"Kau masih curiga padaku, Mayang Suri?"
"Aku tidak curiga! Tapi sebagai seorang ibu, aku harus tetap mendampingi bayiku! Kalau dia mati, harus mati bersamaku!"
Bunga Bernyawa cepat ucapkan kata kepada Baraka, "Sebaiknya memang bayi itu tetap ada dalam pelukan ibunya! Barangkali dia butuh minum sewaktu-waktu."
"Baiklah, aku mengerti! Kalau begitu, bungkus dia dengan kain yang lebih tebal lagi! Udara sedingin ini bisa bikin dia mati membeku kalau tak dihangatkan!" kata Baraka.
"Sebaiknya kita teruskan perjalanan, supaya sampai di pesanggrahan masih ada sisa matahari!" kata Sulasih yang membawa kain pembungkus pakaian-pakaian bayi.
"Aku setuju," jawab Bunga Bernyawa. "Terlalu lama beristirahat bisa bikin urat-urat kita kaku membeku!"
Maka, mereka pun kembali teruskan langkah menyusuri tebing. Tanpa diduga-duga, sebuah benda melesat dari arah belakang mereka. Sebatang ranting kering berukuran kecil menghantam punggung Mayang Suri.
Deggg..
"Setan Kudis! Aku adalah paman dari bayi Mayang Suri!""Kau bukan paman, Laksamana! Kau adalah iblis bagi bayi itu!""Rupanya kau bocah ingusan yang tak mau turuti nasihat orang tua, hah! Bagus! Dengan begitu aku tak segan-segan membunuhmu!""Apakah kau akan menyambung pedangmu lagi, Laksamana Cho!" sindir Baraka sambil sunggingkan senyum mengejek. Laksamana Cho tak bisa tahan amarah lagi. Maka dengan cepat ia angkat tangannya ke atas kepala, kemudian ia sentakkan kedua tangan itu ke depan bagai mencakar udara secara bersamaan.Wrusss...!Percikan bintang-bintang hijau menebar dalam kecepatan laju mengarah kepada Pendekar Kera Sakti. Kecepatannya itu sangat tinggi, sehingga Baraka hanya bisa menghindar dalam satu lompatan ke samping seperti seekor kera yang sedang melompat.Percikan bintang hijau itu melesat di depan Pendekar Kera Sakti, lalu Sulingnya dihadangkan. Percikan bintang mengenai Suling Naga Krishna.Zrriipp...!Kali
Bunga Bernyawa memandang Baraka setelah sampai sekian lama Baraka tidak kasih jawaban apa-apa. Baraka bahkan menggaruk kepalanya. Santai sekali caranya menanggapi ancaman Pawang Jenazah. Hal ini membuat Pawang Jenazah semakin garang."Kuhitung tiga kali kalau kau tidak mau serahkan perempuan itu, bayi ini kulemparkan ke jurang!" gertak Pawang Jenazah, sementara itu sang bayi masih tetap menangis memilukan hati."Untuk apa kau kehendaki perempuan ini!" tanya Baraka kalem."Dia harus mati juga, karena dia gundiknya Laksamana Cho!""Dia sudah bukan gundiknya lagi! Dia justru menjadi orang yang menentang kekejian Laksamana Cho Yung!""Aku tahu! Tapi saat Laksamana Cho Yung membunuh anak dan istriku, perempuan itu masih menjadi istri gelapnya!""Apakah dia ikut andil membunuh anak dan istrimu!""Memang tidak! Tapi dia adalah bagian dari Cho, karenanya tak akan kubiarkan satu pun orangnya Laksamana Cho Yung yang bisa hidup!""Kau tak
SEBUAH kedai di sudut jalan itu tak pernah sepi pengunjung. Bahkan sampai jauh malam kedai itu masih buka. Bukan hanya karena kedai itu menyediakan berbagai macam makanan dan minuman, tapi karena kedai itu mempunyai pemanis. Rusminah, anak gadis Ki Sumowito, pemilik kedai itu, adalah daya tarik utama bagi para pengunjung kedai.Rusminah perawan desa yang cantik dan menarik hati. Ia ramah dan murah senyum, sehingga pembeli di kedai itu merasa ketagihan. Sekali mereka datang, esoknya ingin kembali datang. Menurut kabarnya, Rusminah bukan hanya cantik tapi juga pandai memasak. Apa saja yang dimasaknya selalu terasa lezat bagi para pembelinya. Entah karena memang Rusminah pandai memasak atau karena kecantikannya itu yang mempengaruhi setiap masakan menjadi lezat, yang jelas setiap pembeli betah nongkrong di kedai Ki Sumowito sampai berlama-lama.Salah satu pelanggan tetap kedai pojok itu adalah seorang pemuda bertubuh tegap dan berwajah tampan, ia selalu kenakan pakaian bi
"Suruh orang-orang ini tinggalkan kedaimu untuk sementara waktu.""Kenapa begitu?""Ketiga tamu yang baru datang itu akan bikin onar di sini dan sedang cari-cari perkara! Bisiki mereka satu persatu supaya cepat tinggalkan kedaimu ini!"Tiba-tiba si wajah codet berseru kepada Rusminah, "Hai, Perempuan cantik! Kerjamu melayani semua tamu di sini! Bukan hanya satu tamu saja! Coba kau kemari...!""Iyy... iya, sebentar! Sebentar, Kang!""Cepat kemari!"Brakkk...!Si wajah codet menggebrak meja lagi."Kalau dipanggil Garong Codet jangan menunda-nunda, tahu!"Rusminah segera datang dengan rasa takut yang disembunyikan. Tapi mereka menjadi tahu, bahwa orang berwajah codet yang angker itu berjuluk Garong Codet. Sesuai dengan namanya.Dengan suara lantang, Garong Codet ucapkan kata kepada Rusminah,"Siapa namamu, Cah Ayu...!""Rusminah, Kang!""Bagus! Begini, Rus..., kalau sekiranya di kedai ini ada ora
Kemudian semua orang satu persatu dipandangi oleh Garong Codet. Ia tahan napas diam-diam, dan gerakan telapak tangannya di bawah meja bagaikan menekan sesuatu. Terjadi suatu keanehan. Mereka yang ada di kedai menjadi bingung. Cangkir mereka tak bisa diangkat. Sepertinya terpatri dengan meja. Bahkan pisang goreng, ubi rebus, dan makanan lainnya tak bisa diangkat dari tempatnya. Seakan semua makanan punya daya rekat yang amat kuat. Bahkan sebuah kerupuk pun tak bisa diambil dari dalam kalengnya. Pisang, tak bisa dipulir dari tandannya.Mereka saling berkasak-kusuk gemuruh seperti lebah bergaung. Tikus Ningrat dan Setan Culik cekikikan. Hanya mereka berdua yang bisa mengangkat cangkir dan meneguk minumannya. Mereka tahu, ini ulah Garong Codet. Tetapi mereka terkejut melihat pemuda itu dengan entengnya melakukan apa saja yang ingin dilakukan, ia dapat dengan mudah mengangkat cangkirnya, mengambil ubi goreng, bahkan sempat berjalan memetik pisang di meja depan dan mengupasnya deng
SALAH SEORANG murid rendahan Eyang Danujaya melihat peristiwa pemenggalan kepala Soka Loka. Segera sang murid yang bernama Tuban itu menemui Eyang Danujaya di padepokan. Padepokan itu tak jauh letaknya dari desa tempat kedai Rusminah berada. Hanya menyeberangi persawahan beberapa bentangan sudah sampai ke padepokan Eyang Danujaya.Sejak Eyang Danujaya mendirikan padepokan di situ, keadaan desa tersebut menjadi aman. Baru sekarang terjadi kerusuhan yang begitu menggemparkan seluruh masyrakat desa.Tuban menghadap Eyang Danujaya pada saat di paseban terjadi perbincangan antara Eyang Danujaya dengan ketiga murid unggulan, yaitu Jayengrono, Randu Galak, dan Roro Manis.Sebenarnya, jika sedang terjadi satu pembicaraan di paseban, tak ada murid yang berani datang mengganggu atau menyela pembicaraan Eyang Danujaya. Tetapi agaknya kali ini Tuban sengaja memberanikan diri menghadap Eyang Danujaya dengan wajah pucat dan napas terengah-engah tegang."Ampun, Guru! Sa
Garong Codet melangkah di tengah dengan langkah tegapnya. Matanya masih melotot bagai tak bisa berkedip lagi. Ia memandang sekeliling, seperti mencari sasaran lain. Ia berkata kepada kedua anak buahnya, yaitu Tikus Ningrat dan Setan Culik, "Masih banyak kepala yang harus kucari! Jumlahnya harus genap tiga puluh tiga kepala sebelum purnama muncul.""Bagaimana jika hanya tiga puluh dua yang kita peroleh?" tanya Tikus Ningrat."Berarti kepalaku sendiri yang akan hancur sebagai pelengkap tumbal yang ketiga puluh tiga!"Setan Culik menggumam, "Sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu yang di hutan, dua puluh dua yang di jembatan, terus....""Kau bicara apa, Setan Culik!" sentak Tikus Ningrat."Aku menghitung jumlah kepala yang sudah terpenggal oleh Cincin Mustika Iblis!" jawab Setan Culik sambil tetap langkahkan kaki.Kemudian Tikus Ningrat tertawa pendek, setelah itu berkata kepada Garong Codet. "Apakah tumbal kepala itu harus dari orang berilm
"Mengapa dengan kumisku, hah!" tanpa sadar tangan Garong Culik meraba kumisnya dan ia tersentak kaget. Ternyata kumisnya yang tebal itu hilang separo. Kumis kiri masih utuh, tapi kumis kanan lenyap dan... tak tersisa sedikit pun."Celeng! Siapa yang berani mempermainkan aku sedemikian rupa!" geramnya dalam hati. Tangannya masih mengusap-usap kumis kanannya yang plontos dan tentunya sangat lucu, karena kumis yang kiri cukup tebal."Alis kananmu juga," kata Setan Culik, buru-buru menutup mulutnya karena takut semburkan tawa lagi.Dan Garong Codet segera meraba alis kanannya. "Monyet Bunting!" cacinya dengan geram kejengkelan. Ternyata alis kanannya pun tercukur habis hingga plontos. Tapi alis kirinya masih tebal menghitam.Alangkah malunya Garong Codet berwajah seperti itu. Tanpa alis dan kumis kanan, sementara alis dan kumis kiri sangat tebal, sungguh merupakan pemandangan yang menggelikan. Lucu dan aneh. Pantas jika Tikus Ningrat dan Setan Culik menertawa
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern