Mendadak, pemuda dari Lembah Kera itu menggerakkan kedua tangannya. Gerakan si pemuda seperti tak mengandung tenaga, tapi akibatnya sungguh di luar dugaan. Tubuh Wanara Karang langsung terpental jauh!
Dan sebelum tubuh lelaki berbulu lebat itu jatuh ke tanah, garis-garis sinar merah yang semula lenyap, tiba-tiba melesat lagi dari jemari tangan Pendekar Kera Sakti.
"Hih...!"
Srattt...! Weerrr...!
Memekik parau Wanara Karang. Kali ini garis-garis sinar wujud dari 'Tenaga Matahari Merah' itu membelit tubuhnya lebih erat. Dalam keadaan melayang di udara, tubuh Wanara Karang terseret, lalu jatuh berdebam tiga tombak dari hadapan Pendekar Kera Sakti!
Namun... mendelik mata Pendekar Kera Sakti. Si pemuda terhantam keterkejutan yang menyesakkan dada. Ketika jatuh ke tanah, seharusnya tubuh Wanara Karang hancur-lebur menjadi debu. Tapi, kenapa tubuh lelaki berbulu lebat itu tak mengalami luka apa-apa?
"Tenaga Matahari Merah'-nya belum sempurna...," d
Walaupun tengah melamun, Baraka tak mengurangi kewaspadaannya, hingga saat sebuah desau angin menerpa angin yang cukup kencang menerpa dirinya, Baraka segera tolehkan pandangan.Beberapa langkah dihadapan Baraka, terlihat sebuah pusaran angin yang semakin lama menjelma menjadi sesosok tubuh. Baraka segera bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya menatap ke arah pusaran angin yang samar-samar terlihat sesosok tubuh dibaliknya.“Raja Kera Putih...” ucap Baraka mengenali sosok dibalik pusaran angin yang kini telah sirna dan menjelma menjadi sosok kera berwarna putih. Lingkar tubuhnya lebih besar dari pohon beringin tua. Diatas kepala kera itu, tampak sebuah mahkota emas tersampir. Matanya tajam, namun mengandung kewibawaan dan kearifan.“Baraka...” terdengar suara lembut tapi penuh wibawa dari sosok kera putih besar yang memang tak lain adalah Raja Kera Putih yang kini tampak menangkupkan kedua telapak tangannya didepan dada dan menundukkan
"Jangan dipakai buat tontonan!" Seru Betari Ayu."Angkat dia dan bawa masuk dengan segera!"Murbawati dibawa ke ruang yang khusus untuk penyembuhan. Di sana tubuh lunglai tak berdaya itu dibaringkan di atas sebuah pembaringan dari batu yang dilapisi kain tebal."Tinggalkan kami!" Kata Betari Ayu kepada para penggotong tubuh Murbawati itu.Mereka pun patuh, segera pergi meninggalkan ruang penyembuhan. Kini yang ada di situ hanya Murbawati dan Betari Ayu. Dipandangi sekujur tubuh Murbawati dengan sorot pandangan mata yang menyimpan kemarahan. Gigi menggeletuk, mata pun menjadi menyipit.Betari Ayu menarik napas, menenangkan gemuruh di dalam dadanya yang terasa hampir meledak melihat orang utusannya terkapar dalam keadaan sedemikian menyedihkannya. Terucap gumam, mendalam dari sudut berbibir sedikit tebal namun tampak indah itu. "Keparat! Ini pasti perbuatan Dewi Pedang!"Pintu kamar penyembuhan dibuka, Betari Ayu memanggil kedua murid kesayang
"Jika Ratu Lembah Asmara melancarkan pukulan, selalu saja pukulan yang mematikan yang dilancarkan. Tak pernah tanggung-tanggung seperti ini!" Pikir Betari Ayu."Andaikata benar bahwa Murbawati menderita pukulan dari Ratu Lembah Asmara, lantas apa maunya perempuan liar itu? Apakah ia sudah bosan bersahabat denganku? Apakah ia membuka pintu permusuhan denganku? Apa alasannya ia bertindak begitu? Bukankah aku pernah menolong nyawanya dari ancaman maut Cadaspati dalam pertempurannya di Bukit Menoreh?"Betari Ayu diguncang oleh keresahan dalam hatinya. la merasa harga dirinya dilangkahi oleh seseorang, tapi ia tak tahu kepada siapa ia harus menuntut sikap yang menantang itu. Satu-satunya wajah yang sering muncul dalam ingatannya hanyalah Dewi Pedang. Karena antara dia dengan Dewi Pedang pernah terjadi bentrokan ketika memperebutkan seorang lelaki yang bernama Datuk Marah Gadai.Sejenak, ingatan Betari Ayu melayang pada seraut wajah pria tampan berkesan jantan. Datuk
"Murbawati," Sapa Nyai Guru Betari Ayu dengan sikap tegasnya."Ceritakan, siapa orang yang menyerangmu sedemikian rupa?" Dewi Murka menyahut dengan pertanyaan."Apakah Dewi Pedang orangnya, Murbawati?""Bukan," Jawab Murbawati masih dengan suara lemah."Apakah Ratu Lembah Asmara? tanya Betari Ayu."Juga bukan, Nyai Guru.""Lantas siapa?""Pujangga Kramat," Jawab Murbawati.Tiga wajah perempuan yang sama-sama memiliki kecantikan tersendiri itu kini saling beradu pandang. Dahi mereka sedikit berkerut mendengar nama tersebut. Selendang Maut dan Dewi Murka merasa asing terhadap nama itu, tapi Betari Ayu rupanya tidak merasa asing.Hanya sedikit heran, mengapa Murbawati jadi punya urusan dengan Pujangga Kramat."Nyai Guru, mohon sudi memaafkan kelancangan saya yang telah membuat saya terluka seperti ini," Tutur Murbawati dengan perasaan bersalah dan sikap menyesal. Nyai Guru Betari Ayu hanya diam saja, mata tetap meman
BUKIT KAYANGAN. Sebuah tempat yang sangat indah hingga orang-orang memberinya nama Bukit Kayangan. Paling tidak, setiap orang yang mendengar nama ini, pasti sudah membayangkan betapa indahnya bukit itu. Dugaan orang-orang memang sebagian benar, tapi juga sebagian salah. Bukit Kayangan memang sebuah tempat yang sangat indah. Di sepanjang mata memandang, dari dataran lembah hingga ke puncak bukit, dipenuhi dengan berbagai macam pesona tanaman yang berwarna warni. Bila mendaki bukit itu, bagaikan mendaki ke sebuah taman langit. Tapi... tidak sembarang orang bisa ke puncak Bukit Kayangan, karena salah langkah ataupun salah kata, nyawa melayang. Di Bukit Kayangan tinggal seorang sesepuh dunia persilatan berjuluk Setan Bodong. Setan Bodong terkenal akan kesaktiannya. Namanya disegani baik orang-orang dari golongan putih maupun golongan hitam, karena dia tak pernah pandang bulu dalam memilih lawan. Bila dirasa
Seketika paras Setan Bodong yang tadinya jengkel dan putus asa langsung berubah ceria, matanya berbinar-binar memandang ke arah Baraka dengan tatapan gembira.“Bagus...” teriak Setan Bodong keras.“Tapi kau jangan mengajarkan banyak kesaktian padaku. Apa yang kumiliki saat ini, sudah terlalu banyak dan sudah lebih dari cukup” potong Baraka cepat.“Tentu.. tentu, aku tidak akan menurunkan banyak kesaktian kepadamu. Hanya beberapa saja yang menurutku akan berguna untukmu, di tambah 1 kesaktian ciptaanku”“Kesaktian apa itu?” tanya Baraka penasaran.“Kau ingat Banyak Langkir?”“Raja Penyasar Sukma...”“Benar, Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma, murid murtadku itu. Ku dengar ia telah tewas ditanganmu, Baraka?”Baraka mengangguk. Saat Setan Bodong memintanya menceritakan tentang pertarungannya dengan Banyak Langkir atau Raja Penyasar Sukma yang
Setan Bodong segera meluncurkan pukulan jarak jauhnya ke tubuh Baraka.Wusss...!Dengan sigap tangan kiri Baraka disentakkan ke depan.Wuuggg...!Gelombang tenaga dalam dilancarkan pula oleh Baraka. Gelombang itu berbenturan dengan hawa pukulan jarak jauh dari Setan Bodong, dan akibatnya menimbulkan suara bergedebuk seperti nangka jatuh dari pohon.Beeegh...!Baraka tersentak mundur satu langkah. Tetapi Setan Bodong tersentak mundur tiga langkah.Rupanya Baraka mengirim kekuatan tenaga dalamnya lebih besar dari pukulan jarak jauhnya Setan Bodong, membuat tubuh kakek berjubah kuning itu lebih besar menerima sentakan.Tubuh itu membentur pohon.Bukkk...!"Kurang ajar kau!" Geram Setan Bodong karena merasakan sakit pada bagian punggungnya yang terkena tunas pohon berbentuk seperti tangan menggenggam.Baraka tertawa sambil menuding-nuding gurunya yang menyeringai kesakitan di bagian punggung. Sejak berguru dan
“Mulai sekarang, kau harus berhati-hati menatap lawan jenismu, Baraka” ucap Setan Bodong tiba-tiba, hingga menarik perhatian pemuda dari lembah kera ini.“Memangnya ada apa, Kek?”“Kau telah mewarisi Ilmu Dewa Kayangan, secara tidak langsung, kini kedua matamu sudah tersimpan kekuatan yang mampu memiliki daya pesona yang sangat tinggi terhadap lawan jenismu... siapapun wanita yang bertatapan denganmu, dia akan terpikat olehmu... kecuali wanita itu memiliki hati yang bersih. Maka dia tidak akan terpengaruh oleh tatapan matamu. Juga senyumanmu, kini kau telah memiliki Aji ‘Senyum Dewa Kayangan’. Sekali lagi ku ingatkan, jangan tebar pesonamu ke semua wanita yang kau temui” jelas Setan Bodong.“Ilmu ‘Senyum Dewa Kayangan’... ” Gumam Baraka sambil garuk-garuk kepala dengan tersenyam senyum dikulum.“Pesanku padamu, hati-hatilah dengan wanita, ilmu Dewa Kayang