Dan kini, dia keluar dari tempat tinggalnya hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kabar berita perihal seorang pendekar muda yang bergelar Pendekar Kera Sakti. Namun belum seberapa jauh melakukan perjalanan, Pujangga Kramat melihat kelebatan tubuh Kembang Andini bersama cucunya. Meski Kembang Andini berkelebat cepat sekali, Pujangga Kramat masih dapat melihat jelas bagaimana raut wajah si nenek. Sehingga, Pujangga Kramat terus menguntit untuk membuktikan kebenaran penglihatannya sendiri.
"He he he...," si kakek malah tertawa terkekeh-kekeh mendengar kata-kata kasar Sekar Telasih. "mataku walau kabur sudah, bisa melihat aku masih bila kau tulang bagus memiliki. Kau berbakat amat mendalami silat ilmu. kasih Terima. Terima kasih. Bolehlah punya sifat kau ketus karena memang punya kau kepandaian yang diandalkan cukup bisa. kasih Terima. kasih Terima. Kau mengatakan telah bila nenek itu memang Andini Kembang. Hmmm.... kasih Terima sekali.... Jadi, mataku pandangan masih dapat di
Tapi.... "Tunggu! sudah Aku ingat!" seru Pujangga Kramat, memaksa Kembang Andini dan Sekar Telasih mengurungkan niatnya untuk meninggalkan tempat."Apa? Cepat katakan!" bentak Sekar Telasih, galak sekali"Ya! Ya! Tapi, bukan aku bertanya hendak Anak kepadamu Manis. Aku bertanya mau pada itu nenekmu...," sahut Pujangga Kramat."Jangan mengulur waktu lagi, Turangga! Bertanyalah!" sergap Sekar Telasih, keras membentak.Sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, Pujangga Kramat menatap wajah Kembang Andini lekat-lekat. Lalu berkata, "Aku pemuda mencari seorang. Dia Baraka bernama. tampan Wajahnya sekali. Namun, amat lugu dia juga. Pernahkah melihat kau pemuda itu? Di dia mana?"Terperanjat Kembang Andini mendengar ucapan si kakek. Begitu kagetnya dia, sampai-sampai mulutnya ternganga lebar beberapa lama."Eh! kenapa Kau? Aku bertanya cuma. Kenapa air berubah mukamu seperti kesurupan orang?""Be... benarkah kau mencari pemuda bergelar Pend
"Jahanam! Licik sekali kau!" geram Bidadari Satu Hati menyangka Pendekar Kera Sakti menebarkan obat perangsang. "Kau tampak begitu bodoh, tapi ternyata kau lebih berbahaya daripada yang kuduga""Eh! Eh! Kenapa?" sahut Pendekar Kera Sakti yang belum menyadari keadaan. "Aku! tak mau bertempur denganmu. Soal 'Tenaga Benang Merah', lain kali saja ku jelaskan. Biarkan aku pergi dari sini....""Silakan pergi, tapi tinggalkan nyawamu dulu!" sergap Bidadari Satu Hati seraya meloncat menerjang. Terpaksa Pendekar Kera Sakti harus meladeni meski dia tak mau membuat cedera. Pertarungan seru segera berlangsung kembali. Namun, kali ini pertempuran jadi tak seimbang. Bidadari Satu Hati harus menahan napas kalau tak ingin dirinya semakin dipengaruhi nafsu gairah yang bisa mengganggu akal pikiran. Karena itulah dia jadi tak leluasa. Kehebatan tusukan ataupun babatan pedangnya banyak berkurang. Dan karena tak mungkin terus menerus menahan napas, akhirnya semakin banyak aroma harum kayu
“BUDAK hina! Melihat kelicikanmu ini, agaknya aku harus mengadu jiwa danganmu!" Usai berteriak lantang, Bidadari Satu Hati memutar pedangnya cepat sekali. Karena putaran pedang mustika itu disertai aliran tenaga dalam tingkat tinggi, timbullah gelombang angin pukulan dahsyat. Bergegas Pendekar Kera Sakti memutar pula Suling Krishnanya. Gelombang angin pukulan yang tak kalah dahsyat muncul memapaki. Bentrokan tak dapat dihindari lagi. Ketika muncul ledakan keras laksana letusan gunung, tubuh Bidadari Satu Hati dan Pendekar Kera Sakti sama-sama terpental. Mudah saja bagi Pendekar Kera Sakti untuk mengatasi lontaran tubuhnya. Dengan bersalto beberapa kali di udara, si pemuda dapat mendarat sigap di tanah.'Tenaga Matahari Merah' dan ilmu 'Perisai Brahmananda' yang melindungi tubuhnya menjadikannya tak menderita luka dalam. Hanya pandangannya yang mengabur. Tapi, kekaburan itu pun segera lenyap.Sebaliknya, walau Bidadari Satu Hati dapat pula mendar
Suling Krishna digunakan untuk menangkis dengan disertai sebagian besar aliran tenaga dalamnya. Dan ketika pedang Bidadari Satu Hati terpental lepas dari cekalan, Pendekar Kera Sakti berjumpalitan di udara. Saat tubuhnya meluncur turun, dua totokan siap menghentikan perlawanan Bidadari Satu Hati!Sementara, Bidadari Satu Hati begitu dikuasai oleh keterkejutan saat pedangnya dibuat lepas dari cekalan oleh senjata Pendekar Kera Sakti. Dan keterkejutan itu membuat dia tak bisa bergerak gesit. Akibatnya....Tuk! Tuk!"Uh...!"Keluh pendek keluar dari mulut Bidadari Satu Hati membarengi tubuhnya yang jatuh terjengkang seperti gedebong pisang ditebang. Totokan Pendekar Kera Sakti tepat bersarang di pinggang kiri dan punggung. Membuat tubuh Bidadari Satu Hati terasa amat lemas tanpa tenaga!"Maaf atas perbuatanku ini...," ujar Pendekar Kera Sakti. "Lain waktu bila ada jodoh untuk bertemu lagi, kuharap kau telah menyadari kekeliruanmu...."
Terdorong rasa tak sabar, Sekar Telasih membuka. Daun pintu terkuak diiringi suara derit batang bambu yang bergesekan. Namun..., tak ada siapa-siapa di dalam. Di serambi, di dapur..., tetap tak ada siapa-siapa. Kosong!"Perasaanku tak enak, Nek...," cetus Sekar Telasih. "Apakah mereka sedang pergi ke suatu tempat?" Kembang Andini tak menyahuti.Nenek yang tampak amat uzur itu melangkah keluar. Dengan benak terus digeluti tanda tanya, Sekar Telasih mengekor ke mana pun si nenek pergi. Dan akhirnya setelah mereka menyisiri Tanah Dipertuan Ratu, terkejutlah mereka manakala melihat sesosok tubuh tergolek lemah di tanah dalam keadaan pingsan.Sosok tubuh yang ditemukan Kembang Andini dan Sekar Telasih itu seorang wanita berumur tiga puluh tahun. Mengenakan pakaian ketat serba hitam. Dia Bidadari Satu Hati!"Ibuuu...!" pekik parau Sekar Telasih seraya meloncat dan memeluk tubuh Bidadari Satu Hati. Kembang Andini yang telah memeriksa keadaan Bidadari Satu Hati t
"Astaga!" kesiap Puspa Kencana. Sejenak wanita ini jadi lupa pada Kusuma Suci yang diculik Iblis Pemburu Dosa."Bagaimana kalung itu bisa berada di tanganmu, Bu?""Baraka yang membawanya. Namun, dia tinggalkan karena ada kesalahpahaman dengan Sekar Telasih...," ujar Kembang Andini, yang kemudian menceritakan perihal pertemuannya dengan Pendekar Kera Sakti dengan singkat."Aku percaya kau tak pernah berbohong, Bu," sahut Bidadari Satu Hati di akhir cerita ibu angkatnya. "Tapi, kita harus tetap membuktikan kebenarannya. Untuk mengetahui siapa ketua baru sudah muncul atau belum, kita lihat bunga wijaya kusuma yang selama ini kutunggu...."Tanpa menanti persetujuan Kembang Andini dan Sekar Telasih, bergegas Bidadari Satu Hati menyarungkan pedangnya seraya berkelebat ke utara. Kembang Andini dan Sekar Telasih yang dapat membaca jalan pikiran wanita itu segera menyusul.-o0o-"Ya, Tuhan...," sebut Bidadari Satu Hati.Wanita be
Sambil tertawa bergelak, tangan kiri Wanara Karang mengibas. Gerakannya pelan, namun tiupan angin yang ditimbulkan sudah cukup mampu untuk menyingkap kain bawah Kusuma Suci yang berwarna biru.Sementara Kusuma Suci memekik kaget karena bagian tubuhnya yang terlarang dilihat orang, Wanara Karang tertawa bergelak lebih keras. Bola matanya pun melotot makin besar, tak berkedip menatap kulit mulus Kusuma Suci. Begitu tawanya terhenti, napas Wanara Karang langsung terdengar memburu. Aliran darahnya tiba-tiba berdesir tak karuan....Kusuma Suci yang sudah tahu adanya api permusuhan antara anak keturunan Saka Wanengpati dengan anak keturunan Buana Seta, bergidik ngeri bukan main. Mati bukanlah hal yang menakutkan baginya. Tapi, kalau mati dengan keadaan ternoda? Bagi Kusuma Suci, hal seperti itu jauh lebih menakutkan dari siksa neraka sekalipun! Dia pun tak bisa membayangkan betapa hancur perasaan ibunya setelah mengetahui akhir dari nasibnya. Begitu pula dengan perasaan nene
Namun, tata bahasa si kakek yang berantakan membuat Iblis Pemburu Dosa yang tak dapat menahan hawa amarah mengeluarkan suara menggerendeng keras. Lalu....Wuusss...!Ujung tanduk lelaki berbulu lebat itu menyemburkan gumpalan api merah menyalanyala. Namun, Pujangga Kramat malah tertawa terkekeh-kekeh. Hebatnya, udara yang keluar dari mulut si kakek mampu memadamkan gumpalan api yang hendak membakar tubuhnya!"Jahanam...!" umpat Wanara Karang, seperti hendak menghalau rasa sesak di dadanya akibat desakan hawa amarah. "Datang ke Gurun Selaksa Batu ini agaknya kau berbekal kepandaian hebat. Namun, tak ada yang perlu kau pamerkan lagi! Sekarang juga nyawamu akan kuantar ke neraka!"Usai berkata, Iblis Pemburu Dosa memutar-mutar kedua tangannya di depan dada. Jelas sekali bila dia hendak mengeluarkan ilmu 'Lima Pukulan Pencair Tulang'.Mengingat kehebatan ilmu pukulan itu, dapatkah Pujangga Kramat menghindari lubang maut" Sementara, ilmu 'Lima Pukulan P
"Aku tidak membawa almari! Untuk apa aku bawa-bawa almari!"Nyai Cungkil Nyawa berteriak jengkel, "Kataku, mau apa kau kemari!""Ooo... mau apa kemari?" Hantu Laut nyengir sambil menahan sakit. Nyai Cungkil Nyawa tidak tahu bahwa Hantu Laut adalah orang yang agak tuli, karena dulunya ketika ikut Kapal Neraka, dan menjadi anak buah Tapak Baja, ia sering digampar dan dipukul bagian telinganya, jadi sampai sekarang masih rada budek. (Baca serial Pendekar Kera Sakti dalam episode: "Tombak Kematian")."Aku ke sini tidak sengaja, Nek. Tujuanku cuma mau cari orang yang bernama Baraka! Dia harus segera pergi mengikutiku, karena aku mendapat perintah untuk menghubungi dia dari kekasihnya, bahwa....""Nanti dulu jangan cerita banyak-banyak dulu...!" potong Nyai Cungkil Nyawa, "Apakah kau teman Baraka?""Aku anak buahnya Baraka! Aku diutus oleh Gusti Mahkota Sejati Ratu Ayu Sejagat untuk menyusul dia, sebab akan diadakan peresmian istana yang sudah selesai di
Nyai Cungkil Nyawa terlempar dan jatuh di atas reruntuhan bekas dinding dua sisi. Ia terkulai di sana bagaikan jemuran basah. Tetapi kejap berikutnya ia bangkit dan berdiri di atas reruntuhan dinding yang masih tegak berdiri sebagian itu. Ia tampak segar dan tidak mengalami cedera sedikit pun. Tetapi Mandraloka kelihatannya mengalami luka yang cukup berbahaya. Kedua tangannya menjadi hitam, sebagian dada hitam, dan separo wajahnya juga menjadi hitam. Tubuhnya pun tergeletak di bawah pohon dalam keadaan berbaring.Pelan-pelan Mandraloka bangkit dengan berpegangan pada pohon, ia memandangi kedua tangannya, dadanya, sayang tak bisa melirik sebelah wajahnya, ia tidak terkejut, tidak pula merasakan sakit yang sampai merintih-rintih. Tapi ia melangkah dengan setapak demi setapak, gerakannya kaku dan sebentar-sebentar mau jatuh.Ia menarik napas dalam-dalam. Memejamkan mata beberapa kejap. Setelah itu, membuka mata sambil menghembuskan napas pelan tapi panjang. Pada waktu itu
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil