"Tinggi juga ilmu orang ini?" pikir Dewa Racun, ia masih siap menghadapi serangan lawannya dengan tetap berdiri pasang kuda-kuda. Namun Baraka berseru, "Cepat mundur, tinggalkan dia!"
Tapi Dewa Racun menjawab, "Bbbi... biar kuhadapi dulu dia! Aku ingin tahu seberapa kekuatannya, sehingga ia tidak memuntahkan darah walau telah terkena ssse... see... seee...."
"Sesuap nasi?"
"Seranganku!" sentak Dewa Racun.
Pendekar Kera Sakti tak mau kecewakan Dewa Racun penjemputnya itu. Ia pun segera mengundurkan diri, dan memberi kesempatan kepada si kerdil yang kepalanya botak bagian tengah, hanya bagian tepian kepala saja yang ditumbuhi rambut itu.
Orang bermata putih itu mengerang dengan suara serak, mulutnya menyeringai. Menyeramkan dilihat mata orang sehat. Dan tiba-tiba tangannya berkelebat mencakar-cakar di udara.
Wukkk... wukkk!
Dewa Racun merasakan ada angin hendak menampar wajahnya. Karena itu, cepat-cepat ia sentakkan kaki dan melompat mu
GUA yang ada di belakang mereka antara jarak tiga puluh langkah itu dipandangi oleh mereka. Pendekar Kera Sakti ucapkan kata seperti bicara pada dirinya sendiri. "Berapa banyak mayat hidup yang bersembunyi di gua itu!""Ap... apakah kau yakin di dalam gua itu ada banyak mayat berilmu tinggi seperti orang tadi?""Aku hanya khawatirkan hal itu. Aku sendiri tidak tahu-menahu tentang pulau ini. Kau lebih tahu tentunya, karena kau bilang tadi di perahu, jika sudah mencium bau busuk, itu pertanda sudah dekat dengan pulau tempat tinggalmu?""Memang. Aaak... aku tahu tentang pulau ini, tapi tak banyak! Yang kutahu, dulu pulau ini punya banyak penghuni. Namun kurang lebih empat tahun yang lalu, penduduk pulau ini habis bagai disapu badai.""Kenapa?""Kaar... kaaar... karena penduduk pulau ini dibantai oleh Siluman Selaksa Nyawa. Habis semua orang-orangnya, dan mayatnya dibiarkan membusuk, tak ada yang menguburkan mayat sebegitu banyak!""Mengapa Silu
Hantu Laut cepat ucapkan kata tegang, "Siapa yang menutup pintu gua ini! Siapa...!""Ak... aku... aku tidak tahu!"Lalu, terdengar suara Pendekar Kera Sakti berseru tegang pula. "Hei...? Di mana Suling Naga Krishna-ku?""Hahh...!" Dewa Racun kaget. Dalam bias cahaya kecil itu mereka mencoba mencari Suling Naga Krishna Pendekar Kera Sakti, tapi tidak ada yang berhasil menemukannya."Suling Naga Krishna-ku hilang!" geram Pendekar Kera Sakti."Celaka...! Pasti ada orang yang mencurinya dan orang itulah yang menutup pintu gua dengan batu besar itu!" kata Hantu Laut."Berarti kita tidur pun karena dorongan suatu tenaga batin yang membuat kita jadi sama-sama tertidur dengan nyenyaknya!" ucap Baraka bagaikan bicara pada dirinya sendiri."Baag... bag... bagaimana kita keluar dari sini? Tak ada jalan lain untuk bisa keluar selain melalui pintu itu!"Hantu Laut segera mencoba kerahkan tenaganya untuk mendorong batu besar tersebut. Tapi s
Semua diam tertegun memikirkan nasib mereka. Semua diam berkerut dahi saling bertanya dalam hati tentang batu itu. Lalu kejap berikutnya Pendekar Kera Sakti bangkit, seperti mendapat satu gagasan. Gerakannya itu diikuti oleh mata Dewa Racun dan Hantu Laut. Mereka menaruh harapan besar pada usaha Pendekar Kera Sakti kali ini.“Aku akan gunakan ‘Tenaga Matahari Merah’!” kata Pendekar Kera Sakti. “Jika jurus ini gagal, aku tak tahu harus bagaimana lagi.”“Cob... cob... cobalah!” kata Dewa Racun.Tanpa menunggu waktu lagi. Baraka segera mengerahkan ‘Tenaga Matahari Merah’-nya, dan meluruskan sepuluh jari tangannya. Dan... seketika itu juga, melesatlah sepuluh larik sinar merah berkilauan wujud dari ‘Tenaga Matahari Merah’!“Hiaahh...!”Srat...!Batu besar yang menjadi sasaran tampak bergetar kencang ketika terbelit sepuluh larik sinar y
Dengan bantuan cahaya obor itu, mereka bisa pandangi lumut-lumut yang menempel di dinding lorong yang terasa lembab. Lorong yang lebarnya antara dua tombok itu mempunyai dinding rata walau bukan berarti halus. Dewa Racun curiga dengan dinding rata itu. Apalagi ketika obor diangkat lebih ke atas, mereka bisa melihat bahwa lorong itu amat panjang walau berkelok-kelok lagi di bagian sana. Kemudian mata Dewa Racun menemukan keanehan pada dinding lorong itu.“Cob... coba dekatkan ke dinding kiri obormu itu, Hantu Laut!”Hantu Laut yang memegang obor segera mendekatkan nyala apinya ke dinding kiri. Kemudian mereka sama-sama menemukan gambar pada dinding. Gambar itu berupa batu-batuan yang ditoreh oleh benda tajam. Bekas torehannya sudah berlumut, itu pertanda sudah sangat lama torehan tersebut terjadi di dinding itu.“Mungkin dulu ada manusia purba yang menghuni tempat ini!” kata Baraka.Hantu Laut hanya menggumam sambil manggut-manggut.
“Begini,” kata Pendekar Kera Sakti pecahkan hening di antara mereka bertiga. “Kita bercermin dari perbuatan kita sendiri. Kita gunakan patokan, bahwa orang berbuat sesuatu yang buruk sering dikatakan menyimpang ke jalan kiri, orang yang berbuat baik dikatakan berjalan dijalan kanan. Kita sering muliakan tangan kanan sebagai tanda penghormatan terhadap sesama, misalnya menerima sesuatu dari orang lain lebih sopan dengan menggunakan tangan kanan, tapi tangan kiri tidak sopan. Jadi, usulku kepada kalian, kita gunakan lorong kanan, sebagai lorong kebaikan dan kesopanan.”“Bagaimana jika dugaanmu salah?” tanya Hantu Laut.“Mampuslah kita!” jawab Pendekar Kera Sakti tirukan jawaban Hantu Laut tadi. “Jika dugaan kita tentang lorong kiri pun salah, mampus pulalah kita ini!”Dewa Racun segera keluarkan pendapat, “Bba... baar... barr... barangkali kita akan temui kesalahan dan kematian, tapi mati dengan men
Siapa pelempar tombak dari arah kiri Hantu Laut tadi” Tak ada yang tahu, karena tak terlihat ada orang di sana. Dewa Racun cepat berlari ke arah tempat datangnya tombak tadi, dan melakukan pemeriksaan sebentar, ternyata tak ada orang di sana.Ia berseru akan hal itu tentu saja Baraka serta Hantu Laut samasama heran. Lalu mereka pun saling menduga bahwa orang itu telah bersembunyi di tempat lain, karena pasti dia tahu seluk-beluk jalan rahasia di gua itu.Hantu Laut berdiri agak di tengah arena ketika ia berkata kepada Pendekar Kera Sakti itu, “Mendekatlah kemari. Di sini hawanya lebih sejuk!”Baru saja selesai Hantu Laut ucapkan kata demikian, tiba-tiba melesatlah sebuah piringan bergerigi yang bergaris tengah dua jengkal. Piringan besar itu melesat cepat dari arah belakang Hantu Laut.Weengngng...!“Awas!” seru Baraka seketika.Kepala gundul itu tak sempat menengok ke belakang. Tapi melihat mata Pendekar Kera S
“Hantu Laut...!” ucap Siluman Selaksa Nyawa dengan suara tenang tapi berkesan ingin membunuh. “Sengaja aku menemuimu di arena ini karena ingin tentukan nasibmu, berapa napas lagi kamu bisa menikmati hidup! Tapi aku tak mau membunuhmu secara sia-sia! Kamu harus ada perlawanan! Bertarunglah secara jantan denganku. Hantu Laut...!”Hantu Laut geleng-gelengkan kepala. Sebab ia ragu untuk menyetujui pertarungan itu, karena Pendekar Kera Sakti dan Dewa Racun kelihatan diam saja tak mau cepat bertindak mendekati dirinya. Sedangkan Hantu Laut merasa sebagai pihak yang bersalah di mata Siluman Selaksa Nyawa, ia memang telah memberontak keluar dari gerombolan orang sesat itu. Ia keluar karena sudah telanjur berkoar ingin membunuh Siluman Selaksa Nyawa ketika ia masih memegang Pusaka Tombak Kematian, milik Jangkar Langit.Tapi kali ini. Pusaka Tombak Kematian itu tidak ada lagi ditangannya. Itulah sebabnya, kali ini Hantu Laut nyaris terkulai lemas karena t
“Suling Naga Krishna...!” gumamnya, lalu ia tundukkan kepala seakan berpikir dan mempertimbangkan. Bahkan ia pejamkan matanya pelan-pelan. Sementara Baraka tetap menunggu jawaban sambil sesekali melirik ke arah Dewa Racun dan Hantu Laut, yang posisi mereka ada di sebelah kanan dan kiri Pendekar Kera Sakti.Dewa Racun tampak tetap siagakan anak panahnya yang sewaktu-waktu siap dilepaskan ke arah orang berkerudung hitam itu. Karena terlalu lama menurut ukuran Pendekar Kera Sakti, ia pun segera berkata, “Tak perlu ragu, serahkan saja Suling Naga Krishna-ku itu! Buatmu Suling itu tidak berguna, tapi buatku sangat berguna!”Orang itu tidak menjawab. Masih tundukkan kepala dengan pejamkan mata. Baraka memperhatikan terus sampai akhirnya dahinya berkerut dan wajahnya sedikit mendekat memandang wajah orang itu. Kemudian terdengar gerutuan Baraka di sela gema ruangan tersebut,“Sial! Dia malah tidur!”“Hah...!” Hantu
MEREKA baru saja mendarat di pantai dengan gunakan sebuah sampan. Tiga wanita berambut cepak, seperti potongan rambut lelaki itu mempunyai paras ayu yang berbeda nilai kecantikannya. Namun ketiganya sama-sama menggiurkan seorang lelaki yang memandang dari sisi kemesuman. Karena ketiganya mempunyai bentuk tubuh nan elok, bak lambaian perawan menunggu pelukan.“Ingat ciri-cirinya!” kata wanita muda yang berpakaian putih bertepian benang emas. “Tampan, rambut poni, pakaian rompi kulit ular emas tanpa lengan, memiliki rajah naga emas melingkar di punggung lengannya”.Si cantik berpakaian putih yang mempunyai pedang di punggung bergagang balutan kain beludru merah itu menyebutkan ciri-ciri seorang pendekar tampan yang tak lain adalah Pendekar Kera Sakti, Baraka.Si cantik berdada seksi dan berkulit kuning langsung memberi isyarat dengan tangan agar kedua gadis seusianya itu bergerak mengikuti langkahnya jauh ke dalam hutan. Sesekali ia berpali
"Bocah bodoh kau! Gurumu saja tak mampu kalahkan aku, apalagi kau yang hanya muridnya!" geram Tengkorak Liar."Mendiang Guru tidak mempunyai ilmu 'Pedang Bintang', tapi aku punya jurus itu dari seorang guru pedang tersohor: Ki Argapura alias si Penggal Jagat! Tentunya kau kenal, Tengkorak Liar!""Persetan dengan Argapura!" geram Tengkorak Liar."Buktikan kehebatannya di depanku! Hiaaah...!"Tengkorak Liar sentakkan kedua tangannya ke depan. Dua larik sinar merah yang melingkar-lingkar pada ujungnya bagaikan mata bor itu melesat ke arah Angin Betina. Kecepatannya amat tinggi, membahayakan sekali bagi Angin Betina. Dihindari akan terlambat, ditangkis akan telat. Untung Baraka selalu siap siaga. Begitu sinar merah itu terlepas, sinar biru berkelok-kelok bagai lidah petirpun keluar dari sentakan kedua tangan Baraka.Claaap...!Jurus 'Cahaya Kilat Biru' warisan Ki Ageng Buana yang biasanya membuat lawan hangus dan keropos itu menghantam sinar mer
Blaaar...!Gelombang ledakan menghentak sangat kuat membuat tubuh Pendekar Kera Sakti sebelum sempat mendarat sudah terlempar lagi bagaikan terbuang ke arah belakang.Wuuus...! Brrukk...!Benturan tersebut bukan saja hasilkan gelombang ledakan tinggi, namun juga kerliapan cahaya merah yang lebar dan menyilaukan. Tongkat itu sendiri pecah dan terpotong-potong tidak beraturan. Pandangan mata Baraka menjadi gelap bagaikan menemui kebutaan.Ketika ia jatuh terpuruk dan mencoba untuk bangkit, ia tak melihat apa-apa kecuali kegelapan yang pekat. Tetapi suling mustika masih ada di tangannya, sehingga Baraka buru-buru menyalurkan hawa murni ‘Kristal Bening’-nya!Maka dalam beberapa kejap saja pandangan matanya sudah kembali seperti semula. Kesesakan dadanya mulai lancar, dan rasa sakit pada sekujur tubuh serta tulang-tulangnya yang merasa patah telah pulih segar seperti semuia."Edan! Kekuatannya begitu tinggi. Hampir saja aku celaka!" p
Orang pertama yang menghadapi Baraka adalah Tongkang Lumut yang bersenjata rencong terselip di depan perutnya. Yang lain mundur, memberikan tempat untuk pertarungan maut itu. Tongkang Lumut mulai buka kuda-kudanya, tapi Baraka malahan menggaruk-garuk pantatnya dengan seenaknya saja. Ketenangan itu sengaja dipamerkan Baraka untuk membuat ciut nyali lawannya, sekalipun hanya sedikit saja kedutan nyali itu dialami oleh lawan, tapi punya sisi menguntungkan bagi Baraka.Tongkang Lumut rendahkan kakinya. Kedua tangan terangkat, yang kanan ada di atas kepala dengan bergetar pertanda tenaga dalam mulai disalurkan pada tangan tersebut. Tangan kirinya menghadang di depan dada. Menggenggam keras dan kuat sekali.Slaaap...!Tiba-tiba Tongkang Lumut bagai menghilang dari hadapan Baraka. Tahu-tahu dia sudah berpindah tempat di belakang Baraka dalam jarak satu jangkauan tangan. Tentu saja punggung Pendekar Kera Sakti dijadikan sasaran tangan yang sudah berasap itu. Menyadari h
JUBAH hitam berambut putih panjang terurai sebatas punggung adalah tokoh sakti dari Nusa Garong. Biar badannya kurus, wajahnya bengis, matanya cekung, tapi kesaktiannya tak diragukan lagi. Ia dikenal sebagai ketua perguruan aliran hitam, yaitu Perguruan Lumbung Darah. Namanya cukup dikenal di kalangan aliran sesat sebagai Tengkorak Liar. Anak buahnya pernah berhadapan dengan Baraka ketika Baraka selamatkan Sabani, kakak Angon Luwak dalam peristiwa Keris Setan Kobra. Orang kurus bersenjata cambuk pendek warna merah itu berdiri tepat berhadapan dengan Baraka. Usianya diperkirakan sama dengan orang yang berpakaian serba hijau, sampai ikat kepalanya juga hijau, sabuknya hijau, gagang rencongnya hijau dan pakaian dalamnya hijau lebih tua dari jubah lengan panjangnya. Orang itu dikenal dengan nama Tongkang Lumut, dari Perguruan Tambak Wesi.Dalam usia sekitar delapan puluh tahun ke atas ia masih mempunyai mata tajam dan rambut serta kumisnya abu-abu. Badannya masih tegap, walau tak
Kini kelihatannya Ki Bwana Sekarat mulai memperhatikan segala sikap Baraka yang tadi terjadi saat ia menceritakan kehebatan pedang maha sakti itu. Ki Bwana Sekarat bertanya pada pemuda dari lembah kera itu, "Tadi kudengar kau mengatakan 'persis', maksudnya persis bagaimana?""Aku melihat pedang itu ada di tangan muridmu."Ki Bwana Sekarat kerutkan dahi, pandangi Baraka penuh curiga dan keheranan."Aku tak punya murid. Semua muridku sudah mati ketika Pulau Mayat diobrak-abrik oleh Rawana Baka atau Siluman Selaksa Nyawa!"Baraka tersenyum. "Kau mempunyai murid baru yang hanya mempunyai satu ilmu, yaitu ilmu 'Genggam Buana'. Apakah kau sudah tak ingat lagi?"Segera raut wajah Ki Bwana Sekarat berubah tegang. "Maksudmu... maksudmu pedang itu ada di tangan Angon Luwak, bocah penggembala kambing itu?""Benar!" lalu Baraka pun ceritakan kembali tentang apa yang dilihatnya saat Angon Luwak bermain perang-perangan dengan Saladin dan yang lainnya.
Wuuuss...! Kabut itu membungkus sekeliling mereka berdua. Kejap berikut kabut itu lenyap. Kedua tubuh mereka pun lenyap. Tak terlihat oleh mata siapa pun."Kita lenyap dari pandang mata siapa pun, Gusti Manggala. Suara kita pun tak akan didengar oleh siapa pun walau orang itu berilmu tinggi."Baraka memandangi alam sekeliling dengan kagum, sebab dalam pandangannya alam sekeliling bercahaya hijau semua. Mulut Baraka pun menggumam heran. "Luar biasa! Hebat sekali! Ilmu apa namanya, Ki?""Namanya ilmu... jurus 'Surya Kasmaran'.""Aneh sekali namanya itu?""Jurus ini untuk menutupi kita jika sewaktu-waktu kita ingin bermesraan dengan kekasih."Gelak tawa Baraka terlepas tak terlalu panjang. "Agaknya jurus ini adalah jurus baru. Aku baru sekarang tahu kau memiliki ilmu ini, Ki!""Memang jurus baru! Calon istrimu itulah yang menghadiahkan jurus ini padaku sebagai hadiah kesetiaanku yang menjadi penghubung antara kau dan dia!""Menakj
"Apa maksudmu bertepuk tangan, Bwana Sekarat?" tegur Pendeta Mata Lima.Dengan suara parau karena dalam keadaan tidur, KI Bwana Sekarat menjawab, "Aku memuji kehebatan Gusti Manggala-ku ini!" seraya tangannya menuding Baraka dengan lemas. "Masih muda, tapi justru akan menjadi pelindung kalian yang sudah tua dan berilmu tinggi!""Jaga bicaramu agar jangan menyinggung perasaanku, Bwana Sekarat!" hardik Pendeta Mata Lima.Ki Bwana Sekarat tertawa pendek, seperti orang mengigau, ia menepuk pundak Baraka dan berkata, "Pendeta yang satu ini memang cepat panas hati dan mudah tersinggung!""Ki Bwana Sekarat, apa maksud Ki Bwana Sekarat datang menemuiku di sini? Apakah ada utusan dari Puri Gerbang Kayangan?"Mendengar nama Puri Gerbang Kayangan disebutkan, kedua pendeta itu tetap tenang. Sebab mereka tahu, bahwa Baraka adalah orang Puri Gerbang Kayangan. Noda merah di kening Baraka sudah dilihat sejak awal jumpa. Semestinya mereka merasa sungkan, karena mer
Tetapi tiba-tiba sekelebat Sinar putih perak dari telapak tangan sang pengintai melesat lebih dulu sebelum Rajang Lebong lepaskan jurus 'Pasir Neraka' andalannya.Zlaaap...!Sinar putih perak yang dinamakan jurus 'Tapak Dewa Kayangan' itu tepat kedai dada Rajang Lebong.Deeub...! Blaaarrr...!Apa yang terjadi sungguh tak diduga-duga oleh Pangkas Caling. Tubuh Rajang Lebong hancur. Pecah menjadi serpihan-serpihan daging dan tulang yang menyebar ke mana-mana. Bahkan darahnya sendiri tak bisa terkumpulkan. Ada yang membasahi batu, pohon, daun, ilalang, dan ke mana saja tak jelas bentuknya, hanya warna merah yang membuat alam sekitarnya bagai berbunga indah. Sedangkan Pangkas Caling gemetar antara takut dan memendam murka, ia sempat berkata pada dirinya sendiri, "Kalau begini matinya, bagaimana aku bisa meludahi Rajang Lebong? Apanya yang harus kuludahi! Celaka! Ada orang yang membantu kedua pendeta itu! Ilmunya pasti lebih tinggi! Sebaiknya aku harus lekas-l