Antariksa mulai kelam dengan taburan kartika dan bulan. Hewan-hewan malam bersahutan di tengah hutan yang minim cahaya bila Radin tak membawa sebuah lentera di tangan. Janardana memimpin arah, melangkah sembari membabat semak-semak belukar yang semakin menyeruak tak karuan.
Suara burung hantu sesekali menemani perjalanan mereka, tak sedikit pun menakuti anak empat belas tahun itu. Dia lebih khawatir bila dia gagal, ketakutan bila Prana tak mau menerima. Masa depan Radin ditentukan di sini, sebagai seorang pendekar tangguh atau malah sebaliknya."Saat kau bermeditasi, tepis semua angan-anganmu di dalam benak," tutur Janardana tanpa menoleh ke Radin. "Kosongkan kepala, jangan biarkan apapun merasuk ke dalam dan memperkeruh konsentrasimu."Lalu Radin bertanya-tanya, "Tapi Guru, bukankah itu berarti malah akan dengan mudah kerasukan makhluk halus?""Tidak selama kau masih terbangun," sahut kakek tersebut yang kini terdiam sebentar. "Kesadaranmu adalah hal krusial yang akan menentukan keberhasilanmu."Kakek Janardana kembali berlalu, menembus kepekatan hutan yang hanya ditemani sinar lentera. Radin kembali berkata, "Guru, bagaimana bila aku tak mampu menerima Prana?"Mendengar kalimat tersebut, Janardana sontak memperhatikan muridnya yang membuntuti, berseru, "Semua bisa menerima Prana.""Kecuali dia tak bersabar dan memilih menyerah," imbuh Janardana lalu beranjak. "Perlu kau tahu, muridku, menerima Prana tak serta merta berhasil dalam satu malam.""Kinanti bahkan sampai dua bulan lebih baru merasakan kehadirannya," kelakar Janardana sembari menaiki akar yang mencuat dengan ukuran yang teramat besar. "Bertahan-tahun bila kau bermeditasi sendirian tanpa ada bimbingan.""Sepertiku dulu," kakek tersebut tiba-tiba terdiam, menoleh ke arah Radin. "Tak masalah seberapa banyak waktu yang kau habiskan, asalkan itu bermanfaat."Pemuda itu membisu lalu menaik-turunkan kepala. "Baik, Guru."Tak lama saat kakek Janardana membabat semak-semak, mereka disambut oleh dataran rendah luas, dihiasi oleh danau yang merefleksikan sinar rembulan. Pemandangan itu bagaikan sihir yang menentramkan kalbu, indah luar biasa. Pulau kecil tampak megah di tengah-tengahnya, tempat yang nanti akan dihuni oleh Radin sendirian. Sempat membuat hatinya was-was."Di sanalah kau akan berlatih merasakan Prana, muridku," tutur kakek itu kembali melangkah. "Ikuti aku."Mereka mengarah ke sebuah sampan kecil di tepi danau, bersama Janardana yang mulai menaiki, Radin buru-buru turut serta dan mulai mengayuh. Air di danau itu terlihat tenang menghanyutkan, suara-suara aneh telah sirna tergantikan oleh gelombang dorongan dayung yang membelah kesunyian. Tak lama menanti, mereka sampai. Daratan sempit yang bahkan sangat sedikit didekorasi oleh tumbuhan.Radin terus mengekori Janardana ke suatu tempat, berhenti tepat di depan batu besar yang terlilit kain terikat. Di sekitarnya terdapat bunga berwarna-warni, mengitari area terbuka tersebut dengan pohon beringin yang berada di belakang; seakan-akan mengawasi. Radin tercengang, tak mampu berseru apa-apa kecuali tercekat. Nuansanya benar-benar berbeda saat ini setelah dia memasuki bangunan tapak tilas yang sudah tak terawat."Naiklah di batu itu untuk memulai," titah Janardana dibalas anggukan oleh Radin. "Hal dasar keberhasilanmu adalah seberapa kuat fokusmu di dalam benak, hapus semua hal yang membuatku teralihkan.""Selama itu, kau mungkin akan terusik oleh sesuatu dari luar," kelakar Janardana tiba-tiba berubah serius. "Apapun itu, baik suara yang kau kenali, teguhkan hatimu untuk tidak terjerumus.""Ingatlah selalu, muridku." Kakek tersebut tiba-tiba menepuk bahu kanan Radin. "Godaan mereka yang hendak merasakan Prana sangatlah kuat, alam seakan-akan tak rela manusia memilikinya."Pemuda berambut hitam menelan liur keras-keras lalu membalas, "B-Baik, Guru!""Kinanti akan mengantarkan beberapa ramuan untuk terus menjaga kesehatanmu," kata Janardana sebelum dia berbalik badan. "Semoga kau berhasil, Radin."Anak muda tersebut membungkuk dalam-dalam. "Terima kasih, Guru!"Saat eksistensi Janardana seluruhnya sirna, Radin menoleh ke batu raksasa yang berada di sebelahnya, melompat sampai di atas. Tanpa aba-aba dia duduk bersila, memejamkan mata dengan kedua tangan yang diletakkan di atas lutut. Dia menarik napas lalu diembuskan melalui mulut, dilakukan berkali-kali sampai Radin dapat memusatkan konsentrasinya. Dia tak merasakan hal aneh setelah beberapa menit, malahan dia merasa kantuk yang teramat sangat.Dia bahkan sempat menguap, menggelengkan kepala keras-keras berusaha untuk terus tersadar. Dia harus fokus, memusatkan semua indra dalam satu titik temu. Hal sederhana seperti itu nyatanya tak semudah yang dikatakan Guru Janardana. Semakin lama terhanyut ke dalam benak, Radin mulai menciptakan suatu angan-angan yang tak nyata, berandai-andai akan masa depan cerah di depan mata. Tak sadar bahwa dia telah teralihkan.Pendekar hebat terkenal di seluruh Bentala, keberhasilan telak itu adalah impian yang dia dinanti-nantikan. Menumpas kebatilan dan menyelamatkan mereka yang membutuhkan, Radin melihat harapannya saat itu dengan berbunga-bunga. Di tengah keberhasilan hiruk pikuk tersebut, Radin sempat melihat wanita di antara masyarakat setempat, tersenyum lebar dengan wajah yang mengarahkannya kepada suatu memori.Memori kelam yang sontak menghentakkan Radin seketika, terbangun membuka mata. Napasnya tak beraturan dan entah mengapa busana hitam yang dia kenakan basah kuyup oleh keringat. Meski dia berada di alam bawah sadar hanya sebentar saja, tetapi saat dia kembali di dunia nyata, langit sudah berubah cerah dengan mentari berada di atas.Menoleh ke sana kemari memeriksa keadaan sekitar, Radin menemukan sebuah bundelan putih yang berada di atas batu kecil. Radin tahu bahwa itu adalah ramuan yang diantar Kinanti, maksudnya, tak mungkin ada orang lain yang mengantar obat-obatan sampai ke sini selain dia, terutama tahu tempat antah berantah seperti ini. Tanpa waspada, dia beranjak dan membuka kain yang membungkus wadah bercorak indah itu.Di dalam kotak kayu tersebut terdapat setidaknya empat botol dengan warna yang sama, kebiruan. Khasiat dari herbal itu antara lain memulihkan tenaga dan mempertahankan kekebalan tubuh, ramuan yang selalu menemani dikala latihan. Radin tak menunda lebih lama meminum obat tersebut sampai habis, kembali meloncat ke atas batu bertapa. Kali ini dia lebih ada persiapan, niat serius meraih keberhasilan.Radin kembali merasuk ke dalam sukma, berselancar di dunia bawah sadar. Pemandangan yang tak nampak apa-apa melainkan kekosongan dan keheningan, lambat laun terisi oleh bisikan. Suara laki-laki dan wanita berkomunikasi, terlanturkan dengan amarah dan kekhawatiran. Bahkan ketika Radin memilih menerka-nerka suara siapa di balik itu semua, lambat laun dia diperlihatkan suatu hal bak tirai yang terbuka."Apa kau berniat menelantarkan anakmu, kakanda?" suara serak seakan menahan tangisan itu berasal dari wanita yang terlihat dari bawah; menurut sudut pandang Radin."Tidakkah kau sadar statusmu saat ini?" balas hentakan kalimat yang terdengar berat nan kasar. "Bagaimana bila khalayak umum tahu?""Tapi kau sendiri yang mendatangiku!" Kini wanita di hadapan Radin terisak, bahkan air matanya menetes sampai mengenainya. "Tidakkah kau mencintaiku, kakanda?""Aku mencintaimu!" sahut laki-laki tersebut dengan lantang, pintu masuk berdecit keras ketika dia membukanya. "Tapi aku tak bisa menerima anak itu.""Aib ini tak semestinya diketahui." Sebelum keluar dia sempat berhenti. "Kalau sampai beredar, kau tahu konsekuensinya."Wanita yang tepat berada di depan Radin menangis tak tertahankan, menempelkan wajah cendayamnya di muka Radin, berkali-kali mencium dahi. Radin sama sekali tak kenal dengan sosok tersebut, memori yang bahkan tak diketahui sama sekali. Namun, entah kenapa, dia merasakan keterikatan dengannya, merasa sensasi yang membuat hatinya terasa nyaman dan aman.Bersambung ....Keramaian mewarnai keadaan desa kala itu dikarenakan ada acara spesial di tengah masyarakat. Peken Akbar, acara di mana semua saudagar akan berusaha menjajakan barang dagangannya, menurunkan harga sampai membuat konsumen terpikat. Seakan-akan mereka tak lagi memedulikan keuntungan melainkan bagaimana caranya menarik sebanyak mungkin orang supaya mendekat.Termasuk anak di bawah umur kira-kira berada di usia dua belas, mencoba suatu peruntungan di tengah padatnya hiruk pikuk keramaian yang panas. Dia tak sendirian membawa keranjang rotan berisikan buah-buahan berwarna merah, akan tetapi ditemani oleh laki-laki sepantaran berambut kecokelatan; sama-sama kesusahan. Dengan tubuh kecil serta rapuh itu, mereka sudah dipastikan tak akan mampu terus melangkah tanpa rehat sementara waktu. Alhasil bocah-bocah berbusana biasa bahkan dipandang rendah di sebagian insan yang lewat, tak banyak pilihan selain berhenti di depan rumah tua tak terawat. Latarnya kotor berserakan sampah, mustahil dijadik
Sudah hampir sebulan lebih Radin bermeditasi di atas batu, dia belum merasakan sama sekali kehadiran Prana, Malahan, dia selalu diperlihatkan sesuatu yang teramat aneh dan tidak masuk akal ketika dia berada di alam bawah sadar. Mulai dari memori entah siapa, suatu kerajaan yang hancur terbakar, bahkan melihat sosok manusia yang dapat berlevitasi sambil membawa tongkat. Mimpi-mimpi itu seperti terasa nyata. Dia membuka mata, entah secara kebetulan atau bagaimana, mendapati Kinanti yang berada di sana, memetik tumbuhan indah berwarna kebiruan. Pakaian yang dikenakan wanita itu kini terbalut sempurna, memancarkan kesucian yang terawat dengan baik tanpa ada sedikit pun kotoran yang menempel. Rambut yang diikat konde itu merupakan hal baru untuk Radin, selama dia berada di rumah Guru Janardana, tak sesekali dia melihat Kinanti memodel rambutnya seperti itu. Radin turun dari batu besar sontak membuat Kinanti berbalik, memperhatikan Radin yang melangkah mendekat tanpa alas kaki. Laki-laki
Rumah kayu itu luluh lantak dilalap api, isak tangis dan teriakan besahut-sahutan di segala sisi. Dalam kemelut asap yang membumbung tinggi, orang-orang berlarian menyelamatkan diri; tak memedulikan apapun kecuali dirinya sendiri.Sembari berlari dengan kekhawatiran, buah hati yang tengah tertidur tersebut terlihat nyaman berada di dekapan kedua tangan ibunya. Napas terengah-engah wanita itu kian memberat, mencoba lepas dari buruan berandalan yang terus membuntutinya.Sampai dia berhenti di suatu celah di sebelah rumah tua, memulihkan tenaganya yang terkuras hampir tak tersisa. Kedua kakinya sudah terasa kesemutan, tak mampu berlari lebih lama. Sedangkan saat dia menoleh ke sebelah, ada sungai dangkal yang mengalir tak terlalu deras dengan sebuah sampan yang tersedia.Tanpa berpikir lebih lanjut dia buru-buru melangkah di tepian sungai, memeriksa keadaan anak kesayangannya. Kedua mata indah kebiruan itu merembes air mata, menetes tepat di muka rupawan bayi yang bereaksi manis sekali,
Suara tumbukan terdengar di tengah hutan belantara, erangan rasa sakit dan teriakan mewarnai suasana yang hampa. Di halaman luas yang ditumbuhi rerumputan kecil, terlihat ada dua manusia melancarkan serangan satu sama lain. Di sisi satu ada anak muda yang kesusahan menahan semua hantaman dari kakek-kakek di depan. Meski sudah renta, kemampuannya masih luar biasa.Hentakan telapak tangan di dada membuat laki-laki berambut hitam meringis, mencoba menyeimbangkan kedua kaki ketika dia ambruk akibat dorongan kuat kakek tersebut. Dia mencoba kembali tegak berdiri, menghela napas untuk memusatkan semua konsentrasi. Memperhatikan secara seksama kedua tangan kakek di hadapannya. "Mara bahaya bisa muncul dari segala arah," tutur sesepuh tersebut mengulurkan tangan ke depan sambil membuka telapak, melangkah mendekat. "Ingatlah untuk selalu berwaspada.""Baik, Guru Janardana!" Pemuda itu kembali fokus dan mulai berjalan memutar berlawanan arah dari Janardana. Tatapan murid tersebut awas akan se
Sudah hampir sebulan lebih Radin bermeditasi di atas batu, dia belum merasakan sama sekali kehadiran Prana, Malahan, dia selalu diperlihatkan sesuatu yang teramat aneh dan tidak masuk akal ketika dia berada di alam bawah sadar. Mulai dari memori entah siapa, suatu kerajaan yang hancur terbakar, bahkan melihat sosok manusia yang dapat berlevitasi sambil membawa tongkat. Mimpi-mimpi itu seperti terasa nyata. Dia membuka mata, entah secara kebetulan atau bagaimana, mendapati Kinanti yang berada di sana, memetik tumbuhan indah berwarna kebiruan. Pakaian yang dikenakan wanita itu kini terbalut sempurna, memancarkan kesucian yang terawat dengan baik tanpa ada sedikit pun kotoran yang menempel. Rambut yang diikat konde itu merupakan hal baru untuk Radin, selama dia berada di rumah Guru Janardana, tak sesekali dia melihat Kinanti memodel rambutnya seperti itu. Radin turun dari batu besar sontak membuat Kinanti berbalik, memperhatikan Radin yang melangkah mendekat tanpa alas kaki. Laki-laki
Keramaian mewarnai keadaan desa kala itu dikarenakan ada acara spesial di tengah masyarakat. Peken Akbar, acara di mana semua saudagar akan berusaha menjajakan barang dagangannya, menurunkan harga sampai membuat konsumen terpikat. Seakan-akan mereka tak lagi memedulikan keuntungan melainkan bagaimana caranya menarik sebanyak mungkin orang supaya mendekat.Termasuk anak di bawah umur kira-kira berada di usia dua belas, mencoba suatu peruntungan di tengah padatnya hiruk pikuk keramaian yang panas. Dia tak sendirian membawa keranjang rotan berisikan buah-buahan berwarna merah, akan tetapi ditemani oleh laki-laki sepantaran berambut kecokelatan; sama-sama kesusahan. Dengan tubuh kecil serta rapuh itu, mereka sudah dipastikan tak akan mampu terus melangkah tanpa rehat sementara waktu. Alhasil bocah-bocah berbusana biasa bahkan dipandang rendah di sebagian insan yang lewat, tak banyak pilihan selain berhenti di depan rumah tua tak terawat. Latarnya kotor berserakan sampah, mustahil dijadik
Antariksa mulai kelam dengan taburan kartika dan bulan. Hewan-hewan malam bersahutan di tengah hutan yang minim cahaya bila Radin tak membawa sebuah lentera di tangan. Janardana memimpin arah, melangkah sembari membabat semak-semak belukar yang semakin menyeruak tak karuan.Suara burung hantu sesekali menemani perjalanan mereka, tak sedikit pun menakuti anak empat belas tahun itu. Dia lebih khawatir bila dia gagal, ketakutan bila Prana tak mau menerima. Masa depan Radin ditentukan di sini, sebagai seorang pendekar tangguh atau malah sebaliknya."Saat kau bermeditasi, tepis semua angan-anganmu di dalam benak," tutur Janardana tanpa menoleh ke Radin. "Kosongkan kepala, jangan biarkan apapun merasuk ke dalam dan memperkeruh konsentrasimu."Lalu Radin bertanya-tanya, "Tapi Guru, bukankah itu berarti malah akan dengan mudah kerasukan makhluk halus?""Tidak selama kau masih terbangun," sahut kakek tersebut yang kini terdiam sebentar. "Kesadaranmu adalah hal krusial yang akan menentukan kebe
Suara tumbukan terdengar di tengah hutan belantara, erangan rasa sakit dan teriakan mewarnai suasana yang hampa. Di halaman luas yang ditumbuhi rerumputan kecil, terlihat ada dua manusia melancarkan serangan satu sama lain. Di sisi satu ada anak muda yang kesusahan menahan semua hantaman dari kakek-kakek di depan. Meski sudah renta, kemampuannya masih luar biasa.Hentakan telapak tangan di dada membuat laki-laki berambut hitam meringis, mencoba menyeimbangkan kedua kaki ketika dia ambruk akibat dorongan kuat kakek tersebut. Dia mencoba kembali tegak berdiri, menghela napas untuk memusatkan semua konsentrasi. Memperhatikan secara seksama kedua tangan kakek di hadapannya. "Mara bahaya bisa muncul dari segala arah," tutur sesepuh tersebut mengulurkan tangan ke depan sambil membuka telapak, melangkah mendekat. "Ingatlah untuk selalu berwaspada.""Baik, Guru Janardana!" Pemuda itu kembali fokus dan mulai berjalan memutar berlawanan arah dari Janardana. Tatapan murid tersebut awas akan se
Rumah kayu itu luluh lantak dilalap api, isak tangis dan teriakan besahut-sahutan di segala sisi. Dalam kemelut asap yang membumbung tinggi, orang-orang berlarian menyelamatkan diri; tak memedulikan apapun kecuali dirinya sendiri.Sembari berlari dengan kekhawatiran, buah hati yang tengah tertidur tersebut terlihat nyaman berada di dekapan kedua tangan ibunya. Napas terengah-engah wanita itu kian memberat, mencoba lepas dari buruan berandalan yang terus membuntutinya.Sampai dia berhenti di suatu celah di sebelah rumah tua, memulihkan tenaganya yang terkuras hampir tak tersisa. Kedua kakinya sudah terasa kesemutan, tak mampu berlari lebih lama. Sedangkan saat dia menoleh ke sebelah, ada sungai dangkal yang mengalir tak terlalu deras dengan sebuah sampan yang tersedia.Tanpa berpikir lebih lanjut dia buru-buru melangkah di tepian sungai, memeriksa keadaan anak kesayangannya. Kedua mata indah kebiruan itu merembes air mata, menetes tepat di muka rupawan bayi yang bereaksi manis sekali,