"Apa yang terjadi?"
"Oh! Di mana aku?"
"Astaga! Untuk apa anak buahku berada di sini semua?"
"Ya, Tuhan. Tiga saudaraku berada di tempat ini. Untuk apa? Apa yang telah terjadi?"
Begitulah kata-kata yang keluar dari mulut Aji Pamenak dan tiga ketua Partai Naga lainnya. Mereka mengeluh dan mendesah seakan baru tersadar dari mimpi buruk. Mengetahui empat ketua Partai Naga telah terbebas dari pengaruh kekuatan gaib Pedang Naga Kresna, semakin memuncak amarah Setan Selaksa Wajah. Sembari memekik nyaring, dia hentakkan telapak tangan kanannya ke depan. Selarik sinar biru berkeredapan tiba-tiba melesat ganas ke arah Ksatria Topeng Putih!
Wusss...!
Ringan saja Ksatria Topeng Putih melentingkan tubuhnya ke samping kiri. Selarik sinar biru yang melesat dari telapak tangan Setan Selaksa Wajah terus meluncur, dan menerpa bilah Pedang Naga Kresna!
Slash...!
Tak dapat digambarkan lagi betapa terkejutnya Ksatria Topeng Putih. Selarik sinar bi
Usai berkata, Setan Selaksa Wajah menerjang. Kedua tangannya yang berwarna biru berkelebat cepat. Satu mengarah ke dada, satunya lagi mengarah ke kepala!"Hiahhh...!"Pukulan Setan Selaksa Wajah kurang dua tombak untuk mengenai sasaran, tapi Ksatria Topeng Putih merasakan tubuhnya bagai digodok di tungku pembakaran. Maka, cepat dia kerahkan tenaga dalam untuk membentengi tubuhnya. Lalu, bergegas dia meloncat jauh ke samping kanan, sehingga kedua pukulan beruntun Setan Selaksa Wajah hanya mengenai angin kosong. Namun, mendelik mata Ksatria Topeng Putih ketika melihat tubuh Setan Selaksa Wajah terus meluncur. Si kakek bermaksud menyambar bilah Pedang Naga Kresna yang masih menancap di tebing cadas!"Orang buta pun tak akan terperosok di lubang yang sama!" seru Ksatria Topeng Putih.Cepat sekali lelaki berpakaian putih-putih itu menyambitkan dua kelereng baja. Disertai suara bersiut keras, dua senjata rahasia berwarna putih itu melesat sebat, melebihi luncur
"Jangan salah mengerti, Mahisa Lodra...," sahut Ksatria Topeng Putih, tanpa menampakkan wujudnya."Aku bukan sedang main kucing-kucingan. Bukankah kau ingin mengetahui seberapa tinggi ilmu kesaktianku? Kini tibalah saatnya kau membuka mata lebar-lebar...."Mendengus gusar Setan Selaksa Wajah. Telinga si kakek yang tajam mendengar suara berkesiur menuju ke arahnya. Walau suara itu tanpa wujud, si kakek tahu bila ada bahaya yang tengah mengancamnya."Keparat!"Setan Selaksa Wajah menggeram marah seraya membuang tubuhnya jauh-jauh ke samping kiri. Sebuah tendangan tak kasat mata berhasil dielakkan.Tapi.... Duk...!"Uh...!"Tak dapat lagi Setan Selaksa Wajah berkelit saat siku kanannya menjadi sasaran pukulan. Mulut si kakek pun tak kuasa lagi menahan keluhan.Pukulan yang dilancarkan Ksatria Topeng Putih yang masih menerapkan ilmu 'Sihir Penutup Raga' itu cukup keras. Membuat tulang lengan Setan Selaksa Wajah terasa remuk dan lum
Setan Selaksa Wajah yang berada dalam keadaan tak menguntungkan, masih bisa menunjukkan sifat sombong dan congkak. Setelah menarik napas panjang untuk menghalau rasa sesak di dadanya, si kakek tertawa bergelak-gelak. Tak peduli pada keadaan dirinya yang benar-benar sudah tidak menguntungkan lagi."Ha ha ha...! Sama seperti aku, kau juga punya dua telinga, Lelaki Keparat! Tapi, kenapa kau tak dapat mendengar kata-kataku? Sudah dua kali kubilang, aku bukan anak kecil yang masih perlu dituntun dan diarahkan! Kalau ingin berkotbah, kau bukan berada di hadapan orang yang tepat! Aku tahu diriku sendiri. Aku tahu jalan pikiranku sendiri. Aku pun tahu apa yang harus kukerjakan!"Di ujung kalimatnya, mendadak Setan Selaksa Wajah meloncat sebat. Kedua tangannya yang dilambari ilmu pukulan 'Pelebur Sukma' bergerak cepat untuk menjatuhkan pukulan!"Dasar kepala batu!" seru Ksatria Topeng Putih seraya berkelit.Pertempuran seru berlangsung kembali. Namun, kali ini Ksa
"Ya, Tuhan...," sebut Ksatria Topeng Putih lagi."Kau... kau sungguh amat licik, Mahisa Lodra....""Ha ha ha...!" tertawa bergelak Setan Selaksa Wajah sambil menimang bilah Pedang Naga Kresna yang telah berlumuran darah. "Untuk mewujudkan cita-cita, apa pun cara harus dilakukan. Seorang penguasa yang tampak arif bijaksana pun jangan dikira tak pernah berlaku licik. Apalagi, aku! Ha ha ha...! Seribu kelicikan, sejuta tipu muslihat pasti kugunakan kalau memang dengan cara itu aku akan dapat mewujudkan cita-cita! Ha ha ha...!"Seperti seorang anak yang baru mendapat mainan idamannya, Setan Selaksa Wajah tertawa gembira melihat Ksatria Topeng Putih jatuh terduduk tanpa daya. Si kakek yang telah hilang sifat kemanusiaannya mengangkat bilah Pedang Naga Kresna tinggi-tinggi, siap memenggal maupun membelah kepala Ksatria Topeng Putih!"Kematian akan terlihat sangat indah bila kau mengikhlaskan nyawamu..." ujar si kakek. "Dengan tubuh terluka parah seperti itu, ak
SENJA tegak menantang untuk segera menyambut kehadiran sang dewi malam. Hanya desau angin yang bersedia menemani sepi di Lembah Kebencian. Namun, keheningan di alam sekitar, berlainan benar dengan isi hati Pendekar Kera Sakti yang tengah bergolak dan bergemuruh...."Terima kasih atas segala kebaikan yang pernah kau berikan, walau sebenarnya aku tak tahu ada maksud apa di balik kebaikanmu itu...," ujar si pemuda dengan suara dalam."Ada beberapa pertanyaan yang harus kau jawab dengan jujur, Paman. Pertama, benarkah kau pamanku?"Ksatria Topeng Putih terdiam, tak dapat segera menjawab pertanyaan itu. Dalam keadaan rebah miring, dia mencoba menatap wajah Baraka. Lalu sambil menahan rasa sakit yang amat menyiksa, perlahan tangan kanannya bergerak. Topeng baja putih ditanggalkannya. Sehingga, tampaklah seraut wajah halus tampan dengan sinar mata lembut, menatap ke arah Baraka penuh rasa haru...."Kau... kau...," desis Pendekar Kera Sakti, tak jelas apa makna u
Begitu mendengar kata 'racun', Baraka teringat akan Suling Krishna-nya yang mempunyai khasiat memusnahkan segala jenis racun. Dengan hati berdebar tak karuan, Pendekar Kera Sakti menotok beberapa jalan darah di tubuh Ksatria Seribu Syair untuk menghentikan pendarahan pada luka lelaki setengah baya itu. Sesudahnya, Pendekar Kera Sakti mencabut jarum-jarum yang masih menancap di tubuh si lelaki setengah baya seraya menempelkan batang Suling Krishna di bekas luka tusukan jarum-jarum itu.Di lain kejap, wajah Darma Pasulangit tidak seberapa pucat lagi. Seluruh racun yang bersarang di tubuhnya telah terhisap oleh batang Suling Krishna. Ketika Baraka hendak membalut luka di dada dan pinggangnya dengan menyobek kain sabuk pinggangnya sendiri, cepat bekas putra mahkota itu mencegah...."Tak perlu, Baraka. Aku tahu rompi dan sabukmu bukanlah pakaian sembarangan...,"Sebelum Pendekar Kera Sakti menyahuti, Darma Pasulangit telah merobek-robek bajunya sendiri. Lalu, dia mem
Namun, tidak seperti orang yang sedang bersemadi pada umumnya, pemuda bercelana panjang warna merah itu melakukan semadi di atas rimbunan daun pohon! Beberapa ranting kecil yang menopang tubuhnya tak melengkung ataupun patah. Agaknya, si pemuda memiliki ilmu peringan tubuh yang cukup bisa diandalkan.Dia adalah Bancakluka, putra Kepala Suku Asantar yang lebih dikenal dengan sebutan Baulau. Sebagai putra Baulau Asantar, Bancakluka mempunyai hak untuk menggantikan kedudukan ayahnya yang bernama Bancakdulina. Dan menurut rencana yang telah disepakati Bancakdulina dengan seluruh warga suku, Bancakluka akan menggantikan kedudukan baulau pada malam bulan purnama depan, mengingat Bancakdulina sendiri sudah lanjut usia. Tapi sebelum dilakukan upacara adat penyerahan kedudukan kepala suku itu, Bancakluka wajib memperlihatkan kemampuan ilmu bela dirinya di hadapan seluruh warga Suku Asantar. Apabila Bancakluka dianggap kurang cakap, maka kedudukan baulau akan digantikan warga Suku Asan
"Huing...! Huing...!"Anjing berbulu hitam mendengking. Lidahnya terjulur makin panjang. Terus mengendus dan menjilati wajah si kakek yang tak lain dari tuannya. Kakek itu tengah tergolek lemah seperti sudah tak punya nyawa. Dia mengenakan baju kuning keemasan. Bercelana longgar warna hijau daun. Rambutnya putih meletak. Namun demikian, tubuhnya masih tampak sehat dan tegap. Dia adalah Bancakdulina, baulau atau kepala Suku Asantar."Huing...! Huing...!"Mendengking lagi anjing berbulu hitam. Karena Bancakdulina tak segera bangun, anjing gemuk dan bertenaga kuat itu menggigit kain baju si kakek. Lalu, dia bergerak mundur, hingga terseretlah tubuh Bancakdulina.Bruk...!"Uh...!"Tak ayal lagi, tubuh Bancakdulina jatuh dari pembaringan. Mengeluh kesakitan dia karena tulang bahunya membentur lantai papan yang cukup keras. Mata si kakek memicing sebentar, tapi dia segera terlelap kembali. Sepertinya, kepala suku itu terserang rasa kantuk yang ama
Nenek itu geleng-geleng kepala. "Sayang sekali wajahmu tampan tapi bodoh! Aku adalah si Cungkil Nyawa, penjaga makam ini!""Makam...! Bukankah ini petilasan sebuah keraton?""Keraton nenekmu!" umpat Nyai Cungkil Nyawa dengan kesal. "Ini makam! Bukan keraton! Kalau yang kalian cari reruntuhan bekas keraton, bukan di sini tempatnya! Kalian salah alamat! Pulanglah!""Kami tidak salah alamat!" bentak Ratna Prawitasari."Di reruntuhan inilah kami mencari jubah keramat itu! Karena kami tahu, di bawah reruntuhan ini ada ruangan penyimpan jubah keramat itu!""Dan kami harus menemukan jubah itu!" tambah Marta Kumba."Tak kuizinkan siapa pun menyentuh jubah itu! Dengar...!""Nenek ini cerewet sekali dan bandel!" geram Ratna Prawitasari."Pokoknya sudah kuingatkan, jangan sentuh apa pun di sini kalau kau ingin punya umur panjang dan ingin punya keturunan!" Setelah itu ia melangkah memunggungi Ratna Prawitasari dan Marta Kumba.Terd
Wuttt...! Kembali ia bergerak pelan dan sinar kuning itu ternyata berhenti di udara, tidak bergerak maju ataupun mundur."Menakjubkan sekali!" bisik Kirana dengan mata makin melebar.Sinar kuning itu tetap diam, tangan Ki Sonokeling terus berkelebat ke sana-sini dengan lemah lembut, dan tubuh Mandraloka bagai dilemparkan ke sana sini. Kadang mental ke belakang, kadang terjungkal ke depan, kadang seperti ada yang menyedotnya hingga tertatih-tatih lari ke depan, lalu tiba-tiba tersentak ke belakang dengan kuatnya dan terkapar jatuh.Dalam keadaan jatuh pun kaki Mandraloka seperti ada yang mengangkat dan menunggingkannya, lalu terhempas ke arah lain dengan menyerupai orang diseret.Sementara itu, Ki Sonokeling memutar tubuhnya satu kali dengan kaki berjingkat, hingga ujung jari jempolnya yang menapak di tanah.Wuttt...! Kemudian tangannya bergerak bagai mengipas sinar kuning yang sejak tadi diam di udara. Kipasan itu pelan, tapi membuat sinar kuning m
"Maksudmu!" Baraka terperanjat dan berkerut dahi."Lebih dari lima orang kubunuh karena dia mau mencelakaimu!""Lima orang!""Lebih!" tegas Kirana dalam pengulangannya."Waktu kau berjalan bersama orang hitam ini, tiga orang sudah kubunuh tanpa suara, dan kau tak tahu hal itu, Baraka!""Maksudmu, yang tadi itu?" tanya Baraka."Semalam!" jawab Kirana.Ki Sonokeling menyahut, "Jadi, semalam kita dibuntuti tiga orang?""Benar, Ki! Aku tak tahu siapa yang mau dibunuh, kau atau Baraka, yang jelas mereka telah mati lebih dulu sebelum melaksanakan niatnya!" jawab Kirana dengan mata melirik ke sana-sini.Ki Sonokeling jadi tertawa geli dan berkata, "Kita jadi seperti punya pengawal, Baraka!""Baraka," kata Kirana. "Aku harus ikut denganmu! Aku juga bertanggung jawab dalam menyelamatkan dan merebut pedang itu!"Baraka angkat bahu, “Terserahlah! Tapi kuharap kau...!"Tiba-tiba melesatlah benda mengkilap
"Bagaimana dengan Nyai Cungkil Nyawa, apakah dia punya minat untuk memiliki pedang pusaka itu?""Kurasa tidak! Nyai Cungkil Nyawa hanya mempertahankan makam itu sampai ajalnya tiba. Tak perlu pedang pusaka lagi, dia sudah sakti dan bisa merahasiakan pintu masuk ke makam itu. Toh sampai sekarang tetap tak ada yang tahu di mana pintu masuk itu.""Apakah Adipati Lambungbumi tidak mengetahuinya? Bukankah kakeknya dulu ikut mengerjakan makam itu?""O, kakeknya Lambungbumi hanya sebagai penggarap bagian atas makam saja. Dia penggarap pesanggrahan, tapi tidak ikut menggarap makam Prabu Indrabayu!""Ooo...!" Baraka manggut-manggut."Kau tadi kelihatannya tertarik dengan pedang pusakanya Ki Padmanaba, ya!""Tugasku adalah merebut pedang itu dari Rangka Cula!""Ooo...," kini ganti Ki Sonokeling yang manggut-manggut."Aku sempat terkecoh oleh ilmu sihirnya yang bisa mengubah diri menjadi orang yang kukenal. Kuserahkan pedang itu, dan tern
Reruntuhan cadas bercampur karang itu menimbun celah sempit tersebut dan menutup rapat. Bahkan sebongkah batu jatuh di depan mulut gua dan membuat mulut gua semakin kuat tertutup batu besar. Tak sembarang orang bisa mendorong batu tersebut, sebab bagian yang runcing menancap masuk ke dalam celah, menutup dan mengunci.Marta Kumba berkata, "Kalau begitu caranya, dia tidak akan bisa keluar dari gua itu, Ratna!""Biar! Biar dia mati di sana. Kurasa gua itu adalah sarang ular berbisa! Orang ganas macam dia memang layak mati dimakan ular, daripada kerjanya mengganggu perempuan-perempuan lemah!""Rupanya kau kenal dia, Ratna!""Ya. Dia yang bernama Gandarwo! Setiap dia masuk kampung, penduduk menjadi ketakutan, masuk pasar, pasar jadi bubar! Dialah biang keributan dan momok bagi masyarakat di mana ia berada!"Ratna Prawitasari menghembuskan napas kecapekan, ia duduk di atas batang pohon yang telah tumbang beberapa waktu lamanya. Marta Kumba pun duduk di
"Lakukanlah kalau kau berani! Lakukanlah!" Ratna Prawitasari maju setindak seakan menyodorkan tubuhnya agar dimakan."Grrr...!" Gandarwo mundur satu tindak dengan erangan gemas mau menerkam namun tak berani."Ayo, lakukanlah...!" Ratna Prawitasari maju lagi."Ggrr...! Nekat kau...!" Gandarwo mundur dengan makin gemas."Lakukanlah,..!Bedd...!"Uuhg....!" Gandarwo menyeringai dengan membungkuk dan memegangi 'jimat antik'-nya yang tahu-tahu ditendang kuat oleh Ratna Prawitasari.Tubuhnya merapat, meliuk ke kanan-kiri dengan mata terpejam, mulutnya mengeluarkan erang kesakitan. Sementara itu, Marta Kumba tersenyum-senyum menahan tawa. Marta Kumba pun segera berkata, "Baru sama perempuan saja sudah nyengir-nyengir begitu, apalagi mau melawan aku!"Begitu mendengar suara Marta Kumba berkata demikian, Gandarwo segera tegak dan menggeram, lalu dengan cepat ia lepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Marta Kumba. Sinar hijau tadi melesat
PANTAI berpasir putih mempunyai riak ombak yang tenang. Deburannya di pagi itu terasa lebih pelan dan damai ketimbang semalam. Tetapi pantai itu sekarang sedang dijadikan ajang pertarungan konyol, yaitu pertarungan yang bersambung dari semalam, berhenti untuk istirahat sebentar, kemudian paginya dilanjutkan lagi. Rupanya dua remaja yang dicari Nyai Cungkil Nyawa itu sudah berada di pantai tersebut. Mereka saling kejar dari Petilasan Teratai Dewa sampai ke pantai itu. Mereka adalah Marta Kumba dan gadis yang menyelamatkannya dari gigitan ular berbahaya itu.Gadis tersebut menyerang dengan pedangnya, tapi setiap kali serangan itu tak pernah dibalas oleh Marta Kumba. Hanya dihindari dan kadang ditangkis jika sempat. Sikap Marta Kumba yang tidak mau menyerang membuat gadis itu penasaran, sehingga selalu melancarkan pukulan dan serangan ke arah Marta Kumba, ia ingin mengenai pemuda itu walau satu kali saja, tapi tidak pernah berhasil."Sudah kukatakann kau tak akan berhasil
Orang itu mempunyai rambut hitam, panjangnya sepunggung tapi acak-acakan tak pernah diatur, sehingga penampilannya semakin kelihatan angker, menyeramkan. Di pinggangnya terselip kapak bermata dua yang masing-masing mata kapak berukuran lebar melengkung, ujungnya mempunyai mata tombak yang berwarna merah membara, kalau kena kegelapan malam mata tombak itu menjadi sangat terang bagai cahaya lampu. Gagang kapaknya agak panjang. Kapak itu kadang ditentengnya, jika capek diselipkan di sabuk hitamnya itu. Melihat wajahnya yang angker dan berbibir tebal karena memang mulutnya lebar, jelas kedatangannya ke petilasan itu bukan untuk maksud yang baik.Terbukti ketika ia melihat Nyai Cungkil Nyawa sedang tertidur di salah satu sudut dinding reruntuhan, orang itu segera mengangkat batu sebesar perutnya dan dilemparkan ke arah Nyai Cungkil Nyawa dengan mata mendelik memancarkan nafsu membunuh.Wusss...!Batu itu melayang di udara, menuju ke tubuh nenek kurus itu. Tapi tiba-t
Dalam perjalanan menuju rumah kediaman Ki Sonokeling, yang tinggal bersama cucu dan keponakannya itu, Baraka sempat menanyakan tentang diri Nyai Cungkil Nyawa."Ki Sonokeling sudah lama mengenal Nyi Cungkil Nyawa?""Cukup lama. Sejak aku berusia sekitar tiga puluh tahun, aku jumpa dia dan naksir dia. Tapi dia tidak pernah mau membalas taksiranku, hanya sikapnya kepadaku sangat bersahabat.""Saya kaget tadi waktu dia tiba-tiba menghilang dari pandangan. Tak sangka dia punya ilmu bisa menghilang begitu.""Dia memang perempuan misterius. Kadang kelihatan cantik dan muda, kadang kelihatan tua seperti itu. Kadang mudah dicari dan ditemukan, kadang dia menghilang entah pergi ke mana dan sukar ditemukan. Tapi karena aku suka sama dia, aku bersedia dijadikan pengurus taman di petilasan itu. Maka jadilah aku juru tamannya sejak berusia tiga puluh tahun, sedangkan dia adalah juru kunci penjaga makam Prabu Indrabayu itu. Kami saling kerja sama jika ada orang berilmu