"Dan kau punya jabatan tinggi di sebuah negeri di alam gaib!"
"Mungkin saja begitu! Tapi apakah dengan begitu aku tak boleh berkenalan denganmu, Raja Nujum?"
"Kau sudah mengenalku, tapi aku belum mengenalmu!"
Senyum Pendekar Kera Sakti mekar dengan ramah. "Aku Pendekar Kera Sakti," jawab Baraka
"Siapa namamu?"
"Baraka!"
"Baraka! Aku sepertinya pernah mendengar nama itu!"
"Mungkin Baraka lain, bukan Baraka aku, Raja Nujum!"
"Entahlah. Mungkin benar katamu itu. Karena, biasanya aku tak pernah bertanya tentang nama kepada orang yang baru kukenal. Dengan menembus kehidupan lewat matanya, aku sudah bisa tahu namanya. Tapi... noda merah kecil itu rupanya yang menghalangi kekuatanku hingga tak bisa masuk ke alam kehidupanmu!"
"Mungkin lain kali kau lebih banyak tahu tentang diriku. Sekarang aku ganti ingin tanyakan sesuatu padamu, Raja Nujum."
"Tentang apa?"
"Tentang Pedang Guntur Biru!"
"Apa kau mengingink
RAJA NUJUM membeberkan silsilahnya. Bahwa ayahnya, yaitu Purbapati dan ibunya Nini Galih mempunyai tujuh anak. Yang pertama bernama Durmagati, yaitu ayah dari Rawana Baka. Yang kedua Begawan Sangga Mega, yang ketiga, keempat, dan kelima serta keenam, meninggal dalam usia muda. Jadi, Purbapati dan Nini Galih mempunyai tiga anak yang masih hidup. Ketiga putra Purbapati ini, ternyata tak ada yang sanggup menerima ilmu-ilmu dari sang Ayah atau sang Ibu. Hanya sebagian kecil saja yang sanggup mereka terima ilmu tersebut. Bahkan Durmagati dan Raja Nujum pernah hampir mati gara-gara menempuh salah satu ilmu yang sekarang dimiliki Baraka, warisan Setan Bodong. Karena ketiga putranya tidak ada yang sanggup menerima ilmu-ilmunya, maka Purbapati mengangkat murid yang bernama Sabawana. Murid inilah yang ternyata mampu mewarisi seluruh ilmu Purbapati. Murid inilah yang kemudian dikenal dengan nama Setan Bodong. Sedangkan untuk pusaka Pedang Guntur Biru, tidak bisa diserahkan kepada Sabawana kare
"Pasti ada orang yang menggunakan ilmu tingginya melalui tembang itu! Ia menyerangku dan menyerang Raja Nujum langsung ke kalbu!" pikir Baraka dengan mata terpejam kuat karena ia ingin menahan diri untuk tidak menangis, menyesal, sedih, dan murka. Tetapi, orang itu tetap mengalunkan tembangnya semakin mendayu-dayu.Bila nyawa keluarga jadi hinaan, siapa lagi yang akan datang sebagai pembela. Bila hormat keluarga jadi cercaan, siapa lagi yang akan datang menjadi pemuji. Biar hati tahankan pilu, tapi dendam tetap bertalu. Sekali lepas ilmu sejati, hancur sudah dendam kesumat di hati. Terasa rendah jiwa dan diri ini, bila tak mampu lampiaskan dendam pribadi....Keringat Baraka tetap bercucuran, ia tetap bertahan untuk tidak melepaskan amarah karena ingat dendam masa lalunya. Kemudian, Pendekar Kera Sakti tiba-tiba saja tertawa dengan sangat keras. Suara tawa itu terkadang berubah menjadi suara tangis, atau bahkan suara ringkik kuda. Inilah jurus war
"Minggirlah, Baraka, biar kuhadapi dia!" bisik Raja Nujum. Maka, Baraka pun mengalah, dan ia bergeser ke samping, berdiri di bawah pohon dengan tubuh bersandar seenaknya. Santai garuk-garuk kepala."Sebutkan namamu, karena kita akan tentukan siapa yang mati lebih dulu!""Raja Nujum, namaku!""Baik! Terimalah awal kematianmu, Raja Nujum! Hiaah...!"Bandot Tembang sentakkan tongkatnya ke arah samping. Dari tongkat itu keluar sinar berbentuk mata anak panah warnanya merah. Melesat menghantam pohon seolah-olah tiap pohon dijadikan tempat pantulan. Mata Raja Nujum terpaksa mengikuti gerakan itu agar tubuhnya tidak terhantam dari belakang.Tak tak tak...!Gerakan sinar itu begitu cepat dan membingungkan. Kadang menukik, kadang naik. Gerakan pantulannya membentuk sudut tak tentu. Dan akhirnya mengarah kepada Raja Nujum dari samping kiri. Raja Nujum cepat membalikkan badan ke kiri sambil kibaskan kepala tongkatnya, wuttt...!Darrr...!
Tak perlu sambangi lawan, dari tempatnya berdiri saja ia sudah bisa menghajar habis tubuh lawannya. Sampai akhirnya Barong Geni dirobek dadanya dan dirogoh jantungnya dengan amat mengerikan. Darah di tangan Eyang Sambar Jantung belum kering. Jantung milik Barong Geni belum dibuang, tiba-tiba sudah datang serangan yang amat mengejutkan.Serangan itu bukan saja mengejutkan hati Sambar Jantung, namun juga mengejutkan hati Intan Selaksa. Eyang Sambar Jantung tiba-tiba saja terjungkal ke depan. Jantung yang dipegangnya terlepas entah ke mana. Tubuh tua itu bagai mainan anak-anak yang bisa mudah dijungkir-balikkan di atas tanah. Kepalanya sempat membentur bongkahan batu sebesar kelapa.Takkk...!Sambar Jantung meringis kesakitan. Untung tak sampai keluarkan darah dari kepala itu. Intan Selaksa merasa heran melihat Sambar Jantung terpental ke sana-sini dan berjungkir balik tak karuan. Dari bawah sebuah pohon yang setengahnya digunakan untuk berlindung sewaktu-waktu itu
Sambar Jantung tetap bertahan dari serangan mata maut Dewi Kelambu Darah. Mereka bertarung dengan sesekali saling hina dan membuat kedua hati bertambah panas. Tanpa diketahui oleh mereka ternyata kamar yang diduga sebagai tempat penyimpanan pedang pusaka saat itu sedang disambangi seseorang, kamar itu didekati dengan gerakan yang gesit dan tanpa suara.Seorang perempuan judes berwajah cantik sedang memeriksa keadaan sekeliling depan kamar Cipta Hening. Perempuan bermahkota kecil dengan mengenakan gelang lempengan di kedua lengannya itu tak lain adalah Ratu Teluh Bumi. Ia berhasil menyusup masuk ke dalam halaman Kuil Swanalingga melalui bagian samping. Lompatannya cukup tinggi dan ringan, sehingga ia berbasil mendekati kamar tersebut tanpa timbulkan suara sedikit pun."Ruang depan itu pasti ruang pemujaan, dan kamar inilah pasti yang dinamakan kamar Cipta Hening. Karena menurut desas-desus pusaka itu tersimpan di salah satu kamar yang ada di dekat ruang pemujaan. Di sin
"Mulut betinamu cukup kotor bagiku, Ratu Teluh! Sebaiknya kususulkan saja nyawamu sendiri agar bisa minta bantuan gurumu untuk membukakan pintu itu. Hiiah...!"Bandot Tembang meremas sendiri tongkatnya sampai tangannya mengeluarkan otot dan gemetaran. Dari ukiran mata burung hantu di kepala tongkat meluncurkan cahaya sinar kuning dua buah. Memanjang dan menjadi satu di ujungnya. Sinar itu menembus dada Ratu Teluh Bumi tujuannya. Tapi jari telunjuk Ratu Teluh Bumi cepat dihadangkan di depan dada. Sinar kuning itu tepat mengenai ujung jari telunjuk.Rupanya sinar itu sedang ditangkis oleh Ratu Teluh Bumi dengan ujung telunjuknya dan berusaha dilawan kekuatannya hingga kedua kaki Ratu Teluh Bumi gemetaran. Kedua tubuh itu sama-sama gemetar. Gerakan sinar juga makin menipis. Kejap berikutnya sinar kuning itu hilang seketika bagai tersedot telunjuk Ratu Teluh Bumi.Zlubb...!Tetapi pada saat itu pula telapak tangan Ratu Teluh Bumi menjadi menyala kuning. Telap
Jlegg...!Bandot Tembang sudah berdiri di depan Intan Selaksa dalam jarak sepuluh langkah. Tanpa berhenti sedikit pun, Intan Selaksa cepat melarikan diri ke arah kiri. Arahnya sudah berubah lagi. Mana yang dilihat aman itu yang ia tuju.Dia samping kirinya Intan melihat sekelebat bayangan warna jingga sejajar dengan larinya. Jelas itu warna jubahnya Dewi Kelambu Darah yang ingin mencegat di depan jalan. Maka, cepat-cepat Intan Selaksa berbelok arah, menerabas semak berduri dan tak pedulikan kulitnya tergores semak-semak itu. Tapi dalam beberapa jarak kemudian, tahu-tahu Ratu Teluh Bumi sudah berdiri di depannya dengan sikap menghadang."Mati aku...!" gumam Intan Selaksa dalam hati.Cepat-cepat ia membalikkan diri dan berlari lagi. Namun begitu ia melangkah sambil membalikkan diri, ia membentur sesuatu dengan keras.Bukk...!Intan Selaksa jatuh terduduk di tanah. Matanya memandang ke atas."Oh, siapa lagi ini!" pikirnya. "Tampan sekali
Brusss...!"Siapa yang mau tertawa lagi, hah!" bentak Dewi Kelambu Darah dengan lagak galaknya. Lalu, terdengar suara tawa yang walau tak keras namun terdengar jelas. Itulah tawa milik Pendekar Kera Sakti."Ha ha ha ha.... Aku tertawa!"Dewi Kelambu Darah cepat palingkan pandang dengan wajah tetap menampakkan kegeramannya. Tapi ia cepat berkata, "Kalau kau yang tertawa, terserah!""Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir, mencemooh sikap Dewi Kelambu Darah.Pendekar Kera Sakti segera menggaruk-garuk kepalanya, sementara itu terdengar Bandot Tembang berseru, "Raja Nujum! Menyingkirlah kau dan jangan lindungi bocah bodoh itu! Aku membutuhkan kunci pembuka pintu kamar pusaka tersebut!"Ratu Teluh Bumi menyahut, "Kalau kau melindungi gadis itu, kami akan membunuhmu bersama-sama, Raja Nujum!"Pada saat itu, Intan Selaksa mempunyai gagasan yang lebih bagus lagi. Ia segera mengambil kunci kamar Cipta Hening dari selipan sabuk pinggangnya. Kemudian
"Gandarwo! Sekarang giliran kau bertarung melawanku secara jantan! Serahkan jubah itu atau kulenyapkan nyawamu sekarang juga!"Gandarwo diam saja, tapi matanya memandang dan mulutnya menyeringaikan senyum. Dan tiba-tiba kepala Mandraloka jatuh sendiri dari lehernya bagai ada yang memenggalnya dalam gaib. Gandarwo tertawa terbahak-bahak, karena ia membayangkan kepala Mandraloka terpenggal, dan ternyata menjadi kenyataan.Tiba-tiba tubuh Gandarwo tersentak jatuh dari kuda karena punggungnya ada yang menendangnya dengan kuat. Gandarwo terguling-guling di tanah, dan begitu bangkit ternyata Marta Kumba sudah berdiri di depannya, pedangnya pun dicabut dengan cepat.Gandarwo menggeram dengan pancaran mata kemarahannya, "Kau juga ingin memiliki jubah ini, Anak Dungu!""Ya! Untuk kekasihku, aku harus bertarung melawanmu!""Kasihan...!""Uhg...!" Marta Kumba tiba-tiba menghujamkan pedangnya sendiri ke perutnya dengan sentakan kuat.Gandarwo mem
"Ha ha ha ha...! Kalau sudah begini, siapa yang akan melawanku? Siapa yang akan mengalahkan Gandarwo, hah! Huah ha ha...! O, ya... aku akan membuat nama baru! Bukan Gandarwo lagi namaku! Biar wajahku angker menurut orang-orang, tapi aku punya jubah keramat begini, aku menjadi seperti malaikat! Hah...! Tak salah kalau aku memakai nama Malaikat Jubah Keramat! Ya... itu nama yang cocok untukku! Malaikat Jubah Keramat! Huah ha ha ha...!"Clapp...!Seekor kuda muncul di depan Gandarwo. Karena ia memang membayangkan seekor kuda yang akan dipakainya mengelilingi dunia persilatan dan mengalahkan jago-jago silat dari mana saja. Sesuai dengan apa yang ada dalam bayangan pikirannya, kuda itu adalah kuda jantan berbulu hitam yang kekar, dengan pelana indah berlapis emas pada tepian pelananya.Gandarwo naik di atas punggung kuda dengan gagahnya. Tapi pada saat itu, dua pasang mata ternyata sedang memperhatikan dari kejauhan. Dua pasang mata itu adalah milik Ratna Prawitasari
Crakk...!Ujung-ujung tombak itu mengenai lantai marmer, dan sebagian lantai ada yang gompal. Tetapi tubuh Gandarwo selamat dari hujaman tombak-tombak itu. Kalau ia tak cepat bergerak dan berguling ke depan, matilah ia saat itu juga."Jebakan!" ucap Gandarwo sambil matanya membelalak tapi mulutnya menyunggingkan senyum kegirangan."Pasti ini jebakan buat orang yang tak hati-hati dalam perjalanannya menuju makam itu! Ah, tak salah dugaanku! Pasti ini jalan menuju makam Prabu Indrabayu!"Semakin beringas girang wajah Gandarwo yang angker. Semakin banyak ia menghadapi jebakan-jebakan di situ, dan masing-masing jebakan dapat dilaluinya, sampai ia tiba di jalanan bertangga yang arahnya menurun. Setiap langkah sekarang diperhitungkan betul oleh Gandarwo. Tangga yang menurun berkelok-kelok itu tidak menutup kemungkinan akan ada jebakannya pula.Ternyata benar. Salah satu anak tangga yang diinjak membuat dinding lorong menyemburkan asap hitam. Gandarwo bur
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern