untuk meningkatkan Prana bukan membuatmu merasakan Prana lebih mudah!""Sia-sia belaka bila kau belum menerima Prana di dalam tubuhmu, bukan?" Kinanti menambahkan, kalimat yang disampaikan adalah suatu kebenaran.Ekspresi Radin frustrasi, kekecewaan tercetak di air muka yang kusam. "Sial! Sudah beberapa hari aku masih belum merasakan kehadiran mereka!"Melihat kelakuan Radin yang dilanda kecemasan, Kinanti mencoba menenangkan. "Kau tak usah khawatir, aku hampir empat bulan baru bisa.""Tapi, Mbak, apa selama Mbak bermeditasi melihat hal-hal yang tidak Mbak kenali?" Radin ingin tahu apa selama ini Kinanti merasakan apa yang dia rasakan."Apa maksudmu?" balas wanita itu mengernyitkan dahi."Seperti, kau tahu, aku melihat berbagai macam kejadian yang terasa aneh!" Radin berusaha mengontrol emosi, menjernihkan isi kepala. "Seperti, aku melihat wanita yang sama berkali-kali."Tatapan laki-laki tersebut mendadak sendu, suaranya berubah lirih. "Entah kenapa ketika aku melihatnya, firasatku terasa terikat kepadanya."Kinanti sedikit skeptis, tak lekas mempercayai. "Mungkin itu hanya angan-anganmu. Lebih dari itu, aku sudah lupa apa yang kulihat saat bersemadi.""Apa?" Radin tersentak lalu melangkah ke depan, mendekati Kinanti. "Bagaimana bisa?""Aku tak tahu," bisik Kinanti, suaranya hampir tak terdengar sambil memperhatikan bunga di bawahnya. "Rasanya seperti aku tak pernah mengalaminya. Terhapus tanpa sisa."Radin sama sekali tak mendapatkan jawaban dari mimpi-mimpi dan memori masa lalu di dalam alam bawah sadarnya, sementara Guru Janardana tak sesekali kemari untuk memeriksa keadaan muridnya. Tidak, ini adalah aturan yang sudah diterapkan kepada Kinanti dahulu kala, mereka harus bermeditasi sendirian. Merasuki dunia Prana secara mendalam dengan dirinya sendiri tanpa campur tangan orang lain.Determinasi Radin kembali mencuat kali ini, dia kembali melompat ke batu besar setelah Kinanti pamit untuk kembali. Dia melipat kedua kakinya, menaruh kedua tangan di atas lutut sambil memejamkan mata dengan lembut dan ketenangan. Tak membutuhkan waktu lama, suara kicauan, desiran angin menerpa dedaunan, serta aliran air yang memenuhi telinga, seketika memudar. Tergantikan kehampaan tak terbatas.Kali ini, bukan wanita dengan wajah cantik menemaninya, akan tetapi suatu hawa yang tiba-tiba memanas. Semakin lama semakin menusuk kulit Radin, kekosongan di hadapannya berubah menjadi lautan darah. Rumah-rumah luluh lantak, ambruk beserta kobaran api yang melahap apa pun yang dilalui. Di tengah-tengah si jago merah, tampak siluet seseorang berdiri sendirian di sana, membelakangi Radin.Saat dia berbalik, dengan cepat dia memperagakan suatu teknik yang memukul ke arah Radin, menciptakan bola api yang meluncur cepat kepadaya. Kekuatan masif itu membuat Radin ketakutan, kedua kelopak mata terbuka lebar, dan iris hitam itu berubah kemerahan karena merefleksikan api yang hendak membakarnya. Reflek dia melekatkan kedua tangan ke depan, melindungi diri dari serangan.Radin terpental tatkala bola itu menabrak tubuhnya, kembali ke dunia dengan kondisi yang nahas. Dia terjungkal ke bawah, terjerembab di antara semak-semak dengan keringat yang mengalir deras dari tubuhnya. Napasnya tak beraturan dan tatapan itu masih belum bisa mencerna kejadian yang barusan dialami. Dia mencoba untuk bangkit, membersihkan busana putihnya yang ditaburi tanah.Dia tak lantas berhenti sampai di sana, dia kembali naik ke atas batu dan memulai bermeditasi. Walau langit sudah berubah kelam, semangat membara Radin menuntunnya untuk tidak menyerah. Terlebih dia teringat nasihat Guru Janardana bahwa segala sesuatu yang dialami di dunia bawah sadar, Radin harus dapat menghadapi maupun melawan.Rasa takut akan terus memengaruhi sampai ke dasar nestapa. Dan bila semua itu sirna, tak ada lagi yang menghalangimu untuk naik ke permukaan.Radin untuk sekali lagi, kembali menyelam ke alam bawah sadarnya. Usahanya membuahkan hasil tatkala dia melihat situasi yang sama seperti sebelumnya. Amarah api yang menghanguskan segalanya, beserta sosok laki-laki di sana. Terdiam dan berbalik, melakukan tindakan yang tak berbeda sama sekali dari sebelumnya. Bola api membara terluncurkan kepadanya, Radin telah mempersiapkan kuda-kuda dengan kokoh.Sekali hentakan kaki ke depan, telapak tangan Radin terarahkan dengan cepat, tepat sekali dengan momentum semburan di hadapan mata. Alhasil, teknik blok yang dikerahkan Radin membuat kekuatan itu meledak, terpencar ke segala ruangan yang dapat dilihat Radin. Semua mendadak sirna, tergantikan butiran debu berterbangan. Debu yang lambat laun memancarkan sinar.Jumlah benda itu tak hanya satu maupun dua, akan tetapi ratusan, ribuan, dan semakin lama ruangan hitam itu dipenuhi cahaya. Radin tak dapat berkata apa kecuali membeku, takjub akan keindahan yang ditawarkan. Sesaat kemudian dia baru sadar bahwa titik-titik itu adalah Prana, esensi alam yang dia cari-cari. Kini, anak laki-laki tersebut dapat merasakan kehadiran mereka.Buru-buru Radin duduk bersila, mempraktikkan kembali meditasi dengan meneguhkan konsentrasi. Lambat laun, titik bercahaya itu mulai mendekati tubuh Radin, seperti terserap menyatu dengannya. Anak tersebut dapat merasakan sentuhan lembut Prana, lama kelamaan hati yang berdetak tak kuran berubah ketenangan, kedamaian luar biasa yang belum pernah dirasakan.Radin seperti merasakan dekapan yang entah kenapa membuat air matanya menetes, dadanya kembali terpacu dengan cepat merasakan kenikmatan tiada tara. Tubuhnya kali ini menerima Prana dalam skala masif, bahkan mungkin lebih banyak dari yang bisa ditampung anak itu sendiri. Lama kelamaan, Radin dapat mendengar suara-suara aneh, suara familier yang sebelumnya menemani hari-hari meditasinya."Radin."Sontak, anak tersebut membuka mata, kembali ke dunia dengan keadaan utuh dan tanpa masalah. Hari ini langit bersinar cerah berwarna biru dengan awan-awan yang melintas. Tatkala Radin memperhatikan sekitar, dia mendapati Guru Janardana duduk dengan santai di sana, di atas benatuan yang lebih kecil. Senyuman merekah dari mulutnya, bangkit, kemudian mendekati Radin."Selamat kepadamu, muridku," kata kakek tersebut dengan muka berseri. "Dua bulan telah berlalu dan kau berhasil menerima Prana."Bersambung ....Rumah kayu itu luluh lantak dilalap api, isak tangis dan teriakan besahut-sahutan di segala sisi. Dalam kemelut asap yang membumbung tinggi, orang-orang berlarian menyelamatkan diri; tak memedulikan apapun kecuali dirinya sendiri.Sembari berlari dengan kekhawatiran, buah hati yang tengah tertidur tersebut terlihat nyaman berada di dekapan kedua tangan ibunya. Napas terengah-engah wanita itu kian memberat, mencoba lepas dari buruan berandalan yang terus membuntutinya.Sampai dia berhenti di suatu celah di sebelah rumah tua, memulihkan tenaganya yang terkuras hampir tak tersisa. Kedua kakinya sudah terasa kesemutan, tak mampu berlari lebih lama. Sedangkan saat dia menoleh ke sebelah, ada sungai dangkal yang mengalir tak terlalu deras dengan sebuah sampan yang tersedia.Tanpa berpikir lebih lanjut dia buru-buru melangkah di tepian sungai, memeriksa keadaan anak kesayangannya. Kedua mata indah kebiruan itu merembes air mata, menetes tepat di muka rupawan bayi yang bereaksi manis sekali,
Suara tumbukan terdengar di tengah hutan belantara, erangan rasa sakit dan teriakan mewarnai suasana yang hampa. Di halaman luas yang ditumbuhi rerumputan kecil, terlihat ada dua manusia melancarkan serangan satu sama lain. Di sisi satu ada anak muda yang kesusahan menahan semua hantaman dari kakek-kakek di depan. Meski sudah renta, kemampuannya masih luar biasa.Hentakan telapak tangan di dada membuat laki-laki berambut hitam meringis, mencoba menyeimbangkan kedua kaki ketika dia ambruk akibat dorongan kuat kakek tersebut. Dia mencoba kembali tegak berdiri, menghela napas untuk memusatkan semua konsentrasi. Memperhatikan secara seksama kedua tangan kakek di hadapannya. "Mara bahaya bisa muncul dari segala arah," tutur sesepuh tersebut mengulurkan tangan ke depan sambil membuka telapak, melangkah mendekat. "Ingatlah untuk selalu berwaspada.""Baik, Guru Janardana!" Pemuda itu kembali fokus dan mulai berjalan memutar berlawanan arah dari Janardana. Tatapan murid tersebut awas akan se
Antariksa mulai kelam dengan taburan kartika dan bulan. Hewan-hewan malam bersahutan di tengah hutan yang minim cahaya bila Radin tak membawa sebuah lentera di tangan. Janardana memimpin arah, melangkah sembari membabat semak-semak belukar yang semakin menyeruak tak karuan.Suara burung hantu sesekali menemani perjalanan mereka, tak sedikit pun menakuti anak empat belas tahun itu. Dia lebih khawatir bila dia gagal, ketakutan bila Prana tak mau menerima. Masa depan Radin ditentukan di sini, sebagai seorang pendekar tangguh atau malah sebaliknya."Saat kau bermeditasi, tepis semua angan-anganmu di dalam benak," tutur Janardana tanpa menoleh ke Radin. "Kosongkan kepala, jangan biarkan apapun merasuk ke dalam dan memperkeruh konsentrasimu."Lalu Radin bertanya-tanya, "Tapi Guru, bukankah itu berarti malah akan dengan mudah kerasukan makhluk halus?""Tidak selama kau masih terbangun," sahut kakek tersebut yang kini terdiam sebentar. "Kesadaranmu adalah hal krusial yang akan menentukan kebe
Keramaian mewarnai keadaan desa kala itu dikarenakan ada acara spesial di tengah masyarakat. Peken Akbar, acara di mana semua saudagar akan berusaha menjajakan barang dagangannya, menurunkan harga sampai membuat konsumen terpikat. Seakan-akan mereka tak lagi memedulikan keuntungan melainkan bagaimana caranya menarik sebanyak mungkin orang supaya mendekat.Termasuk anak di bawah umur kira-kira berada di usia dua belas, mencoba suatu peruntungan di tengah padatnya hiruk pikuk keramaian yang panas. Dia tak sendirian membawa keranjang rotan berisikan buah-buahan berwarna merah, akan tetapi ditemani oleh laki-laki sepantaran berambut kecokelatan; sama-sama kesusahan. Dengan tubuh kecil serta rapuh itu, mereka sudah dipastikan tak akan mampu terus melangkah tanpa rehat sementara waktu. Alhasil bocah-bocah berbusana biasa bahkan dipandang rendah di sebagian insan yang lewat, tak banyak pilihan selain berhenti di depan rumah tua tak terawat. Latarnya kotor berserakan sampah, mustahil dijadik
Sudah hampir sebulan lebih Radin bermeditasi di atas batu, dia belum merasakan sama sekali kehadiran Prana, Malahan, dia selalu diperlihatkan sesuatu yang teramat aneh dan tidak masuk akal ketika dia berada di alam bawah sadar. Mulai dari memori entah siapa, suatu kerajaan yang hancur terbakar, bahkan melihat sosok manusia yang dapat berlevitasi sambil membawa tongkat. Mimpi-mimpi itu seperti terasa nyata. Dia membuka mata, entah secara kebetulan atau bagaimana, mendapati Kinanti yang berada di sana, memetik tumbuhan indah berwarna kebiruan. Pakaian yang dikenakan wanita itu kini terbalut sempurna, memancarkan kesucian yang terawat dengan baik tanpa ada sedikit pun kotoran yang menempel. Rambut yang diikat konde itu merupakan hal baru untuk Radin, selama dia berada di rumah Guru Janardana, tak sesekali dia melihat Kinanti memodel rambutnya seperti itu. Radin turun dari batu besar sontak membuat Kinanti berbalik, memperhatikan Radin yang melangkah mendekat tanpa alas kaki. Laki-laki
Keramaian mewarnai keadaan desa kala itu dikarenakan ada acara spesial di tengah masyarakat. Peken Akbar, acara di mana semua saudagar akan berusaha menjajakan barang dagangannya, menurunkan harga sampai membuat konsumen terpikat. Seakan-akan mereka tak lagi memedulikan keuntungan melainkan bagaimana caranya menarik sebanyak mungkin orang supaya mendekat.Termasuk anak di bawah umur kira-kira berada di usia dua belas, mencoba suatu peruntungan di tengah padatnya hiruk pikuk keramaian yang panas. Dia tak sendirian membawa keranjang rotan berisikan buah-buahan berwarna merah, akan tetapi ditemani oleh laki-laki sepantaran berambut kecokelatan; sama-sama kesusahan. Dengan tubuh kecil serta rapuh itu, mereka sudah dipastikan tak akan mampu terus melangkah tanpa rehat sementara waktu. Alhasil bocah-bocah berbusana biasa bahkan dipandang rendah di sebagian insan yang lewat, tak banyak pilihan selain berhenti di depan rumah tua tak terawat. Latarnya kotor berserakan sampah, mustahil dijadik
Antariksa mulai kelam dengan taburan kartika dan bulan. Hewan-hewan malam bersahutan di tengah hutan yang minim cahaya bila Radin tak membawa sebuah lentera di tangan. Janardana memimpin arah, melangkah sembari membabat semak-semak belukar yang semakin menyeruak tak karuan.Suara burung hantu sesekali menemani perjalanan mereka, tak sedikit pun menakuti anak empat belas tahun itu. Dia lebih khawatir bila dia gagal, ketakutan bila Prana tak mau menerima. Masa depan Radin ditentukan di sini, sebagai seorang pendekar tangguh atau malah sebaliknya."Saat kau bermeditasi, tepis semua angan-anganmu di dalam benak," tutur Janardana tanpa menoleh ke Radin. "Kosongkan kepala, jangan biarkan apapun merasuk ke dalam dan memperkeruh konsentrasimu."Lalu Radin bertanya-tanya, "Tapi Guru, bukankah itu berarti malah akan dengan mudah kerasukan makhluk halus?""Tidak selama kau masih terbangun," sahut kakek tersebut yang kini terdiam sebentar. "Kesadaranmu adalah hal krusial yang akan menentukan kebe
Suara tumbukan terdengar di tengah hutan belantara, erangan rasa sakit dan teriakan mewarnai suasana yang hampa. Di halaman luas yang ditumbuhi rerumputan kecil, terlihat ada dua manusia melancarkan serangan satu sama lain. Di sisi satu ada anak muda yang kesusahan menahan semua hantaman dari kakek-kakek di depan. Meski sudah renta, kemampuannya masih luar biasa.Hentakan telapak tangan di dada membuat laki-laki berambut hitam meringis, mencoba menyeimbangkan kedua kaki ketika dia ambruk akibat dorongan kuat kakek tersebut. Dia mencoba kembali tegak berdiri, menghela napas untuk memusatkan semua konsentrasi. Memperhatikan secara seksama kedua tangan kakek di hadapannya. "Mara bahaya bisa muncul dari segala arah," tutur sesepuh tersebut mengulurkan tangan ke depan sambil membuka telapak, melangkah mendekat. "Ingatlah untuk selalu berwaspada.""Baik, Guru Janardana!" Pemuda itu kembali fokus dan mulai berjalan memutar berlawanan arah dari Janardana. Tatapan murid tersebut awas akan se
Rumah kayu itu luluh lantak dilalap api, isak tangis dan teriakan besahut-sahutan di segala sisi. Dalam kemelut asap yang membumbung tinggi, orang-orang berlarian menyelamatkan diri; tak memedulikan apapun kecuali dirinya sendiri.Sembari berlari dengan kekhawatiran, buah hati yang tengah tertidur tersebut terlihat nyaman berada di dekapan kedua tangan ibunya. Napas terengah-engah wanita itu kian memberat, mencoba lepas dari buruan berandalan yang terus membuntutinya.Sampai dia berhenti di suatu celah di sebelah rumah tua, memulihkan tenaganya yang terkuras hampir tak tersisa. Kedua kakinya sudah terasa kesemutan, tak mampu berlari lebih lama. Sedangkan saat dia menoleh ke sebelah, ada sungai dangkal yang mengalir tak terlalu deras dengan sebuah sampan yang tersedia.Tanpa berpikir lebih lanjut dia buru-buru melangkah di tepian sungai, memeriksa keadaan anak kesayangannya. Kedua mata indah kebiruan itu merembes air mata, menetes tepat di muka rupawan bayi yang bereaksi manis sekali,