Bertolak belakang dengan Sasak Padempuan. Menggeram marah dia. Sambarannya hanya mengenai angin kosong. Karena kelebatan tubuhnya diliputi hawa amarah, membuat pemuda itu kurang hati-hati. Hingga, si pemuda tak dapat lagi mengendalikan gerak tubuhnya. Dan, jatuhlah dia terguling-guling!
Sumpah serapah dan kata-kata kotor lainnya segera menyembur dari mulut Sasak Padempuan. Namun dengan tenang, Bancakdulina menyahuti....
"Sasak Padempuan..., tak perlu kau teruskan niatmu yang ingin memiliki Kitab Palanumsas. Mengingat kau keturunan Umpak Padempuan, bolehlah kau kuberi ampunan atas kesalahanmu ini. Pergilah! Jangan sekali-sekali menginjakkan kaki di Perkampungan Suku Asantar!"
"Sangkuk...," sergah Bancakluka. "Dia tak boleh pergi begitu saja. Lihat itu!"
Bancakdulina mengarahkan pandangan ke tempat yang ditunjukkan Bancakluka. Kontan bola mata kakek yang wajahnya telah dipenuhi kerutan itu melotot besar. Dia melihat anjing piaraannya, Jana, telah mati denga
"Di mana pemuda itu?" sahut Bancakdulina, menanyakan Pendekar Kera Sakti.Dengan napas yang masih megap-megap, Bancakluka mengedarkan pandangan. Demikian pula dengan Bancakdulina. Ketika melihat tubuh Pendekar Kera Sakti yang terbaring tak bergerak di tanah, seperti diberi aba-aba Bancakluka dan ayahnya merangkak menghampiri bersamaan."Pendekar Kera Sakti! Pendekar Kera Sakti!" teriak khawatir Bancakluka"Uh! Siapa memanggilku?" sahut Baraka seraya bangkit duduk."Kau... kau tidak apa-apa, Anak Muda?" tanya Bancakdulina."Tidak apa-apa bagaimana? Napas ku hampir putus.... Untung, aku tidak mati..."Wajah Baraka menegang kaku seperti menyimpan kejengkelan di hati. Namun mendadak, dia tertawa terkekeh-kekeh."He he he.... Lihat itu! Lihat itu! Pemuda itu jadi patung salju! He he he...."Bancakluka dan ayahnya langsung mengarahkan pandangan ke arah tudingan Baraka. Mereka melihat tubuh Sasak Padempuan yang masih berdiri tegak ter
DI SEBUAH kamar berdinding papan berlabur warna kuning gading, Baraka duduk terpekur di hadapan jendela. Matanya tak berkedip menatap tangkai-tangkai daun pohon pisang yang bergerak melambai tertiup angin. Pemuda dari Lembah Kera itu duduk di kursi rotan.Kedua tangannya menimang dua benda mustika. Suling Krishna dan cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Tanpa mengalihkan pandangan dari tangkai-tangkai daun pohon pisang, Baraka meletakkan Suling Krishna ke meja yang terletak di sisi kanan jendela. Sejenak, ia menimang lagi cermin 'Terawang Tempat Lewati Masa'. Cermin ajaib milik Ratu Perut Bumi itu hanya selebar telapak tangan. Berbentuk persegi empat. Keempat sisinya berukir indah seperti ukiran cermin putri istana."'Terawang Tempat Lewati Masa'...," gumam Baraka. "Untung, cermin ajaib milik Ratu Perut Bumi ini tidak hilang ketika aku jatuh tercebur ke Sungai Simandau. Untung sekali. Ya! Aku memang masih memiliki peruntungan bagus...."Pemuda lugu itu tampak m
Sementara, lima orang sesepuh Suku Asantar yang menjadi hakim pada Pengadilan Agung itu tampak bangkit dari tempat duduknya. Dengan dipimpin oleh hakim kepala yang berada di tengah, mereka menjulurkan kedua tangan ke arah Sasak Padempuan.Lalu, kakek yang berada di tengah berkata, "Para leluhur Suku Asantar selalu menjunjung tinggi kebenaran dan menentang kejahatan. Hari ini Pengadilan Agung telah menyatakan Sasak Padempuan bersalah. Para leluhur Suku Asantar akan mencabut seluruh kekuatan ilmu sihir pemuda itu...."Empat kakek lainnya yang sama-sama memakai jubah hitam menyambung dengan kalimat, "Hom asantarnas salawunas.... barnas...!"Di ujung kalimat itu, mendadak Sasak Padempuan menjerit parau. Sekujur tubuhnya memancarkan sinar merah menyilaukan. Hampir semua warga Suku Asantar yang melihat jalannya Pengadilan Agung itu memalingkan muka karena mata mereka terasa amat pedih."Hentikan! Hentikaaannn...! Kubunuh kalian semua! Kubunuh kalian semua...!"
Akibatnya, dia akan dikeluarkan dari pergaulan hidup Suku Asantar. Lebih dari itu, sebelum diusir, dia dan Sadeng Sabantar akan dihukum cambuk seratus kali. Begitulah aturan yang berlaku di Suku Asantar.Memikirkan akibat itu, Silasati jadi ragu. Dia tak dapat membayangkan betapa sedih, marah, dan malunya kedua orangtuanya apabila dirinya sampai menerima hukuman adat seperti itu. Silasati pun tak dapat membayangkan rasa hati Bancakdulina dan Bancakluka, calon mertua dan suaminya itu. Mereka tentu amat kecewa, bahkan teramat kecewa!"Sati! Aku tak bisa berdiri terlalu lama di sini! Aku mau jatuh...," desak Sadeng Sabantar yang berusia dua puluh tiga tahun.Pemuda ini putra kedua seorang warga Suku Asantar yang cukup terpandang pula. "Aku takut...," desis Silasati, mengutarakan isi hatinya."Kau tidak mencintaiku? Hatimu telah terpaut pada Bancakluka yang calon kepala suku itu? Baiklah kalau begitu. Aku memang tak pantas menemuimu lagi! Selamat tinggal, Sat
Sampai beberapa tarikan napas, Sadeng Sabantar dan Silasati berdiri terpaku di tempatnya. Mata mereka sama-sama menatap sosok wanita berpakaian merah gemerlap. Wanita berusia tiga puluh tahun itulah yang tadi mengeluarkan suara bentakan."Danyangsuli...," desis Sadeng Sabantar dan Silasati, hampir bersamaan.Wanita berpakaian merah gemerlap yang memang Dayangsuli terlihat geleng-geleng kepala. Dari jarak sekitar tiga depa, ditatapnya wajah Sadeng Sabantar dan Silasati bergantian. Lalu dengan suara dalam, dia berkata, "Kalian baru saja berbuat apa yang seharusnya tidak boleh kalian perbuat. Kalian baru saja melanggar apa yang sebenarnya tidak boleh kalian langar. Tapi walau telah begitu rendah moral kalian, apakah kalian tetap akan membiarkan anggota tubuh kalian yang terlarang dilihat orang?"Sekali lagi, Sadeng Sabantar dan Silasati menggerigap kaget. Kata-kata Danyangsuli menyadarkan bila mereka tengah berdiri dengan tubuh nyaris telanjang. Oleh karenanya, tan
Akan tetapi, serangan pemuda itu sama sekali tak membuat repot Danyangsuli. Sengaja Danyangsuli bergerak meliuk-liuk beberapa saat untuk memperlihatkan keindahan tubuhnya. Dan selagi Sadeng Sabantar digeluti rasa kesal bercampur penasaran dan hawa amarah, Danyangsuli melompat tinggi ke udara.Secepat kilat ujung jari telunjuk tangan kanannya meluncur. Tepat menotok ubunubun Sadeng Sabantar!Tuk!"Akkhh...!""Sadeng...!" Jerit Silasati, penuh kekhawatiran. Serta-merta gadis hitam manis itu meloncat seraya memeluk tubuh Sadeng Sabantar. Namun, si pemuda sudah tak dapat bergerak lagi. Dia berdiri kaku-kejang dengan bola mata melotot besar dan mulut terbuka lebar. Totokan Danyangsuli mengandung kekuatan sihir yang mampu mempengaruhi saraf pemuda itu."Sadeng...! Sadeng...! Kau kenapa, Sadeng...!" seru Silasati, semakin khawatir.Seperti telah kehilangan ingatan, Silasati mengguncang-guncangkan tubuh Sadeng Sabantar. Tapi, tubuh si pemuda tetap b
"Malam-malam begini...," menggantung kalimat Bancakluka. “tu....""Boleh aku masuk?""Tentu saja. Silakan. Tampaknya, ada sesuatu”“Ya! Ya," sergah Silasati, cepat."Aku disuruh ayahmu untuk menjemput Baraka .""Apa? Menjemput?" kejut Bancakluka, tak jadi mempersilakan Silasati duduk."Baru saja ayahmu mampir ke rumahku. Setelah berbincang-bincang dengan ayahku, ayahmu memintaku untuk menjemput Baraka . Ayahmu ingin Baraka turut memeriksa pengairan di sawah ladangnya. Bukankah Baraka berasal dari tanah Jawa yang terkenal subur? Barangkali pemuda itu bisa memberikan sumbang saran untuk perbaikan cara-cara bercocok tanam di tanah kelahiran kita ini...," kilah Silasati."Malam-malam begini...," selidik Bancakluka lirih seperti menggumam. "Kenapa Sangkuk tidak langsung saja pulang dan mengatakan keinginannya sendiri kepada Baraka?""Ah! Mana aku tahu jalan pikiran ayahmu. Aku cuma menuruti permintaannya, dan kebet
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Sati? Apa yang telah kau katakan tadi adalah suatu kebohongan belaka, bukan?" selidik Baraka kemudian.Terdiam Silasati. Mendadak, air bening menitik dari kedua sudut mata putri Bancaksika itu. Kening Baraka langsung berkerut rapat. Si pemuda merasa heran melihat perubahan sikap Silasati."Kau menangis? Kalau ada apa-apa, aku bersedia menolongmu...," tawar Baraka kebodoh-bodohan"Te... terima kasih, Tuan Baraka...," sambut Silasati, sesenggukan. Nada bicaranya kembali menjadi hormat. "Kalau Tuan memang ingin menolongku, sudilah Tuan mengikutiku ke Puri Dewa Langit...""Itu akan menyelesaikan persoalanmu?"Mengangguk Silasati."Kalau cuma itu permintaanmu, apa susahnya? Tapi, tidakkah kau ingin berterus terang kepadaku? Apa permasalahanmu sebenarnya? Ada hubungannya dengan Bancakluka?" desak Baraka.Pemuda itu sudah tahu perihal pertunangan Silasati dengan Bancakluka. Silasati diam beberapa lama. Set
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu