Akan tetapi, serangan pemuda itu sama sekali tak membuat repot Danyangsuli. Sengaja Danyangsuli bergerak meliuk-liuk beberapa saat untuk memperlihatkan keindahan tubuhnya. Dan selagi Sadeng Sabantar digeluti rasa kesal bercampur penasaran dan hawa amarah, Danyangsuli melompat tinggi ke udara.
Secepat kilat ujung jari telunjuk tangan kanannya meluncur. Tepat menotok ubunubun Sadeng Sabantar!
Tuk!
"Akkhh...!"
"Sadeng...!" Jerit Silasati, penuh kekhawatiran. Serta-merta gadis hitam manis itu meloncat seraya memeluk tubuh Sadeng Sabantar. Namun, si pemuda sudah tak dapat bergerak lagi. Dia berdiri kaku-kejang dengan bola mata melotot besar dan mulut terbuka lebar. Totokan Danyangsuli mengandung kekuatan sihir yang mampu mempengaruhi saraf pemuda itu.
"Sadeng...! Sadeng...! Kau kenapa, Sadeng...!" seru Silasati, semakin khawatir.
Seperti telah kehilangan ingatan, Silasati mengguncang-guncangkan tubuh Sadeng Sabantar. Tapi, tubuh si pemuda tetap b
"Malam-malam begini...," menggantung kalimat Bancakluka. “tu....""Boleh aku masuk?""Tentu saja. Silakan. Tampaknya, ada sesuatu”“Ya! Ya," sergah Silasati, cepat."Aku disuruh ayahmu untuk menjemput Baraka .""Apa? Menjemput?" kejut Bancakluka, tak jadi mempersilakan Silasati duduk."Baru saja ayahmu mampir ke rumahku. Setelah berbincang-bincang dengan ayahku, ayahmu memintaku untuk menjemput Baraka . Ayahmu ingin Baraka turut memeriksa pengairan di sawah ladangnya. Bukankah Baraka berasal dari tanah Jawa yang terkenal subur? Barangkali pemuda itu bisa memberikan sumbang saran untuk perbaikan cara-cara bercocok tanam di tanah kelahiran kita ini...," kilah Silasati."Malam-malam begini...," selidik Bancakluka lirih seperti menggumam. "Kenapa Sangkuk tidak langsung saja pulang dan mengatakan keinginannya sendiri kepada Baraka?""Ah! Mana aku tahu jalan pikiran ayahmu. Aku cuma menuruti permintaannya, dan kebet
"Apa sebenarnya yang telah terjadi, Sati? Apa yang telah kau katakan tadi adalah suatu kebohongan belaka, bukan?" selidik Baraka kemudian.Terdiam Silasati. Mendadak, air bening menitik dari kedua sudut mata putri Bancaksika itu. Kening Baraka langsung berkerut rapat. Si pemuda merasa heran melihat perubahan sikap Silasati."Kau menangis? Kalau ada apa-apa, aku bersedia menolongmu...," tawar Baraka kebodoh-bodohan"Te... terima kasih, Tuan Baraka...," sambut Silasati, sesenggukan. Nada bicaranya kembali menjadi hormat. "Kalau Tuan memang ingin menolongku, sudilah Tuan mengikutiku ke Puri Dewa Langit...""Itu akan menyelesaikan persoalanmu?"Mengangguk Silasati."Kalau cuma itu permintaanmu, apa susahnya? Tapi, tidakkah kau ingin berterus terang kepadaku? Apa permasalahanmu sebenarnya? Ada hubungannya dengan Bancakluka?" desak Baraka.Pemuda itu sudah tahu perihal pertunangan Silasati dengan Bancakluka. Silasati diam beberapa lama. Set
"Bancakluka! Bancakluka! Apa yang tengah kau lakukan"!" tegur si kakek.Pemuda bertubuh tinggi tegap tak menghentikan perbuatannya. Dia terus berlari-lari mengitari bangunan rumah panggung yang terbuat dari susunan kayu jati. Apa yang dilakukan si pemuda mirip perbuatan orang yang telah kehilangan akal sehat. Sementara menilik dari keringat yang membanjiri sekujur tubuhnya, dapat dipastikan bila dia telah berlari mengempos tenaga cukup lama. Memang, tak kurang dari lima puluh kali dia berlari mengitari rumah panggung yang cukup besar itu.Ya! Dia memang Bancakluka. Dan, kakek yang tengah menatap penuh kekhawatiran itu adalah ayahnya, Bancakdulina, baulau atau kepala Suku Asantar.Berkali-kali sudah Bancakluka berlari sempoyongan dan hampir terpeleset jatuh. Tenaganya hampir terkuras habis. Namun demikian, tak ada tanda-tanda bila dia akan segera menghentikan perbuatannya."Bancakluka! Hentikan perbuatan gilamu itu!" seru Bancakdulina, lebih keras.
"Kita ke rumah Bancaksika saja. Kita cari keterangan di rumah pamanmu itu," ajak Bancakdulina kemudian. Bancakluka tak menjawab. Namun, dia bangkit berdiri pertanda menyetujui ajakan ayahnya.Bancaksika adalah ayah Silasati, dan merupakan adik Bancakdulina. Dalam aturan adat suku yang terletak di ujung selatan Pulau Salyadwipa itu, setiap warga Suku Asantar diperbolehkan melakukan perkawinan sedarah. Oleh karenanya, sah-sah saja kalau Bancakdulina menjodohkan Bancakluka dengan Silasati yang tak lain keponakannya sendiri.Sementara, rumah Bancaksika bersebelahan dengan rumah Bancakdulina. Jadi, Bancakdulina dan putranya tak butuh waktu banyak untuk sampai di tempat yang dituju."Bancaksika! Bancaksika!" seru Bancakdulina sembari mengetuk daun pintu keras-keras.Tak lama Bancakdulina menunggu. Pintu rumah segera terkuak, dan tampaklah seraut wajah kusut milik Bancaksika yang baru bangun tidur."Kau... Ada apa malam-malam begini?" ujar ayah Silasati i
Namun tanpa disadari oleh Baraka..., semakin dia mengempos tenaga, semakin cepat inti kekuatan tubuhnya terhisap. Hingga lama-kelamaan, Baraka merasakan tubuhnya amat lemah. Lalu di lain kejap, dia tak dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Dia pun jatuh menggelosoh ke lantai dingin, bagai selembar kain tak berharga!Sementara, Danyangsuli yang masih terbaring di tilam tampak tersenyum puas. Bola matanya berbinar-binar saat bangkit. Tanpa mempedulikan keadaan tubuhnya yang tak tertutup selembar benang, wanita berwajah cantik jelita itu menatap tubuh lemah Pendekar Kera Sakti yang tergolek telentang di lantai. Sinar mata si pemuda telah redup. Inti kekuatan tubuhnya telah terhisap habis oleh Danyangsuli. Itu berarti seluruh ilmu kesaktian Pendekar Kera Sakti turut lenyap!"Ha ha ha...!" tawa gelak Danyangsuli. "Sungguh malang nasibmu, Baraka. Seluruh inti kekuatan tubuhmu telah pindah ke tubuhku. Kini, dirimu tak lebih berharga dari seonggok sampah! Ha ha ha...!""Dan
Setelah menghapus peluh di wajahnya, pemuda lugu itu merapikan pakaiannya yang kedodoran. Namun mendadak, dia terkesiap. "Astaga! Suling Krishna-ku lenyap!" serunya.Walau telah memutar pandangan dan mencaricari di beberapa tempat, Baraka tetap tak dapat menemukan senjata andalannya. Maka, menggeram marahlah dia teringat akan sosok Danyangsuli yang telah memasang perangkap terhadapnya."Pasti wanita itu yang membawa senjataku!" pikir Baraka. "Aku harus cepat keluar dari tempat ini. Aku harus merampas kembali senjataku sebelum dia menggunakannya untuk tujuan tak baik!"Karena desakan rasa khawatir, Baraka meloncat mengikuti jalan di lorong gua. Namun tanpa diketahuinya, ada sebentuk benteng gaib yang menahan luncuran tubuhnya. Hingga....Jder...!"Argh...!"Diiringi suara ledakan seperti genderang dipukul keras, tubuh Baraka terpental balik lalu jatuh bergulingan di lantai gua. Walau tak mendapat cedera berarti, tak urung sekujur tubuhnya ter
"Jahanam! Apa yang kau lakukan di sini, Padempuan"!" tegur Danyangsuli, keras menggelegar."Tahan hawa amarahmu dulu, Suli...," sahut Sasak Padempuan, tenang. "Sengaja aku mendatangimu di tempat ini karena ada sesuatu yang harus kubicarakan denganmu.""Tapi..., sungguh tidak pada tempatnya bila kau menungguku ketika aku dalam keadaan seperti ini, bukan?" tegur Danyangsuli lagi, duduk mendeprok di dalam air. Namun, tubuh bagian atasnya tetap saja terlihat dengan jelas."Jangan berlagak sok alim, Suli...," cibir Sasak Padempuan. "Aku tahu siapa dirimu. Bagaimanapun, kita pernah menjadi sepasang kekasih. Kita pernah menikmati kebahagiaan bersama-sama. Oleh karenanya, tak perlu kau bersikap ketus macam itu. Kau bukan gadis belia yang akan marah ketika tubuh telanjangnya diintip orang. Tubuhmu memang amat menggiurkan, Suli. Tapi, aku datang bukan untuk mengintip ataupun mencoba menikmati keindahan tubuhmu itu. Ada sesuatu yang memang harus kubicarakan denganmu. Seger
Kemauan keras untuk dapat terus hidup membuat Sasak Padempuan tak sampai jatuh pingsan, walau rasa sakit merejam sekujur tubuhnya. Putaran angin puting beliung membuat tubuh si pemuda berputar-putar terhisap, dan terhempas mengikuti ke mana angin itu membawanya. Bukan saja tulang-belulangnya terasa telah hancur berantakan, Sasak Padempuan juga merasakan kepalanya amat pening bagai dipukuli palu godam. Namun, semangat hidup pemuda itu benar-benar bagai api yang terus menyala, sehingga membuatnya dapat mempertahankan kesadarannya.Meski samar-samar Sasak Padempuan dapat melihat bagaimana keadaan puncak Bukit Silambar yang akan segera menyambut luncuran tubuhnya. Puncak bukit yang terletak cukup jauh dari perkampungan Suku Asantar itu dipenuhi bongkah-bongkah batu besar. Kalau tidak tersangkut di dahan pohon, pastilah tubuh Sasak Padempuan akan hancur berantakan bila jatuh di tanah berbatu-batu itu!Menyadari nasibnya yang akan segera dijemput ajal, tak dapat lagi Sasak P
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu